TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi
" DIBALIK PANDEMI: SECERCAH ASA DI TENGAH BADAI " dari Ay Publisher
Pandemi dan Cerita Empat Ruang Rindu
Oleh
: Saddam Cahyo*
Ah,
siapa menduga ini pagebluk bakal terjadi. Ia tetiba saja datang, entah dari
mana dan bagaimana mulanya. Muncul meluas tanpa bisa dibendung dan
mengobrak-abrik kehidupan kita semua. Ya, semua manusia, bahkan seluruh makhluk
di Bumi. Barangkali, para lelembut dari bangsa jin atau arwah penasaran pun
ikut digojlok jiwa dan raganya oleh bencana yang lebih tak kasat mata tapi
teramat memilukan ini.
Ketimbang
tahun politik 2019 yang penuh dengan narasi absurd perpecahan antar sesama hanya
karena beda pilihan, keadaan ini jauh lebih cocok dinamai zaman edan. Di mana
kita benar-benar harus merubah segala aturan hidup di dunia karena dipaksa
keadaan. Semua orang seakan harus menerapkan budaya saling awas dan curiga.
Setiap manusia adalah ancaman bagi manusia yang lainnya.
Kamu
bisa saja mencelakakan atau malah membunuhku hanya lewat kehangatan percakapan
yang bersahabat. Pun demikian, aku bisa saja menjadi penghantar malapetaka bagi hidup mu hanya karena begitu
dekat. Jaga jarak ! Tidak adalagi anjang sana, tak ada lagi tegur sapa, tak
lagi boleh ramai-ramai bersua. Padahal sudah menjadi budaya kita untuk selalu
merawat keguyuban hidup dalam segala hal. Gotong royong ! kalau kata mendiang
Bung Karno Sang proklamator kemerdekaan dulu.
Kita
sudah sama-sama dibuat setengah gila. Satu tahun putaran waktu memang sudah
lewat menggelinding sejak kasus 01 Indonesia atas infeksi virus berjuluk Corona Viruses Desease alias Covid-19
ini muncul di bulan Maret 2020 lalu. Tapi siapa yang berani bilang tak terasa?
Di dunia maya, orang gila saja jadi viral lantaran mengeluhkan virus corona. Coba
bayangkan, di akhir bulan April tahun 2021 ini tercatat sudah hampir dua juta
manusia Indonesia harus mencicipi siksaan sakit raga dan keruntuhan mental
karenanya.
Sudah
nyaris 50 ribu nyawa dilaporkan melayang di seluruh penjuru Nusantara. Ya, itu nyawa
manusia Indonesia. Bisa jadi mereka yang gugur adalah sosok yang punya andil
besar dalam suatu bidang yang sangat dibutuhkan bangsa. Oh, betapa
kehilangannya kita semua. Belum lagi soal prosedur pemulasaran jenazah yang
sama sekali jauh dari bayangan normal adat istiadat dan ajaran agama yang kita
kenal.
Seseorang
bisa lenyap begitu saja dalam tempo singkat. Baru sebentar masuk rumah sakit,
dirawat dalam isolasi ketat, dikabarkan kritis dengan obat yang tak kunjung
diketahui, lalu gugur. Ditambah lagi, harus dikubur dengan sunyi senyap.
Berbalut plastik dan bermandikan cairan disinfektan. Tanpa ad airing-iringan
serta doa dari kerabat, tetangga, dan sejawat yang turut berduka. Kita hanya
bisa pasrah kepada Sang Maha Kuasa, semoga para korban pandemi ini ada di sisi
yang paling mulia.
Bencana
ini juga ibarat nasib buruk bagi mereka yang membaktikan hidup sebagai tenaga
medis. Setelah sejak beberapa tahun lalu sekolah-sekolah kesehatan tumbuh
bagaikan jamur dan popular menyerap peserta didik. Berbiaya tinggi namun ada
harapan gemilang kesuksesan di masa depan. Kini, dibenturkan dengan kenyataan pahit
sebagai prajurit peradaban. Berada di barisan garda terdepan dengan resiko
tertinggi dalam menjaga ketahanan nasional atas serangan bertubi-tubi pandemi
global.
Setiap
detik nafas hidup mereka sungguh berarti, karena mengandung harap penyelamatan
jiwa rakyat umum. Perkaranya, rangkuman data oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI)
di Januari 2021 menyebut angka mengerikan. Sudah 161 orang dokter umum, 123
orang dokter spesialis, 27 orang dokter gigi, 221 perawat, 84 orang bidan, 11
orang apoteker, dan 15 orang tenaga laboratorium medik dinyatakan gugur dalam perang
yang tak kunjung usai ini.
Pukulan
telak yang paling terasa adalah soal keruntuhan ekonomi nasional. Tidak, maaf,
bukan hanya di negeri tercinta ini saja negara harus tampil kurang berdaya
menjamin keselamatan warganya. Seluruh dunia mengalami, bahkan di negeri-negeri
imperium sekalipun kalang-kabut dan keteteran dalam penerapan kebijakan jaminan
sosial.
Tampaknya
umat manusia sudah lama mengabaikan kesiagaan atas potensi datangnya bencana
global semacam ini. Padahal sejarah sudah banyak mencatat pelajaran,
sesungguhnya bencana ini tak lain memang konsekuensi logis dari hembusan denyut
kemajuan yang kian menyingkirkan nalar kesahajaan dan prinsip harmoni dengan
alam.
Jelas
ekonomi runtuh! Jika saat ini kamu masih bisa mempertahankan kehidupan tanpa
kekurangan, maka bersyukurlah karena kamu sungguh beruntung. Jutaan manusia
lainnya harus merangkak-rangkak demi tetap bisa menjaga nafas hidupnya. Aktivitas
perekonomian warga sempat harus berhenti sama sekali. Semua orang dituntut
berdiam diri di rumah, bertahan dengan bekal seadanya saja untuk setidaknya
tiga bulan.
Bagi
mereka pekerja formal, mungkin kebijakan ini masih bisa diterima. Ada gambaran pemasukan
rutin yang masih bisa diharapkan. Sayangnya, dari total populasi penduduk di
negeri kita, jauh lebih banyak mereka yang tak diserap pasar tenaga kerja.
Mereka harus menjadi pejuang hidup yang rentan dengan mengais peruntungan
harian di sektor informal. Seruan berdiam diri di rumah karena adanya ancaman
pandemi, ternyata tak semenakutkan ancaman mati berdiri. Akhirnya, semua orang
tetap memilih pergi mencari rejeki.
Sekolah
dan kampus yang biasanya diramaikan denyut nadi bocah dan muda-mudi pun kini
hanya jadi gedung kosong. Anak Indonesia terpaksa harus jeda dari aktivitas
belajar mengajar. Para guru dan pemilik kebijakan sama gagapnya. Skema belajar
dari ruang virtual dihembuskan sebagai solusi. Tapi tak sedikit pendidik yang
awam menggunakan teknologi komunikasi digital, apalagi harus mengurai pelajaran.
Sialnya lagi, ini membuahkan beban baru bagi setiap rumah tangga. Setiap anak
harus diberi akses gawai dan jaringan internet yang memadai.
Huft.
Pandemi Virus Corona alias Covid-19 ini memang sungguh melelahkan, atau lebih
tepat lagi disebut memuakkan. Begitu banyak hal yang menggumpal di benak
karenanya. Itulah mengapa kita harus saling bercerita dan mendengarkan, dengan begitu
kita saling menguatkan. Kali ini bergeser ke soal tradisi musiman yang begitu
khas kita miliki. Mudik ! Yap, siapa yang tak rindu akan kampung halaman dan
suasana perayaan lebaran penuh kemenangan.
Apa
daya, sekali lagi kita harus membendung kuat-kuat perasaan untuk bisa pulang di
hari raya idul fitri. Tentu dengan alasan rasional yang sama dengan tahun lalu,
meski kian berat rasanya, inilah yang terbaik untuk keselamatan bangsa. Ya,
sebagai bagian utuh dari negara Pancasila ini, kita sadar betul jika kehidupan
ini tidak hanya untuk diri kita sendiri. Kepentingan umum haruslah menjadi pertimbangan
di atas kepentingan pribadi.
Kasus
gelombang tsunami pandemi di India misalnya bisa menjadi peringatan keras.
Vaksinasi Covid-19 di tanah Hindustan itu konon sudah jauh lebih optimal
berjalan ketimbang Indonesia. Namun sayangnya, sebelum kekebalan imunitas
kolektif terbentuk, semua pertahanan atas protokol kesehatan mengendur di
sana-sini. Kebanyakan warganya merasa keadaan sudah aman sentosa, tapi akibatnya
justru sangat fatal.
Jujur
saja, sesungguhnya aku sangat merindukan pulang. Rumah, Ibu, dan kamar bujang
ku di seberang Selat Sunda sana. Tapi terpaksa hati kukeraskan, alhasil selama pernyataan
perang atas pandemi dikumandangkan penguasa negeri, tak sejengkal pun tanah
Serambi Sumatera ku jejaki. Padahal, jarak tempuh dari ibu kota hanya di
kisaran delapan jam perjalanan. Tapi tidak, setiap hari aku harus meminta maaf pada
Ibunda. Justru karena aku sangat menyayanginya, kubiarkan ia hidup sebatang kara
di rumah keluarga kecil kami itu. Hanya bisa rutin menyapa lewat gambar yang
kini bisa menyala.
Ah,
rasanya ada lubang kosong yang terbentuk dan terus meluas di dalam relung hati
ini. Bayang-bayang ketakutan menjadi carrier
pembawa virus selalu menahan langkah untuk bisa pulang menambal bolongnya perasaan.
Disinilah ruang-ruang rindu itu aku catatkan.
#Ruang
1: Rindu Masakan Ibu
Aku
bersumpah, dan sangat percaya. Ibu ku memiliki tangan ajaib yang diberkati
Tuhan Semesta Alam. Racikan bahan pangan dan bumbu apapun yang tersedia di dapur
rumah kami, pasti sanggup disulapnya menjadi sajian makanan yang maha lezat.
Tak terhitung lagi ada berapa resep favoritku yang Ibu kuasai. Terlebih di
momen lebaran begini, biasanya ia akan begitu antusias dan rela tak tidur demi
menyiapkan segalanya. Sayur kari ayam, rendang kerbau, pepes ikan mas, sop
daging sapi, oreg-oreg, bistik babat, sampai kue lapis legit yang bisa
menghadirkan citarasa surgawi. Oh, Ibu sungguh aku merindukan keajaiban mu.
#Ruang
2: Merawat Pusara Ayah
Lewat
tanganku sendiri inilah Ayah, yang turut merawat sakit mu, mengantar mu dalam
hembusan nafas terakhir, membawa jasad mu pulang dalam pelukan, memandikannya
dengan penuh khidmat, menyolatkan dengan serentak irama jamaah, membaringkan mu
di dalam kubur, mengumandangkan azan terakhir, menimbun papan dan tanah merah,
serta menyusun batu nisan di atas pusara makam mu. Maafkanlah, meski dua kali
sambutan bulan suci Ramadan kali ini aku sama sekali terhalang datang
berkunjung, mencabuti rerumputan dan membacakan doa. Sungguh Ayah, nyaris tiada
hari kulewatkan tanpa mengirimkan lafadz doa agar engkau mendapatkan kelapangan
jalan untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki di alam langgeng itu.
#Ruang
3: Mendengarkan Abang
Hanya
ia seorang saudara sekandung ku, taka da lain tiada bukan. Ialah Abangku. Sejak
kecil kami tumbuh sebagai dua orang putra lewat cara yang tak sama dengan kisah
saudara lainnya. Terpisah tapi menyatu. Meski aku harus tumbuh hanya dengan
menatap punggungnya dari kejauhan, ia selalu mampu memastikan pendar cahaya
langkahnya tampak dalam kasat mata kecil ku ini. Terima kasih Abang, engkau tak
pernah henti membuktikan kelayakan diri sebagai panutan hidupku. Kita lelaki,
tentu kelak sendiri. Karena itulah, sejak dulu selalu kurindukan masa di mana
kita bisa bersua. Aku akan terus tergelak tawa mendengar semua kisah mu yang
jenaka. Aku juga akan terus terpana menyimak wawasan baru yang engkau percikkan.
Aku akan terus bersyukur menjadi adik mu, meski lebaran kali ini kita tak lagi bisa
jumpa.
#Ruang
4: Cengkerama Kawan Lama
Nyatanya
hidup itu begitu dinamis. Kita bergerak terus melewati hari demi hari dan masa
demi masa. Ada begitu banyak perjumpaan dan persinggahan yang kita tempuh.
Seringkali, kita yang menjalani kehidupan justru malah melupa. Tapi adakah yang
akan mengingatkan semuanya dalam canda? Tentu saja ada. Ialah Sang Kawan Lama. Coba
sejenak kita renungkan, siapa saja mereka yang pernah bersama. Melewati masa
indah dan dengan lagak sok hebat bersama menyebut: “Ini momen yang tak akan
terlupakan!”. Kepada mereka Si Kawan Lama, ruang rindu ini juga ikut terbuka. Kapankah
kita bisa kembali kumpul bersua? Menumpahkan dan mengurai kembali semua cerita
yang mungkin sama-sama sudah mulai kita lupakan.
Demikianlah
sidang pembaca. Semoga kita semua senantiasa diberkati selamat dan sehat
sentosa. Bangkit dari segala keterpurukan yang ditimbulkan bencana wabah ini.
Jika terus bersama-sama, tentu kita akan
mampu menjadi penyintas yang merenggut kemenangan sejarah dan menorehkan
catatan terbaik bagi generasi penerus bangsa ini. Lewat karya kecil ini, kita
himpun dan jahit erat menjadi kisah yang hebat. Tabik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar