Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 04 September 2011

Opini : Koperasi atau “Ku perasi”

oleh : Saddam Cahyo*

Begitu sepinya peringatan hari Koperasi Nasional tahun ini yang jatuh pada tanggal 12 Juli lalu. Seperti yang di isukan sebelumnya, mungkin ini dampak dari berbagai upaya pelemahan unit usaha perkoperasian di Indonesia. Mungkin juga saat ini semakin sedikit yang tahu adanya peringatan Hari Koperasi, apa makna dan manfaat sesungguhnya dari unit usaha koperasi dalam pembangunan masyarakat.

Koperasi tak bisa dilihat dari sudut mikro organisasi saja, ia bukan bentuk perusahaan seperti halnya persero kapital atau bisnis milik Negara, apalagi dianggap sekedar bentuk usahanya kaum miskin. Kalau dipandang lebih luas, koperasi mencakup sistem sosial, ekonomi, politik. Juga berbicara tentang perusahaan demokratik, professional management serta social eunterpreunership. Sebagai pemacu perubahan social, koperasi mengangkat martabat masyarakat dan menanamkan nilai keadilan dalam system demokrasi partisipatoris yang harus kita bangun.

Hanya sekitar 50-60% dari sekitar 139.000 koperasi di Indonesia yang masih aktif, itupun berlaku pasang surut. Amanah UUD ’45 pasal 33 yang mencantumkan bahwa perekonomian harus disusun atas azas kekeluargaan, dan  Koperasi mulai di agungkan sebagai Soko Guru Perekonomian Nasional, kini sudah sangat usang dan dianggap tak relevan dalam era globalisasi ekonomi, bahkan oleh pakar ekonomi sendiri.

Pendidikan koperasi yang kita enyam sejak di bangku SD, kini sangat mentah terasa. Saat ini kita dihadapkan dalam situasi yang sangat bertolak belakang, sulit menemukan koperasi yang benar-benar menjadi wadah usaha kolektif dan positif bagi pembangunan system masyarakat untuk menopang pembangunan demokrasi.

Kebanyakan koperasi aktif saat ini adalah koperasi simpan pinjam, dimana esensi koperasi tak dapat lagi kita rasakan didalamnya, koperasi tak ubahnya seonggok perusahaan tempat berkumpulnya pemilik modal yang berfikir untuk melipat gandakan keuntungan, bukan lagi tempat berkumpulnya individu maupun badan hukum yang bersifat terbuka, profit sharing dan menerapkan pola management partisipatif.

Beragam rasionalisasi dimunculkan sebagai apologi pergeseran koperasi dalam teori dan praktiknya. Banyak koperasi kini berganti rupa menjadi sosok yang tak jauh berbeda dengan lintah darat professional lengkap dengan petugas debt collectornya, belum lagi koperasi yang justru berperan aktif memacu pola hidup konsumtif anggotanya dengan buaian kredit barang yang murah dan mudah.

Cita-cita koperasi harus kembali kita munculkan dalam pola fakir ekonomi masyarakat. Pendapat para ekonom yang mengatakan globalisasi takkan terelakkan dan usaha-usaha melawannya (termasuk memajukan koperasi yang sesungguhnya) akan kontra ptoduktif tidak bisa kita telan mentah-mentah. Sebagai manusia, kita harus berfikir lebih bijak dalam segala hal, termasuk dalam menyikapi globalisasi yang katanya tak terelakkan tadi.

Ilmu ekonomi neoklasik yang ditanamkan dalam bangku kuliah tak bisa kita generalkan bahwa semua badan usaha harus profit oriented, seperti yang dikemukakan Joseph Stiglitz (peraih nobel 2001) yang juga pernah bekerja di IMF dan kini menentang keras  dominasi globalisasi okonomi neoliberal, bahwa teori ekonomi klasik telah tereduksikan dalam pengajarannya, metode ajar deduktif dan melupakan konsep homosocialis dalam perekonomian yang juga merupakan konsep Adam Smith tahun 1759 (sebelum ajarannya 1776) telah dilupakan.

Seluruh stakeholder harus sama-sama berpandangan luas dalam menyikapi hal ini. Pemerintah harus bersikap tegas dan membuktikan keberpihakannya pada rakyat mayoritas. Berbagai bentuk pelemahan koperasi harus dihentikan, masyarakat harus menumbuhkembangkan kembali budaya berkoperasi yang sesuai dengan amanah UUD, dan para pakar ekonomi nasional harus lebih jeli mencari celah potensi pembangunan perekonomian nasional di era global tanpa harus larut dalam teori yang justru menenggelamkan diri didalamnya.

 Jika semua hal tadi sama-sama kita perhatikan, maka krisis nilai, kepemimpinan dan kepercayaan yang sedang dialami oleh Koperasi Nasional akan teratasi dan lebih mudah mengembalikan pada tujuan awalnya ; mencapai keadaan perekonomian masyarakat “bersama dalam kesejahteraan” dan “sejahtera dalam kebersamaan”.
 ___________________
Bandar Lampung, 13 Juli 2010.

*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar