Oleh
: Saddam Cahyo dan Nyoman Adi Irawan*
Provinsi Lampung
ternyata juga masuk kategori wilayah yang teristimewa, tapi dalam hal polemik
penetapan jadwal Pemilihan Gubernurnya yang maju-mundur dan melelahkan. Berbeda
dengan 42 Kepala Daerah se-Indonesia lainnya yang habis masa jabatan pada tahun
2014, seperti pelaksanaan Pilgub Jawa Timur dan Pilbup Lampung Utara yang sudah
terlaksana dengan baik. Bagi sebagian masyarakat Lampung, barangkali ini
hanyalah polemiknya kaum elit politik, atau ibarat drama sinetron picisan yang
menjenuhkan dan menjengkelkan tapi terus disiarkan. Pasalnya, polemik panjang
ini sudah dimulai sejak pertengahan tahun 2012 lalu, dan hingga bulan September
2013 ini belum juga ada kepastian jadwal pelaksanaan yang tetap, padahal masa
jabatan Gubernur akan habis pada Juni 2014, begitupun dengan jadwal Pileg dan
Pilpres yang semakin dekat.
Benang
Kusut Persepsi
Secara prinsip hal ini
tentu sangat merugikan seluruh masyarakat Lampung, meski sebenarnya persoalan
ini tidaklah terasa secara langsung dampaknya bagi kehidupan mereka. Berlarutnya
polemik Pilgub bukanlah hal baik yang harus kita banggakan sama sekali, justru
ini sebuah preseden buruk yang memalukan daerah, karena sudah berulang kali
Lampung mencatatkan sejarah buruk di momentum pesta demokrasi lima tahunan ini.
Bermula dari terbitnya SK KPUD Lampung No.75/Kpts/KPU-Prov-008/2012
tertanggal 11 September 2012 tentang penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013, yang menegaskan putaran pertama akan
dilakukan pada 2 Oktober dan putaran kedua disiapkan pada 4 Desember. Gubernur pun
bereaksi menolak untuk menganggarkannya dalam APBD-P 2013, dan berharap Pilgub
diundur hingga tahun 2015 dengan pertimbangan belum adanya dasar hukum yang
kuat, karena RUU Pemilukada belum disahkan oleh DPR RI.
Perdebatan pun
berlanjut dan mulai melibatkan elemen masyarakat baik yang pro maupun kontra. Kementerian
Dalam Negeri dan DPRD Provinsi yang punya kewajiban menengahi pun tidak cukup
tegas mengambil sikap, dan dengan cara yang plin
plan justru memperkeruh keadaan. Upaya mediasi pertama di Hotel Sheraton
pada akhir 2012 ternyata hanya menghasilkan kata islah, sementara polemik tarik ulur kepentingan justru makin
menjadi. Berbagai tawaran solusi pun muncul kemudian, seperti Gubernur
mengatakan dana akan disediakan pada APBD 2014 dan boleh dilaksanakan di bulan
januari, Mendagri menawarkan jadwalnya dibarengi dengan Pileg pada april 2014.
Opsi lain yang pernah
ditawarkan adalah terbitnya Perppu oleh Presiden RI, bahkan sempat muncul
wacana solusi agar para calon yang sedang menjabat kepala daerah, untuk
sementara urunan sebesar 50 Milyar dari dana sisa bagi hasil APBD
masing-masing.Terakhir, KPUD melalui pleno bersama KPU Pusat menetapkan jadwal mundur
ke tanggal 2 Desember untuk putaran pertama dan 2 Februari untuk putaran kedua,
ini tertuang dalam SK No.47/KPU-Prov-008/2013 tanggal 9 September dan sudah
disosialisasikan kepada Mendagri, KPU Pusat, Parpol, DPRD, dan para calon gub-wagub.
Maju mundurnya jadwal
tetap pelaksanaan Pilgub ini memang terutama disebabkan oleh tidak pastinya
ketersediaan anggaran oleh Pemprov Lampung. Hingga sekarang, belum juga tampak
akan adanya pembahasan porsi anggaran APBD-Perubahan yang diharapkan dapat
menyediakan dana untuk Pilgub yang berkisar angka 300 milyar rupiah tersebut. Bahkan
saat tim Kemendagri datang pada 19/8 kemarin pun anggaran dinyatakan Rp.0,-.Akhirnya
tahapan yang sudah dimulai seperti pemeriksaan tes kesehatan rohani dan jasmani
,serta pengadaan barang dan jasa untuk logistik Pilgub pun harus tertunda. Kemudian
ada pula wacana KPU akan menggugat Pemprov
ke MK terkait sengketa wewenang, karena APBD memang satu-satunya jalur
pendanaan yang diamanatkan UU, namun tindakan ini tentu akan semakin
memperpanjang nafas polemik.
Semangat
Demokratisasi
Secara substansial,
demokrasi bukanlah sistem politik atau kekuasaan yang menjelma seperti festival
individualisme dan prosedurialisme belaka, melainkan sangat mengutamakan partisipasi
aktif seluruh masyarakatnya, karena cita-cita demokrasi adalah membangun
kesejahteraan umum (Donny Gahral, 2010). Untuk itu tidaklah baik kalau sampai
polemik ini dibiarkan berkepanjangan, dan berakibat pada meningkatnya
kekecewaan publik pada sistem demokrasi yang sedang berlangsung. Tingginya
angka golput haruslah dicegah, apalagi dengan tahapan yang normal pada Pilgub
Lampung 2008 saja angka golput sudah mencapai kisaran angka 30 %, bertepatan
dengan standar minimal nasional.
Dengan diperpanjangnya masa jabatan 5 orang
komisioner KPU Lampung hingga pelantikan Gubernur terpilih periode 2014-2019
melalui SK KPU-RI No.0/Kpts/KPU/Tahun 2013 Tertanggal 12 September, dan dengan
landasan hukum UU No.32 Tahun 2004, PP No. 6 Tahun 2005 dan Peraturan KPU No. 9
Tahun 2010, maka tahapan yang tertunda patutlah segera dimulai kembali. Semua
pihak harus lebih tegas, pro aktif, dan berniat tulus menuntaskan persoalan,
tak hanya Gubernur Lampung yang memegang kunci utama anggaran, tapi juga
Mendagri yang berkewajiban konsisten dengan keputusan Surat Edarannya, serta
DPRD Provinsi yang berhak terlibat mekanisme anggaran pun harus konsisten,
sebab semua cagub-cawagub adalah representasi dari partai politik. Yang pasti
adalah masyarakat Lampung menginginkan perubahan dan membutuhkan kepastian,
jangan sampai polemik elit yang tidak substansial ini melukai harapan publik,
sebab rakyat adalah pemilik sejati demokrasi.
_____________________
*)
Sekretaris dan Ketua LMND Eksekutif Wilayah Lampung Mahasiswa FISIP dan FKIP Unila.
Dimuat pada Surat Kabar Harian SENATOR, 27 September 2013
Dimuat pada portal berita berdikarionline.com (BO), 28 September 2013
Dimuat pada harian cetak LAMPUNG POST (Rubrik Voting), 2 Okt 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar