Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 06 Desember 2021

CERPEN : Si Pemabuk Mimpi

 


Oleh : Saddam Cahyo*

 

Klik-klik..

Tanda bunyi pesan masuk di jejaring media sosialku menjelang dini hari.

“Itu salah mu sendiri lho, jangan limpahin sesalmu ke aku dong, salah alamat. Kamu yang gak pernah tahan sendirian. Gak mau nunggu aku siap.”

Pesan masuk ini sudah tentu berasal darinya. Siapa lagi orang yang bakal aktif menghubungiku hanya di waktu semua orang lelap berselancar dengan mimpi-mimpinya.

Sementara aku, belakangan ini harus diserang gejala sakit hati dan pikiran yang kambuhan. Hampir setiap malam tubuh menuntut direbahkan, tapi mata teramat takluk pada keresahan. Ia tak sudi memejam sebelum pesan demi pesan masuk terbaca hingga menjelang fajar.

Sebenarnya putaran ini sudah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir. Bukanlah waktu yang singkat, apalagi mudah untuk dilewati. Bayangannya nyaris setiap hari selalu saja terputar dengan sendirinya di dalam kepala. Memori ingatan dengan mudah bergulung mundur ke setiap lapisan peristiwa yang berkenaan dengannya.

Bagaimana Tuhan begitu jenaka, mempertemukan kami tapi seperti tidak untuk disatukan sama sekali. Lucunya ini terjadi berkali-kali, terus berulang dalam adegan demi adegan dengan tingkat penyesalan yang kian berlipat pula.

Dari tahun ke tahun, tiap kali musim perjumpaan dengannya harus berakhir, aku kembali menutup dengan satu simpulan yang tak pernah berubah, bahwa aku hanyalah seonggok manusia bodoh yang diberkati nafas kehidupan. Tak ada lain.

Ibarat Sisifus yang mashur akan keburukan hidupnya dalam mitologi Yunani. Dikutuk para dewa agar selamanya memikul batu karang naik ke puncak bukit hanya untuk melihatnya kembali menggelinding ke bawah. Lalu kembali ia ulangi tindakan yang sama, entah untuk keberapa kalinya, dan luka apa saja yang harus dialami dalam pendakian tanpa henti itu.

“Apa sebelumnya pernah kamu tanya? Saat kamu benar-benar sendiri? Setahuku enggak.” Pesannya kemudian.

Memang benar kata-katanya. Ternyata sama sekali aku tidak pernah sungguh-sungguh berjuang menggapainya. Alih-alih berusaha, aku cuma sibuk memetiki bunga mimpi. Mendambakan sambutan tangannya, tapi terus menggamit tangan-tangan mereka yang lain.

Dasar pemimpi, bahkan dalam mimpi pun masih bermalas-malasan.

Tapi sepertinya bukan hanya aku yang candu pada mimpi-mimpi ini. Entah bagaimana, ia bertahan tanpa pernah memiliki komitmen afektif dengan siapa pun sampai saat ini. Kemunculannya yang terus timbul tenggelam semaunya, dengan rentang waktu yang tak pernah bisa diduga, dan berbagai momen perjumpaan yang seperti jebakan ilahi. Semua ini terasa begitu dibuat-buat, terlalu disengaja untuk sebuah kebetulan.

Hasrat pecundangku selalu bergolak tiap kali memikirkan sudut pandang yang satu ini. Senyum sendiri dengan pikiran yang penuh halusinasi, dan beberapa saat  kemudian ujung bibir ditarik kecut memecundangi diri sendiri. Cih!

Jujur, aku sudah berusaha sekerasnya, kupaksakan diri untuk merdeka dari segala siksa harapan palsu ini. Tapi ia pula yang selalu tetiba muncul kembali. Sosoknya menjelma seperti bayang-bayang kutukan yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah keniscayaan, yang entah bagaimana caranya harus diterima sebagai kenyataan.

Pernah satu kali, aku tegas memintanya. “Aku harus bilang ke kamu, aku mau kita menyatu.” Ucapku lebih dari lima tahun lalu, setelah berbagai kesalahpahaman harus kami lalui.

Apa jawabnya saat itu? Ingatanku sangat baik untuk merekam semuanya. Terus berputar ia menyusun kata-kata, entah memang karena seperti yang sekarang diungkapnya bahwa dulu ia belum siap, entah memang ia sekedar ingin menolak, atau justru memang itu caranya menikmati semua ini.

Sekarang, setelah satu dekade, ia muncul dengan gugatan. Hah? Bagaimana bisa ia balik menggugat semuanya. Bukankah selama ini aku yang terus dihembuskan hawa sejuk angin surga yang sengaja ia tiupkan saat aku mulai membiasakan diri dengan panas dan keringnya udara patah hati.

Sekarang, dengan berani ia katakan. “Bukan soal aku yang gak mau, tapi kamu yang gak pernah mau nunggu. Kamu gak beri aku waktu.”

Oh Tuhan, ternyata baginya ini soal waktu.

Aku ingat dengan benderang, bagaimana dulu kali pertama pesonanya tertangkap mata remajaku. Sikapnya yang antusias dan jenaka meski berbalut seragam putih-abu-abu dengan hijab panjang. Tawanya yang selalu dibendung dengan telapak tangan, namun tak pernah bisa menutupi dua lesung pipitnya yang teramat manis itu.

Aku masih bisa merasakan, bagaimana dulu kami menyambut senja duduk di tepi lapangan sepak bola kampus. Ngalor-ngidul adu argumentasi soal ideologi, padahal hanya demi membunuh rindu. Bagaimana kami bisa duduk seharian di taman beringin kembar hanya untuk menonton film dan bertukar buku. Bagaimana kami bisa menyebut bermacam alasan, dari jenguk teman sampai takut kesurupan agar bisa kembali bersua.

Aku hapal betul semua gesturnya, dan senyum itu sungguh menyiksaku dalam waktu yang begitu lama. Waktu yang sudah bergulung tebal dan tak mungkin lagi digelar. Waktu yang juga telah aku dan ia abaikan untuk tidak sekalipun masuk ke inti soal. Waktu yang kami biarkan mengalir deras dan liar, bercabang entah kemana. Waktu yang kini ia gugat seolah tanpa beban.

“Tapi sekarang udah gak bisa lagi andai-andai. Kita berbeda sejak awal. Bahkan dasarnya gak pernah bisa disamakan. Buatku ada cinta yang lebih agung dan tinggi ketimbang konsep cinta mu yang kerdil.” Tutupnya ketus.

Oh, barangkali kamu pikir aku bakal terluka mendengarnya. Berhenti, lalu pergi melupakan segalanya. Maaf, aku adalah sang Sisifus itu sendiri.

Kamu tahu? Begawan Albert Camus pernah menyodorkan sudut pandang yang berbeda dari awam kebanyakan. Mungkin, kamu sendiri yang harus membongkar pikiran. Betapa aku sebagai Sisifus yang terkutuk dalam derita, ternyata seorang yang tuntas. Sadar betul jika luka yang berulang itu justru jalan kebahagiaan.

Ya, ini adalah caraku untuk berbahagia karena pernah mengenalmu. Malah bisa jadi, aku adalah kamu itu sendiri.

Ah, dasar pemabuk mimpi!




--------------

Jagakarsa, 30 Juni 2021.

*) Seorang pekerja urban di Ibu kota. Tulisannya berupa laporan berita, cerpen, resensi, opini, esai kerap terbit di media massa. Tahun 2019 salah satu cerpennya berjudul “Kita Kalah Mbah, Sekali Lagi” terpilih masuk dalam buku antologi Yang Tergusur: Tanah Air Dan Banalitas Pembangunan.



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar