Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Sabtu, 31 Agustus 2013

Opini : Catatan Mempelajari Wiji Thukul




Oleh : Saddam Cahyo*

Tahun 2013 ini, genap tercapai usia ke-50 kalau memang fisiknya masih hidup, tapi sayangnya sampai sekarang kita tidak bisa mengetahui kabar tentang keberadaannya. Bahkan istri dan kedua anaknya pun masih dihantui rasa penasaran yang tak kunjung terjawab. Widji Widodo atau lebih populer dengan nama Wiji Thukul lahir di kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah pada 26 Agustus 1963 dengan latar belakang keluarga kurang mampu. Namun kondisi itu justru menempanya bukan menjadi manusia yang lemah, menurut orang-orang yang pernah berkenalan langsung dengannya, Thukul adalah pribadi yang sederhana tapi penuh percaya diri, berprinsip, bersemangat tinggi dan sangat cerdas, meski hanya lulusan SMP. 

Wiji Thukul adalah seorang seniman cum aktivis yang turut dihilangkan secara paksa oleh rezim Orde Baru Soeharto karena aktifitas seni kerakyatannya dianggap provokatif, subversif dan mengancam stabilitas negara. Sejak masa remaja ia sudah aktif menggeluti dunia seni teater dan sastra. Karya-karya ciptaannya terkesan nyeleneh, karena tidak membicarakan keindahan, justru cenderung penuh dengan nada-nada protes akan kenyataan hidup kaum pinggiran yang begitu sulit dijalani. Berbeda dari kebanyakan seniman di masanya yang alergi pada politik, Wiji Thukul dengan tegas melibatkan diri dalam aktivitas politik pergerakan dan menentang keras rezim militeristik Orba yang telah menciptakan keterpurukan Bangsa dengan menghamba pada kepentingan imperium modal asing.  

Wiji Thukul kini telah menjadi salah satu legenda dalam sejarah politik pergerakan di Indonesia.  “Hanya Ada Satu Kata : Lawan !” merupakan penggalan larik salah satu puisinya yang berjudul “Peringatan” telah menjelma ibarat kredo magis yang mampu membakar semangat bagi kaum aktivis pergerakan rakyat. Hingga sekarang, Ide dan cita-citanya masih terus hidup disuarakan lewat mulut-mulut manusia yang kian banyak membacai sajak-sajak miliknya. Bahkan sketsa gambar wajahnya pun telah menjadi simbol perlawanan terhadap segala bentuk ketidakadilan para penguasa yang menyengsarakan rakyatnya. 

Dalam surat puisi yang dibuat untuk ulang tahun ke-90 Sosiolog ternama Belanda yang punya perhatian besar bagi emansipasi rakyat Indonesia, WF Wertheim pada November 1997, Wiji Thukul menegaskan posisinya dengan berkata ;
Waktu mataku ditendang tentara dalam pemogokan buruh, dalam hati aku bilang mereka lebih ganas dari serigala.. Waktu aku jadi buronan politik karena bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik, namaku diumumkan di Koran, rumahku digrebek, biniku diteror.. diinterogasi..diintimidasi, anakku 4 tahun melihatnya!, masihkah kau membutuhkan perumpamaan untuk mengatakan : AKU TIDAK MERDEKA.

Spiral Kekerasan

Fenomena dihilangkannya Wiji Thukul beserta pahlawan reformasi lainnya, barangkali bisa terjelaskan melalui teori spiral kekerasan, dimana kekerasan akan terus melahirkan kekerasan lainnya yang dicetuskan oleh tokoh kemanusiaan Dom Helder Camara (Resist Book, 2005). Ia menerangkan bahwa dalam peradaban manusia selama ini, persoalan terbesar yang selalu memicu konflik adalah ketidakadilan dalam berbagai bentuk dan tingkatannya. Di negara dunia ketiga seperti Indonesia, ketidakadilan yang paling nyata dan mempengaruhi jutaan manusia adalah rendahnya taraf hidup yang tergolong dalam kondisi sub-human. Kondisi ini tidak lain adalah kemiskinan struktural, yang punya kemampuan membunuh massal sama efektifnya dengan perang, bahkan lebih dari itu kemiskinan menyebabkan kerusakan fisik, psikologis, dan moral yang sangat akut dan berkepanjangan. 

Fenomena ketidakadilan seperti inilah yang menurut Camara merupakan bentuk kekerasan paling utama dan mendasar. Kekerasan ini semakin terpelihara dan dimapankan oleh sistem hidup kapitalisme yang memberi privillage atau hak istimewa kepada segelintir golongan saja, sementara mayoritas orang akan bertahan hidup hanya jika mereka bekerja sekeras mungkin. Dalam proses berikutnya, situasi ini kian memburuk dan akan menciptakan kekerasan yang berikutnya yakni pemberontakan.

Pemberontakan nyaris selalu menjadi keniscayaan yang tercipta atas dasar ledakan harapan memenangkan masa depan dunia yang lebih adil dan manusiawi. Pemberontakan paling potensial dilakukan oleh kaum tertindas itu sendiri karena mereka yang paling merasakan sakitnya, namun jika rakyat sudah jatuh dalam fatalisme karena putus harapan setelah coba berjuang, maka kaum muda lah yang akan bangkit membuat pemberontakan. Kaum muda adalah kekuatan dari idealisme yang lapar akan keadilan dan haus akan otentisitas, mereka cenderung mengadopsi ideologi-ideologi radikal dan berani melakukan protes keras.

Ketika konflik meletus dan semakin meluas sampai ke jalan-jalan, para penguasa akan menganggap dirinya wajib menjaga dan memulihkan ketertiban umum. Sayangnya upaya mereka justru menciptakan kekerasan berikutnya, yakni represi penguasa. Logika kekerasan yang dianut pemerintah selalu merenggut korban yang tidak sedikit dan memilukan. Begitulah yang terjadi di Indonesia saat itu, dimana rasa penat rakyat tertindas berpadu dengan keresahan kaum muda telah menjelma menjadi sebuah pemberontakan terhadap penguasa lalim yang berdarah dingin, hingga akhirnya dobrakan reformasi negeri harus dibayar mahal dengan dihilangkannya Wiji Thukul serta pahlawan lainnya.

Melanjutkan Perjuangan

Tentu saya tak bermaksud mengajak kita menerima begitu saja keadaan ini, justru saya mencoba mengajak kita semua untuk tidak sekedar rutin mengenang mereka yang tewas atau hilang sebagai martir perubahan. Lebih jauh, saya begitu mengagumi, terinspirasi dan berharap lebih dari semua perjuangan penuh pengorbanan ini, tapi saya yang berasal dari generasi pasca reformasi 98, tentu punya jarak cukup jauh untuk mengetahui persis situasi heroik masa itu, hingga menjadi sulit untuk memiliki perasaan duka yang begitu dalam dan nyata atas kehilangan kawan seperjuangan seperti para pahlawan tersebut.
Dalam hal ini saya bermaksud mengapresiasi sekaligus menanggapi berbagai upaya serius dari banyak kalangan yang semakin berani terbuka menyatakan solidaritasnya menolak lupa pada sejarah kelam negeri dan menuntut pertanggungjawaban penguasa. Harus diakui bahwa kita yang peduli dengan persoalan ini tak boleh menyerah dan berhenti berjuang, mengingat penguasa masih bergeming dan masyarakat pun semakin lupa tak acuh. Belakangan semakin banyak dan mudah kita temui karya intelektual berupa buku maupun film dokumenter yang mengusung tema ini, khususnya kisah Wiji Thukul sebagai zoom in utama dalam menyoroti persoalan sejarah yang lebih luas dan kompleks.

Yang terbaru di tahun ini adalah liputan khusus majalah TEMPO edisi Mei 2013 yang sudah dibukukan oleh penerbit KPG dengan judul “WIJI THUKUL ; Teka Teki Orang Hilang”, bahkan juga sudah disiarkan berupa film drama dokumenter di channel TV One. Hanya saja, saya sedikit kecewa karena menangkap ada pergeseran semangat dalam berbagai upaya cemerlang pemberitaan Wiji Thukul yang tak pernah pulang ini. Sebagai penerima informasi, saya merasa semuanya ini seolah hanya bicara soal empati kemanusiaan (HAM) an sich, dan telah mencerabut substansinya, yakni perlawanan pada kesewenangan kekuasaan.

Bahkan dengan agak curiga, saya merasa telah terjadi penyelewengan makna dimana ada kepentingan media industrial sebagai pemilik hak siar untuk menggiring persepsi publik ke efek jera, bahwa fenomena sejarah pergerakan politik kaum tertindas sebagaimana yang Wiji Thukul lakukan ini adalah sebuah kesalahan besar yang patut disesalkan karena hanya akan melahirkan kesia-siaan bahkan kerugian yang tak ternilai harganya. Sedangkan bagi saya, ada tujuan lain yang sama urgensinya dengan tujuan mengingatkan sejarah kepada masyarakat, menuntut pertanggungjawaban negara, mendukung keluarga korban, dan menghormati serta mengenang mereka yang tewas dan hilang. 

Tujuan lain yang seharusnya tersampaikan itu adalah agar kita sadar betul bahwa cita-cita mereka belum sepenuhnya tercapai, dan perjuangan mereka pun harus terus kita lanjutkan hingga tuntas terwujud. Barangkali itu pula yang menjadi harapan dari Wiji Thukul terhadap kita semua, sebab dari karya puisi-puisinya selama menjadi pelarian buronan penguasa sejak akhir tahun 1996, tersirat bahwa  ia sadar penuh akan setiap ancaman dan konsekuensi dari perjuangannya menentang arus deras kesewenangan dan ketidakadilan. Seperti dalam puisi berjudul “Habis Cemasku” ia menulis ;
Habis cemasku kau gilas, habis takutku kau tindas, kini padaku tinggal tenaga mendidih ! segala telah kau rampas, kau paksa aku tetap bodoh, miskin dan nelan ampas, kini padaku tinggal tenaga mengepal-ngepal di jalan-jalan… aku masih tetap waras !

Sementara dalam puisinya berjudul “Ketika Datang Malam” ia menulis ;
Aku rakyatmu, hidup di delapan penjuru, kau tak bisa menangkapku, karena kau tak mengenalku, kau tak bisa mendengarkanku karena ka uterus berbicara.. dengan mulut senapan.. kau tak bisa menguburkanku, kau tak bisa menyembuhkan lukaku, karena ka uterus berbicara, dengan tembakan dan ancaman, dan penjara.

Bahkan dalam puisinya yang dibuat pada 18 Juni 1997 ia menulis ;
Puisiku bukan puisi, tapi kata-kata gelap, yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan, ia tak mati-mati, meski bola mataku diganti.. meski bercerai dengan rumah.. telah kubayar yang dia minta, umur-tenaga-luka, kata-kata itu selalu menagih, padaku ia berkata, kau masih hidup, aku memang masih utuh, dan kata-kata belum binasa.

Menarik Pelajaran

Wiji Thukul memang harus mampu kita apresiasi lebih dari sekedar sebagai seorang martir perubahan, apalagi sekedar korban pelanggaran HAM berat oleh negara otoriter yang tak tahu malu. Ia adalah manusia pembebas zaman, perjuangannya yang begitu keras telah dibaktikan untuk negeri dan bangsanya. Kita yang masih beruntung dan menikmati buah perjuangannya ini haruslah malu kalau tak mampu mempelajari ilmunya, ya meski Wiji Thukul bukan seorang intelektual kampus dengan sederet gelar akademik, tapi ia patut dianggap sebagai cendekianya kaum melarat Indonesia. 

Buah fikirnya yang terwujud dalam bait-bait sajak telah mampu menggugah dan mencerahkan banyak orang, bahkan menginspirasi terciptanya perlawanan rakyat. Upayanya mengamen puisi keliling di sekitar tahun 1986an telah memupuk kepekaannya terhadap realitas penindasan, sejak saat itu ia meyakini bahwa “Sastra punya kekuatan politik yang tak disadari dan dioptimalkan pekerjanya, sastra itu berbahaya, dengan tidak tahu soal politik, kita mudah saja dipermainkan, kita harus jadi pelaku, bukan objek, dan seniman harus memperjuangkan gagasannya ini.” Tegas seniman kerakyatan dalam sebuah majalah. 

Wiji Thukul hidup dalam tempaan belenggu kemiskinan dan hanya bekerja jadi tukang pelitur meubel, tapi ia tidak pernah tinggal diam, mewakili kaumnya ia merasa tersadarkan bahwa kemiskinan yang dideritanya disebabkan oleh sistem hidup yang dikuasai oleh keserakahan segelintir kaum elit, dan kenyataan pahit itu bukanlah sesuatu yang alamiah, melainkan rekayasa penguasa yang harus didobrak. Untuk memahami gagasannya dengan baik, tak ada cara lain selain mempelajari karya-karyanya serta perjalanan hidupnya. Kita bisa mencobanya dengan membacai puisinya yang telah dibukukan, seperti dalam “Aku Ingin Jadi Peluru” terbitan Indonesia Tera 2000/2004, atau “Para Jenderal Marah-marah” terbitan TEMPO 2013.

Wiji Thukul dianugerahi penghargaan Wertheim Encourage Award oleh Wertheim Stichting Belanda pada tahun 1991 di bidang sastra dan seni teater sosial untuk jasa emansipasi rakyat Indonesia.  Sejak itu ia makin menunjukkan loyalitasnya pada perjuangan kaum tertindas, tahun 1992 pertama kali turut mengorganisir masyarakat di kampungnya, Jagalan-Pucangsawit untuk memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil PT Sariwarna Asli Solo. Namanya semakin menggema di jagat pergerakan, tahun 1994 diundang sebagai peserta Konferensi Serikat Buruh Asia Pasifik di Perth, Australia, disana ia mementaskan drama perjuangan buruh. Maka dimulailah petualangannya memperjuangkan kebebasan sipil melalui demonstrasi jalanan di berbagai kota, hingga ia bersentuhan dengan beragam sektor gerakan rakyat seperti kaum buruh, tani, dan mahasiswa yang semakin memajukan kualitasnya.

Wiji Thukul menyadari akan pentingnya sebuah organisasi yang solid sebagai alat perjuangan yang efektif, termasuk bagi para seniman. Karena itu pada tahun 1994 bersama para seniman progresif lainnya seperti Semsar Siahaan, Linda Christanty, Rahardja Waluya Jati, Hilmar Farid, Danial Indrakusumah dan Moelyono, mendirikan organisasi Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (JAKKER) dan ia diminta menjadi ketuanya. Jakker mencoba membangun jaringan yang dapat menghimpun para seniman progresif kerakyatan dari berbagai kota untuk berposisi tegas sebagai oposan pemerintah. Selanjutnya ia turut aktif berperan dalam pembentukan maupun perjuangan organisasi massa tingkat nasional lainnya seperti Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan Serikat Tani Nasional (STN). 

Tahun 1995 Wiji Thukul harus menerima kebutaan mata sebelah kirinya karena ditangkap, dipukuli dan dipopor oleh tentara setelah memimpin demonstrasi pemogokan 14.000 buruh PT Sritex. Aksi massa ini boleh terbilang fenomenal bagi gerakan protes di masa Orba, mengingat pemilik sahamnya adalah Harmoko dan sederet jenderal Angkatan Darat yang tak pernah digugat sebelumnya. Namun seperti dalam puisi yang ditulis pada November 1996 ia berkata ;
Kau lempar aku dalam gelap, hingga hidupku menjadi gelap, kau siksa aku sangat keras, hingga aku semakin mengeras, kau paksa aku terus menunduk, tapi keputusan tambah tegak, darah sudah kau teteskan dari bibirku, luka sudah kau bilurkan ke sekujur tubuhku, cahaya sudah kau rampas dari biji mataku, derita sudah naik seleher, kau menindas, sampai luar batas.

Wiji Thukul memang tidak menyerah dan putus harapan, bersama organisasi massa yang dipimpin kaum muda oposan rezim otoritarian Soeharto lainnya, ia justru membangun organisasi payung lintas sektoral berbentuk partai politik, yakni Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dideklarasikan pada 22 Juli 1996 di Jakarta. Namun sayangnya, lima hari setelah itu  Pemerintah bereaksi semakin represif dan mengkambinghitamkan organisasinya sebagai dalang kerusuhan, bahkan dicap sebagai organisasi terlarang dan secara resmi dibubarkan paksa, para aktivisnya diburu, ditangkap, dan disiksa. 

Tapi sekali lagi, Wiji Thukul yang sudah resmi menjadi buronan politik, bersama teman-teman PRDnya tetap terus bergerak melawan meski harus dilakukan secara klandestin, dengan alur koordinasi yang disiplin dan penuh penyamaran, serta dengan memunculkan komite-komite aksi spontan dan taktis. Hingga akhirnya mereka mampu menyulut protes rakyat yang lebih luas dan berujung pada tergulingnya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998. Tapi ternyata hilangnya Wiji Thukul barulah disadari betul pada tahun 2000, setelah berbagai usaha pencarian dengan bantuan berbagai pihak bahkan solidaritas internasional menghadapi jalan buntu.

Dari riwayat perjuangannya yang begitu pahit, kita semestinya menangkap betapa ia merupakan pejuang rakyat melarat yang cita-citanya begitu besar dan indah, perjuangannya begitu gigih dan tak kenal menyerah. Wiji Thukul bukanlah sekedar korban pelanggaran HAM, dia merupakan cendekia pembebas kaumnya, lewat puisi-puisinya kita bisa melihat betapa luas pengetahuannya, betapa besar perhatiannya kepada berbagai persoalan penindasan yang dialami mayoritas rakyat di negerinya, tentu ia bukanlah manusia terbaik yang Bangsa ini miliki, tapi ia adalah sebuah lembaran penting dalam pelajaran sejarah Indonesia kontemporer. 

Barangkali inilah saatnya saya menyimpulkan, bahwa yang terpenting dari mengetahui sosok Wiji Thukul sekarang ini adalah dengan terus menghidupkannya dalam dunia kita, mempelajari gagasannya, dan menuntaskan perjuangannya. Indonesia yang ia cita-citakan belumlah terwujud, Bangsa ini masih terbelenggu oleh ekonomi politik gaya baru yang berjuluk Imperialisme-neoliberal, para penguasa kita sibuk memperkaya diri dan menggadaikan negeri kepada investor modal asing, anak-anak kita masih sulit mengakses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, lapangan pekerjaan yang layak pun masih menjadi misteri yang tak bisa dijawab. 

Sebagai penutup, petikan puisinya ini semestinya patut kita renungkan untuk menghargai Wiji Thukul lebih besar lagi ;
Kutundukkan kepalaku, bersama rakyatmu yang berkabung, bagimu yang bertahan di hutan dan terbunuh di gunung.. aku penyair mendirikan tugu, meneruskan pekik salammu, a luta continua..
Kutundukkan kepalaku, kepadamu kawan yang dijebloskan ke penjara negara.. kepadamu ibu-ibu, hukum yang bisu telah merampas hak anakmu.. Kita tidak sendirian, Kita satu jalan, Tujuan kita satu ibu : Pembebasan !
Kutundukkan kepalaku, kepada semua kalian para korban, sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk, Kepada penindas, tak pernah aku membungkuk, aku selalu tegak.
 (4 Juli 1997)
_________________
Bandar Lampung, 28 Agustus 2013.
*) Aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.

Dimuat di portal tikusmerah.com pada Jumat 6 September 2013

Sumber artikel : http://tikusmerah.com/?p=927


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar