Lagu Pembakar Jiwa Kepahlawanan Anak Bangsa
Oleh
: M. Saddam
SSD.
Cahyo*
Semula dalam event bertema
Pahlawan ini aku ingin mencatatkan pengalaman kala bertualang menyinggahi
beberapa museum di Kota Pahlawan, Surabaya pada penghujung tahun 2019. Namun,
pikiranku terus berlompatan dan terngiang kepingan ingatan dari sesi
perkuliahan tentang perubahan sosial dulu.
Dosenku yang kritis, bernas, dan energik, almarhumah Dr. Endry Fatimaningsih,
M.Si. dengan piawai mengurai beragam faktor yang dapat memicu ledakan gerakan
sosial dalam menciptakan perubahan atas tatanan kehidupan yang usang.
Satu dari sekian banyak unsur
yang berpotensi menjadi katalisator perubahan ialah karya seni, yang berhasil
menjumpai ruang dan waktu yang tepat, yakni melebur dengan situasi sosial
politik maupun psikologi massa yang sedang bergolak. Contohnya lagu yang lirik
dan aransemen nadanya mampu mencerminkan zeitgeist alias semangat zaman.
Ia akan disambut antusiasme massa pendengarnya dan lekas menyebar sebagai
ledakan dari mulut rakyat semesta. Mungkin dalam bahasa orang kekiniannya bisa
disebut viral!.
Ya, kali ini aku mengajukan
pilihan dua buah lagu perjuangan yang tercipta langsung dari tangan orang-orang
muda yang ikut berpeluh dan berdarah di dua masa pergolakan kebangsaan
Indonesia. Tentu saja, dalam catatan sejarah masih ada begitu banyak karya
hebat lainnya yang turut mewarnai perjalanan bangsa tercinta ini. Namun, setidaknya
bagi saya, dua lagi ini begitu penting dicatat dan direnungi baik pesan moral
yang terkandung di dalamnya, konteks zaman yang melahirkannya, maupun dampak
yang telah ia timbulkan.
Pertama, Indonesia Raya
karya Wage Rudolf Supratman yang di momentum Sumpah Pemuda 1928, telah mengikat
kesadaran nasional para pendiri bangsa dari berbagai penjuru Nusantara untuk bergandeng
tangan melepas kekangan kolonialisme. Kedua, Darah Juang karya Johnsony
Marhasak Lumbantobing yang telah mengharu-birukan suasana demonstrasi menyudahi
kekuasaan Rezim Otoritarian Orde Baru di pengghujung era 90-an. Dua lagu
istimewa ini ibarat api kecil yang menyulut luasnya ladang ilalang kering
kerontang menjadi suluh pembebasan. Ampuh membakar jiwa rakyat untuk mengambil
peran dalam arus perubahan bangsanya.
Indonesia Bahagia, Mimpi Mulia
Kemerdekaan
Sebagaimana diketahui, jauh
sebelum tercapainya status kemerdekaan, Indonesia Raya telah dikukuhkan oleh
para pemuda sebagai Lagu Kebangsaan. Secara aklamasi Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya di tahun 1945 juga meyakini hal
yang sama. Kini diperkuat lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan hingga nyaris tak ada
satupun warga negara yang tidak pernah menghapalnya untuk kepentingan upacara
bendera di masa sekolah.
Mengutip buku Lagu
Kebangsaan Indonesia Raya (2003) dari Bondan Winarno, ada sebuah catatan
kiasan yang menarik. Betapa lagu ini merupakan sonata – sajak 14 baris yang
terdiri atas satu oktaf dan satu sextet. Bagi sejarah musik kita, ini adalah
pilihan jeli seorang musisi visioner, hingga kemudian para seniman Angkatan
Pujangga Baru menjadikan trend sonata
sebagai ekspresi puitis. Liriknya juga merupakan seloka (pantun berangkai) yang
memiliki kekuatan kata mirip cara Walmiki
dalam cerita epik Ramayana. Tak ayal dijuluki sebagai Seloka
Sakti Pemersatu Bangsa.
Kali pertama dimainkan di muka
sidang Kongres Pemuda II, pada malam penutupan tanggal 28 Oktober 1928, meski
hanya dengan gesekan instrumental solonya untuk menghindari kecurigaan penjajah,
lagu ini dengan senyap merasuki denyut nadi para pemuda yang turut bernyanyi
dalam sanubari. Geger pekik “Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka!” merebak di
kemudian hari, pihak Belanda marah besar dan mengatur agar para pemuda pribumi menyanyikannya
secara terbatas dan mengganti penggalan lirik dalam refrain lagu itu dengan
kata “Mulia, Mulia..” untuk meredam potensi pergolakan.
Sejak itu nama W.R. Supratman bukan
lagi dikenal sebagai wartawan pribumi koran Sin Po tetapi ikut masuk
dalam target buruan operasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia harus
tinggal berpindah mewaspadai incaran rezim, meski sempat ditangkap dan
menghadapi proses interogasi ketat, tapi nyalinya tak ciut. Sementara karyanya
kian menggelegar dinyanyikan dengan gegap gempita di seantero negeri. Melalui
tiga stanza syairnya, rakyat jelata bahkan yang buta huruf di pelosok desa pun
mampu diajak meraba sebuah cita-cita mulia kemerdekaan: “Indonesia Bersatu,
Indonesia bahagia, Indonesia Abadi..”.
Puncaknya pada detik-detik
proklamasi kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan
Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat, lagu indah ini dinyanyikan begitu
khidmat oleh segenap rakyat Indonesia. Didengungkan dalam siaran-siaran radio
yang terus menjalar ke telinga rakyat lewat saluran udara, dan lagu itu sungguh
menjelma sebagai ruh perjuangan bangsa. Sayangnya, semua kemegahan itu tidak
pernah bisa disaksikan langsung oleh penciptanya sendiri. W.R. Supratman pada
hari Rabu Wage, 17 Agustus 1938 telah wafat dalam usia 35 tahun, persis tujuh
tahun sebelum negeri Indonesia diproklamirkan merdeka.
Namun, kita yakini bersama,
jiwa sang Pahlawan Nasional bersenjatakan biola itu telah meraih kebahagiaan
yang hakiki di sisi Tuhan Semesta Alam, amin. Handai taulan sangat
diperbolehkan berkunjung ke rumah tinggalnya yang terakhir dalam pembaringan
sakit di Jalan Mangga Nomor 21, Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur yang telah
dipugar sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Sementara makamnya yang
elok dengan pusara marmer berukir biola terletak di TPU Kapasan, Jalan Tambak
Segaran Wetan, Surabaya.
Bunda Relakan Darah Juang Kami
Lain cerita dengan Darah
Juang yang sampai sekarang masih jauh dari harapan bisa mendapat apresiasi
formal dari negara. Maklum saja, ini memang bukanlah lagu yang mewarnai
pergerakan nasional menuju kemerdekaan, melainkan pengiring semangat rakyat
menggulingkan kekuasaan jauh setelah kemerdekaan diraih, sehingga tentu menjadi
pertimbangan penuh kehati-hatian bagi negara untuk bersikap terhadapnya.
Lagu ini dibuat secara spontan
oleh John Tobing yang dikenal piawai bermain gitar dan lagu bernuansa balad itu,
turut diracik pula oleh masukan dari rekan sesama aktivis mahasiswa Keluarga
Mahasiswa (KM) - UGM dan Forum Komunikasi Mahaysiswa Yogyakarta (FKMY) di akhir
dekade 80-an , seperti Dadang Juliantara dan Budiman Sudjatmiko. Di era ini,
benih-benih pemikiran kritis khususnya kepekaan mahasiswa atas berbagai problem
ekonomi, sosial, dan politik mulai bertunas.
Rasa ketidakpuasan pada penguasa
negeri yang semakin menunjukan arogansi dan represi mulai berani diekspresikan.
Realitas kesenjangan antara fenomena konglomerasi sebagai buah persekongkolan
praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme aparat negara dan pengusaha, lengkap
dengan nuansa militerisme kian menjadi. Sementara rakyat terus dikorbankan,
ditindas, ditekan, diculik, dihilangkan, bahkan dibunuh jika melawan. Kerusuhan
demi kerusuhan terus bermunculan.
Konflik-konlik vertikal yang
mengemuka juga mulai menumbuhkan gerakan protes. Sebut saja kasus pembangunan
Waduk Kedung Ombo di rentag tahun 1985 hingga 1991 yang menggusur paksa tanah
rakyat di tiga Kabupaten di Jawa Tengah yakni Sragen, Boyolali, dan Grobogan.
Berbeda dengan situasi pembebasan lahan untuk kepentingan negara di masa kini
yang lebih berkeadilan, masa itu dunia masih terasa gelap mencekam. Warga yang
keberatan apalagi menolak akan mendapat diintimidasi dan dituding subversif,
bahkan diisukan sebagai antek PKI. Sebuah stigma yang dijamin bisa bikin rontok
mental manusia Indonesia merdeka.
Isu ini kemudian menarik
simpati kalangan pergerakan rakyat se-Indonesia. Khususnya aktivis mahasiswa
dari berbagai kota di pulau Jawa mulai membangun jejaring solidaritas
perjuangan dan nekat menggelar demonstrasi menyatakan dukungan pada rakyat yang
tertindas sekaligus gugatan pada penguasa yang dianggap berbuat kelaliman.
Melampaui batasan zaman di masa pemberlakuan aturan NKK/BKK, pioner-pioner
pergerakan mahasiswa di masa ini justru terus melipatgandakan konsolidasi
nasionalnya secara intensif.
Berkali-kali mereka langsung
turun basis ke lokasi konflik, menggalang tekad perlawanan warga dan berhadapan
langsung dengan represi aparat yang penuh terror dan kekerasan. Namun, dari
momentum ini justru lahir embrio konsolidasi nasional pergerakan rakyat yang
menjamur lebih luas di seluruh pulau besar se-Indonesia. Pasalnya karena memang
mahasiswa sudah merasa jengah dengan kekangan aktivitas di dalam kampus,
sementara realita konflik yang merugikan rakyat terus bermunculan.
Situasi ini sekali lagi telah
membangkitkan ruh murni mahasiswa sebagai agent of change, agent of
social control, dan iron stock untuk bergerak dan berbuat sesuatu bagi
keberlangsungan bangsa dan negara ini. Seiring dengan menuanya Rezim Orde Baru
di dekade ketiga kekuasaan, gerakan mahasiswa telah menjelma dari sekedar moral
force menuju political force, dengan terus membesar ibarat bola
salju yang menggelinding ke satu arah. Di tengah keadaan penuh girah aktivisme
inilah, lagu Darah Juang menyeruak dan menyentuh relung hati
pendengarnya.
“..di sini negeri kami, tempat
padi terhampar.. anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja.. mereka
dirampas haknya, tergusur dan lapar.. bunda relakan darah juang kami, padamu
kami mengabdi..”
Nuansa penuh khidmat, bahkan
mengharu biru sambil menyanyikan lagu ini selalu menjadi sisipan di tengah
aksi-aksi demosntrasi yang dibakar dengan benturan keras semangat aktivis
melawan tendangan sepatu lars, pukulan tongkat, tembakan peluru karet dan gas air
mata, sampai peluru tajam. Bagi siapapun yang pernah mencicipi suasana lapangan
seperti ini, mungkin sudah hampir niscaya mata akan berkaca-kaca meresapi
benturan makna lagu darah juang ini. Tak salah jika ia di kemudian hari juga
kerap dikenal sebagai hymne reformasi.
Ya, betul. Lagu ini adalah pembangkit
jiwa kepahlawanan kaum muda dan pengiring perjuangan seluruh rakyat Indonesia
di penghujung abad ke-20 untuk bisa menyudahi kuasa rezim otoritarian dan
menghadirkan kembali ruang demokrasi. Lagu inilah yang didengungkan dengan
tetesan air mata di kondisi paling mencekam maupun menggema di puncak
kemenangan saat dengan resmi Presiden Soeharto mengundurkan diri tanggal 21 Mei
1998. Lagu ini pula yang hingga kini
masih dihapalkan oleh seluruh kalangan aktivis mahasiswa di Indonesia, tak
kenal sekat warna identitas apapun yang diimani. Kepada para seniman sekaligus
pejuang. Terima kasih atas penciptaan karya yang begitu hidup dan menghidupkan.
Tabik.
--------------
*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus
Sosiologi FISIP Universitas Lampung.
E-mail : saddam.cahyo@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar