Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 04 September 2011

Opini : Mempertanyakan Konsistensi Partai Politik

oleh : Saddam Cahyo*

Saat ini memang sebuah era baru dalam sistem perpolitikan Tanah Air. Kita tak lagi dihadapkan pada situasi awal kemerdekaan dimana mayoritas rakyat masih buta politik dan panggung perpolitikan diwarnai ragam corak partai yang beridelologi dan berbasis massa real, atau situasi era Orde Baru dimana rakyat dihadapkan pada hegemoni kekuasaan tunggal yang penuh presure. Babak baru ini kerap disebut era reformasi yang demokratis dan terus berkembang pesat.

Menanggapi tulisan saudari Sekar Sari berjudul “Adakah partai pembela rakyat?” pada Harian Lampost edisi 7 Juli 2010 lalu, saya sangat mengapresiasi pesan yang disampaikan terkait konsep ideal yang harusnya menjadi dasar berdirinya dan mekanisme sebuah Partai Politik.  Dalam ide demokrasi representatif yang kita adopsi, komunikasi politik antara eksekutif sebagai tampuk pelaksana pemerintahan dengan rakyatnya dijembatani oleh dua sarana, yakni media massa yang kompeten dan partai politik sebagai mekanisme penyaluran wakil rakyat secara langsung dalam legislatif.

Partai politik harus muncul atas inisiatif masyarakat untuk memiliki sarana menyatukan ragam persepsi dan menekankan pada representasinya dalam proses penentuan kebijakan publik di parlemen, parpol juga harus mengutamakan regulasi yang pasti untuk mengadvokasi / berperan aktif menyelesaikan persoalan dan membangun masyarakat.

Runtutan fenomena politik Tanah Air saat ini menunjukan corak yang sudah bergeser dari konsep ideal tadi. Demokrasi langsung (urform) kerap hanya menjadi pembenaran bagi segelintir pihak yang tak bertanggung jawab yang mengilusi kesadaran massa untuk kepentingannya berkuasa saat momentum politik akbar saja. Sebagai dampaknya, Partai pun mengalami degradasi kepercayaan dalam paradigma masyarakat.

Timbul tenggelamnya partai baru yang tak memiliki syarat ideal dalam ajang pemilu, partai politik besar yang cenderung bersikap pragmatis di parlemen, tak tampaknya lagi parpol-parpol yang berideologi dan berbasis massa real seperti era Orla, dan mobilisasi momentumal tanpa adanya regulasi advokasi bagi permasalahan yang dihadapi rakyat menjadi dasar pemikiran yang mempertanyakan masih adakah partai politik se-ideal tadi.

Sedikit catatan, bahwa dikatakan Partai politik tidak hanya partai yang berhasil lolos verifikasi pemilu saja. Berdasarkan UU Partai dan UU pemilu, syarat berdirinya Parpol harus memenuhi aturan baku seperti basis massa, atribut, dan terdaftar dengan AD/ART berakta notaris dan mendaftar pada Dep Kehakiman dan HAM. Karena itu, kita tidak bisa menggeneralkan bahwa tidak ada lagi parpol yang berideologi dan berbasis massa real lengkap dengan regulasi tetap dalam proses advokasi persoalan rakyat dan terus membela kepentingan rakyat mayoritas.

Kita tidak boleh menegasikan adanya partai-partai yang masih berdiri ditengah masyarakat meski tidak ikut serta pemilu dan masih terus berperan aktif membangun masyarakat meski tidak optimal karena ada di jalur non electoral ataupun partai pemenang pemilu di parlemen yang masih memiliki idealisme. Seperti PKB yang sempat bertransformasi menjadi partai advokatif dengan mengakomodir penyelesaian masalah buruh migran yang kebanyakan kaum Nahdiyin, PDI P yang memiliki basis kultural di beberapa daerah dan kolektifitas anggotanya di daerah, PKS yang diwarnai semangat muda intelektual muslim dengan ormas-ormasnya yang aktif dan rutin tampil terbuka menyatakan pendapat di jalan atau partai besar lainnya.

Kita juga masih memiliki Partai non electoral yang memiliki sikap kritis dan konsisten berada ditengah basisnya membangun masyarakat seperti Hizbut tahrir Indonesia yang berbasis massa real dan rutin memberi pendidikan politik massal lewat berbagai media meski tidak memilih ikut pemilu atau Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang menoreh catatan sejarah dalam proses pencapaian reformasi dan pernah ikut serta pemilu legislatif 1999 yang kemudian terkikis karena terhambat berbagai kebijakan pemerintah.

Masyarakat mungkin sangat asing mendengar adanya parpol diluar pemilu yang masih berdiri dan memiliki pengaruh dan peran yang signifikan dalam masyarakat, karena kita hanya disuguhi pendidikan politik praktis saja. PRD misalkan, partai  yang didominasi aktivis mahasiswa itu masih menerapkan pola advokatif terhadap persoalan masyarakat, baik persoalan kasuistis / konflik sosial maupun kesejahteraan sosial seperti kesehatan dan pendidikan serta memiliki basis massa real melalui ormas-ormasnya.

Tak bisa ditampik, keseluruhan yang dijabarkan tadi tidaklah berjalan optimal karena berbagai persoalan, terutama pengaruh budaya mainstream yang cenderung mengarahkan tiap individu untuk berfikir hanya dengan akal sehat/pragmatis. Dari berbagai analisa pakar yang mengatakan bahwa masyarakat kita semakin cerdas pengetahuan politiknya, diaharapkan semakin dewasa dalam menilai dan mendorong kembalinya praktik advokatif  yang solutif dari seluruh partai politik seperti yang kita harapkan sebagai semangat baru yang akan mewarnai dan membenahi kancah perpolitkan tanah air dan mengembalikan kepercayaan rakyat.
_______________
Bandar Lampung, Juli 2010

*) Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar