Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 04 September 2011

Opini : Demokrasi Memang Elitis !

Oleh : Saddam Cahyo**

Apakah demokrasi itu bersifat elitis ? pertanyaan seperti ini sering  terlontarkan, bukan saja dalam proses pembelajaran demokrasi di bangku kuliah, tetapi juga wujud keresahan masyarakat pada demokrasi yang kita terapkan. Demokrasi representative yang diperkenalkan Abraham Lincoln sebagai revolusi bentuk pemerintahan yang berasal dari kehendak rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat memang sangat ideal untuk kita cita-citakan.

Namun mengapa pertanyaan seperti disebut di atas kerap muncul? padahal Indonesia sudah menerapkan sistem demokrasi yang terbuka sejak reformasi. Catatan sejarah pembangunan demokrasi di Indonesia cukup mengesankan, tampak dari mekanisme memilih pemimpin dan wakil rakyatnya hingga tingkatan daerah dilakukan secara langsung dan terbuka, terjaminnya kebebasan pers, kebebasan menyatakan pendapat di depan publik, dsb.

Berbagai perdebatan mengenai demokrasi kerap kali malah menggiring kita melupakan substansi pemaknaan demokrasi itu sendiri. Sebagai konsep pemerintahan paling baik di dunia, tentunya memiliki maksud yang baik untuk mensejahterakan rakyat. Sejatinya demokrasi tidak bersifat elitis atau hanya dapat di akses dan berlaku bagi golongan masyarakat tertentu saja, melainkan sungguh-sungguh mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat umum untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang merata.

Pemilihan langsung, baik kepala daerah maupun wakil rakyat di parlemen merupakan salah satu mekanisme demokrasi yang sukses kita terapkan. Melalui pemilu, diharapkan rakyat dapat terwakilkan hak politiknya dalam membuat kebijakan publik di parlemen berdasarkan kepentingan objektifnya, begitupun harapan rakyat saat memilih kepala daerahnya secara langsung. Masyarakat dapat secara terbuka menggunakan hak politiknya sebagai warga negara, yakni hak untuk dipilih dan memilih.

Bisa dikatakan pemilukada merupakan bukti konkret sistem demokrasi representatif untuk keterwakilan suara rakyat di pemerintahan. Banyak capaian positif yang didapat dari penerapan mekanisme ini, seperti pendidikan politik massal, peningkatan potensi derah hingga memacu perekonomian lokal. Tentunya kita juga berharap pemaknaan dan praktik demokrasi lokal seperti ini adalah hak rakyat dan berlaku untuk semua kalangan sebagai warga negara yang sah.

Begitulah garis besar demokrasi yang kita idealkan, tetapi apakah semua itu sudah dapat kita nikmati saat ini ? beragam jawabannya, sebagian masyarakat mengatakan kita sudah berada pada tahapan pembangunan demokrasi yang sangat baik, hak politik rakyat sangat dihargai terutama dalam dalam pemilukada saat ini, sebagian lagi tidak pernah mempedulikan persoalan ini, sebagian lainnya mengatakan dengan lantang bahwa demokrasi Indonesia dengan alat Pemilukadanya hanyalah bentuk legitimasi segolongan masyarakat tertentu untuk berebut kekuasaan, dan rakyat mayoritas hanyalah objek kantung suara bagi mereka.

Tampak pesimis memang pendapat ketiga tadi, namun hendaknya kita tidak lantas menganggapinya pendapat yang reaktif dan sempit, kita harus mampu mengkontekstualkan pendapat tadi dengan realitas dalam Pesta demokrasi Pemilukada yang sedang berlangsung di berbagai daerah saat ini sebagai salah satu referensi berfikir kita apakah benar demokrasi memang bersifat elitis.

Menilai demokrasi di daerah

30 Juni 2010 lalu, serentak Pemilukada dilaksanakan di 6 Kabupaten/Kota di Propinsi Lampung. Rakata Institute mengatakan tingkat partisipasi publik rata-rata mencapai 75% dalam momentum pesta demokrasi daerah Lampung ini. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya moment ini bagi masyarakat kita, belum lagi pengamat politik Unila mengatakan bahwa masyarakat Lampung semakin cerdas memilih pemimpinnya, terbukti dari perolehan suara yang mengejutkan di tiap daerah dan pelaksanaan Pemilukada kali ini tidak diwarnai konflik besar yang mengganggu stabilitas.

Mungkin ada benarnya, bahwa tingkat kecerdasan masyarakat dalam memilih pemimpin daerahnya semakin meningkat, perlu diakui pemilu yang sudah sangat sering kita lakukan ini merupakan bentuk pendidikan politik, mengasah kecerdasan politik masyarakat umum. Semakin banyak organisasi masyarakat yang tumbuh saat ini dan mayoritas berafiliasi pada kepentingan politik tertentu dan memiliki kemampuan mobilisasi massa yang cukup signifikan.

Apakah semua catatan gemilang tadi sudah sesuai dengan tujuan demokrasi diatas ? tentunya kita harus jujur berkata tidak. Demokrasi yang semestinya mampu menjamin hak politik masyarakat umum bukan seperti yang saat ini kita rasakan, dimana masyarakat kita masih membudayakan politik untuk elit, melumrahkan bahwa yang dianggap pantas masuk dalam jajaran pemerintahan hanyalah golongan tertentu, yang memiliki modal material besar, popularitas atau yang memiliki garis keturunan pejabat. Sedangkan yang tidak memiliki basic seperti itu hanya diakui hak politiknya sebagai massa yang hanya dimobilisir suaranya, menjadi tim-tim sukses atau kalaupun ada yang mampu masuk ke dalam arena politik serupa harus melalui berbagai rintangan yang memberatkan dan tersingkir.

Bursa calon kepala daerah di 6 Kabupaten/Kota kali ini terkesan hanyalah mekanisme regenerasi elit dalam politik kekuasaan. Dari 32 pasangan kandidat, kita dapat melihat dengan jelas latar belakang masing-masing kandidat. Kebanyakan dari mereka adalah Incumbent, kerabat pejabat, artis dan pengusaha lokal. Jadi bisa dikatakan persaingan politik ini tidaklah sehat dan sesuai dengan cita-cita demokrasi, Pemilukada bukanlah ajang pertarungan melainkan mekanisme pengujian yang seharusnya bisa benar-benar menghasilkan pelaksana sistem pemerintahan daerah yang mewakili aspirasi dan kepentingan masyarakat umum di daerahnya, bukan sekedar pertarungan merebut simpati rakyat dengan berbagai cara dan berakhir pada perolehan suara saja.

Harapan kita terhadap demokrasi representatif atau keterwakilan yang diterapkan di Indonesia sejak reformasi lalu dengan inovasi Pemilukadanya, adalah membuka ruang seterbuka mungkin bagi masyarakat di daerahnya masing-masing untuk memanfaatkan semua potensi lokal termasuk SDM dalam hal hak politiknya untuk dipilh dan memilih, bukan hanya bagi masyarakat golongan elit lokal saja.

Sampai saat ini perlu kita sadari bahwa pemerintah pun masih melegitimasi demokrasi ’elitis’ seperti ini muncul melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sering mempersempit akses setiap individu potensial yang memiliki itikad baik masuk dalam bursa kandidat pemimpin, dan kultur yang berkembang dalam masyarakat masih melumrahkan praktik regenerasi elit ini. Ini memang bukan hal baru, pada Pemilu Legislatif 2009 lalu misalkan, tidak sedikit individu yang berlatar belakang menengah kebawah masuk dalam bursa kandidat, namun respon masyarakat sangatlah meragukan bahkan mencemooh.

Demokrasi akan semakin menjadi elitis bila kita tidak mencoba merubah paradigma konvensional tadi, kesenjangan antara pemerintah dan wakil rakyat dengan rakyatnya pun akan semakin merenggang dan bertemu hanya pada moment-moment tertentu seperti pemilu saja. Tentunya bukan keterpurukan demokrasi seperti ini yang kita harapkan, karena sejatinya demokrasi tidak bersifat elitis.
 ____________
 Bandar Lampung, Agustus 2010

*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar