Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 02 September 2011

Opini : Demokrasi Kita "Elitis" ?

Oleh : Saddam Cahyo*

Gema riuh pesta demokrasi sangat terasa di berbagai daerah di Indonesia, nyaris di setiap pulau-pulau besar negeri kita diwarnai semangat demokrasi yang serupa saat ini. Tak luput, mata kita disuguhkan suasana kota maupun desa yang ramai dengan berbagai atribut kampanye, meski terkadang sangat meresahkan dan menambah kesemrawutan Kota, hal ini kerap tidak dihiraukan.

Mekanisme pemilihan langsung yang sudah kita nikmati sejak 2004 memang merupakan sebuah lonjakan kualitatif bagi pembangunan demokrasi di Negara kita. Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu Negara paling demokratis di Asia Tenggara, tentu ini sebuah kebanggan bagi bangsa kita yang punya pengalaman pahit puluhan tahun tertekan dalam iklim otoriter sebelumnya.

Sebuah kebanggaan seperti ini terasa di berbagai sector masyarakat, tidak hanya mahasiswa yang selama satu dasawarsa terakhir terus-terusan menyuarakan euphoria generasi sebelumnya yang berhasil mendobrak system, tetapi juga masyarakat umum yang tampak lebih antusias dan memiliki banyak ragam respon yang mereka tunjukkan.

Hampir setiap tahun selalu ada pemilukada yang dilaksanakan, belum lagi ditambah pemilu nasional maupun tingkatan RT/RW. Seakan masyarakat kita sedang sangat menikmati budaya demokrasi hingga semua hal yang berkaitan dengan pemilihan harus melalui mekanisme yang serupa. Bisa dikatakan semangat ini merupakan bukti telah berkembangnya kesadaran  masyarakat akan diperlukannya keterbukaan dalam suatu system pemerintahan.

Semangat awal membangun demokrasi

Pasca reformasi, masyarakat memiliki peluang lebih terbuka untuk mendapatkan informasi dan pendidikan politik. Cita-cita kesejahteraan umum melalui demokrasi terus menerus kita usahakan, berbagai diskursus dan perdebatan pun terus bermunculan sebagai bukti banyaknya respon masyarakat dalam menilai tahapan-tahapan apa saja yang baik dan sesuai diterapkan di negara ini.

Saya teringat dengan berbagai diskursus yang muncul sebelum pemilu 2004 lalu, perdebatan itu terkait mekanisme pemilihan langsung. Perdebatan yang muncul adalah perkiraan dampak baik dan buruknya mekanisme pemilihan langsung, ada yang berpendapat mekanisme ini akan membawa pengaruh buruk bagi pembangunan demokrasi karena masyarakat kita belum sadar seutuhnya akan nilai – nilai demokrasi yang perlu ditanamkan, namun lebih dominan masyarakat yang berpendapat mekanisme ini sangatlah baik dan harus sesegera mungkin diterapkan.

Sebuah pendapat yang akhirnya diyakini oleh perdebatan tadi sebagai jawaban bersama pun muncul, mekanisme pemilihan pemimpin secara langsung mulai diterapkan diseluruh daerah. Pemilukada dianggap sebagai upaya mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya, masyarakat di setiap daerah berhak memilih dan dipilih langsung untuk menentukan pemimpinnya sendiri, mekanisme ini disebut-sebut sebagai bentuk dari system demokrasi partisipatoris yang akan dikembangkan di Indonesia.

Otonomi daerah juga mulai dimaknai sebagai bentuk perimbangan antara pemerintah daerah dengan pusat dengan pola koordinasi yang konstruktif. Pemilukada banyak memberikan perubahan dalam masyarakat kita saat ini, banyak aspek yang terbantu perkembangannya melalui momentum ini, seperti peningkatan distribusi perekonomian daerah, pencerdasan politik masyarakat, terbangunnya budaya demokratis, dan sebagainya atas nama demokrasi, desentralisasi dan integrasi.

Demokrasi kita

Kalau merujuk pada semangat di awal, tidak ada yang salah dari pembangunan demokrasi di Negara kita ini. Begitu apiknya pemilihan presiden dilaksanakan sesuai harapan, di setiap daerah pemimpin selalu dipilih melalui pemilihan langsung, begitupun para wakil rakyat di legislatif, bahkan kepala desa pun dipilih secara langsung.

Seluruh cita-cita kesejahteraan yang akan terdistribusi dengan baik di Negara kepulauan seperti Indonesia memang harus di topang oleh system demokrasi yang tepat dan kokoh untuk mengantisipasi dampak buruk dari pola desentralisasi yang sedang diterapkan. Namun kita sebagai masyarakat, harus pula mengambil peranan dalam setiap tahapan yang dilakukan.

Kita perlu mengenali bentuk demokrasi macam apa yang kita tumbuh kembangkan ini, harus didukung pula dengan berbagai kritik yang konstruktif dari masyarakat luas. Pemilukada yang selama ini kita anggap sebagai bentuk perwujudan demokrasi partisipatoris harus mendapat evaluasi kritis dari rakyat.

Tidak bisa dipungkiri, pemilukada justru membangun budaya baru yang kurang baik dari segi kedewasaan berdemokrasi dalam masyarakat, mengapa demikian ? karena kita masih menerapkan pola demokrasi yang elitis, dimana rakyat hanyalah objek yang mudah dimanfaatkan oleh kepentingan segelintir orang untuk berebut kekuasaan.

Ada yang mengatakan demokrasi kita hanyalah topeng dari transformasi system feodal dimana hanya segolongan individu yang memiliki status social tertentu saja yang punya akses mengecap demokrasi dan memenuhi hak politiknya melalui mekanisme Pemilu. ter lalu kasar memang, namun pernyataan ini perlu jadi perhatian bersama.

Demokrasi partisipatoris yang dulu dijadikan legitimasi rezim untuk menerapkan mekanisme pemilihan langsung, setidaknya memiliki beberapa ciri, yakni ; mengutamakan partisipasi public yang luas dan terbuka, termasuk pengontrolan terhadap pemerintah melalui berbagai bentuk asosiasi komunitas local, saluran aspirasi rakyat tidak hanya melalui parlemen dan partai, partai politik sangat mengakar dan memiliki kedekatan ideologis dengan basis massa yang terorganisir, terpusat pada system, memiliki parlemen yang kokoh dihadapan eksekutif, masyarakat kaya informasi dan menjadi pemilih yang rasional, kebebasan dari rasa takut ( David Held, 1995 ).

Apakah demokrasi kita saat ini sudah mencerminkan ciri-ciri di atas? Tentu dengan dahi mengkerut kita akan mengatakan tidak samasekali. Setidaknya ini menjadi tolok ukur bagi kita untuk jujur mengatakan demokrasi yang kita ciptakan adalah demokrasi elitis yang jauh dari cita-cita awalnya.

Pada Propnisi Lampung saja, kita dapat melihat eksistensi ‘elit’ dalam birokrasi dan politik daerah. Dalam sistem seperti ini kita memang hanya menjadi pion catur yang selalu dikorbankan. Melihat pemilukada di 6 Kota/Kabupaten di Propinsi Lampung tahun 2010 ini, sangat kental nuansa elitisnya, tampak dari calon-calon pemimpin yang bermunculan, sudah dapat kita perkirakan hanya kandidat incumbent, kerabat pejabat atau pengusaha yang mampu membeli perahu politik. Dimana posisi rakyat di luar golongan itu ? tentu hanya menjadi sekumpulan massa yang tercecer dan dimobilisir untuk kepentingan penggemukan suara saja.
_________________
Bandar Lampung, Juni 2010
* Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar