Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 05 September 2011

Teosos : Mengupas Teori Sosiologi Klasik


Oleh : Saddam Cahyo*

“ Teori sosial adalah jendela untuk melihat seluruh realitas.” 
    (  Zainuddin Maliki, 2003 )

Ya, itulah perkataan terkait ‘kata’ teori yang pertama kali tertangkap dalam pemahamanku tanpa seutuhnya kufahami maknanya. Disadari atau tidak, teori selalu terungkap dalam kehidupan sehari-hari, dan muncul karena adanya kebutuhan manusia untuk memberi penjelasan akan berbagai kenyataan yang terjadi dan karena manusia membutuhkan pengetahuan dalam hidupnya. Secara kategoris, pengetahuan terdiri atas unsur experiental reality atau pengetahuan yang di dapat berdasar pengalaman dan agreement reality atau pengetahuan yang bersumber dari kesepakatan bersama. Pengetahuan kemudian akan dikembangkan manusia tak hanya dari pengamatan langsung pada kenyataan, namun juga dilakukan pengujian untuk disusun menjadi suatu ilmu pengetahuan.

Teori terkonstruksikan atas beberapa komponen, yaitu konsep, variable, dan indikator. Teori sendiri kerap difahami sebagai sejumlah perumpamaan yang terangkai secara sistematis dan dipakai untuk memberi penjelasan terhadap suatu gejala atau fenomena. Konsep diartikan sebagai simbol yang berarti tentang sesuatu dan memiliki dimensi tunggal maupun multidimensional, untuk itu diperlukan definisi konsep yang memiliki variasi nilai berbeda-beda. Sedangkan variable diartikan sebagai konsep yang telah terukur oleh indicator atau kategori tertentu.

Dalam konteks sosiologi, teori di klasifikasikan dalam tiga paradigma umum, yakni order paradigm, pluralist paradigm dan conflict paradigm yang perbedaannya masing-masing didasarkan pada asumsi yang menyertainya. Teori juga dibedakan dengan penggunaan pendekatan induktif maupun pendekatan deduktif. Beberapa kekuatan dari gejolak social yang muncul sejak abad ke-18 di beberapa Negara maju Eropa seperti Prancis, Jerman, Inggris dan Italia kala itu menjadi focus utama perhatian para ahli social dan melatarbelakangi muncul berkembangnya berbagai teori sosial hegemonic dalam ilmu pengetahuan.

Berbagai perubahan berupa revolusi sosial politik serta kebangkitan kapitalisme (seperti revolusi Prancis dan Revolusi Industri di Inggris) tak hanya membawa dampak yang positif, namun juga memunculkan beragam masalah social baru yang memaksa para ahli social dan filsafat berfikir keras untuk menemukan kaidah baru dalam teori social sekaligus sebagai upaya memahami dan mengatasi permasalahan social tersebut, serta mengarahkan bagaimana bentuk ideal masyarakat yang diharapkan di kemudian hari.

Tokoh teori klasik dan pemikirannya

Claude Henri Saint-Simon (1760-1825), seorang intelektual konservatif yang mendambakan terciptanya kondisi masyarakat seperti sebelumnya, teratur dan harmonis. Namun ia juga menyepakati bahwa fenomena social harus di pelajari melalui metode ilmiah layaknya ilmu alam.

Auguste Comte (1798-1857), adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah “sosiologi” bagi kajian ilmu pengetahuan yang memfokuskan perhatian pada kehidupan social kemasyarakatan, untuk itu ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Dunia. Pemikiran utamanya adalah filsafat positivisme, serta memberikan gambaran mengenai metode ilmiah yang menekankan pada pentingnya pengamatan, eksperimen, perbandingan, serta analisis sejarah.Perkembangan masyarakat di abad ke-19 menurut Comte merupakan sebuah capaian tahapan yang positif, diwarnai oleh penggunaan pengetahuan empiris untuk memahami dunia social sekaligus untuk menciptakan masyarakat yang baik.

 Ia menilai sosiologi sebagai alat untuk menyelidiki hokum-hukum tindakan dan reaksi terhadap bagian-bagian yang berbeda dalam system social yang selalu bergerak secara bertahap dan terdapat hubungan yang saling menguntungkan (mutual relations) dalam masing-masing unsur system social secara keseluruhan. Dua konsep utamanya untuk menjelaskan suatu gejala social adalah statika social sebagai kajian terhadap tindakan dan tanggapan pada bagian yang berbeda dalam suatu system social yang waktu terjadinya bersamaan  dan dinamika social yang berupaya mengkaji kaidah tentang gejala social di dalam rentang waktu yang berbeda (Ritzer, 1996).

Herbert Spencer (1820-1903), banyak terinspirasi dari keahlian mekanikanya untuk menelaah berbagai kajian social. Ia mengembangkan system filsafat dengan aspek utileter dan evolusioner. Spencer dikenal sebagai sosiolog organis, ia yang mempelopori konsep “yang kuatlah yang menang” atau survival of the fittest dalam karyanya social static (1850), pandangan ini yang kemudian dikembangkan Charles Darwin dalam teori evolusinya, konsep evolusi social ala Spencer ini kemudian banyak di andalkan dalam pemikiran liberal kalangan elit.  

Emile Durkheim (1858-1917), perhatiannya terhadap kehidupan social pasca revolusi Perancis membawa pemikirannya pada focus permasalahan keteraturan social (social order). Menurutnya, keteraturan social tak harus menjadi identik bagi dunia yang modern, dan untuk hal ini ia memandang sebuah reformasi adalah jawabannya. Dalam 3 buku karya utamanya, Durkheim mengemukakan bahwa tugas utama sosiologi adalah mempelajari fakta social.

Ia banyak menganalisa ikatan social yang muncul dalam masyarakat primitive yakni berupa kesadaran solidaritas kolektif dan ikatan social dalam masyarakat modern yang terbelenggu sekat-sekat pembagian kerja yang ketat hingga mereka cenderung individualistis. Durkheim tak menyepakati adanya sebuah revolusi, namun menekankan pentingnya aturan hokum dan norma social untuk mengatur kehidupan masyarakat.

Karl Marx (1818-1883), berbeda dengan para sosiolog lain di masanya, untuk menciptakan keteraturan social, ia justru mengembangkan teori konflik. Ia tertarik pada fenomena ketertindasan kaum buruh oleh para pemilik modal dalam era kapitalisme awal. Marx menilai muncul dua kelas social utama yang akan terus bersinggungan, yakni kaum proletar yang hanya mampu menjual tenaga dan kaum borjuis yang menguasai alat produksi sebagai modal utama. 

Teori konflik yang dikembangkan tak lain adalah upaya perjuangan pembebasan bagi kaum lemah dari tekanan eksploitasi si kuat. Karena ia mempercayai penentu perubahan social bukanlah sekelompok elit yang berkuasa, melainkan massa rakyat. Dalam proses produksi kapitalisme, menurutnya kaum proletar/buruh di buat teraleniasi (terasing). Terasing dari pekerjaannya sendiri, terasing dari hasil pekerjaannya, terasing dari sesame pekerja dan terasing dari kemampuan manusiawinya sendiri. Disebabkan tujuan pokok kapitalisme adalah melipat gandakan keuntungan maka buruh diperlakukan layaknya  sebuah mesin.

Max Weber (1864-1920), bertolak belakang dengan Marx, Weber lebih tertarik dengan konsep rasionalisasi yakni pertimbangan-pertimbangan yang harus dibuat sebelum memutuskan sebuah tindakan. Dalam diskursusnya tentang institusi politik, ia melihat ada 3 otoritas; otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas rasional-legal. Ia juga tertarik mengkaji perkembangan kapitalisme, namun ia lebih berusaha memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan ajaran agama terhadap perilaku ekonomi umatnya.

Ia mencaritahu mengapa system ekonomi kapitalisme yang rasional bertumbuh lebih subur diEropa Barat yang mayoritas penduduknya Protestan. Dalam buku “The Protstant ethic and the spirit of capitalism” (1904), ia menjelaskan bahwa ajaran Calvinisme Protestant mengharuskan umatnya untuk menjadikan dunia sebagai tempat yang makmur dengan kerja keras dari manusia. Dan menekankan umatnya untuk hidup tanpa berfoya-foya namun bekerja keras mencari uang. Hal ini menjadi basis analisanya terhadap pesatnya perkembangan kapitalisme di Eropa Barat. 

Beberapa nama pakar teori social tersebut di atas adalah yang paling menjadi perhatian dari banyak kalangan sebagai peletak dasar teori sosiologi klasik, namun sebenarnya masih sangat banya pakar lainnya yang berperan besar bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan social di periode awal berkembangnya.
_____________________
Bandar lampung, 28 Oktober 2010

**) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
       Dimuat dalam ”SOCIETAS” Buletin HMJ Sosiologi Unila Edisi Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar