TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi
" KUSEBUT KAU PAHLAWAN " dari UVI MEDIA
Perspektif Sosial Kepahlawanan
Oleh
: M. Saddam
SSD.
Cahyo*
Setidaknya sampai tahun 2020
yang lalu, tercatat sudah 191 orang
putra dan putri bangsa yang dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Hal
ini diatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa,
dan Tanda Kehormatan dan setiap tahunnya masyarakat diperkenankan untuk
mengajukan usulan nama tokoh yang telah gugur dan di masa hidupnya
mendedikasikan diri dalam perjuangan kemerdekaan, melakukan tindakan dan
prestasi maupun karya yang luar biasa bagi pembangunan kemajuan bangsa dan
negara Republik Indonesia.
Pahlawan Nasional merupakan
gelar penghargaan resmi dengan level tertinggi dari negara, karenanya tentu tak
akan sembarangan. Proses seleksi dilakukan secara ketat dan independen, hingga
pada setiap tahun di tanggal 10 November bertepatan dengan preingatan Hari
Pahlawan, hasilnya akan diumumkan oleh Presiden. Namun, jangan salah dipahami
ini sebagai pembatasan apresiasi negara terhadap para pejuang kemerdekaan.
Pemerintah juga terus berbenah mengumpulkan catatan sejarah yang berserak untuk
menghargai jasa semua pihak termasuk para pahlawan anonim.
Nah, kini beralih ke pokok
bahasan di samping keistimewaan gelar resmi tersebut. Betapa sesungguhnya yang
berhak disematkan julukan pahlawan tidaklah hanya berkutat di seputar nama-nama
besar saja, melainkan juga sosok-sosok kecil yang hanya sekilas diingat.
Bahkan mungkin sampai ke ranah mikro dan
privat yaitu mereka yang berjasa dalam hidup kita masing-masing. Tentu juga ia
tak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu di masa-masa pergerakan
nasional pra dan awal kemerdekaan saja, melainkan juga harus menyentuh hingga
masa kini dalam mengisi kemerdekaan.
Fenomena Kepahlawanan
Tetapi ini kita sedang membincangkan
soal pahlawan sebagai kata sifat, yang bisa melekat pada diri manusia manapun
untuk bisa melakukan sumbangsih, perbuatan, pemikiran, dan pengorbanan bagi
kemaslahatan orang banyak meski dihadapkan dengan resiko besar bagi dirinya
sendiri. Seorang Ayah atau Ibu dalam lembaga sosial di skala terkecil yakni
keluarga pasti berpotensi menjadi sosok pahlawan yang paling nyata bagi
anak-anaknya, karena memang mereka adalah pribadi yang tak pernah pamrih
mencurahkan kasihnya.
Contoh lain yang begitu nyata
bisa disaksikan dalam skala lebih luas di tengah masyarakat, semisal aksi
Yohanes Ande Kala Marcal alias Joni, siswa SMP berusia 13 tahun di tahun 2018
yang secara spontan memanjat tiang bendera saat terjadi insiden putus tali
pengibar dalam pelaksanaan upacara peringatan HUT ke-73 RI di Pantai Motaain,
Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Masih hangat dalam ingatan juga tentang mendiang
Riyanto, anggota BANSER NU berusia 25 tahun yang gugur dalam tragedi terorisme
bom di Gereja Eben Heazer, Mojokerto, Jawa Timur pada prosesi misa malam Natal
tahun 2000 lalu.
Di jejaring sosial media, tak
jarang dijumpai postingan perihal aksi-aksi heroik yang sungguh patut disyukuri.
Mulai dari oknum polantas yang cekatan mengevakuasi ibu hendak melahirkan dari
jebakan arus macet mudik, pedagang mainan yang sengaja menabrakkan sepedanya
untuk menggagalkan aksi pembegalan sepeda motor, hingga aneka gerakan
kedermawanan yang sangat berdampak untuk menyelamatkan keberlangsungan hidup wong
cilik di musim pagebluk ini. Sebagai fenomena, hal seperti ini wajib
diviralkan agar menjadi penguat jalinan rasa kolektifitas kita sebagai satu
kesatuan utuh manusia, saudara sebangsa dan setanah air.
Perspektif Sosiologis
Kepahlawanan sebagai kata
sifat memang memiliki daya yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Namun,
seringkali persepsi masyarakat mengenai konsep ini terbentuk secara parsial. Bila
digeneralisir akan ada dua kecenderungan umum yang dikotomis. Pertama seseorang
akan fokus pada sudut subjektif seperti sosok atau figur yang dipahlawankan
saja, lalu timbul kesan pengkultusan yang menjadi bumbu cerita saat
membicarakannya. Sebagai analogi epos Pangeran Diponegoro yang kerap dicitrakan
sebagai aktor tunggal dengan bekal kemampuan metafisik sakti mandraguna yang
terberkati Tuhan serta turunan raja Mataram.
Kedua, seseorang akan fokus
pada sudut objektif seperti sistem atau struktur sosial dalam konteks zaman
terjadinya peristiwa sebagai penentu utama terjadinya aksi kepahlawanan. Sederhananya
dalam analogi yang sama, Pangeran Diponegoro mungkin bukanlah aktor kunci dalam
Perang Jawa yang berlangsung antara tahun 1825 hingga 1830, melainkan para
prajurit dan panglima yang setia padanya lebih cerdik perkasa.
Privilagenya sebagai bangsawan
utamalah yang mungkin saja menjadi keuntungan untuk bisa tampil sebagai simpul
pergerakan menentang kolonialisme Hindia Belanda. Ia juga didukung oleh situasi
puncak kemarahan warga pribumi, dimana praktek pemungutan pajak dan penyewaan
tanah oleh pemerintah kolonial kian menggila, ditambah lagi kooptasi pada
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IV yang masih kanak-kanak saat naik tahta.
Sosiolog kontemporer asal
Inggris, Anthony Giddens menawarkan jalan tengah dari perdebatan yang terus saling
memunggungi antara kubu subjektif dan kubu objektif dalam menilai suatu
fenomena kepahlawanan. Lewat buku The Constitution of Society (1984)
mengemukakan sebuah teori yang memandang kedua kubu itu justru akan mencapai
kebenaran jika diakui sebagai kesatuan utuh. Teori strukturasinya ini mengulas
tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis
struktur dan agen secara berimbang.
Perspektif ini kemudian
populer karena dirasa cukup adil dan komprehensif untuk menerjemahkan fenomena
kepahlawanan. Ia menuntun kita untuk mengakui peran semua unsur, baik agen
maupun struktur yang keduanya saling menempa dalam relasi dialektis. Semisal Pangeran
Diponegoro tadi, kepangeranannya adalah sebuah situasi struktural yang bisa
jadi tak akan berarti apa-apa tanpa adanya motivasi personalnya sebagai agen
perubahan.
Faktanya begitu banyak keteladanan yang bisa menjadi
benang merah, bagaimana sebagai seorang bangsawan ia punya ketekunan belajar
yang luar biasa. Ia tak merasa cukup pada pelajaran formal, melainkan juga
aktif melebur dengan rakyat jelata. Ia menyaksikan langsung berbagai aksi
congkak kaum penjajah atas ketidakberdayaan keraton. Bersama banyak pangeran
lain, kaum priyayi, petani, bahkan bandit, dan juga kaum perempuan bersatu
dalam aksi perlawanan yang tak bisa diremehkan.
Dalam tempo lima tahun saja, meski
harus terkalahkan, perang yang dikobarkannya itu telah mengajarkan nilai
kepeloporan dan keberanian rakyat pribumi Nusantara, khususnya di tanah Jawa
untuk lebih berani membela haknya, untuk menyudahi kesewenangan. Tercatat ada
8.000 orang prajurit Belanda dan 7.000 orang serdadu pribuminya yang tewas,
belum lagi kerugian material yang menguras kas negeri mereka. Kolaborasi agen
dan struktur semacam inilah yang juga terjadi dalam epos lain seperti dwi
tunggal proklamator Soekarno-Hatta.
Pada prinsipnya, tak peduli
apapun latar belakang kita, semua orang bisa menjadi pahlawan bagi orang di
sekitarnya, terutama dalam kebajikan. Namun, kepahlawanan bukanlah sebuah aksi
tunggal, ia mesti dilahirkan dari benturan situasi subjektif dan objektif,
serta melibatkan akal sehat dan hati nurani. Setiap orang harus saling
menyokong nergotong royong dalam kebaikan, apalagi bangsa ini punya modal
sosial Pancasila sebagai ideologi nasional. Situasi ini penting ditumbuhkan
hingga terhabituasi sebagai karakter hidup bangsa, dengan demikian kita tidak
hanya akan berkutat pada sejarah masa lalu, sebab sosok-sosok pahlawan baru
akan terus lahir dan hadir sesuai dengan kontekstualitas zaman. Tabik.
--------------
E-mail : saddam.cahyo@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar