Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 15 Oktober 2021

FRIKSI : Pandemi dan Cerita Empat Ruang Rindu

 TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 

" DIBALIK PANDEMI: SECERCAH ASA DI TENGAH BADAI " dari Ay Publisher



Pandemi dan Cerita Empat Ruang Rindu

Oleh : Saddam Cahyo*

Ah, siapa menduga ini pagebluk bakal terjadi. Ia tetiba saja datang, entah dari mana dan bagaimana mulanya. Muncul meluas tanpa bisa dibendung dan mengobrak-abrik kehidupan kita semua. Ya, semua manusia, bahkan seluruh makhluk di Bumi. Barangkali, para lelembut dari bangsa jin atau arwah penasaran pun ikut digojlok jiwa dan raganya oleh bencana yang lebih tak kasat mata tapi teramat memilukan ini.

Ketimbang tahun politik 2019 yang penuh dengan narasi absurd perpecahan antar sesama hanya karena beda pilihan, keadaan ini jauh lebih cocok dinamai zaman edan. Di mana kita benar-benar harus merubah segala aturan hidup di dunia karena dipaksa keadaan. Semua orang seakan harus menerapkan budaya saling awas dan curiga. Setiap manusia adalah ancaman bagi manusia yang lainnya.

Kamu bisa saja mencelakakan atau malah membunuhku hanya lewat kehangatan percakapan yang bersahabat. Pun demikian, aku bisa saja menjadi penghantar  malapetaka bagi hidup mu hanya karena begitu dekat. Jaga jarak ! Tidak adalagi anjang sana, tak ada lagi tegur sapa, tak lagi boleh ramai-ramai bersua. Padahal sudah menjadi budaya kita untuk selalu merawat keguyuban hidup dalam segala hal. Gotong royong ! kalau kata mendiang Bung Karno Sang proklamator kemerdekaan dulu.

Kita sudah sama-sama dibuat setengah gila. Satu tahun putaran waktu memang sudah lewat menggelinding sejak kasus 01 Indonesia atas infeksi virus berjuluk Corona Viruses Desease alias Covid-19 ini muncul di bulan Maret 2020 lalu. Tapi siapa yang berani bilang tak terasa? Di dunia maya, orang gila saja jadi viral lantaran mengeluhkan virus corona. Coba bayangkan, di akhir bulan April tahun 2021 ini tercatat sudah hampir dua juta manusia Indonesia harus mencicipi siksaan sakit raga dan keruntuhan mental karenanya.

Sudah nyaris 50 ribu nyawa dilaporkan melayang di seluruh penjuru Nusantara. Ya, itu nyawa manusia Indonesia. Bisa jadi mereka yang gugur adalah sosok yang punya andil besar dalam suatu bidang yang sangat dibutuhkan bangsa. Oh, betapa kehilangannya kita semua. Belum lagi soal prosedur pemulasaran jenazah yang sama sekali jauh dari bayangan normal adat istiadat dan ajaran agama yang kita kenal.

Seseorang bisa lenyap begitu saja dalam tempo singkat. Baru sebentar masuk rumah sakit, dirawat dalam isolasi ketat, dikabarkan kritis dengan obat yang tak kunjung diketahui, lalu gugur. Ditambah lagi, harus dikubur dengan sunyi senyap. Berbalut plastik dan bermandikan cairan disinfektan. Tanpa ad airing-iringan serta doa dari kerabat, tetangga, dan sejawat yang turut berduka. Kita hanya bisa pasrah kepada Sang Maha Kuasa, semoga para korban pandemi ini ada di sisi yang paling mulia.

Bencana ini juga ibarat nasib buruk bagi mereka yang membaktikan hidup sebagai tenaga medis. Setelah sejak beberapa tahun lalu sekolah-sekolah kesehatan tumbuh bagaikan jamur dan popular menyerap peserta didik. Berbiaya tinggi namun ada harapan gemilang kesuksesan di masa depan. Kini, dibenturkan dengan kenyataan pahit sebagai prajurit peradaban. Berada di barisan garda terdepan dengan resiko tertinggi dalam menjaga ketahanan nasional atas serangan bertubi-tubi pandemi global.

Setiap detik nafas hidup mereka sungguh berarti, karena mengandung harap penyelamatan jiwa rakyat umum. Perkaranya, rangkuman data oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Januari 2021 menyebut angka mengerikan. Sudah 161 orang dokter umum, 123 orang dokter spesialis, 27 orang dokter gigi, 221 perawat, 84 orang bidan, 11 orang apoteker, dan 15 orang tenaga laboratorium medik dinyatakan gugur dalam perang yang tak kunjung usai ini.

Pukulan telak yang paling terasa adalah soal keruntuhan ekonomi nasional. Tidak, maaf, bukan hanya di negeri tercinta ini saja negara harus tampil kurang berdaya menjamin keselamatan warganya. Seluruh dunia mengalami, bahkan di negeri-negeri imperium sekalipun kalang-kabut dan keteteran dalam penerapan kebijakan jaminan sosial.

Tampaknya umat manusia sudah lama mengabaikan kesiagaan atas potensi datangnya bencana global semacam ini. Padahal sejarah sudah banyak mencatat pelajaran, sesungguhnya bencana ini tak lain memang konsekuensi logis dari hembusan denyut kemajuan yang kian menyingkirkan nalar kesahajaan dan prinsip harmoni dengan alam.

Jelas ekonomi runtuh! Jika saat ini kamu masih bisa mempertahankan kehidupan tanpa kekurangan, maka bersyukurlah karena kamu sungguh beruntung. Jutaan manusia lainnya harus merangkak-rangkak demi tetap bisa menjaga nafas hidupnya. Aktivitas perekonomian warga sempat harus berhenti sama sekali. Semua orang dituntut berdiam diri di rumah, bertahan dengan bekal seadanya saja untuk setidaknya tiga bulan.

Bagi mereka pekerja formal, mungkin kebijakan ini masih bisa diterima. Ada gambaran pemasukan rutin yang masih bisa diharapkan. Sayangnya, dari total populasi penduduk di negeri kita, jauh lebih banyak mereka yang tak diserap pasar tenaga kerja. Mereka harus menjadi pejuang hidup yang rentan dengan mengais peruntungan harian di sektor informal. Seruan berdiam diri di rumah karena adanya ancaman pandemi, ternyata tak semenakutkan ancaman mati berdiri. Akhirnya, semua orang tetap memilih pergi mencari rejeki.

Sekolah dan kampus yang biasanya diramaikan denyut nadi bocah dan muda-mudi pun kini hanya jadi gedung kosong. Anak Indonesia terpaksa harus jeda dari aktivitas belajar mengajar. Para guru dan pemilik kebijakan sama gagapnya. Skema belajar dari ruang virtual dihembuskan sebagai solusi. Tapi tak sedikit pendidik yang awam menggunakan teknologi komunikasi digital, apalagi harus mengurai pelajaran. Sialnya lagi, ini membuahkan beban baru bagi setiap rumah tangga. Setiap anak harus diberi akses gawai dan jaringan internet yang memadai.

Huft. Pandemi Virus Corona alias Covid-19 ini memang sungguh melelahkan, atau lebih tepat lagi disebut memuakkan. Begitu banyak hal yang menggumpal di benak karenanya. Itulah mengapa kita harus saling bercerita dan mendengarkan, dengan begitu kita saling menguatkan. Kali ini bergeser ke soal tradisi musiman yang begitu khas kita miliki. Mudik ! Yap, siapa yang tak rindu akan kampung halaman dan suasana perayaan lebaran penuh kemenangan.

Apa daya, sekali lagi kita harus membendung kuat-kuat perasaan untuk bisa pulang di hari raya idul fitri. Tentu dengan alasan rasional yang sama dengan tahun lalu, meski kian berat rasanya, inilah yang terbaik untuk keselamatan bangsa. Ya, sebagai bagian utuh dari negara Pancasila ini, kita sadar betul jika kehidupan ini tidak hanya untuk diri kita sendiri. Kepentingan umum haruslah menjadi pertimbangan di atas kepentingan pribadi.

Kasus gelombang tsunami pandemi di India misalnya bisa menjadi peringatan keras. Vaksinasi Covid-19 di tanah Hindustan itu konon sudah jauh lebih optimal berjalan ketimbang Indonesia. Namun sayangnya, sebelum kekebalan imunitas kolektif terbentuk, semua pertahanan atas protokol kesehatan mengendur di sana-sini. Kebanyakan warganya merasa keadaan sudah aman sentosa, tapi akibatnya justru sangat fatal.

Jujur saja, sesungguhnya aku sangat merindukan pulang. Rumah, Ibu, dan kamar bujang ku di seberang Selat Sunda sana. Tapi terpaksa hati kukeraskan, alhasil selama pernyataan perang atas pandemi dikumandangkan penguasa negeri, tak sejengkal pun tanah Serambi Sumatera ku jejaki. Padahal, jarak tempuh dari ibu kota hanya di kisaran delapan jam perjalanan. Tapi tidak, setiap hari aku harus meminta maaf pada Ibunda. Justru karena aku sangat menyayanginya, kubiarkan ia hidup sebatang kara di rumah keluarga kecil kami itu. Hanya bisa rutin menyapa lewat gambar yang kini bisa menyala.



Ah, rasanya ada lubang kosong yang terbentuk dan terus meluas di dalam relung hati ini. Bayang-bayang ketakutan menjadi carrier pembawa virus selalu menahan langkah untuk bisa pulang menambal bolongnya perasaan. Disinilah ruang-ruang rindu itu aku catatkan.

#Ruang 1: Rindu Masakan Ibu

Aku bersumpah, dan sangat percaya. Ibu ku memiliki tangan ajaib yang diberkati Tuhan Semesta Alam. Racikan bahan pangan dan bumbu apapun yang tersedia di dapur rumah kami, pasti sanggup disulapnya menjadi sajian makanan yang maha lezat. Tak terhitung lagi ada berapa resep favoritku yang Ibu kuasai. Terlebih di momen lebaran begini, biasanya ia akan begitu antusias dan rela tak tidur demi menyiapkan segalanya. Sayur kari ayam, rendang kerbau, pepes ikan mas, sop daging sapi, oreg-oreg, bistik babat, sampai kue lapis legit yang bisa menghadirkan citarasa surgawi. Oh, Ibu sungguh aku merindukan keajaiban mu.

#Ruang 2: Merawat Pusara Ayah

Lewat tanganku sendiri inilah Ayah, yang turut merawat sakit mu, mengantar mu dalam hembusan nafas terakhir, membawa jasad mu pulang dalam pelukan, memandikannya dengan penuh khidmat, menyolatkan dengan serentak irama jamaah, membaringkan mu di dalam kubur, mengumandangkan azan terakhir, menimbun papan dan tanah merah, serta menyusun batu nisan di atas pusara makam mu. Maafkanlah, meski dua kali sambutan bulan suci Ramadan kali ini aku sama sekali terhalang datang berkunjung, mencabuti rerumputan dan membacakan doa. Sungguh Ayah, nyaris tiada hari kulewatkan tanpa mengirimkan lafadz doa agar engkau mendapatkan kelapangan jalan untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki di alam langgeng itu.

#Ruang 3: Mendengarkan Abang

Hanya ia seorang saudara sekandung ku, taka da lain tiada bukan. Ialah Abangku. Sejak kecil kami tumbuh sebagai dua orang putra lewat cara yang tak sama dengan kisah saudara lainnya. Terpisah tapi menyatu. Meski aku harus tumbuh hanya dengan menatap punggungnya dari kejauhan, ia selalu mampu memastikan pendar cahaya langkahnya tampak dalam kasat mata kecil ku ini. Terima kasih Abang, engkau tak pernah henti membuktikan kelayakan diri sebagai panutan hidupku. Kita lelaki, tentu kelak sendiri. Karena itulah, sejak dulu selalu kurindukan masa di mana kita bisa bersua. Aku akan terus tergelak tawa mendengar semua kisah mu yang jenaka. Aku juga akan terus terpana menyimak wawasan baru yang engkau percikkan. Aku akan terus bersyukur menjadi adik mu, meski lebaran kali ini kita tak lagi bisa jumpa.

#Ruang 4: Cengkerama Kawan Lama

Nyatanya hidup itu begitu dinamis. Kita bergerak terus melewati hari demi hari dan masa demi masa. Ada begitu banyak perjumpaan dan persinggahan yang kita tempuh. Seringkali, kita yang menjalani kehidupan justru malah melupa. Tapi adakah yang akan mengingatkan semuanya dalam canda? Tentu saja ada. Ialah Sang Kawan Lama. Coba sejenak kita renungkan, siapa saja mereka yang pernah bersama. Melewati masa indah dan dengan lagak sok hebat bersama menyebut: “Ini momen yang tak akan terlupakan!”. Kepada mereka Si Kawan Lama, ruang rindu ini juga ikut terbuka. Kapankah kita bisa kembali kumpul bersua? Menumpahkan dan mengurai kembali semua cerita yang mungkin sama-sama sudah mulai kita lupakan.

Demikianlah sidang pembaca. Semoga kita semua senantiasa diberkati selamat dan sehat sentosa. Bangkit dari segala keterpurukan yang ditimbulkan bencana wabah ini. Jika terus  bersama-sama, tentu kita akan mampu menjadi penyintas yang merenggut kemenangan sejarah dan menorehkan catatan terbaik bagi generasi penerus bangsa ini. Lewat karya kecil ini, kita himpun dan jahit erat menjadi kisah yang hebat. Tabik!



*Karya yang telah dibukukan: cerpen “Kita Kalah Mbah, Sekali Lagi.” dalam antologi Yang Tergusur: Tanah Air Dan Banalitas Pembangunan (2019); kumpulan opini tahun 2010-2015 dalam Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa (2020); dan esai “Jungkir Balik Kebangkitan Nalar Kolektif Manusia Indonesia” dalam Pandemi Pasti Berlalu: Mencatat Covid-19, Tragedi, dan Harapan Setelah Itu (2021). 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar