Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 04 September 2011

Opini : Ledakan Konsumsi Lebaran !

Oleh : Saddam Cahyo*

Idul Fitri atau akrab diucap Lebaran, oleh masyarakat kita yang merupakan Negara dengan umat muslim terbanyak di dunia tentulah menjadi sebuah momentum puncak yang special dan penuh pencapaian spiritual dan Bulan suci Ramadhan merupakan bulan penuh berkah yang disediakan bagi umat muslim untuk menyucikan diri dan meningkatkan iman dan takwanya kepada Sang Khaliq, Allah SWT. 

Begitu banyak kesempatan ibadah yang dianjurkan di bulan ini, yang terutama ialah puasa dan zakat fitrah. Banyak ahli agama yang menjelaskan bahwa dengan ibadah di bulan ini senantiasa menajamkan iman kita, dan dampak sosialnya pun sangat positif. Bercabangnya manfaat ibadah di bulan ini sampai para pakar ekonomi syariah menyebutnya sebagai Bulan penurunan konsumsi.

Yusuf Wibisono dari Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah FE-UI, menganggap bahwa bulan ramadhan justru menurunkan tingkat konsumsi individu, utamanya bagi muslim yang berpuasa. Secara makro, hal ini akan menurunkan konsumsi agregat, khususnya barang kebutuhan pokok. Dengan anjuran mengeluarkan derma, maka konsumsi orang kaya akan menurun secara kuantitas, sementara konsumsi orang miskin akan meningkat, artiannya terjadi proses pemerataan konsumsi / consumption transfer dari kelompok kaya ke kelompok miskin.

Meledak
Dalam hal ini, menurut saya bulan Ramadhan justru sebagai bulan ledakan konsumsi masyarakat. Lembaga survey Nielsen (Kompas,1/9) memprediksi total belanja masyarakat di enam kota besar, yakni Jakarta, bandung, Yogyakarta, Denpasar, Surabaya dan Makassar selama periode puasa dan lebaran mencapai Rp. 20,2 triliun, sementara di hari biasa hanya Rp 7 triliun per bulan. Peningkatan ini tak hanya terjadi di kalangan menengah ke atas, tetapi kalangan bawah pun akan terdorong untuk mengikuti lonjakan ritme konsumsi  masyarakat di sekitarnya. 

Secara kasat mata, banyak terjadi kemeriahan dan nuansa perayaan. Euphoria semangat umat muslim untuk merayakan kemenangan ibadahnya ini ternyata telah mendorong semangat konsumsinya pula. Berbagai upaya pasti akan dilakukan untuk mengemas seistimewa mungkin berbagai momentum ibadah, tak dapat disangkal bahwa masyarakat kita pasti akan menyediakan budget khusus untuk itu.

Hal ini pun ditangkap dengan cermat oleh kalangan industry dan niaga. Begitu banyak promosi produk barang maupun jasa khusus paket lebaran yang ditawarkan, dan tak kalah menariknya karena hasrat belanja masyarakat pun ikut terpompa, lihat saja arus jual-beli yang memang melonjak tinggi selama bulan ini di berbagai pasar tradisonal hingga modern seperti mall-mall. Lonjakan ini terekam dari pernyataan Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang menargetkan omzet penjualan tekstil dan produk tekstil selama puasa hingga Lebaran mencapai Rp. 4,5 triliun atau 10% diatas kondisi normal (Metro TV/31/8).

Hingga saat ini pemerintah memang masih mengandalkan tingkat konsumsi masyarakat sebagai penopang pertumbuhan ekonomi, dimana sumbangan konsumsi rumah tangga dan pemerintah terhadap PDB mencapai 64,89 % dan 8,14 %. Karena itu pemerintah secara rutin menelurkan berbagai regulasi semacam KUR, PNPM, BLT, meski bersumber dari Utang Luar Negeri dan Tunjangan Hari Raya yang dianggap akan menjadi stimulus fiscal untuk pemerataan konsumsi masyarakat, justru memunculkan multi-player effect yang merugikan.

Efek buruk yang terpaksa kita terima saat ini merupakan dampak kebijakan Neoliberalisme global yang berhasil mengemas Ramadhan dan Idul Fitri sebagai komoditas ‘jualan’ yang menarik ditengah masyarakat yang sedang terjebak budaya konsumtif yang tak terkontrol, ditambah budaya untuk memaknai Ramadhan dengan segala sesuatu yang istimewa dan serba baru seperti sekarang.

Sungguh memprihatinkan, karena hal ini justru akan mendangkalkan nilai asketis ibadah puasa yang mengajak umat untuk menempa batiniah seraya menjaga jarak dari hal-hal keduniaan semu yang seharusnya dapat menjadi sebuah kesadaran spiritual untuk mengkritisi nilai-nilai kapitalistik yang kian mengerogoti kita.
_______________________
Bandar Lampung, September 2010

** )Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
      Dimuat dalam ”KORAN MERAH” News Letter LMND Ekskot B. Lampung  Edisi September  2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar