Irisan Peristiwa dan Kenangan
Bocah 90an
Oleh
: M. Saddam
SSD.
Cahyo*
Jika kamu punya minat pada isu
seputar sejarah dan politik antar bangsa sedunia, pasti dengan mudah menebak
arti namaku. Kata Saddam sebagai nama utamaku adalah catutan dari nama salah
seorang tokoh besar di penghujung abad ke-20. Persisnya Saddam Hussein Abd
al-Majid al-Tikriti, seorang pemimpin revolusioner di negeri Irak yang pernah berkuasa
penuh dalam dua dasawarsa. Ia telah membawa begitu banyak kemajuan sekaligus
kengerian bagi bangsanya.
Sosok ini fenomenal karena kerap
menggemparkan dunia dan begitu mengesankan benak Ayah, persis saat Ibu
dinyatakan mengandungku. Kisaran akhir tahun 1989 hingga awal 1991, situasi
Perang Teluk terutama antara negeri imperium Amerika Serikat yang merasa jadi
polisi dunia terhadap Irak yang ingin menguasai jazirah Arab kian memanas. Naasnya,
pasukan militer di bawah komando Presiden George H.W Bush senior harus
kalang kabut kewalahan meladeni akal bulus Saddam.
Negeri adi daya itu kebobolan
kas anggaran karena pembiayaan perang. Terlalu banyak siasat yang ditebar di
negeri Abu Nawas itu, padahal teknologi persenjataan AS unggul jauh. Konon, pernah
di satu momentum pasukan Saddam memasang ratusan armada tank tempur yang
menggentarkan Paman Sam. Tak pelak, mereka lekas menggempur habis dengan
bombardir roket jarak jauh. Tentu saja semua tank itu hangus jadi debu.
Bagaimana tidak? Mereka hanyalah replika berbahan kertas yang sengaja dibuat
untuk mengecoh lawan.
Memang “gila” itu Saddam
Husein Sang Pendobrak. Meski berakhir
dengan gencatan senjata, berita kesuksesan Irak memecundangi Amerika tetap
menyebar ke seantero dunia. Semua dahi dibuat mengernyit heran, dan entah
bagaimana gelak tawa pun terlepas dari dasar perut menuju mulut para penikmat
warta. Sisanya, gelengan decak kagum terus menyebar di antara milyaran
percakapan warga dunia yang ikut menyimpan setitik rasa dongkol pada negeri adi
kuasa itu. “Rasain, hahaha. Biar Kapok!”
Nah, sampai di sini teranglah
sudah riwayat penamaan diriku di bawah kuasa imajinasi dan doa Ayahanda. Soal
apakah harapannya sudah berhasil kutunaikan atau malah jauh melenceng, entahlah.
Biar saja waktu dan orang lain yang sibuk menilai, sebab di sini aku ingin
berbagi kepingan ingatan di rentang dekade 1990an. Sebuah masa yang istimewa,
bukan hanya karena aku ikut hidup di dalamnya sebagai bocah ingusan, tapi juga
karena inilah penghujung Abad ke-20 Masehi sekaligus penutup milenium kedua.
Tentu saja yang termasuk
generasi Y dan Z boleh merasa spesial, karena ia yang kerap dijuluki generasi milenial
ini sesungguhnya anak zaman transisi. Merasakan langsung transfer pengetahuan
dari praktek hidup orang di masa lalu yang serba manual, sekaligus mengalami
bagaimana kemajuan teknologi serba otomatis dan digital berlangsung. Jiwa dan
raga kita larut dalam poros adukan dua zaman yang sama-sama mencengangkan.
Kondisi khusus yang bisa
menjadi keunggulan sekaligus kelemahan, tergantung bagaimana kemampuan
mengolahnya sebagai bekal kehidupan. Oke cukup, sebenarnya aku mau membahas kenangan
yang mengendap. Oh ya, bicara soal tema ini jujur saja kepalaku sedikit mumet,
karena harus mengurai benang kusut memori oplosan antara rentang dekade 90an
versus 2000an. Syukurnya fokus pada dunia hiburan dan penyiaran ternyata ampuh menuntun
jalan ingatan.
Lipatan Kenangan
Aku ingat sekali ada lagu yang
terus terngiang di telinga bocahku, dan jika diputar di radio selalu mengundang
reaksi lidah untuk ikut bernyanyi dengan ekspresi dan gaya seasyik mungkin.
Barangkali ada diantara pembaca yang tahu, penggalan liriknya “Akulah Pangeran
Dangdut yang Akan Mengguncang Dunia..!” dari penyanyi cilik Abiem Ngesti.
Sayang jalan hidupnya harus terhenti akibat kecelakaan lalu lintas yang
menewaskan ia sekeluarga di tahun 1995, jika tidak si Alam dan Ridho Rhoma bisa
kalah pamor.
Hampir setiap siang, abangku
memutar radio berbaterai ukuran D yang kalau habis sering dijemur. Khusyuk
menyimak sandiwara seperti Tutur Tinular, Misteri Nini Pelet, atau Saur Sepuh. Aku
suka gaya bicara penutur cerita, dan kadang terbawa emosi sambil berkhayal
semampunya. Kami sering mengulang kalimat percakapan dengan intonasi yang
dimirip-miripkan, sambil bergerak menyusun jurus silat sembarang dalam
permainan sehabis mandi di sore hari. Tentu kami berebut peran menjadi tokoh utama
si Arya Kamandanu.
Mungkin setahun dua kali di
wilayah tempat kami tinggal diselenggarakan Pasar Malam dengan aneka hiburan
keluarga. Sebagai pembukaan, digelarlah Layar Tancap dengan ongkos seikhlasnya
dari penonton. Sejak beberapa hari sebelumnya, sebuah mobil dengan pengeras
suara akan berkeliling perkampungan sambil menyebarkan brosur iklan beberapa
judul film yang akan diputar. Sebagian orang menyebut aktivitas yang saat itu
sudah mulai langka itu sebagai Misbar alias Gerimis Bubar.
Biasanya kami sekeluarga
memilih film kungfu cina atau komedi. Suasana malam terasa istimewa meski
sebenarnya penonton hanya duduk lesehan di hamparan terpal di lapangan terbuka.
Sambil menikmati aneka kudapan, mata pun fokus menatap layar kain yang disorot cahaya
mesin pemutar film. Aku sendiri tak pernah bisa tuntas menonton. Hanya ada dua
pilihan, sibuk berlarian main dengan teman sebaya, atau justru pulas tertidur
di pangkuan orang tua.
Entah bagaimana ceritanya, di
rumah kami sudah punya televisi berwarna berikut remotnya pula. Barangkali
usiaku baru empat tahun lewat, dan saking senangnya remot tivi itu pun tak
berumur panjang, tanpa keraguan aku membawanya bermandi hujan di halaman. Kubayangkan
kapal tempur yang memiliki persenjataan canggih, bahkan bisa menyelam ke dasar
lautan. Maka habislah sudah perutku sore itu dicubiti Ibu. Sumpah, rasa
sakitnya masih bisa kuraba sampai sekarang.
Kehadiran televisi berwarna 14
inchi, meski sudah tanpa remot itu membawa banyak kebahagiaan. Setiap malam aku
akan dihantar kantuk oleh siaran Dunia Dalam Berita kesukaan Ayah. Ya, di kota
Bandar Lampung saat itu siaran nasional yang bisa ditangkap masih hanya TVRI. Beberapa
waktu kemudian stasiun televisi swasta
nasional seperti TPI, RCTI, ANTV, SCTV, dan Indosiar bisa tertangkap, terutama
oleh antena yang bagus dan ditancap dengan tiang setinggi mungkin, sambil
diputar-putar.
Aku ingat betul kehebohan di
lingkungan komplek perumahan kami setiap ada satu tambahan channel baru yang
bisa ditonton. Semua tetangga akan saling mengabarkan dan minimal seminggu
masuk dalam list bahan obrolan warga. Penting juga diingat, saat itu tidaklah
semua rumah mampu memiliki tivi sendiri. Masih banyak yang harus menumpang ke
tetangga hanya untuk bisa ikut menyimak hiburan.
Namun, pecepatan kemajuan
zaman mulai kusadari kala itu. Dulu tetangga punya tivi hitam putih rasanya
sudah keren sekali, karena kami cuma punya radio. Tak lama berselang dari kami
sanggup membeli tivi berwarna, justru beberapa tetangga lain membuat kegemparan
dengan memasang antena parabola. Duh, aku gak rela, masih belum lama merasa
hebat kok harus secepat itu dijatuhkan lagi.
Itu alat memang canggih di mata kami, berbentuk seperti wajan raksasa yang cekungannya terbuat dari jaring baja untuk menjangkau siaran beragam baik nasional maupun mancanegara. Alhasil aku harus ikut antrian minggu pagi di depan gerbang rumah teman yang punya parabola demi menonton tayangan favorit seperti Kamen Rider Satria Baja Hitam, Dragon Ball, Power Ranger, Pasukan Turbo, dst. Tentu si kawan anak pemilik rumah jadi “Bos Kecil” yang harus dijaga moodnya. Salah satu syaratnya kami harus sudah mandi dan sarapan di rumah masing-masing.
Seputar Peristiwa
Rrutinitas harianku mulai
berkelindan dengan televisi, suka sekali menonton bahkan sekedar iklan yang
jenaka. Biasanya di siang sampai petang hari ada banyak kuis favorit kami yang
seru disimak. Sebut saja Kuis Jari-Jari yang dibawakan Pepeng, Kuis Dangdut
“Apaan Tuh” yang dipandu Jaja Miharja, Kuis Famili 100 oleh Soni Tulung, Kuis
Berpacu Dalam Melodi oleh Koes Hendratmo, Kuis Siapa Dia oleh Aom Kusman, Kuis
Tak Tik Boom! nya Dede Yusuf, Kuis Kata Berkait nya Nico Siahaan, Kuis Apa Ini
Apa Itu nya Jeffry Waworuntu, dan Kuis Piramida dari Rony Sianturi.
Tayangan edukasi seperti Si
Komo, Unyil, Dunia Anak yang ada Boneka Susannya juga gak luput dari
pantauanku. Sementara untuk mencari tawa kami rutin menanti Lenong Bocah,
Spontan Uhhuy, Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul, Mody Juragan Kost, Si Manis
Jembatan Ancol, Gerhana, Wiro Sableng 212, dan Warkop DKI. Tentu ada juga
sinetron epik idola keluargaku masa itu, seperti Si Doel Anak Sekolahan,
Keluarga Cemara, atau kolosal Brama Kumbara. Beberapa serial asing juga kami
lahab, semisal Kembalinya Pendekar Rajawali, Oshin, Maria Mercedes, Marimar, Monkey
King, The Cosby Show, dan aduh maaf ada Bay Watch juga yang beberapa kali tak
sengaja kutonton sambil pura-pura tertidur.
Dari televisi juga aku yang
masih bocah menangkap banyak kabar meski samar untuk memahami konteksnya. Contohnya
saat orang dewasa menularkan demam sepak bola di Piala Dunia - Prancis 1998 aku
ikut hapal penggalan lirik lagu The Cup of Life dari Ricky Martin yang pokoknya
“Go.. go.. gol.. ale ale ale..” itu. Berita duka dari orang tersohor
juga sempat lekat di ingatan, seperti tewasnya Nike Ardilla dalam puncak karir
selebritasnya di usia belia 19 tahun akibat kecelakaan tanggal 19 Maret 1995. Sosok
ini sangat fenomenal dan hingga kini masih punya penggemar fanatik yang
terkoordir.
Meninggalnya Benyamin Sueb
pada 5 September 1995 juga ikut kusaksikan baik lewat siaran berita maupun
episode khusus sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Hitsnya lagu Denpasar Moon oleh
Maribeth Pascua penyanyi asal Filipina, dan euforia kemenangan pasangan atlet
nasional Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang sama-sama meraih medali emas di
Olimpiade Barcelona 1992 juga masih sering diungkit kala itu.
Ada pula aksi mengejutkan
petinju kelas berat Mike Tyson yang menggigit daun telinga rivalnya Evander
Holyfield dalam laga tanding ulang perebutan Sabuk Juara WBA tanggal 28 Juni
1997. Kasus tewasnya Lady Diana dalam kecelakaan mobil bersama pasangan tak
resmi juga jadi kudapan bocah seusiaku kala itu. Tayangan Misteri yang bikin
susah tidur sampai ceramah ulama beken KH. Zainuddin MZ juga gak luput dari
pendengaran, “Betul?”
Penghujung dekade 90an memang
agak istimewa bagi bangsa Indonesia, dimana kita harus kembali melewati fase
pergolakan sejarah politik lewat penggulingan kekuasaan otoritarian berjuluk
Orde Baru yang telah berkuasa penuh selama tiga dasawarsa oleh gerakan protes
rakyat se-tanah air. Ada begitu banyak momen krusial yang penting dicatat
bersama dan pantang dilupakan dari episode pemerintahan Presiden Jenderal besar
(Purn). H. M. Soeharto itu, karena masih menjadi misteri yang belum selesai
sampai sekarang.
Aku mulai ikut-ikutan sok
serius menyimak berita di televisi, aku suka berlagak sibuk jadi reporter
pembawa kamera besar di panggulan bahu. Sekilas kudengar adanya aksi Penembakan
Misterius alias Petrus untuk melibas serampangan siapapun orang yang diduga
preman dengan ciri tubuh bertato. Aksi teror oleh “tangan negara” itu mungkin dianggap
ampuh menekan kriminalitas dan menciptakan suasana ketertiban. Siapa pula yang
gak ngeri kalau tiba-tiba menjumpai karung berisi mayat tertembak dan babak
belur. Mungkin pembaca yang lahir di masa reformasi tak percaya, tapi ini nyata
lho, sumpah!
Ada juga geger kaburnya Eddy
Tansil, terpidana kasus korupsi senilai 1,5 triliun rupiah yang kabur dari LP
Cipinang di tahun 1996. Ia melegenda karena berhasil lolos dari vonis
pengadilan 20 tahun penjara dengan denda triliunan, dan jejaknya masih saja
belum terendus di zaman secanggih ini. Rezim Orba memang punya segudang penuh catatan
buruk, terutama di soal isu KKN dan pelanggaran HAM berat. Sejak awal
kekuasaannya di tahun 1966 hingga lahirnya gelombang protes yang menuntut
Reformasi di tahun 1998, entah sudah berapa banyak nyawa rakyat dicabut paksa
untuk sekedar membungkam suara sumbang oposan demi melanggengkan status quo.
Tragedi Talang Sari Lampung,
Kerusuhan Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998, Pembunuhan Wartawan Udin dan
Aktivis Buruh Marsinah 1994, Kerusuhan Kudatuli 1996, hingga rangkaian Penculikan dan Penyiksaan Aktivis
Pro Demokrasi. Atas nama menjaga ketertiban umum, label subversif ditebar pada
siapapun yang berontak. Rentetan kekerasan aparat semacam Tragedi Makassar Berdarah
1996, UBL Berdarah 1999, Tewasnya Moses di Yogyakarta 1998, Tragedi Semanggi I
dan II, sampai Trisakti 12 Mei 1998. Penghilangan paksa aktivis pro demokrasi oleh
Tim Mawar seperti Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah dan sebagainya
masih terhutang.
Puncaknya adalah ingatan akan
sorak sorai gembira di semua penjuru Nusantara, saat Presiden Ke-2 Republik
Indonesia yang sudah renta itu mengurai pidato pengunduran dirinya di layar
kaca.
“..Dengan memperhatikan
ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan
pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada
di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai
Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada
hari ini, Kamis, 21 Mei 1998..” ucap
Soeharto setengah tersendat.
Begitulah gambaran memori
ingatanku seputar era 90an, memang tidak semuanya jenaka sebab realitas juga selalu
mengandung sisi petaka. Semoga perjalanan waktu bisa membuat kita semua jadi
lebih bijaksana menekuni hidup. Tabik.
--------------
*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus
Sosiologi FISIP Universitas Lampung.
E-mail : saddam.cahyo@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar