Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 15 Oktober 2021

OPINI: Memaknai Ulang Pesan “Hidup Berdamai dengan Covid-19”



TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 
" PAGEBLUK DAN SEGORES TINTA KEHIDUPAN " dari UVI MEDIA


 Memaknai Ulang Pesan “Hidup Berdamai dengan Covid-19

Oleh : Saddam Cahyo*

 

Izinkanlah saya berceloteh, konon menulis itu terapi mental yang sangat bermanfaat. Sore tanggal 5 Juni 2021, berjalan dengan pikiran setengah kosong ke arah lapangan parkir RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Setibanya di dekat kendaraan, tarikan napas dalam dan hembusan panjang perlahan terasa cukup melegakan. Sekali lagi, amplop dalam genggaman dibuka dan baca dengan cermat. Tak lain, sudah final saya dinyatakan positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 dengan angka CT (Cycle Treshold) hanya 14 dari angka minimal 40.

Setidaknya sudah empat hari sejak gejala pertama. Sepulang mengiringi pemakaman jenazah paman ke kampung halaman, muncullah batuk yang mengganggu. Esoknya di kantor tubuh menggigil tapi harus lembur, dan diguyur hujan dalam perjalanan pulang. Alhasil saya mengalami demam tinggi dengan suhu tubuh mencapai 39 derajat celcius selama dua malam. Hari berikutnya saya putuskan untuk tes rapid anti gen di klinik terdekat, dan langsung reaktif.

Keringat dingin tetiba saja bercucuran, kacamata berembun, dan saran dokter tak bisa disimak karena mental lekas ambruk. Malam itu saya nyaris tak bisa tidur, diterpa demam, radang tenggorokan, batuk berdahak disertai bercak merah, dan diare hebat. Pada akhirnya usai setahun lebih bertahan di Ibu kota, ternyata saya harus turut merasakan langsung paparan Corona Viruses Deseases 2019 alias Covid-19. Sejak itu indra penciuman lumpuh, tak ada aroma yang bisa dikenali. Indra perasa pun bekerja kacau, tak ada rasa yang tepat dicecap.

Berdamai dengan Virus Pembunuh?

Setelah berhasil menenangkan diri dan menyusun ulang mental untuk siap menghadapi masa isolasi mandiri, ingatan saya bergulung mundur ke satu tahun lalu. Masih di tengah keterombang-ambingan bangsa menghadapi krisis multi-dimensi akibat pagebluk yang secara spontan menghentikan semua arus dan putaran kehidupan. Presiden Joko Widodo tetiba mengajukan gagasan yang menggemparkan publik.

Melalui pidato yang videonya diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden di tanggal 7 Mei 2020, Pak Jokowi berkata, “..Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19..” Kutipan ini kemudian berkembang pelik menjadi “gorengan” isu nasional.

Intinya ia menyeru agar kita semua mulai berusaha menyudahi kepanikan dan segala ketakutan, untuk segera bangkit melanjutkan kehidupan, memandang hari esok penuh rasa optimis. Sebuah maksud baik lagi mulia, tapi tak salah bila sang pemimpin harus menuai semburan kritik warganya, terlebih di jagat maya. Maklum, saat itu kita baru saja diserang kepanikan massal pasca ditemukannya pasien 01 dan 02 di Depok bulan Maret 2020. Tak lama berselang, terbitlah kebijakan yang membuat semua aktivitas publik nyaris dihentikan.

Sekolah, kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, objek wisata, sarana hiburan, rumah ibadah, hingga layanan transportasi antar kota dipaksa berhenti beroperasi sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Semua warga negara diharuskan berdiam diri di rumah, membatasi aktivitas di luar, dan meminimalisir adanya interaksi sosial secara fisik. Sungguh keadaan yang mengejutkan, dan jauh terbalik dari kebiasaan yang selama ini dikenal.

Terang saja kondisi ini memporak-porandakan segalanya. Pandemi melahirkan krisis mental, di mana manusia dihadapkan pada kondisi ancaman dan terdorong cari selamat sendiri. Fenomena panic buying misalnya memberi gambaran empiris bagaimana orang menimbun segala perkakas protokol kesehatan dan sembako tanpa peduli dampaknya secara makro. Setelah barang-barang kebutuhan itu habis di pasaran, para spekulan kelas kakap pun beringas mengambil kesempatan dan menularkan mental keculasannya.

Seketika masker, cairan antiseptik, pemutih pakaian yang juga disinfektan dijual terbatas dengan harga yang sundul langit menabrak batasan akal. Pandemi juga melahirkan krisis finansial yang luar biasa. Tiga bulan pertama hantamannya, laju pertumbuhan ekonomi nasional merosot tajam. Catatan Badan Pusat Statistik di kuartal I 2020 hanya mencapai angka 2,97% dari target 4,5%. Kuartal II 2020 realisasinya minus 5,32% dan ini terendah pasca Krisis 1999. Jangan ditanya bagaimana kondisi real di lapangan. Berapa banyak perusahaan bangkrut, usaha mikro menengah gulung tikar, rakyat kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.

Tapi faktanya kita tak sendirian mengalami derita ini, sebab seluruh umat manusia di dunia ikut terluka. Tak ada satupun negara bangsa yang sanggup tampil digdaya atas pandemi virus corona. Angka infeksi terus melonjak naik dan penularan kian meluas dalam waktu singkat. Jutaan orang terpapar, kapasitas bangsal fasilitas medis tak lagi mencukupi, tenaga kesehatan mendadak jadi prajurit perang garda terdepan, sementara penyakit ini belum dikenal karenanya tak ada obat yang pasti, hingga korban terus berguguran. Setidaknya tercatat 223 negara terdampak, dengan nyaris dua ratus juta orang telah terinfeksi, dan hampir empat juta orang tewas.

Teror kematian massal merebak dimana-mana, ini begitu menakutkan bagi semua lapisan umat manusia. Inilah latar objektif munculnya keriuhan bernada gugatan sebagai ekspresi kekecewaan warga pada pemimpinnya. Bukan cuma pemerintah pusat, di daerah pun pemerintahnya ikut gelagapan menerjemahkan kebijakan. Suara protes dugaan ketidakbecusan penguasa masih bergulir sampai sekarang. Data resmi yang muncul setiap hari bagai hujan kabar buruk yang tak kunjung mereda. Angka infeksi harian di berbagai kota terus memecahkan rekornya sendiri. Bukanlah prestasi yang patut dibanggakan, sudah begitu kok mau berdamai?

Sungguhkah Kita Bisa Berdamai?

Juni 2021, Indonesia menyentuh angka dua juta lebih manusia positif terinfeksi, dan kematian yang berhasil dicatat 54.662 jiwa. Disebut tertinggi sedunia untuk angka kematian anak. 12,5% kasus positif adalah anak-anak dengan Case fatality rate mencapai 3-5% . Memang semua takut mati, tapi nyatanya ada ketakutan yang lebih meresahkan mayoritas warga di negeri ini. Terus menahan diri mengurangi aktivitas dan interaksi ternyata menimbulkan persoalan lain. Secara domestik, kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan logistik terus menurun karena tak lagi produktif, dan keadaan ini menimbulkan banyak gangguan kesehatan mental.

Kemiskinan jadi momok baru. Keluar rumah mungkin menjemput mati, namun berdiam sama saja mengubur diri hidup-hidup. Sambil terus mencibir pidato Presiden yang dianggap sebagai pernyataan menyerah pada kuasa pandemi, rakyat terus menerjemahkan sesuka hati. Alih-alih menyentuh substansi pesan damai soal disiplin dan konsekuen mengetatkan prokes saat harus mengayuh kembali roda kehidupan. Sebagian warga justru keluar rumah dengan rona wajah pasrah berputus asa, menerobos dengan ketidakacuhan, bahkan mengingkari keberadaan pandemi itu sendiri.

Kebijakan masa transisi dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang terkesan mengendurkan segalanya. Aktivitas masyarakat di ruang publik tampak berangsur pulih. Inilah era Normal Baru dengan prosedur Adaptasi Kebiasaan Baru yang menerapkan model Prokes 5 M sebagai pra syarat. Memang dunia tak lagi terasa begitu longgar seperti dahulu, sebab ada banyak sorot mata awas yang berusaha menjamin kita bisa membangun kesadaran dan perilaku sesuai kaidah zaman corona. Tapi setidaknya, kita mulai bisa kembali menikmati aneka warna dunia, meski dengan banyak syarat.

Namun, siapalah mampu membendung banalitas. Saya menyoroti dua fenomena sosial yang populer karena sifatnya dekonstruktif bagi peradaban. Fenomena Covidiot, merupakan sindiran bagi mereka yang bebal dan secara sadar melawan arus gerakan penanggulangan pandemi. Orang-orang ini tanpa ragu bersikap terbuka, dalam perilaku maupun pernyataan, menuding bahwa Novel Corona Virus hanyalah bualan tingkat tinggi, konspirasi global untuk memuaskan kepentingan elit dunia dan menumbalkan kehidupan jelata. Sebagian dari golongan ini juga mungkin tak terlalu sampai ke ranah penentangan teoritis, melainkan sekedar pokoknya tidak percaya.

Merasa dirinya selalu baik-baik saja meski terus melakukan aktivitas beresiko tanpa melakukan prokes. Menganggap sebaran data penularan, penanganan medis, dan angka kematian sebagai berita fiktif yang disengaja untuk memantik kegemparan. Masih banyak lagi alasan yang diajukan golongan ini. Musisi Jerink alias JRX Superman Is Dead misalnya, tampil sebagai sosok yang agresif membangun narasi konspiratif. Belakangan ia harus menjalani sengketa hukum karena ulahnya, tapi sampai bebasnya dari masa tahanan pun ia konsisten memassifkan wacana ini.

Di ranah yang lebih mikro, tak terhitung berapa banyak pemberitaan muncul seputar razia gabungan Satgas Covid-19 yang menjumpai warga berpolah nyeleneh. Menolak pakai masker, tak sudi diuji rapid anti gen, mengabaikan prosedur isolasi, dan keras hati mengumpati petugas tanpa memandang lagi lapisan warna dan motif seragam apapun yang dikenakan. Seolah keberanian untuk membela kebenaran (palsu) timbul membuncah begitu saja. Belum lagi kebebasan bicara di media sosial yang sulit disaring itu. Banyak orang khilaf memposting pernyataan sensitif tanpa empati, tapi berujung pula pada permintaan maaf usai ditangkap aparat.

Kasus terakhir Asep Sakamullah (32) warga Kuningan, Jawa Barat yang mengunggah video di akun facebooknya (18/6/21). Ia berani menyentuh langsung jenazah korban Covid-19 demi membuktikan virus ini omong kosong belaka. Tak hanya itu, di sekitar pun banyak warga yang tak lagi pernah menerapkan prokes sesuai anjuran. Pesta hajatan dan beragam giat yang menimbulkan kerumunan digelar, tanpa seorang pun menggunakan masker, apalagi mencuci tangan dan menjaga jarak aman.

Sungguh mengenaskan lonjakan dan rekor baru penularan virus mematikan ini di setiap musim liburan. Meski pemerintah bersiasat menahan laju mobilitas penduduk dengan menganulir cuti bersama, melarang mudik, pembubaran kerumunan, pembatasan jam operasional, penyegatan di jalur lintas kota, dan sebagainya, seakan sia-sia belaka. Arus mudik dan pariwisata tak terlalu bisa dicegah, lagi-lagi berita menyiarkan betapa banyaknya manusia yang merasa berhak lantang membantah instruksi petugas dan melontarkan caci maki karena pemenuhan hajatnya dihalangi. Kecupetan alam pikir manusia memang sulit ditolak, belakangan fenomena ini juga kerap diimbangi dengan istilah Herd Stupidity.

Berikutnya Fenomena Infodemi juga tak kalah memilukan. Saat banyak pihak masih terus berusaha membangun optimisme dan narasi baik, urun tangan mengatasi dampak ekosob pandemi, mengurai biang perkara lewat riset virologi, pontang-panting mengurus pasien dan jenazah di bangsal isolasi, sampai gencar mensukseskan program vaksinasi. Seiring itu pula, kesimpangsiuran berita mengalir deras tiada henti, melewati segala celah jejaring komunikasi. Baik dari perusahaan media ternama, yang abal-abal, sampai sebaran kabar sporadik di gawai dalam genggaman tangan sendiri.

Viral! Awas! Bahaya! Seruan demi seruan didengungkan, entah benar tidaknya, entahlah! Seolah tak ada lagi kabar pasti, semua informasi samar berkabut, yang benar terasa bohong, yang salah dianggap jujur. Barangkali inilah akibatnya jika wabah terbit di era yang disebut post-truth oleh para ahli pikir. Nalar manusia tak lagi diberi waktu yang cukup untuk memilah, memilih, mencerna, dan menguji informasi yang masuk. Sialnya, setiap upaya tabayyun atau verifikasi juga seakan menemui jalan buntu karena kepalang terjadi bias massal common sense.

Jika satu kabar terkonfirmasi, maka kabar lain memberi pembanding yang tak kalah kuat, dan kabar lainnya mengajukan bantahan yang pas di perasaan. Begitu seterusnya, pola ini direproduksi sampai orang-orang harus berdebat tanpa pijakan yang kuat. Kejinya, berita bohong yang menyesatkan seputar pandemi terus bertaburan, berserakan, menggunung dan siap runtuh menenggelamkan kesadaran umum. Keadaan ini sangatlah merugikan, ia menghambat perjuangan memenangkan perang tak kasat mata ini. Bukan hanya bagi pemerintah si empunya kuasa, melainkan kita semua warga biasa, pemilik peradaban yang sesungguhnya.

Berdamai itu Kata Kerja!

Tidak, jangan salah paham. Saya bukan sedang menggugat saudara sebangsa semua. Lebih jauh saya menuntut diri sendiri, yang telah begitu hanyut dalam suasana dan mengabaikan indahan kesadaran. Saya mulai mengugurkan kedisiplinan atas prokes. Keangkuhan tumbuh seiring menguatnya rasa aman dan nyaman dalam menekuni aktivitas harian. Pekerjaan mulai lagi tak karuan menyita waktu, mobilitas antar daerah dan bersinggungan langsung dengan khalayak dalam frekuensi yang meninggi. Apalagi saya sudah mendapat vaksinasi dua tahap di masa awal program digulirkan.

Kesombongan memang selalu berbuah kejatuhan, kita harus selalu mawas diri terhadapnya. Semoga celoteh oto-kritik ini tak sampai melukai perasaan pembaca budiman. Pada dasarnya refleksi ini berujung pada simpulan, betapa sesungguhnya seruan untuk berdamai itu sama sekali bukan pengganti kata menyerah. Ia justru sebuah kata kerja yang menuntut aktivasi daya kolektif kita sebagai sebuah bangsa. Bagaimana kemampuan kita untuk membangkitkan kembali spirit gotong royong menghalau pandemi.

Kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien ternyata bukanlah satu-satunya syarat kemenangan, sebab ia tak mungkin menjadi utuh tanpa partisipasi sadar dari seluruh rakyat. Dalam keadaan sakit saya menulis ini, merasakan langsung betapa kehadiran dukungan dan perhatian handai taulan telah menjadi suplemen ampuh yang menguatkan imunitas tubuh. Sementara ketegangan dari kabar hoaks dan perlakuan dengan stigma justru menjorokkan tubuh pada gejala sakit yang kian mendalam, meski berbagai obat-obatan sudah ditelan.

Inilah urgensinya untuk kita dapat lekas bergandengan hati dan pikiran, membangun support system dari lingkungan yang sadar. Bahwa pandemi tak akan hilang begitu saja, ia juga tak mungkin dilawan sendirian. Saatnya kita berhenti mengutuki kegelapan dan berbalik saling dukung menerangi kenyataan. Berdamai adalah pesan kesiapsiagaan, sebuah tugas mulia bagi setiap warga negara untuk ikut berjuang membela bangsa. Mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap sesama, mulai dari hal kecil dalam diri sendiri. Sekarang, kesadaran individu sangat menentukan keselamatan populasi komunitasnya. Salam Sehat Bangsaku!

--------------

*) Seorang pekerja urban di tengah belantara hutan beton ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Kumpulan artikel opininya dalam rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa di akhir tahun 2020.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar