Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Sabtu, 16 Oktober 2021

FRIKSI : Teruntuk Buku dan Belenggunya

                             TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 

" BOOKLOVA: Kumpulan Kisah Seru Para Pecinta Buku " dari Rumah Produktif Indonesia



Teruntuk Buku dan Belenggunya

Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

 

Bagaimana bisa aku menyebut buku sebagai belenggu? Lancang sekali kiranya. Bukankah ia dipuja dengan julukan si jendela dunia? Betapa manusia modern selama ini begitu takjimnya pada aksara, kepada kitab-kitab, dan para cendekia yang hidup berkelindan dengannya demi mencerahkan seisi dunia.

Buku ibarat monumen sejarah peradaban. Ia menjadi penanda terkuburnya zaman gelap pra sejarah. Tatkala manusia belum mengenal sistem bahasa yang kompleks dan konon nyaris berperilaku setengah binatang. Ya, buku adalah cermin kemajuan alam pikir manusia yang bervolume otak lebih besar karena kegigihannya berevolusi.

Sulaman Aksara Pengetahuan

Lewat rangkaian huruf yang disemat dan disulam dengan apik dalam gulungan kulit hewan, lembaran daun kering, ukiran tulang belulang, sampai goresan tinta pada kertas, segala macam pengetahuan, pengalaman, kesan, dan angan-angan kehidupan dicatat untuk bisa dipelajari. Orang-orang besar dan pemimpin di masa lalu bahkan identik dengan buku-buku yang dikaryakannya semasa hidup

Tradisi literasi yang mulia ini memanglah pencapaian luar biasa bagi peradaban manusia. Bagaimana tidak? Ia menjawab keresahan para tetua nan bijaksana, soal hidup yang harus diisi dengan mencecap segala pengalaman dan belajar darinya untuk kebaikan di masa depan. Namun, akungnya umur dan kemampuan manusia untuk bisa mengalami banyak hal sangatlah terbatas.

Kehadiran buku sebagai teknologi mutakhir dalam denyut nadi zaman telah sungguh-sungguh mengukuhkan keadaban manusia. Lebih jauh, buku-buku yang kian banyak diciptakan dan dipelajari di seantero penjuru dunia kemudian melahirkan budaya keilmuan. Ilmu pengetahuan sebagai sistem pengetahuan yang terstruktur dan terukur kian berkembang, pun demikian dengan pengajarannya.

Bahkan jika menengok banyak catatan sejarah di masa lalu, soal kerajaan-kerajaan mashur yang berhasrat tinggi membangun imperium dengan meluaskan kuasanya di muka bumi lewat jalan perang. Mereka tidak hanya membantai pasukan dari negeri lawan, tak sekedar meruntuhkah ajaran agama lokal, bukan cuma memperbudak rakyatnya, tapi juga membumihanguskan dan menjarah perpustakaan. Itu karena mereka sadar betul betapa buku adalah sumber ilmu pengetahuan yang harus dikuasai jika ingin berkuasa penuh.

Model kejahatan peradaban seperti ini terus diduplikasi meski zaman telah berubah. Di masa awal gerakan kolonialisme negeri-negeri barat atas dunia, mereka tidak berpuas diri dengan hanya menaklukan tanah jajahan dan menguras segala potensi kekayaannya. Bangsa-bangsa superior itu juga merasa berhak atas segala pencapaian pengetahuan bangsa jajahannya.

Tak ayal, sudah menjadi rahasia umum, entah berapa ton pastinya kitab-kitab kuno para leluhur Nusantara yang dirampas oleh Belanda dan tak kunjung dikembalikan sampai sekarang. Belum lagi akan tambah memilukan jika mengulik aneka koleksi artefak dan arsip asal tanah jajahan di museum negeri adidaya semacam Inggris, Prancis, Spanyol, dan sebagainya.

Mereka sadar betul cara ini adalah bagian utuh dari strategi penjajahan. Betapa jika sebuah bangsa yang telah menyusun hidupnya sendiri, lalu ditaklukan dan dirampas sumber ilmu pengetahuannya, ia akan melahirkan generasi yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa penjajahan di atas dunia bukanlah keniscayaan ilahi. Inilah kunci sukses kejayaan hingga sanggup membagi-bagi belahan dunia dalam genggaman kuasa selama ratusan.

Aku dan Buku

Lantas bagaimana urusanku dengan buku? Barangkali tulisan ini akan menjadi terlalu pribadi dan bernada subjektif. Bisa juga uraianku dianggap pesimistik, meski sesungguhnya tidak ditujukan demikian. Tak mengapa, karena telah menjadi hak mutlak pembaca untuk menafsirkan segala tulisan yang diterbitkan. Penulis tidak lagi sepenuhnya berhak menentukan makna. Bahkan jika ia sibuk memberi penjelasan, hanyalah menjadi khutbah di tengah lautan.

Bermula dari kebiasaan yang ditularkan mendiang Ayahku dengan ratusan koleksi bukunya. Beberapa bulan sekali, ia akan memaksaku untuk membantunya membersihkan debu dan merapihkan kembali susunan buku dalam rak-rak sesuai tema. Beberapa ia perlakukan khusus dengan bungkusan plastik transparan agar tak rentan rusak. Di tengah proses itu, ia akan mengulas kisah dibalik buku yang mengesankannya, entah karena isinya atau cara mendapatkannya. Beberapa ceritanya kadang sudah pernah diulang berkali-kali.

Si kecil aku, hingga masa remaja masih merasa jika ini hanyalah siklus yang memuakkan. Tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari telah mulai terhabituasi dengan tumpukan buku-buku. Di kolong ranjang kasur tidurku misalnya, entah sudah berapa banyak buku yang tersusun rapih dalam kardus-kardus. Meski semuanya hanyalah buku komik bergambar yang hampir setiap hari kubeli di toko loak sepulang sekolah.

Mulai dari cerita yang paling sederhana dan jenaka, hingga akhirnya mulai mengeja novel-novel yang kompleks. Aku semakin larut merenangi samudera aksara. Kemanapun, di manapun, sebuah buku yang sedang kugandrungi akan terselip di saku tas. Saat naik bus dan angkot, jam istirahat kelas, tengkurap di ruang tamu, sampai jongkok buang air besar pun menjadi waktu-waktu favorit buatku melahap kisah demi kisah yang ditulis.

Perpustakaan SMP rasanya sudah jadi taman bermain imajinasiku, dan pustakawan yang dikenal judes itu ternyata sangat ramah. Kecenderungan ini ikut bertumbuh seiring bertambahnya usia. Saat berseragam putih-abu aku punya kebiasaan baru, nyaris setiap hari sepulang sekolah aku berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju satu-satunya Gramedia Store di kotaku saat itu. Meski setibanya bajuku harus agak basah diganjar keringat, tapi hembusan dingin dan aroma parfum mesin AC gedungnya sangat bisa diandalkan.

Ada beberapa alasan: pertama, harga buku mulai terasa mahal dan di sana selalu tersedia sampel tak bersegel yang bebas dibaca sambil berdiri; kedua, di sana ada beragam buku baru dengan genre yang seolah tak berbatas, belum lagi aneka benda yang seru buat sekedar cuci mata; ketiga, tentu saja karena tempat ini cukup popular khususnya bagi remaja. Aku tak hanya bisa memuaskan dahaga literasi, tapi juga menikmati pesona gadis dari beragam sekolah di kota itu.

Nafsu membacaku kian memuncak. Dari komik ke novel, cerita komedi dan roman, masuk ke buku sejarah, tokoh politik, dan mulai menjamah teori-teori sosial bukunya anak kuliahan. Semakin tebal saja buku yang menarik minat mataku. Ini pertanda semakin mahal pula harganya, dan karena uang saku jauh dari cukup hanya beberapa yang sanggup kutebus dan bawa pulang. Kebanyakan aku harus bolak balik dan berdiri minimal dua jam sehari demi menuntaskan bab demi bab yang menggugah fantasi.

Di bangku perkuliahan, hobi membacaku semakin mengapung kesana-kemari. Lebih dari separuh dinding kamarku mulai terinstal rak buku dengan koleksi yang akan terus bertambah karena sudah ada jatah belanja bulanan. Ya seperti para pemabuk aksara lainnya, aku memimpikan bisa membangun sebuah perpustakaan pribadi. Menikmati indahnya hidup yang berkalang buku. Kucatat dengan cermat identitas setiap koleksi yang baru masuk ke dalam buku besar sesuai genrenya. Tak hanya itu, kubuat fanpage facebook dan rutin mengupload fotonya ke dalam album sesuai tema. Bahkan kupesan khusus stempel karet ukir untuk menandai semua buku koleksiku.

Lambat laun nama Bengkel Batja Saddam Tjahjo mulai dikenal di kalangan teman sejawat, dan mereka banyak datang untuk sekedar meminjam dan berbincang seputar buku. Aku sangat menikmati pencapaian itu, bahkan sampai agak kewalahan menanggapi permintaan. Padahal tidak sedikitpun kegiatan ini dikomersilkan, murni hanya untuk kepuasan batin saja, peminjam buku hanya diwajibkan untuk mengkonfirmasi apakah sudah selesai membaca dalam sebulan, dan memberi sedikit ulasan sebagai bukti hasil bacaannya.

Aktivitas literasi ini akhirnya mendorongku melangkah lebih jauh. Rasanya sudah begitu banyak nama penulis dan karyanya yang ku simak baik-baik. Tapi seperti ada yang kurang, ya tentu mengapa tidak aku sendiri mulai belajar menulis? Akhirnya secara berangsur secara otodidak aku berusaha untuk membuat artikel resensi atas buku-buku yang pernah terbaca. Aku mencatat informasi detil dari buku yang diulas, dan berbagai hal penting di dalamnya, bahkan juga kesan pribadi atas karya tersebut.

Lama kelamaan, aku mulai candu menulis. Seolah inspirasi selalu bertaburan dan memohon dipetik lalu dikunyah, dicerna, dan diteruskan menjadi gagasan yang patut ditawarkan pada khalayak. Aku pun nekat menulis artikel opini serampangan, lalu mengirimnya terus menerus ke email redaktur koran-koran daerah. Setelah lebih dari sepuluh kali diabaikan, akhirnya kujumpai kegembiraan yang maha dahsyat. Seorang kawan mengabarkan tulisan berjudul Masyarakat Dilarang Mudik Lebaran! terbit di Jawa Pos.

Sejak itu produktivitasku menulis artikel pun semakin terpacu. Setiap bulannya minimal bisa lebih dari satu kali menjebol meja redaksi media massa baik cetak atau online di ranah lokal hingga nasional. Ternyata hobi baruku ini tak luput dari sorotan Ayahanda. Secara diam-diam ia mengkliping tulisan-tulisanku dan memamerkannya pada handai taulan yang berkunjung ke rumah. Sungguh itu adalah apresiasi yang sangat tinggi dan tak tergantikan nilainya.

Hobi menulis ini juga menjadi sumber penghasilan yang menggiurkan, meski tak seberapa dibanding pekerjaan fisik. Tapi hal ini telah mematangkanku untuk tumbuh sebagai orang dewasa yang mandiri dan berangsur bebas dari tanggungan orang tua. Aku juga terdorong untuk lebih sering dan banyak membaca, tak hanya buku kulahap tapi juga informasi terkini yang terus mengalir tanpa jeda dari siaran berita media massa. Isi kepalaku selalu bergolak, mengolah gagasan, dan meluap-luap dalam kerangka tulisan.



Berubah Jadi Belenggu

Sayangnya laju grafik kelindan hidupku pada buku malah jatuh melandai. Ada begitu banyak faktor dari realitas subjektif maupun objektif yang kualami kemudian, yang menuntut dan memaksaku untuk memalingkan wajah dari dunia literasi yang kuimpikan. Ya, aku pernah bersumpah harus menulis setidaknya satu buku yang berguna sebelum harus mati meninggalkan dunia.

Obsesi itu sepertinya terlalu besar buat jiwaku yang kerdil kala itu. Aku jatuh dalam kekecewaan pada diri sendiri, merasa gagal dan bodoh tak ketulungan. Segala upaya untuk bisa menemukan ide besar dan serius menuliskannya secara terstruktur malah menjebak diriku untuk berkali-kali tersandung hambatan dan jatuh tersungkur dalam jurang keraguan. Alih-alih mencapai kristalisasi gagasan, aku justru kian minder dan merasa tak layak.

Ditambah percepatan perubahan keadaan. Satu-satunya jalan yang kutemui hanyalah ikut dalam arus serapan pasar tenaga kerja seperti manusia pada umumnya. Maka habislah ragaku dilumat rutinitas pekerjaan, dengan lingkungan yang kian jauh dari tradisi literasi. Kebiasaan ku membawa buku ke tempat kerja dan membacanya di sela waktu istirahat dipandang terlalu aneh bagi semua orang yang ada di sana.

Tahun demi tahun berlalu, aku masih bertahan keras untuk rutin membaca, meski kemampuan menulis kian rontok. Otak seperti begitu mampet atas karat saat harus kembali menari di atas keyboard atau menggoyangkan pena. Sedangkan obsesi itu masih membara meski sudah terselip jauh di ujung lorong jiwa. Mental pecundang tumbuh menggerogoti akal sehat, seiring dengan kian menebalnya debu menyelimuti koleksi buku di kamar.

Bertahun-tahun kemudian aku hidup dalam keterasingan. Raga ku harus lebur dengan ritme rutinitas kelas pekerja yang menghisap habis energi dan pikiran. Seringkali dalam putaran waktu sepekan aku sungguh tak punya kecukupan tenaga untuk membaca, bahkan sekedar berita serius. Sialnya, jiwaku yang kosong ini berontak dengan cara yang entah baik atau tidak. Ia bergerak sendiri secara serampangan, ibarat samurai yang kalah perang dan dikepung ratusan lawan sebagai sebuah penghabisan.

Berangkat dari seorang penggemar bacaan, beralih menjadi kolektor buku yang produktif, tetapi kemudian harus terpuruk menjadi seorang pecandu buku yang tak punya arah. Apabila pembaca budiman pernah mendengar istilah tsundoku atau juga bibliomania, barangkali gangguan mental semacam fetisisme itulah yang menerpa jiwaku yang kalang kabut menerima perubahan kenyataan.

Setiap bulannya buku menarik yang diwartakan terbit semakin banyak saja, belum lagi siaran jalur khusus soal buku langka yang begitu layak jadi buruan. Aku sungguh kelelahan dan sering kehabisan uang, setiap minggunya satu demi satu kiriman paket buku datang ke rumah. Tak ada lagi pencatatan di buku besar, apalagi mau dibaca dan diulas. Buku-buku itu hanya menumpuk, kebanyakan masih tersegel, dan beberapa utuh dalam kemasan kardus dari toko asalnya.

Sesungguhnya aku merasa tersiksa. Keadaan ini tidaklah semudah mereka yang enteng saja mencibirku sebagai penimbun buku. Tak jarang pula penghakiman dunia datang dengan citarasa akhirat, mereka sebut kecanduanku ini akan menjadi dosa pemberat di masa hisab pasca kematian menjemput kelak. Duh, betapa mereka semua tak mau mengerti dan ambil peduli bahwa aku sedang membutuhkan uluran tangan penyelamat.

Beruntung, di sela riuhnya perhelatan tahun politik 2019 aku mendapatkan kesempatan emas untuk beralih profesi. Kini aku bekerja di lingkungan yang lebih kondusif untuk kembali menyuburkan gagasan dan tentu merujuk pada banyak referensi bacaan. Kusadari jika Tuhan memang selalu ada, tapi caranya menjawab doa memang selalu menjadi misteri bagi manusia. Luka pada jiwaku berangsur sembuh, kini tak lagi ada beban di pundak.

Kupilah dengan sadar memilah mana buku yang perlu dibeli dan layak dibaca. Selalu kusisihkan jeda waktu untuk mengolah gagasan dalam tulisan. Tanpa keraguan, aku suka berbagi buku sebagai tanda mata persahabatan. Belakangan cerpen dan esaiku mulai rutin lolos terbit di banyak ajang kepenulisan buku antologi, dan kumpulan artikel opiniku di masa lalu telah dikemas sebagai bunga rampai. Semoga kelak aku sungguh bisa menulis buku  sebagaimana diimpikan sejak awal. Amin.

--------------

*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Kumpulan artikel opininya dalam rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa di akhir tahun 2020 lalu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar