Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 04 September 2011

Opini : Tips "Bugar" Ala Si Miskin

Oleh : Saddam Cahyo*

Istirahat yang cukup dengan kualitas tidur maksimal, pola makan teratur, bergizi cukup, minum air putih dan berolahraga minimal 15 menit perhari adalah tips menjaga kebugaran tubuh untuk menjalani aktivitas harian yang sering kita dengar dari banyak paraktisi kesehatan. 

Namun tips ini tak berlaku bagi M. Yusuf (33) warga Jagakarsa Jaksel yang kini mengalami kebutaan, ia dan rekan-rekan sesama sopir angkot dan kebanyakan masyarakat lain yang kesehariannya disibukkan dengan aktifitas perekonomian sector informal kerap tak punya kesempatan untuk menerapkannya. karena keterbatasan dana dan waktu yang lebih utama dihabiskan untuk mengejar rezeki ditambah informasi kesehatan yang resmi cukup langka.

Memiliki kondisi tubuh yang bugar sudah menjadi tuntutan utama bagi masyarakat kelas menengah kebawah. Banyak cara yang mereka lakukan, dan khasiat cepat dan harga bersahabat tentu jadi syarat utama, jamu dan produk instant menjadi primadona pendongkrak stamina. Cukup dengan mengkonsumsi jamu / obat kuat 2-3 kali seminggu, makan dengan nasi warteg atau mie instant ditambah segelas air es plus minuman berenergi kemasan / kopi panas, serta sesekali menenggak minuman keras untuk menghangatkan tubuh sudah menjadi kebiasaan bagi kebanyakan orang.

Kebiasaan seperti ini sudah sejak lama dikenal, begitupun dampak buruknya bagi hidup masyarakat itu sendiri bukanlah hal baru, kita sangat sering mendengar atau membaca kabar keracunan, mengidap penyakit keras sampai pada kematian yang disebabkan berbagai cara instant menjaga kebugaran tadi. 11 dari 16 orang tewas dan 5 orang laiinnya mengalami gangguan saraf setelah menenggak jamu kuat racikan khas dari sebuah kios jamu daerah Jagakarsa Jaksel (Metro TV/23/8).

Meminum jamu dan suplemen kebugaran bukanlah hal buruk, asalkan benar-benar berbahan alami atau berbahan kimia dengan takaran yang terukur baik oleh Depkes. Persoalan kesehatan seolah terus menerus menjadi keluputan´bersama bagi berbagai pihak terkait meski UU No.8 tentang perlindungan konsumen sudah terbit sejak 1999 lalu. 

Seolah sudah menjadi hal biasa, berbagai pihak terkait justru hanya terfokus pada penangkapan pelaku peracikan jamu serta pengobatan secukupnya pada seluruh korban. Menguaknya kembali kasus keracunan pangan yang menyebabkan kematian kali ini tak boleh kembali sekedar menjadi wacana biasa tanpa penanganan dan upaya pencegahan yang nyata. 

Harapan mendesak
Saya teringat komentar mantan ketua PP Muhammadiyah Syafii Maarif dalam sebuah diskusi public yang membahas kompleksitas problematika bangsa. “Berbagai persoalan beruntun yang muncul ini memang sebuah kewajaran dan disebabkan banyak factor, namun pola kepemimpinan seharusnya dapat menjawab dengan cepat, tapi kini kata dan laku sudah tak lagi sejalan”. Pernyataan seperti ini memang kian banyak bermunculan dari berbagai kalangan dan meski terkesan sinis, ini perlu kita hargai sebagai bentuk kepedulian masyarakat akan perubahan bangsanya.

Ketidak selarasan antara kata dan laku pemerintah memang makin terasa dengan munculnya regulasi berbagai kebijakan yang dirasa kontraproduktif bagi pembangunan kesejahteraan rakyat terutama dibidang yang sangat pokok seperti pendidikan dan kesehatan yang di penuhi kemorat-maritan disana-sini. Belum lagi pernyataan Menkes Endang Rahayu S saat mengumumkan akan menganggarkan hingga 1 trilun untuk pelayanan persalinan gratis dua anak dengan syarat persalinan komplikasi, “Jangan lantaran gratis lantas terus-terusan melahirkan.” (Kompas, 21/8) meski pernyataan ini terkesan gurauan, namun hal ini akan terasa lain dan mengecilkan hati masyarakat menengah kebawah.

Cukup sudah masyarakat dibuat “lengah” di depan ancaman berbagai gangguan kesehatan hingga ancaman kematian akibat ketidakberdayaan  seperti ini. berita gembira yang perlu kita cermati adalah naiknya anggaran kementrian kesehatan sekitar 5 triliun, yakni 26,2 triliun pada RAPBN 2011 hampir 3% RAPBN meski sebenarnya amanat UU No.36 Th.2009 untuk mendorong anggaran kesehatan hingga 10% APBN.

Harapan mendesak masyarakat terhadap pemerintah adalah sesegera mungkin menyelaraskan kata dan laku. Penambahan anggaran yang disebut diatas tentu tak kan merubah apapun ditengah rentetan kenaikan harga kebutuhan hidup masyarakat terutama bila tekad serius tak pernah dimiliki pemimpin kita. Harus ada usaha optimal untuk pencegahan sejak dini, bukan hanya penanggulangan kasus dan pemberdayaan tenaga kesehatan yang kini kian bertambah harus dioptimalkan bersamaan dengan peningkatan kualitasnya. Sudah waktunya rakyat Indonesia berdaulat untuk terjamin hidup sehat di negerinya sendiri.
______________________
Bandar Lampung, 28 Agustus 2010

*)Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar