Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 15 Oktober 2021

FRIKSI : Irisan Peristiwa dan Kenangan Bocah 90an

TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 
" NOSTALGIA ERA 90-AN " dari UVI MEDIA

 

Irisan Peristiwa dan Kenangan Bocah 90an

Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

 

Jika kamu punya minat pada isu seputar sejarah dan politik antar bangsa sedunia, pasti dengan mudah menebak arti namaku. Kata Saddam sebagai nama utamaku adalah catutan dari nama salah seorang tokoh besar di penghujung abad ke-20. Persisnya Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti, seorang pemimpin revolusioner di negeri Irak yang pernah berkuasa penuh dalam dua dasawarsa. Ia telah membawa begitu banyak kemajuan sekaligus kengerian bagi bangsanya.

Sosok ini fenomenal karena kerap menggemparkan dunia dan begitu mengesankan benak Ayah, persis saat Ibu dinyatakan mengandungku. Kisaran akhir tahun 1989 hingga awal 1991, situasi Perang Teluk terutama antara negeri imperium Amerika Serikat yang merasa jadi polisi dunia terhadap Irak yang ingin menguasai jazirah Arab kian memanas. Naasnya, pasukan militer di bawah komando Presiden George H.W Bush senior harus kalang kabut kewalahan meladeni akal bulus Saddam.

Negeri adi daya itu kebobolan kas anggaran karena pembiayaan perang. Terlalu banyak siasat yang ditebar di negeri Abu Nawas itu, padahal teknologi persenjataan AS unggul jauh. Konon, pernah di satu momentum pasukan Saddam memasang ratusan armada tank tempur yang menggentarkan Paman Sam. Tak pelak, mereka lekas menggempur habis dengan bombardir roket jarak jauh. Tentu saja semua tank itu hangus jadi debu. Bagaimana tidak? Mereka hanyalah replika berbahan kertas yang sengaja dibuat untuk mengecoh lawan.

Memang “gila” itu Saddam Husein Sang Pendobrak. Meski berakhir dengan gencatan senjata, berita kesuksesan Irak memecundangi Amerika tetap menyebar ke seantero dunia. Semua dahi dibuat mengernyit heran, dan entah bagaimana gelak tawa pun terlepas dari dasar perut menuju mulut para penikmat warta. Sisanya, gelengan decak kagum terus menyebar di antara milyaran percakapan warga dunia yang ikut menyimpan setitik rasa dongkol pada negeri adi kuasa itu. “Rasain, hahaha. Biar Kapok!”

Nah, sampai di sini teranglah sudah riwayat penamaan diriku di bawah kuasa imajinasi dan doa Ayahanda. Soal apakah harapannya sudah berhasil kutunaikan atau malah jauh melenceng, entahlah. Biar saja waktu dan orang lain yang sibuk menilai, sebab di sini aku ingin berbagi kepingan ingatan di rentang dekade 1990an. Sebuah masa yang istimewa, bukan hanya karena aku ikut hidup di dalamnya sebagai bocah ingusan, tapi juga karena inilah penghujung Abad ke-20 Masehi sekaligus penutup milenium kedua.

Tentu saja yang termasuk generasi Y dan Z boleh merasa spesial, karena ia yang kerap dijuluki generasi milenial ini sesungguhnya anak zaman transisi. Merasakan langsung transfer pengetahuan dari praktek hidup orang di masa lalu yang serba manual, sekaligus mengalami bagaimana kemajuan teknologi serba otomatis dan digital berlangsung. Jiwa dan raga kita larut dalam poros adukan dua zaman yang sama-sama mencengangkan.

Kondisi khusus yang bisa menjadi keunggulan sekaligus kelemahan, tergantung bagaimana kemampuan mengolahnya sebagai bekal kehidupan. Oke cukup, sebenarnya aku mau membahas kenangan yang mengendap. Oh ya, bicara soal tema ini jujur saja kepalaku sedikit mumet, karena harus mengurai benang kusut memori oplosan antara rentang dekade 90an versus 2000an. Syukurnya fokus pada dunia hiburan dan penyiaran ternyata ampuh menuntun jalan ingatan.

Lipatan Kenangan

Aku ingat sekali ada lagu yang terus terngiang di telinga bocahku, dan jika diputar di radio selalu mengundang reaksi lidah untuk ikut bernyanyi dengan ekspresi dan gaya seasyik mungkin. Barangkali ada diantara pembaca yang tahu, penggalan liriknya “Akulah Pangeran Dangdut yang Akan Mengguncang Dunia..!” dari penyanyi cilik Abiem Ngesti. Sayang jalan hidupnya harus terhenti akibat kecelakaan lalu lintas yang menewaskan ia sekeluarga di tahun 1995, jika tidak si Alam dan Ridho Rhoma bisa kalah pamor.

Hampir setiap siang, abangku memutar radio berbaterai ukuran D yang kalau habis sering dijemur. Khusyuk menyimak sandiwara seperti Tutur Tinular, Misteri Nini Pelet, atau Saur Sepuh. Aku suka gaya bicara penutur cerita, dan kadang terbawa emosi sambil berkhayal semampunya. Kami sering mengulang kalimat percakapan dengan intonasi yang dimirip-miripkan, sambil bergerak menyusun jurus silat sembarang dalam permainan sehabis mandi di sore hari. Tentu kami berebut peran menjadi tokoh utama si Arya Kamandanu.

Mungkin setahun dua kali di wilayah tempat kami tinggal diselenggarakan Pasar Malam dengan aneka hiburan keluarga. Sebagai pembukaan, digelarlah Layar Tancap dengan ongkos seikhlasnya dari penonton. Sejak beberapa hari sebelumnya, sebuah mobil dengan pengeras suara akan berkeliling perkampungan sambil menyebarkan brosur iklan beberapa judul film yang akan diputar. Sebagian orang menyebut aktivitas yang saat itu sudah mulai langka itu sebagai Misbar alias Gerimis Bubar.

Biasanya kami sekeluarga memilih film kungfu cina atau komedi. Suasana malam terasa istimewa meski sebenarnya penonton hanya duduk lesehan di hamparan terpal di lapangan terbuka. Sambil menikmati aneka kudapan, mata pun fokus menatap layar kain yang disorot cahaya mesin pemutar film. Aku sendiri tak pernah bisa tuntas menonton. Hanya ada dua pilihan, sibuk berlarian main dengan teman sebaya, atau justru pulas tertidur di pangkuan orang tua.

Entah bagaimana ceritanya, di rumah kami sudah punya televisi berwarna berikut remotnya pula. Barangkali usiaku baru empat tahun lewat, dan saking senangnya remot tivi itu pun tak berumur panjang, tanpa keraguan aku membawanya bermandi hujan di halaman. Kubayangkan kapal tempur yang memiliki persenjataan canggih, bahkan bisa menyelam ke dasar lautan. Maka habislah sudah perutku sore itu dicubiti Ibu. Sumpah, rasa sakitnya masih bisa kuraba sampai sekarang.

Kehadiran televisi berwarna 14 inchi, meski sudah tanpa remot itu membawa banyak kebahagiaan. Setiap malam aku akan dihantar kantuk oleh siaran Dunia Dalam Berita kesukaan Ayah. Ya, di kota Bandar Lampung saat itu siaran nasional yang bisa ditangkap masih hanya TVRI. Beberapa waktu kemudian stasiun televisi  swasta nasional seperti TPI, RCTI, ANTV, SCTV, dan Indosiar bisa tertangkap, terutama oleh antena yang bagus dan ditancap dengan tiang setinggi mungkin, sambil diputar-putar.

Aku ingat betul kehebohan di lingkungan komplek perumahan kami setiap ada satu tambahan channel baru yang bisa ditonton. Semua tetangga akan saling mengabarkan dan minimal seminggu masuk dalam list bahan obrolan warga. Penting juga diingat, saat itu tidaklah semua rumah mampu memiliki tivi sendiri. Masih banyak yang harus menumpang ke tetangga hanya untuk bisa ikut menyimak hiburan.

Namun, pecepatan kemajuan zaman mulai kusadari kala itu. Dulu tetangga punya tivi hitam putih rasanya sudah keren sekali, karena kami cuma punya radio. Tak lama berselang dari kami sanggup membeli tivi berwarna, justru beberapa tetangga lain membuat kegemparan dengan memasang antena parabola. Duh, aku gak rela, masih belum lama merasa hebat kok harus secepat itu dijatuhkan lagi.

Itu alat memang canggih di mata kami, berbentuk seperti wajan raksasa yang cekungannya terbuat dari jaring baja untuk menjangkau siaran beragam baik nasional maupun mancanegara. Alhasil aku harus ikut antrian minggu pagi di depan gerbang rumah teman yang punya parabola demi menonton tayangan favorit seperti Kamen Rider Satria Baja Hitam, Dragon Ball, Power Ranger, Pasukan Turbo, dst. Tentu si kawan anak pemilik rumah jadi “Bos Kecil” yang harus dijaga moodnya. Salah satu syaratnya kami harus sudah mandi dan sarapan di rumah masing-masing.


Seputar Peristiwa

Rrutinitas harianku mulai berkelindan dengan televisi, suka sekali menonton bahkan sekedar iklan yang jenaka. Biasanya di siang sampai petang hari ada banyak kuis favorit kami yang seru disimak. Sebut saja Kuis Jari-Jari yang dibawakan Pepeng, Kuis Dangdut “Apaan Tuh” yang dipandu Jaja Miharja, Kuis Famili 100 oleh Soni Tulung, Kuis Berpacu Dalam Melodi oleh Koes Hendratmo, Kuis Siapa Dia oleh Aom Kusman, Kuis Tak Tik Boom! nya Dede Yusuf, Kuis Kata Berkait nya Nico Siahaan, Kuis Apa Ini Apa Itu nya Jeffry Waworuntu, dan Kuis Piramida dari Rony Sianturi.

Tayangan edukasi seperti Si Komo, Unyil, Dunia Anak yang ada Boneka Susannya juga gak luput dari pantauanku. Sementara untuk mencari tawa kami rutin menanti Lenong Bocah, Spontan Uhhuy, Jin dan Jun, Tuyul dan Mbak Yul, Mody Juragan Kost, Si Manis Jembatan Ancol, Gerhana, Wiro Sableng 212, dan Warkop DKI. Tentu ada juga sinetron epik idola keluargaku masa itu, seperti Si Doel Anak Sekolahan, Keluarga Cemara, atau kolosal Brama Kumbara. Beberapa serial asing juga kami lahab, semisal Kembalinya Pendekar Rajawali, Oshin, Maria Mercedes, Marimar, Monkey King, The Cosby Show, dan aduh maaf ada Bay Watch juga yang beberapa kali tak sengaja kutonton sambil pura-pura tertidur.

Dari televisi juga aku yang masih bocah menangkap banyak kabar meski samar untuk memahami konteksnya. Contohnya saat orang dewasa menularkan demam sepak bola di Piala Dunia - Prancis 1998 aku ikut hapal penggalan lirik lagu The Cup of Life dari Ricky Martin yang pokoknya “Go.. go.. gol.. ale ale ale..” itu. Berita duka dari orang tersohor juga sempat lekat di ingatan, seperti tewasnya Nike Ardilla dalam puncak karir selebritasnya di usia belia 19 tahun akibat kecelakaan tanggal 19 Maret 1995. Sosok ini sangat fenomenal dan hingga kini masih punya penggemar fanatik yang terkoordir.

Meninggalnya Benyamin Sueb pada 5 September 1995 juga ikut kusaksikan baik lewat siaran berita maupun episode khusus sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Hitsnya lagu Denpasar Moon oleh Maribeth Pascua penyanyi asal Filipina, dan euforia kemenangan pasangan atlet nasional Susi Susanti dan Alan Budikusuma yang sama-sama meraih medali emas di Olimpiade Barcelona 1992 juga masih sering diungkit kala itu.

Ada pula aksi mengejutkan petinju kelas berat Mike Tyson yang menggigit daun telinga rivalnya Evander Holyfield dalam laga tanding ulang perebutan Sabuk Juara WBA tanggal 28 Juni 1997. Kasus tewasnya Lady Diana dalam kecelakaan mobil bersama pasangan tak resmi juga jadi kudapan bocah seusiaku kala itu. Tayangan Misteri yang bikin susah tidur sampai ceramah ulama beken KH. Zainuddin MZ juga gak luput dari pendengaran, “Betul?”

Penghujung dekade 90an memang agak istimewa bagi bangsa Indonesia, dimana kita harus kembali melewati fase pergolakan sejarah politik lewat penggulingan kekuasaan otoritarian berjuluk Orde Baru yang telah berkuasa penuh selama tiga dasawarsa oleh gerakan protes rakyat se-tanah air. Ada begitu banyak momen krusial yang penting dicatat bersama dan pantang dilupakan dari episode pemerintahan Presiden Jenderal besar (Purn). H. M. Soeharto itu, karena masih menjadi misteri yang belum selesai sampai sekarang.

Aku mulai ikut-ikutan sok serius menyimak berita di televisi, aku suka berlagak sibuk jadi reporter pembawa kamera besar di panggulan bahu. Sekilas kudengar adanya aksi Penembakan Misterius alias Petrus untuk melibas serampangan siapapun orang yang diduga preman dengan ciri tubuh bertato. Aksi teror oleh “tangan negara” itu mungkin dianggap ampuh menekan kriminalitas dan menciptakan suasana ketertiban. Siapa pula yang gak ngeri kalau tiba-tiba menjumpai karung berisi mayat tertembak dan babak belur. Mungkin pembaca yang lahir di masa reformasi tak percaya, tapi ini nyata lho, sumpah!

Ada juga geger kaburnya Eddy Tansil, terpidana kasus korupsi senilai 1,5 triliun rupiah yang kabur dari LP Cipinang di tahun 1996. Ia melegenda karena berhasil lolos dari vonis pengadilan 20 tahun penjara dengan denda triliunan, dan jejaknya masih saja belum terendus di zaman secanggih ini. Rezim Orba memang punya segudang penuh catatan buruk, terutama di soal isu KKN dan pelanggaran HAM berat. Sejak awal kekuasaannya di tahun 1966 hingga lahirnya gelombang protes yang menuntut Reformasi di tahun 1998, entah sudah berapa banyak nyawa rakyat dicabut paksa untuk sekedar membungkam suara sumbang oposan demi melanggengkan status quo.

Tragedi Talang Sari Lampung, Kerusuhan Tanjung Priok, Kerusuhan Mei 1998, Pembunuhan Wartawan Udin dan Aktivis Buruh Marsinah 1994, Kerusuhan Kudatuli 1996, hingga  rangkaian Penculikan dan Penyiksaan Aktivis Pro Demokrasi. Atas nama menjaga ketertiban umum, label subversif ditebar pada siapapun yang berontak. Rentetan kekerasan aparat semacam Tragedi Makassar Berdarah 1996, UBL Berdarah 1999, Tewasnya Moses di Yogyakarta 1998, Tragedi Semanggi I dan II, sampai Trisakti 12 Mei 1998. Penghilangan paksa aktivis pro demokrasi oleh Tim Mawar seperti Wiji Thukul, Herman Hendrawan, Petrus Bima Anugrah dan sebagainya masih terhutang.

Puncaknya adalah ingatan akan sorak sorai gembira di semua penjuru Nusantara, saat Presiden Ke-2 Republik Indonesia yang sudah renta itu mengurai pidato pengunduran dirinya di layar kaca.

“..Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998..” ucap Soeharto setengah tersendat.

Begitulah gambaran memori ingatanku seputar era 90an, memang tidak semuanya jenaka sebab realitas juga selalu mengandung sisi petaka. Semoga perjalanan waktu bisa membuat kita semua jadi lebih bijaksana menekuni hidup. Tabik.

--------------

*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Aktif menulis kolom dan cerpen di media massa. Kumpulan artikel opininya dalam rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan di akhir tahun 2020 lalu dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa.

 E-mail : saddam.cahyo@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar