Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 02 September 2011

Opini : Titik Blunder Kebijakan Energi Nasional ( KEN )


Oleh : Saddam Cahyo*

Kembali kita disuguhkan dengan berita-berita aksi massa, diskusi, tulisan maupun konfirmasi dari berbagai pihak terkait dengan dikeluarkannya kebijakan kenaikan Tarif Dasar Listrik / TDL oleh Pemerintah yang telah disetujui DPR beberapa waktu lalu. Respon-respon yang bermunculan tadi mayoritas bersuara sumbang dan dicap reaksioner oleh sebagian pihak.

Tampaknya keluhan masyarakat dalam aspek pelayanan kebutuhan energi listrik oleh Pemerintah maupun PLN memang selalu menghiasi media massa. Listrik memang sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat kita, hampir seluruh aktivitas keseharian kita memerlukan energi listrik sebagai sumber energi pokoknya, meski masih banyak pula daerah-daerah yang belum teraliri listrik sampai saat ini.

Pola hidup masyarakat yang sangat ketergantungan akan ketersediaannya pasokan energi listrik dianggap sebagai masalah utama yang membebani Pemerintah atau PLN dalam hal ini. Memang tak dapat kita pungkiri, masyarakat Indonesia saat ini sangat terjebak dalam pola hidup konsumtif terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokoknya tanpa menyadari secara utuh mengenai dampak jangka panjangnya, termasuk kebutuhan akan energi listrik.

Sebuah wacana merebak dari pernyataan terbuka Direktur Utama PT PLN Persero, Dahlan Iskan. Dia menyatakan, PLN akan memberikan layanan listrik gratis untuk rakyat miskin (Liskin) bagi pengguna listrik 450 VA yang kurang lebih berjumlah 20 juta pelanggan dan tersebar se Indonesia. Menurut Dahlan, kebijakan ini merupakan alternatif terbaik dari berbagai posisi dilematis PT PLN Persero dalam melayani pasokan energi listrik untuk masyarakat.

Seperti yang kita duga bersama, kebijakan apapun yang dikeluarkan Pemerintah yang dirasa bertentangan dengan kapasitas kemampuan rakyatnya pasti akan menuai protes keras dari berbagai pihak. Gugatan-gugatan dari berbagai class action itu cukup beralasan mengingat jumlah masyarakat yang masuk kategori miskin banyak pula yang menjadi pelanggan listrik 900VA yang akan terkena kenaikan TDL hingga 20%.

Banyaknya ketimpangan teknis pendataan warga miskin lewat program sensus penduduk, dan bila kita melirik kebelakang, pelanggan listrik 450VA tidak lagi tepat dijadikan tolok ukur masyarakat itu miskin, mengingat beberapa tahun terakhir bisa dikatakan sangat minim penambahan pengguna baru listrik berdaya 450VA, biasanya pelanggan baru harus memasang listrik minimal dengan daya 900VA dan itupun kita harus sangat sabar menjadi bagian rentetan daftar tunggu, dan ini menjadi kekuatan logis bagi berbagai gugatan class action yang timbul terhadap Pemerintah maupun PLN sebagai penanggung jawab pasokan energi listrik nasional.

 Akar permasalahan pelayanan energi

Jika kita mau berkepala dingin menanggapi kebijakan kontraproduktif ini, ada benarnya pernyataan Dahlan Iskan sebelumnya, bahwa kenaikan TDL ini adalah kebijakan alternatif terbaik yang harus diambil oleh PT PLN Persero selaku pemasok utama kebutuhan energi listrik nasional.

Diperkirakan, dari kebijakan subsidi silang ini PLN akan merugi sampai 1,5 triliun rupiah, namun akan meningkatkan pemasukan hingga 20 triliun rupiah. Meski terkesan membawa semangat neoliberalisme dalam pelayanan energi, diharapkan ini menjadi jawaban dari kerugian yang terus dialami PT PLN karena biaya produksi sekitar Rp. 1.200 per Kwh namun hanya terjual Rp. 650 per Kwh selama ini.

Dalam pengesahan APBNP 2010, PLN harus kembali disuntik dana segar 55,106 triliun rupiah dan masih harus menaikkan TDL 10 % per Juli 2010 bagi pelanggan 450-900VA dan diatasnya mencapai 15 % kenaikan. Memang kenaikan TDL yang dianggap mampu menghemat APBN 2010 hingga 7,3 triliun rupiah ini tidaklah efektif, karena PLN masih saja terus kewalahan mengatasi krisis energi di berbagai aspek teknisnya, ditandai dari masih rutinnya pemadaman bergilir, kerusakan-kerusakan turbin pembangkit listrik rentetan daftar tunggu yang semakin panjang, dsb.

Kenaikan TDL selalu berbarengan dengan melambungnya harga minyak mentah dunia beserta produk turunannya. Sialnya, pembangkit-pembangkit listrik yang kita miliki masih sangat bergantung pada bahan bakar mainstream tersebut, seperti minyak, gas dan batu bara yang ditaksir harganya akan melambung hingga 100 dolar AS per barel sehingga menjadi alasan yang cukup melegitimasi ditelurkannya kebijakan kenaikan TDL tadi.

Menjadi sebuah catatan pula dampak dari berbagai kebijakan yang harus ”mengefisiensi” APBN dalam sektor pelayanan energi selalu mengakibatkan meroketnya harga sembako di dalam negeri, dan menjadi momok bagi sektor industri kecil menengah. Kejadian seperti ini bukan baru pertama kali kita alami, sejak pasca krisis moneter 1998 lalu yang memaksa pemerintah kita menerima suntikan dana segar dari lembaga keuangan internasional dengan berbagai syarat yang memberatkan dan berdampak jangka panjang, kebijakan seperti ini kerap menjadi kelumrahan yang harus kita terima.

Menjadi rahasia umum bahwa negeri ini memiliki kekayaan alam yang melimpah ruah di tengah gugusan ribuan pulaunya. Indonesia memiliki 199 blok minyak dan gas (migas) yang tersebar di 66 cekungan potensial, serta memiliki cadangan batubara hingga 240 juta ton per tahun, belum lagi kekayaan potensial tambang dan alam lainnya yang tersebar nyaris merata di setiap daerah.

Namun perlu disayangkan, negeri gemah ripah loh jinawi yang kita kenal saat ini sangatlah berlawanan dari konsep ideal yang kita bayangkan. Ditengah kekayaan alam yang produktif ini bangsa kita masih harus terjerat berbagai problem perekonomian di semua sektor. Disaat membutuhkan bahan baku pembangkit listrik, negara melalui PT PLN justru harus mengimpor, sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk tidak terpengaruh harga minyak mentah di pasaran dunia, padahal negeri kita dikenal sebagai salah satu negara penghasil minyak dan sumber energi potensial yang semestinya meraup keuntungan dari melambungnya harga minyak dunia.

Di sinilah titik blunder Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang diterapkan Pemerintah, sehingga memposisikan dirinya dan BUMN terkait pada posisi dilematis. KEN sangat memprioritaskan infestasi modal asing dengan legitimasi UU No. 22 th.2001 tentang migas, UU No. 25 th.2007 tentang penanaman modal, UU No.4 th.2009 tentang mineral dan batubara, UU outsorcing dan SKB 4 menteri.

Maka tidak bisa disalahkan mengapa banyak suara sumbang yang menilai Pemerintah kita berhaluan neoliberal, karena kebijakan-kebijakannya justru semakin melemahkan peranannya dalam memacu peningkatan perekonomian nasional dalam berbagai aspek.  

Ketidak mampuan perusahaan negara seperti PLN dalam memenuhi pasokan listrik masyarakat menjadi masalah rutin yang seolah harus terus menerus kita maklumi, dengan membludaknya permintaan berlangganan baru yang terus melonjak sementara PLN tidak mendapatkan pasokan listrik tambahan yang efektif dari produksinya dan pembangunan instalasi pembangkit listrik barupun sangat minim.

Sudah menjadi dugaan logis, bila pemerintah terus menerus mengutamakan kelonggaran infestasi modal asing terutama dalam sektor energi, berbagai perusahaan asing yang menguasai hampir 80% industri tambang bahkan BUMN akan lebih memilih melakukan transaksi internasional / menjual produk mentahnya keluar negeri, sekalipun menjual di dalam negeri, mereka menjualnya di berbagai SPBU asing yang mulai tersebar di kota-kota besar dan itu semakin tidak menguntungkan bagi kita.

Secercah harapan KEN yang lebih baik

Nasi memang sudah menjadi bubur, demikian adagium klasik untuk menyebut masalah yang terlanjur terjadi. Kebijakan kenaikan TDL kali ini memang sudah di sahkan oleh DPR dan Pemerintah serta sudah sangat dipersiapkan pelaksanaannya oleh PT PLN, namun bukan berarti kita sebagai konsumen atau rakyat harus terlelap dalam logika pasar dimana hanya yang mampu membayar lebih yang berhak mendapatkan pelayanan maksimal.

Kita harus pandai menempatkan diri dan menentukan sikap dalam iklim demokrasi yang seperti ini. Kehadiran kebijakan ini harus kita ekspektasikan sebagai pemecah gelombang sumbang dari berbagai class action tadi yang sering mengatasnamakan rakyat miskin. Karena kita tidak bisa terus menyalahkan PLN dalam hal ini, kita juga tidak bisa terus meneriakkan penolakan pada semua kebijakan Pemerintah yang malah menimbulkan gejolak sosial politik yang rentan ditunggangi kepentingan lain dan memperkeruh situasi.

Masyarakat memang harus lebih peka dan mengambil peran yang lebih partisipatif, namun harus pula konstruktif karena harapan kita adalah terwujudnya kesejahteraan sosial yang merata. Pemerintahpun harus menjawab berbagai masalah vital yang terus dipertanyakan oleh rakyatnya. Pemerintah kita harus mampu dan memberanikan diri menentukan sikap keberpihakannya pada rakyat mayoritas, peninjauan ulang berbagai kebijakan yang berpotensi menjadi blunder perlu dilakukan dan dibenahi.

Setidaknya memunculkan itikad serius menanggulangi krisis energi tanpa menambah beban rakyat. Memancing pertumbuhan dan perkembangan sektor industri kecil dan daerah, dan akan lebih baik lagi bila pola sentralisasi pengelolaan energi dirubah dan lebih memberikan peluang bagi Pemerintah Daerah memanfaatkan potensi energi di daerahnya masing-masing.

Pengelolaan sumber energi oleh Pemerintah daerah dan pemanfaatan berbagai sunber energi potensial dari daerah masing-masing, terutama non energi mainstream seperti, ampas produksi, bio energi, panas bumi, dan lainnya sangatlah baik untuk dikembangkan, mengingat Lampung pun memiliki potensi energi panas bumi yang cukup potensial di daerah Suoh Lampung Barat, belum lagi di daerah-daerah lainnya, semestinya ini bisa menjadi jawaban dari permasalahan pemenuhan energi listrik nasional disamping meninjau kembali kebijakan yang malah mempersulit Pemerintah menjalankan fungsinya mensejahterakan rakyat umum.
 ________________  
Bandar Lampung, Juni 2010

*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar