Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 15 Oktober 2021

OPINI : Lagu Pembakar Jiwa Kepahlawanan Anak Bangsa

TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 
" KUSEBUT KAU PAHLAWAN " dari UVI MEDIA


 Lagu Pembakar Jiwa Kepahlawanan Anak Bangsa

Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

 

Semula dalam event bertema Pahlawan ini aku ingin mencatatkan pengalaman kala bertualang menyinggahi beberapa museum di Kota Pahlawan, Surabaya pada penghujung tahun 2019. Namun, pikiranku terus berlompatan dan terngiang kepingan ingatan dari sesi perkuliahan tentang perubahan sosial  dulu. Dosenku yang kritis, bernas, dan energik, almarhumah Dr. Endry Fatimaningsih, M.Si. dengan piawai mengurai beragam faktor yang dapat memicu ledakan gerakan sosial dalam menciptakan perubahan atas tatanan kehidupan yang usang.

Satu dari sekian banyak unsur yang berpotensi menjadi katalisator perubahan ialah karya seni, yang berhasil menjumpai ruang dan waktu yang tepat, yakni melebur dengan situasi sosial politik maupun psikologi massa yang sedang bergolak. Contohnya lagu yang lirik dan aransemen nadanya mampu mencerminkan zeitgeist alias semangat zaman. Ia akan disambut antusiasme massa pendengarnya dan lekas menyebar sebagai ledakan dari mulut rakyat semesta. Mungkin dalam bahasa orang kekiniannya bisa disebut viral!.

Ya, kali ini aku mengajukan pilihan dua buah lagu perjuangan yang tercipta langsung dari tangan orang-orang muda yang ikut berpeluh dan berdarah di dua masa pergolakan kebangsaan Indonesia. Tentu saja, dalam catatan sejarah masih ada begitu banyak karya hebat lainnya yang turut mewarnai perjalanan bangsa tercinta ini. Namun, setidaknya bagi saya, dua lagi ini begitu penting dicatat dan direnungi baik pesan moral yang terkandung di dalamnya, konteks zaman yang melahirkannya, maupun dampak yang telah ia timbulkan.

Pertama, Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman yang di momentum Sumpah Pemuda 1928, telah mengikat kesadaran nasional para pendiri bangsa dari berbagai penjuru Nusantara untuk bergandeng tangan melepas kekangan kolonialisme. Kedua, Darah Juang karya Johnsony Marhasak Lumbantobing yang telah mengharu-birukan suasana demonstrasi menyudahi kekuasaan Rezim Otoritarian Orde Baru di pengghujung era 90-an. Dua lagu istimewa ini ibarat api kecil yang menyulut luasnya ladang ilalang kering kerontang menjadi suluh pembebasan. Ampuh membakar jiwa rakyat untuk mengambil peran dalam arus perubahan bangsanya.

Indonesia Bahagia, Mimpi Mulia Kemerdekaan

Sebagaimana diketahui, jauh sebelum tercapainya status kemerdekaan, Indonesia Raya telah dikukuhkan oleh para pemuda sebagai Lagu Kebangsaan. Secara aklamasi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya di tahun 1945 juga meyakini hal yang sama. Kini diperkuat lagi dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan hingga nyaris tak ada satupun warga negara yang tidak pernah menghapalnya untuk kepentingan upacara bendera di masa sekolah.

Mengutip buku Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (2003) dari Bondan Winarno, ada sebuah catatan kiasan yang menarik. Betapa lagu ini merupakan sonata – sajak 14 baris yang terdiri atas satu oktaf dan satu sextet. Bagi sejarah musik kita, ini adalah pilihan jeli seorang musisi visioner, hingga kemudian para seniman Angkatan Pujangga Baru  menjadikan trend sonata sebagai ekspresi puitis. Liriknya juga merupakan seloka (pantun berangkai) yang memiliki kekuatan kata mirip cara Walmiki  dalam cerita epik Ramayana. Tak ayal dijuluki sebagai Seloka Sakti Pemersatu Bangsa.

Kali pertama dimainkan di muka sidang Kongres Pemuda II, pada malam penutupan tanggal 28 Oktober 1928, meski hanya dengan gesekan instrumental solonya untuk menghindari kecurigaan penjajah, lagu ini dengan senyap merasuki denyut nadi para pemuda yang turut bernyanyi dalam sanubari. Geger pekik “Indonesia Raya, Merdeka, Merdeka!” merebak di kemudian hari, pihak Belanda marah besar dan mengatur agar para pemuda pribumi menyanyikannya secara terbatas dan mengganti penggalan lirik dalam refrain lagu itu dengan kata “Mulia, Mulia..” untuk meredam potensi pergolakan.

Sejak itu nama W.R. Supratman bukan lagi dikenal sebagai wartawan pribumi koran Sin Po tetapi ikut masuk dalam target buruan operasi pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ia harus tinggal berpindah mewaspadai incaran rezim, meski sempat ditangkap dan menghadapi proses interogasi ketat, tapi nyalinya tak ciut. Sementara karyanya kian menggelegar dinyanyikan dengan gegap gempita di seantero negeri. Melalui tiga stanza syairnya, rakyat jelata bahkan yang buta huruf di pelosok desa pun mampu diajak meraba sebuah cita-cita mulia kemerdekaan: “Indonesia Bersatu, Indonesia bahagia, Indonesia Abadi..”.

Puncaknya pada detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Menteng, Jakarta Pusat, lagu indah ini dinyanyikan begitu khidmat oleh segenap rakyat Indonesia. Didengungkan dalam siaran-siaran radio yang terus menjalar ke telinga rakyat lewat saluran udara, dan lagu itu sungguh menjelma sebagai ruh perjuangan bangsa. Sayangnya, semua kemegahan itu tidak pernah bisa disaksikan langsung oleh penciptanya sendiri. W.R. Supratman pada hari Rabu Wage, 17 Agustus 1938 telah wafat dalam usia 35 tahun, persis tujuh tahun sebelum negeri Indonesia diproklamirkan merdeka.

Namun, kita yakini bersama, jiwa sang Pahlawan Nasional bersenjatakan biola itu telah meraih kebahagiaan yang hakiki di sisi Tuhan Semesta Alam, amin. Handai taulan sangat diperbolehkan berkunjung ke rumah tinggalnya yang terakhir dalam pembaringan sakit di Jalan Mangga Nomor 21, Tambak Sari, Surabaya, Jawa Timur yang telah dipugar sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Sementara makamnya yang elok dengan pusara marmer berukir biola terletak di TPU Kapasan, Jalan Tambak Segaran Wetan, Surabaya.

Bunda Relakan Darah Juang  Kami

Lain cerita dengan Darah Juang yang sampai sekarang masih jauh dari harapan bisa mendapat apresiasi formal dari negara. Maklum saja, ini memang bukanlah lagu yang mewarnai pergerakan nasional menuju kemerdekaan, melainkan pengiring semangat rakyat menggulingkan kekuasaan jauh setelah kemerdekaan diraih, sehingga tentu menjadi pertimbangan penuh kehati-hatian bagi negara untuk bersikap terhadapnya.

Lagu ini dibuat secara spontan oleh John Tobing yang dikenal piawai bermain gitar dan lagu bernuansa balad itu, turut diracik pula oleh masukan dari rekan sesama aktivis mahasiswa Keluarga Mahasiswa (KM) - UGM dan Forum Komunikasi Mahaysiswa Yogyakarta (FKMY) di akhir dekade 80-an , seperti Dadang Juliantara dan Budiman Sudjatmiko. Di era ini, benih-benih pemikiran kritis khususnya kepekaan mahasiswa atas berbagai problem ekonomi, sosial, dan politik mulai bertunas.

Rasa ketidakpuasan pada penguasa negeri yang semakin menunjukan arogansi dan represi mulai berani diekspresikan. Realitas kesenjangan antara fenomena konglomerasi sebagai buah persekongkolan praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme aparat negara dan pengusaha, lengkap dengan nuansa militerisme kian menjadi. Sementara rakyat terus dikorbankan, ditindas, ditekan, diculik, dihilangkan, bahkan dibunuh jika melawan. Kerusuhan demi kerusuhan terus bermunculan.

Konflik-konlik vertikal yang mengemuka juga mulai menumbuhkan gerakan protes. Sebut saja kasus pembangunan Waduk Kedung Ombo di rentag tahun 1985 hingga 1991 yang menggusur paksa tanah rakyat di tiga Kabupaten di Jawa Tengah yakni Sragen, Boyolali, dan Grobogan. Berbeda dengan situasi pembebasan lahan untuk kepentingan negara di masa kini yang lebih berkeadilan, masa itu dunia masih terasa gelap mencekam. Warga yang keberatan apalagi menolak akan mendapat diintimidasi dan dituding subversif, bahkan diisukan sebagai antek PKI. Sebuah stigma yang dijamin bisa bikin rontok mental manusia Indonesia merdeka.

Isu ini kemudian menarik simpati kalangan pergerakan rakyat se-Indonesia. Khususnya aktivis mahasiswa dari berbagai kota di pulau Jawa mulai membangun jejaring solidaritas perjuangan dan nekat menggelar demonstrasi menyatakan dukungan pada rakyat yang tertindas sekaligus gugatan pada penguasa yang dianggap berbuat kelaliman. Melampaui batasan zaman di masa pemberlakuan aturan NKK/BKK, pioner-pioner pergerakan mahasiswa di masa ini justru terus melipatgandakan konsolidasi nasionalnya secara intensif.

Berkali-kali mereka langsung turun basis ke lokasi konflik, menggalang tekad perlawanan warga dan berhadapan langsung dengan represi aparat yang penuh terror dan kekerasan. Namun, dari momentum ini justru lahir embrio konsolidasi nasional pergerakan rakyat yang menjamur lebih luas di seluruh pulau besar se-Indonesia. Pasalnya karena memang mahasiswa sudah merasa jengah dengan kekangan aktivitas di dalam kampus, sementara realita konflik yang merugikan rakyat terus bermunculan.

Situasi ini sekali lagi telah membangkitkan ruh murni mahasiswa sebagai agent of change, agent of social control, dan iron stock untuk bergerak dan berbuat sesuatu bagi keberlangsungan bangsa dan negara ini. Seiring dengan menuanya Rezim Orde Baru di dekade ketiga kekuasaan, gerakan mahasiswa telah menjelma dari sekedar moral force menuju political force, dengan terus membesar ibarat bola salju yang menggelinding ke satu arah. Di tengah keadaan penuh girah aktivisme inilah, lagu Darah Juang menyeruak dan menyentuh relung hati pendengarnya.

“..di sini negeri kami, tempat padi terhampar.. anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja.. mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar.. bunda relakan darah juang kami, padamu kami mengabdi..”

Nuansa penuh khidmat, bahkan mengharu biru sambil menyanyikan lagu ini selalu menjadi sisipan di tengah aksi-aksi demosntrasi yang dibakar dengan benturan keras semangat aktivis melawan tendangan sepatu lars, pukulan tongkat, tembakan peluru karet dan gas air mata, sampai peluru tajam. Bagi siapapun yang pernah mencicipi suasana lapangan seperti ini, mungkin sudah hampir niscaya mata akan berkaca-kaca meresapi benturan makna lagu darah juang ini. Tak salah jika ia di kemudian hari juga kerap dikenal sebagai hymne reformasi.

Ya, betul. Lagu ini adalah pembangkit jiwa kepahlawanan kaum muda dan pengiring perjuangan seluruh rakyat Indonesia di penghujung abad ke-20 untuk bisa menyudahi kuasa rezim otoritarian dan menghadirkan kembali ruang demokrasi. Lagu inilah yang didengungkan dengan tetesan air mata di kondisi paling mencekam maupun menggema di puncak kemenangan saat dengan resmi Presiden Soeharto mengundurkan diri tanggal 21 Mei 1998. Lagu ini pula yang  hingga kini masih dihapalkan oleh seluruh kalangan aktivis mahasiswa di Indonesia, tak kenal sekat warna identitas apapun yang diimani. Kepada para seniman sekaligus pejuang. Terima kasih atas penciptaan karya yang begitu hidup dan menghidupkan. Tabik.

--------------

*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Aktif menulis kolom dan cerpen di media massa. Kumpulan artikel opininya dalam rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan di akhir tahun 2020 lalu dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa.

 E-mail : saddam.cahyo@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar