Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 05 September 2011

Progresif : Kritik untuk Pandangan Globalisasi Kapitalistik


Oleh : Saddam Cahyo*

Neoliberalisme, kembali aku memulai tulisan dengan kata asing itu. Seperti yang dijelaskan pada tulisan sebelumnya, Neoliberalisme sebagai bentuk penjajahan gaya baru telah mampu menancapkan hegemoni strategi Globalisasinya sebagai suatu kelumrahan di kepala kita.
 
Pemerintah kita dengan bijak selalu menyisipkan semangat bagi kaum muda untuk pro aktif menyambut era globalisasi dalam setiap pidatonya, tidak luput para cendekia dan kaum intelektual pun dengan apik mengemasnya dalam sistem pendidikan, tampak dari menjamurnya ”sekolah layak pakai” yang siap mencetak pemuda Indonesia yang terampil, terdidik dan siap bersaing di arena Pasar Global.

Adalah bukan sebuah kesalahan konsep keterbukaan ekonomi ini, karena kebijakan proteksi yang sampai menutup diri pun tidaklah baik untuk perekonomian sebuah negara. Namun yang perlu kita sayangkan adalah ketika konsep keterbukaan ekonomi dimaknai sebagai ”arena bebas bersaing”, atas nama kebebasan, individu tidak lagi mampu membedakan hak dan kewajiban, tidak ada aspek moral sebagai pertimbangan dalam arena ini, bersaing adalah hak dan kewajiban ”alamiah” individu yang diakui dalam arena globalisasi kapitalistik macam ini.

Globalisasi yang sedang kita sambut ini aku sebut Globalisasi Kapitalistik, karena mutlak membawa sifat dasar ideologi Kapitalisme, yakni akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Globalisasi ini hanyalah strategi Kapitalime Neoliberal yang mulai digalakkan di akhir 80-an sebagai legitimasi penjajahan mereka di Negeri-negeri Amerika Latin yang sedang berkembang. Ketika itu mereka memanfaatkan kesempatan marasuk ke dalam negara berkembang  yang sedang dilanda krisis moneter dengan memberi injeksi dana melalui Depkeu AS, Bank Dunia dan IMF.

Bukan sebuah bantuan yang tulus tentunya, Negara yang sedang sakit itu harus kembali merasakan sakit yang lebih permanen setelah mendapatkan injeksi neoliberal karena harus menyepakati sebuah yang disebut Konsensus Washington. Konsensus itu mewajibkan negara yang didonor untuk melakukan kebijakan anggaran yang ketat atas nama efisiensi, diantaranya :

  1. Membuka lebar kesempatan pasar/kekuatan modal untuk berkuasa, mempreteli peran dan kewajiban pemerintah dalam sistem perekonomian.
  2. Memangkas anggaran kebijakan sosial, pemotongan subsidi pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya.
  3. Deregulasi, memangkas aturan hukum yang menjadi penghalang bagi penciptaan laba.
  4. Privatisasi, melepas pengelolaan/kepemilikan industri milik negara kepada investor swasta dan atau modal asing.
  5. Melemahkan konsep ”Kemaslahatan Bersama” , pada titik ini negara harus mulai membudayakan tanggung jawab dan resiko bersama menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh individu itu sendiri. Dari sini kita mulai menjudge ”malas” kepada si miskin yang dianggap tidak berhasil melalui tangga kehidupan oleh masyarakat.
 Kebijakan ini berusaha membuat kita lupa akan esensi pokok terbentuknya negara dan pemerintahan, yakni menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya.

Sudah semestinya bermunculan evaluasi kritis dari masyarakat terhadap kebijakan Globalisasi Kapitalistik yang semakin menampakkan wajah bengisnya. Bukan bermaksud untuk menyurutkan semangat belajar kaum muda Indonesia, tulisan ini hanya mengajak kita untuk bersama mengevaluasi Kebijakan Globalisasi yang sudah di depan mata dan kita yakini sebagai tahapan alamiah evolusi sosial masyarakat dunia yang tak terelakkan lagi.

Aku mencoba memberi sedikit gambaran lemahnya pandangan Globalisasi Kapitalistik ini dengan membandingkan mitos-mitos mimpi yang ditawarkannya dengan realitas sosial, pertama ; demokrasi dan kapitalisme dapat berjalan beriringan, faktanya kapitalisme justru menjadi alat perusak bagi pembangunan demokrasi, secara teroritis kapitalisme hanya mengkonsentrasikan kekuasaan ekonomi pada segelintir orang saja dan itu tidak demokratis. Kedua ;  globalisasi dipandang mampu mengakhiri kemiskinan, keuntungan memang akan dapat dicapai secara maksimal lewat globalisasi, namun itu hanya bagi segelintir orang yang mampu bertahan dalam persaingan, sedangkan mayoritas orang kalah akan terus bertambah dan ”terpelihara”. Ketiga ; globalisasi akan menghapuskan kelaparan dunia,  realitanya konsep itu sudah gagal dan malah memperburuk krisis pangan dengan tidak meratanya pendistribusian pangan, globalisasi produksi pangan telah menyingkirkan petani kecil dari tanahnya dan tegantikan oleh industri pertanian kimiawi yang penuh dengan mesin hingga tak mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Keempat ; Globalisasi itu ramah lingkungan, realitanya justru secara inheren bersifat merusak alam karena terus tertuntut permintaan pasar, produk dan jasa terus di distribusikan keseluruh penjuru dunia dan dengan alasan efisiensi anggaran produksi, globalisasi kerap kali mengesampingkan dampak buruk dari polusi, peningkatan konsumsi energi, penggunaan bahan kimiawi yang sulit terurai, dsb.

Masih berfikir bahwa Globalisasi Kapitalistik ini sebagai kelumrahan yang harus kita sambut meriah adalah sebuah kesalahan yang amat fatal bagi kesadaran massa rakyat dunia ketiga, karena itu hanya upaya ilusif mencegah potensi perlawanan rakyat sadar. Melawan frontal tanpa arah juga bukanlah pilihan cerdas yang masuk akal, setidaknya memunculkan wacana kritis di tengah massa rakyatlah yang harus kita budayakan, hanya persatuan, dengan kemauan dan kesadaran rakyat mayoritaslah yang mampu menjadi penyaring bagi serangan badai Globalisasi Kapitalistik ini.   
______________
Kotak Labirin, Oktober 2010

*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar