Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 04 September 2011

Opini : Gejolak Frustasi Sosial Bukan Hal Sepele

Oleh : Saddam Cahyo*

Dalam setahun ini sudah tak terhitung lagi berapa jumlah kekerasan massa yang meledak. Setidaknya sejak bulan april tercatat ada tujuh kasus penting kekerasan massa sebelum Tragedi Tarakan, berbagai kasus ini terjadi pasca munculnya gerakan masyarakat yang menyerang balik aparat satpol PP saat melakukan penggusuran di seputaran wilayah makam Mbah Priok Jakarta Utara lalu.

Arus deras kemarahan massa yang semakin mengarah pada horizontal conflict ini telah menjadi sebuah polemik dan pukulan keras bagi pembangunan masyarakat di negeri ini. Secara rutin, berbagai media massa mewartakan bermacam berita serupa yang membuktikan telah terjadinya keresahan general yang memuncak dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia.
Kesimpulan para pakar sosial menilai maraknya kekerasan oleh masyarakat yang merugikan hingga berjatuhan korban belakangan ini merupakan bentuk respon klimaks frustasi sosial yang timbul karena menumpuknya rasa kekhawatiran dan keresahan akan ketidak pastian jaminan kesejahteraan sosial di negeri ini (TV One,4/10).  
Perlu disadari, masyarakat semakin hari kian frustasi memahami kondisi karut-marut yang terjadi di depan mata mereka. Begitu kompleks aspek pendorongnya, mulai dari penurunan kualitas dan akses pendidikan, ketidak konsisten dan keidak pastian jaminan hukum, konflik elit birokrasi yang terus dipublikasikan tetapi kian berlarut, biaya hidup yang terus meroket tanpa diimbangi tingkat pendapatan, kerumitan prosedur birokrasi dan administrasi, minimnya lapangan kerja, terorisme dan kriminalitas, hingga berbagai ancaman bencana alam sebagai dampak eksploitasi alam yang tak terkendali.
Menanggapi masalah ini, Presiden SBY meminta Kepolisian untuk terus melakukan upaya preventif dan meningkatkan komunikasi serta kerjasama dengan masyarakat luas sebagai bentuk pencegahan untuk memastikan tak merebaknya konflik. Namun upaya ini akan sangat sulit membuahkan hasil yang optimal mengingat belakangan ini tingkat ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum kian meningkat, hingga mendorong merebaknya perilaku main hakim sendiri.
Low intensity conflict berupa terorisme, mafia, premanisme, perdagangan narkoba hingga konflik kepentingan kelompok maupun konflik primordial memang menjadi momok utama yang paling merepotkan bagi Negara dunia ketiga pasca berakhirnya perang dingin. Namun dampak yang ditimbulkan tidaklah sepele, hal ini bisa sangat mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Permasalahan sosial seperti ini tentu tak berdiri sendiri, Dom Kelder Camara dalam teori spiral of violence menyebutkan bahwa rasa ketidakadilan adalah pemicu utama munculnya berbagai permasalahan dalam masyarakat. Ketidak adilan melahirkan kesenjangan, kemiskinan, kelaparan, agresivitas emosi serta kedangkalan berfikir yang menyuburkan frustasi sosial. Dari sini kita mendapat gambaran akan bahayanya distribusi pembangunan yang tidak adil bagi kedaulatan nasional negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Untuk itu penulis menilai pentingnya upaya nyata yang jauh lebih tanggap dari pemerintah beserta jajarannya, terutama melalui pendekatan kesejahteraan jangka panjang seperti penciptaan lapangan kerja serta peningkatan kualitas hidup masyarakat. Karena jika terus di abaikan, kekerasan dan kekejaman akan semakin menguat, mengakar dan lambat laun mengalami proses pelembagaan, tentunya kita semua tak pernah mengharapkan kondisi seperti ini kian parah dan mengesankan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara yang rapuh.
_____________
Bandar Lampung, 8 oktober 2010
*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila






Tidak ada komentar:

Posting Komentar