Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 24 Desember 2014

Karya Kawan : Rezim Baru dan HAM


Oleh: Dody Firmansyah.M
Indonesia adalah satu dari sekian banyak negara yang menggunakan azaz demokrasi sebagai landasan konstitusionalnya, dan salah satu ciri negara demokrasi adalah menghargai serta menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun pada realitanya HAM di Indonesia hanya menjelma sebagai syarat lekatnya cap demokrasi tersebut, dan ironisnya kasus-kasus pelanggaran HAM di indonesia tidak ada satupun yang pernah tuntas,salah satu contoh adalah pelanggaran HAM yang terjadi pada dekade 1965-1966 yang sudah bukan rahasia lagi bahwa rezim orde baru melakukan genosida secara besar-besaran terhadap orang-orang yang di anggap terlibat dalam kup yang terjadi pada oktober 1965.
Baru-baru ini ada sebuah pemutaran sebuah film dokumenter karya seorang sutradara asing, yang bercerita tentang kesaksian keluarga korban pembantaian pasca G-30-S,yang bahkan sampai saat ini sama sekali belum mendapat kejelasan peradilan tentang kasus salah satu pelanggaran HAM terbesar tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah rezim baru yang belum genap berkuasa 100 hari ini dapat menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia selama ini?, pasalnya rezim yang baru berkuasa ini telah membuat langkah yang begitu kontroversial yaitu, memberikan kebebasan kepada tersangka pelaku pembunuhan seorang aktivis HAM Munir, yang praktis menghasilkan tanggapan yang beragam dalam kalangan masyarakat, salah satunya tanggapan dari kelompok-kelompok aksi mahasiswa yang jelas menolak keputusan tersebut dengan alasan tidak sesuai dengan masa hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, belum lagi masalah-masalah yang menyangkut HAM yang terjadi pada tahun 1998 dan 1999, diantaranya penghilangan beberapa orang aktivis yang hingga saat ini belum ada kejelasan tentang penyelesaian permasalahannya, padahal sejak terjadinya kasus tersebut, Indonesia sudah berkali-kali melakukan pergantian rezim, ini membuktikan ketidak berhasilan setiap rezim dalam menuntaskan kasus-kasus tersebut.
Pelanggaran HAM tidak hanya berbentuk kekerasan atau penculikkan, sebab pada hakikatnya HAM adalah hak hidup setiap individu yang di miliki sejak lahir, dengan begitu dapat dikatakan kesejahteraan merupakan salah satu elemen hak asasi tersebut, namun pada realitanya rezim yang berkuasa saat ini telah mencabut subsidi BBM dengan dalih pengalihan subsidi untuk kesehatan, pendidikan, serta pembangunan yang sesungguhnya semua hal tersebut adalah murni tanggung jawab negara seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, dengan begitu kenaikkan harga BBM dapat dikatakan tidak masuk akal, sebab bukan kali ini saja BBM di naikkan, harga BBM sudah sering di naikkan bahkan sejak zaman orde lama, yang lagi-lagi selalu menggunakan dalih pengalihan subsidi, jika memang dengan menaikkan harga BBM tersebut dapat menyelesaikan masalah tentang kesehatan, pendidikan, serta pembangunan sudah barang tentu BBM tidak akan di naikkan hingga berkali-kali, dengan kenaikkan harga BBM yang lebih dari 20 kali sejak rezim orde lama sudah dapat dikatakan bahwa kenaikan harga BBM dengan dalih pengalihan subsidi bukanlah sebuah solusi untuk kesejahteraan melainkan sebuah masalah yang secara otomatis merampas hajat hidup orang banyak sebab kenaikkan harga BBM pasti berdampak inflasi di segala sektor ekonomi.
Pemerintah berdalih bahwa subsidi BBM selama ini telah dinikmati oleh kalangan menengah ke atas, namun dapat kita lihat sendiri bahwa mayoritas rakyat di Indonesia yang menggunakan subsidi tersebut adalah kalangan menengah ke bawah, sebagai contoh para petani karet yang menggarap lahan orang lain dengan menggunakan sepeda motor, bukankah pengalihan subsidi tersebut dapat menghasilkan masalah terhadap jalannya ekonomi kaum buruh tani yang memiliki penghasilan relativ kecil dan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari, dan dengan pencabutan subsidi tersebut sudah otomatis kaum menengah ke bawah dipaksa untuk memutar otak dalam memanajemen penghasilannya yang kecil tersebut, pemerintahan Jokowi-JK mengatakan bahwa pengalihan subsidi tersebut dilakukan untuk membenahi pelayanan kesehatan serta pendidikan dengan mengeluarkan kartu Indonesia Pintar dan kartu Idonesia Sehat, namun jika kita lihat lagi dua kartu tersebut bukanlah sesuatu yang baru, kartu Indonesia Pintar hanyalah label baru untuk dana BOS yang bahkan memang sudah ada sejak zaman pemerintahan SBY, kemudian kartu Indonesia Sehat juga hanyalah nama baru untuk BPJS yang jelas dalam sistemnya mengharuskan masyarakat membayar premi untuk biaya kesehatannya, dengan kata lain negara menjadi perusahaan asuransi di bidang kesehatan, sedangkan lagi-lagi kesehatan adalah kewajiban negara yang harus dipenuhi terhadap rakyatnya sesuai dengan pembukaan UUD 1945.
Pemerintahan baru yang sekarang berkuasa harus lebih hati-hati dalam menentukan kebijakannya, jangan sampai kebijakan yang di keluarkan dapat menimbulkan perampasan terhadap hak hidup orang banyak, kita dapat mulai mengawasi untuk kedepannya setiap kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintahan Jokowi-JK apakah membela kepentingan rakyat atau hanya membela kepentingan-kepentingan elit serta melayani pesanan-pesanan dari pihak asing yang berujung pada terampasnya hak-hak masyarakat dalam kesejahteraan, jika untuk kedepannya rezim Jokowi-JK tidak memiliki perbedaan dengan rezim-rezim sebelumnya maka dapat dikatakan janji-janji manis yang di umbar Jokowi-JK saat kampanye hanya sebuah omong besar yang membuai rakyat sesaat, dan bagaimana mau menuntaskan kasus-kasus pelanggran HAM jika pada kenyataannya pemerintahan Jokowi-JK sendiri secara sadar merampas hajat hidup orang banyak yang dapat dikatakan melanggar HAM itu sendiri.
 _____________
Bandar Lampung 13 Desember 2014
*) Aktivis LMND Kota Bandar Lampung, Mahasiswa FISIP Ilmu Pemerintahan Unila.
Sumber : http://tikusmerah.com/?p=1454 

Karya Kawan : Hari Ibu, Seremonial Bersejarah Bagi Gerakan Perempuan


Tulisan ini penulis persembahkan untuk organisasi API (Aksi Perempuan Indonesia) Kartini yang baru terbentuk dan siap melawan penindasan.

22 s.d 25 Desember 1928, bertempat di Yogyakarta, para pejuang wanita Indonesia dari Jawa dan Sumatera pada saat itu berkumpul untuk mengadakan kongres perempuan Indonesia untuk pertama kalinya. Gedung Mandalabhakti Wanitatama di jalan Adisucipto, Yogyakarta menjadi saksi sejarah berkumpulnya 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera yang kemudian melahirkan terbentuknya kongres perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Pada kongres ini agenda utama yang diusung adalah tentang Persatuan Perempuan Nusantara, yakni peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan, peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan lain sebagainya tanpa mengangkat masalah kesetaraan gender.
Lalu, baru pada kongres ketiga tahun 1938 secara resmi tanggal 22 desember ditetapkan sebagai hari ibu, setelah presiden soekarno melalui dekrit presiden No. 316 tahun 1959 menetapkan bahwa tanggal 22 desember adalah hari ibu dan dirayakan secara nasional.

Sebetulnya peringatan hari ibu adalah untuk mengenang semangat dan perjuangan kaum perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Misi inilah yang tercermin menjadi semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja sama. Salah satu contoh, pada saat peringatan ke 25 hari ibu yang dirayakan di Solo, kaum perempuan progresif kala itu membuat pasar amal yang hasilnya didonasikan untuk membiayai yayasan kesejahteraan buruh wanita dan beasiswa untuk anak-anak perempuan. Selain itu, mereka juga mengadakan rapat umum untuk mengeluarkan resolusi meminta pemerintah melakukan pengendalian harga khususnya bahan-bahan pokok.

Melihat kisah betapa heroiknya gerakan kaum perempuan dalam memperingati hari Ibu pada masa itu, rasanya teramat miris ketika dibenturkan dengan kondisi saat ini, dimana peringatan hari ibu hanya ditunjukan dengan peran perempuan dalam ranah domestik. Misalnya, tepat hari ibu seorang suami kemudian menggantikan peran istri dalam pekerjaan-pekerjaan domestik, seperti mencuci, memasak, menyapu dll. Serta kejutan-kejutan lain yang semakin meminggirkan api semangat gerakan kaum perempuan yang mustinya semangat untuk terlibat dalam proses perbaikan kualitas bangsa terebut bisa beregenerasi hingga detik ini.

Yang menjadi persoalan mengapa hari ini peringatan hari ibu semakin bergeser dari semangat yang semula di usung oleh kaum perempuan progressif pada masa itu, adalah karena hari ini kaum perempuan hasil doktrin penguasa diktator Soeharto semakin tidak memahami kondisi objektif dirinya dan persoalan-persoalan penindasan terhadap kaum perempuan itu sendiri. Berbeda dengan Kartini yang pada kolonial Belanda telah terbuka fikirannya dan mampu menemukan sumber dari penindasan terhadap kaum perempuan, yakni feodalisme dan imperialis/kolonialisme. Sehingga dia berpendapat, bahwa untuk membebaskan kaum perempuan maka kedua penyebab tersebut harus dihancurkan terlebih dahulu, sehingga kemerdekaan bangsa adalah hal yang utama. Sampai disini jelas bahwa kartini bukan hanya sebagai pejuang emansipasi wanita, seperti yang sering kita dengar dari koar-koar pemerintah atau orang tidak paham sejarah bangsanya, bahwa ternyata Kartini adalah penjuang perempuan sosialis pertama di Indonesia.

Nah, hari ini hal tersebut pula yang musti dirumuskan oleh gerakan perempuan progresif era modern, mampu menemukan titik persoalan sehingga mampu merumuskan langkah konkret untuk menyelesaikan persoalan penindasan terhadap kaum perempuan hari ini. Seperti yang telah sukses dilakukan PKI pada masa kejayaannya dengan menerjemahkan pangkal persoalan rakyat dengan bahasa lebih sederhana yakni 7 setan desa, yang terdiri Tuan tanah, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat, tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat.

Jika dulu Kartini menyebut kolonialisme adalah sumber petaka bagi bangsa ini juga penindasan terhadap kaum perempuan, maka yang terjadi hari ini pun tidak berbeda jauh, yakni kolonialime dengan wajah baru, karena Penjajahan gaya lama sudah disapu oleh gerakan pembebasan nasional di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Saat ini datang penjajahan gaya baru, dengan topeng yang lebih indah, yang lebih berwarna-warni untuk menghisap dan menindas. Topeng baru itu adalah neoliberalisme, kini datang ke Indonesia, tidak hanya mengeruk sumber daya alam Indonesia, perusahaan-perusahaan negara, tetapi juga merampas subsidi untuk Rakyat Indonesia. Senjata mereka untuk memaksakan di jalankannya kebijakan neoliberalisme itu adalah hutang.

Neoliberlisme dengan senjata Kapitalistiknya telah melemparkan kaum perempuan, menjadi buruh-buruh upahan, menjadi bagian dari baling-baling industrialisasi dan bersanding dengan mesin-mesin pabrik. Perempuan-perempuan dari golongan Rakyat miskin itu bagi kapitalisme adalah tenaga kerja yang melimpah dengan upah yang murah. Tidak sampai pada dunia perburuhan saja, penindasan kaum perempuan juga berangkat dari dilematis persoalan sosial masyarakat, diantaranya:
  1. Kelas-Kelas Sosial
Kelas-kelas sosial menjadi pemantik munculnya penindasan terhadap perempuan dalam masyarakat. Keluarga, sebagai unit terkecil dari kelas sosial menjadikan legitimasi penindasan terhadap perempuan. Pada masa purbakala dengan pola produksi tribal dimana pola produksinya didasarkan pada pembagian kerja keluarga, perempuan dengan keterbatasan tertentu sehingga dalam masa-masa tertentu tidak mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sama dengan laki-laki (PMS, mengandung dan pasca melahirkan) kemudian mendapat peran-peran domestik yang dianggap kurang berperan dalam corak produksi tersebut dibanding kaum laki-laki yang selalu bisa melakukan kerja-kerja akumulasi modal secara sederhana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, seperti berburu atau meramu yang dapat dilakukannya tanpa siklus tertentu yang dapat menghalangi. 

Sehingga, ada legitimasi bagi laki-laki untuk menempatkan perempuan sebagai subordinat dalam corak produksi yang berkembang. Ini pula yang terjadi hari ini dimana laki-laki yang dianggap sebagai kepala rumah tangga kemudian melemparkan posisi perempuan menjadi manusia nomor dua yang terbatas ruang geraknya, terbatas suaranya hingga kewajiban-kewajiban mutlak yang harus dilakukan oleh perempuan dalam ranah domestik, muncul sebagai upaya mengaminkan kekerasan dalam rumah tangga ketika si perempuan lalai dalam tugasnya.
  1. Perempuan dan politik seksual 
Dalam perkembangan masyarakat modern saat ini, rupanya persoalan yang dilontarkan oleh kartini pun tidak berbeda jauh, dimana Perempuan dalam masyarakat sekarang hanya dinilai dari tubuhnya. Upaya mengokohkan gambaran perempuan dari tubuhnya saja, menghasilkan banyak kekerasan terhadap perempuan. Pornografi, aborsi, pelecehan seksual, perkosaan, dan perdagangan perempuan, merupakan kekerasan terhadap perempuan dalam hubungannya dengan eksploitasi tubuh perempuan.

Tidak sampai disitu, fenomena pelacuran di ibu kota menjadi drama miris yang semakin menghabisi harga diri perempuan, minimnya akses pendidikan dan pekerjaan bagi kaum perempuan kemudian menjadikan praktek prostitusi sebagai jalan satu-satunya untuk bertahan hidup. Tapi sialnya, walaupun melakukan pekerjaan yang terpaksa karena tidak ada pilihan lain, pelacuran diperlakukan sebagai tindakan kriminal. Para pelacur di razia, disidangkan dan diadili padahal sudah jelas maraknya pelacuran sebagai pekerjaan yang tidak bermartabat adalah karena akses kebijakan-kebijakan ekonomi politik Neoliberal yang semakin menggembosi kemandirian bangsa.

Saat ini, orang sulit mengartikan seksualitas itu sendiri. Pemahaman tradisional tentang seksualitas dikonseptualisasikan sebagai dorongan insting yang harus dipenuhi lewat aktivitas seksual. Seksualitas selalu dihubungkan dengan kegiatan seksual dalam fungsi reproduksi. Dalam konsep seperti inilah terjadi ketimpangan jender, di mana posisi perempuan dalam aktivitas seksual dipandang dari kemampuannya bereproduksi yang kemudian melahirkan konsep baru bahwa perempuan hanya berhak atas nilai kemanusiaannya sebagai perempuan bila ia mampu menjalankan fungsi sebagai mesin reproduksi.

Padahal bukan seperti itu, pemahan seksualitas harus dipandang lebih jelas, yaitu berupa cara untuk merespons atau bereaksi terhadap suatu situasi dengan pikiran, ekspresi, dan kepribadian termasuk di dalamnya spiritualitas. Jadi ketika perempuan tereksploitasi secara seksual, maka sebenarnya yang terjadi tidak hanya apa yang tampak secara fisik dan psikis, tetapi merusak spiritualitas diri perempuan. Keutuhan hidup perempuan yang adalah identitas dirinya, pada saat bersamaan menjadi rusak bahkan hancur.

Kehidupan pribadi, yaitu seksualitas dan tubuh perempuan dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan atau laki-laki. Politisasi dilakukan mulai dari ranah privat sampai publik. Mulai dari permainan peran dalam keluarga sampai kehidupan itu berjalan di wilayah publik seperti pendidikan. Politik seksual itu sendiri merupakan penyembunyian fakta yang diaplikasikan dengan cara mengontrol individu lewat indoktrinasi dan tindak kekerasan baik yang terekam maupun tersembunyi. Bayangkan saja, hari ini kaum laki-laki menjadi begitu vokal membicarakan tubuh perempuan hingga turut serta memberikan peraturan-peraturan soal harus bagaimana perempuan berpakaian, bagaimana perempuan harus berjalan hingga keharusan-keharusan tidak penting lainnya. Disini, kita dapat melihat betapa tidak merdeka kaum perempuan terhadap tubuhnya sendiri, bahkan keberadaan kita menjadi perbincangan seksis kaum laki-laki. 
  1. Perempuan dan religiusitas
Menurut Margaretha Rumayar seorang Sarjana teologi dalam tulisannya bertajuk politik tubuh, menyebut jika Politik seksual dan politik tubuh lahir dan tumbuh subur di negeri ini saat berhadapan dengan teologi agama-agama yang berkembang. Masyarakat Indonesia yang menyerap paham teologi Barat dan Timur disuguhi sebuah fragmen berita penciptaan. Laki-laki diciptakan terlebih dahulu dan perempuan kemudian karena ia diciptakan dari rusuk laki-laki. Perempuan ada karena dan dari laki-laki. Namun, berita penciptaan dengan peran utama laki-laki tergantikan saat berita pelanggaran terhadap perintah Sang Pencipta. Pemeran utama diambil alih perempuan dalam kapasitas sebagai pendosa, pembuat masalah, ditambah lagi dengan beban yang dilemparkan laki-laki yang menganggap perempuan adalah penggoda, sumber dosa, dan malapetaka.

Berita penciptaan seperti ini diakomodasi dalam tafsiran dan ajaran teologi agama. Budaya yang didalamnya ada tradisi, adat istiadat, tidak mampu menjadi filter masuknya hal baru tersebut. Padahal, banyak adat yang meninggikan perempuan dan sangat menghargai kehidupan dan kemanusiaan perempuan. Alhasil, perempuan dipandang sebagai makhluk sumber masalah dan tanpa disadari pula terbentuk persepsi misogini, membenci perempuan. Proses peminggiran perempuan dihubungkan dengan akibat dari yang dilakukan nenek moyangnya, Hawa, maka perempuan harus membayar semua itu dengan perendahan kemanusiaannya.

Sesuatu yang sangat ironis ternyata institusi religius yang oleh perempuan pemeluknya dianggap menjadi sarana penyampaian aktivitas ekspresi spiritual pun turut melegitimasi eksploitasi tubuh dan seksualitas perempuan. Lebih ironis lagi ternyata ketika berbicara tentang perdamaian, keteduhan hati, dan sebagainya institusi religius sangat pandai memberikan jawaban, tetapi ketika berhadapan dengan fakta realistis penindasan terhadap perempuan ia menjadi arogan dan cenderung tertutup.

Tidak hanya itu, persoalan paling konkret yang terjadi saat ini adalah, maraknya penafsiran-penafsiran tidak selesai yang dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya ahli agama, dengan menafsirkan isi dari kitab suci agama dengan pemahaman manusia yang terbatas. Kemudian dari hasil penafsiran-penafsiran inilah kemudian terbangun agama replika yang membudaya dimasyarakat, yang banyak sekali diantaranya menekan ruang gerak kaum perempuan dalam hal pola pikir hingga keterlibatan dalam berbagai kegiatan publik. Dimana penafsiran-penafsiran ini selalu mengedepankan kaum laki-laki dalam berbagai aspek dan meminggirkan peran serta kaum perempuan. Padahal jika kita mau memahami sejarah dari setiap agama sampai mitologinya, tidak ada satu pun agama yang patriarkhal, semua menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.
_________
Rismayanti Borthon, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung, dan Mahasiswa Fakultas Pertanian, Jurusan Agroteknologi Universitas Lampung

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20141223/hari-ibu-seremonial-bersejarah-bagi-gerakan-perempuan.html#ixzz3MnicAjqv

Selasa, 16 Desember 2014

Opini : Mencipta Pakar Korupsi Dalam Jeruji


Oleh : Saddam Cahyo*

Syarat apalagi yang kurang agar kita semua bulat menyepakati dan teguh bersikap bahwa praktek korupsi itu sudah menjelma bagai penyakit kronis stadium akhir hingga sebegitu jauhnya menggerogoti masa depan bangsa menuju keterpurukan. Bukankah juga secara sederhana jika kita menguji nalar kritis masyarakat, rata-rata akan lebih dulu menyebut perkara korupsi sebagai sasaran kritiknya? semestinya ini sudah lebih dari cukup dijadikan acuan dasar bahwa korupsi memanglah problem pokok bagi bangsa Indonesia.

Berangkat dari asumsi ini, sudah tak ada alasan untuk terus mentolerir lemahnya sanksi hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Apalagi jika mengingat  kebocoran anggaran negara akibat korupsi sistemik yang terjadi di semua lini pemerintahan dari pusat hingga daerah yang telah merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah per tahunnya, belum lagi korupsi pendapatan potensial negara yang tak sempat masuk dalam kas resmi. Padahal sejatinya semua anggaran itu hak seluruh rakyat untuk dinikmati dalam wujud pembangunan.

Sekolah Koruptor Pakar
Tapi aneh bin ajaib, bukannya diganjar hukuman khusus dalam arti seberat-beratnya, para koruptor kelas kakap di LP Sukamiskin Jawa Barat justru diberi perlakuan khusus yang istimewa. Lapas ini menjalin kerjasama dengan Universitas Pasundan untuk menyelenggarakan program Magister Hukum bagi  terpidana korupsi yang akan ditempuh selama 1,5 tahun masa studi dengan biaya sebesar 30 juta rupiah. Program ini bahkan sudah resmi dibuka dan berjalan, ada sekitar 23 narapidana korupsi yang menjadi peserta termasuk Lutfi Hasan Ishaq, Rudi Rubiandini, Adrian Woworuntu, Ahmad fathonah, dan Nazaruddin.

Memang benar tak ada yang salah jikalau napi yang ingin memenuhi hak pendidikannya difasilitasi bahkan ini dijamin oleh UU Pemasyarakatan No.12/1995, apalagi untuk program ini mereka merogoh kocek pribadinya. Tapi perlu diingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa, kategori ini tak boleh dibuat main-main. Terlebih jamak ditemui fakta bahwa koruptor memiliki latar pendidikan dan kesejahteraan yang amat timpang dengan ribuan narapidana umum lain. Sebagian besarnya orang-orang yang “terjebak” dalam dunia kriminal lantaran putus asa didera kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.

Lagi pula ini bisa dirasa sangat menodai perasaan masyarakat Indonesia yang sebelumnya sudah menaruh ekspektasi besar agar para koruptor diganjar hukuman berat yang memberi efek jera. Lebih buruk, ini juga bisa dianggap sebagai simbol keberpihakan yang menunjukkan betapa masih tak seriusnya penegakkan keadilan di negeri ini. Terlebih sekolah magister tentu levelnya bukan lagi untuk mencetak orang-orang yang menguasai dasar ilmu hukum, melainkan terarah untuk menciptakan para pakar dalam bidang ilmu tersebut.

Konsisten Menghukum Berat
Tentu kita sama-sama tak menginginkan jika kelak muncul celetukan betapa enaknya menjadi koruptor di negeri ini, bisa terkenal, tetap untung dan banyak uang, masa tahanan bisa terus disunat remisi, ruang tahanan bisa tetap mewah dan nyaman, ditambah bisa sambil sekolah S2, dan kelak bebas pun masih terhormat dengan menyandang gelar “pakar korupsi”. Beruntung Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly segera mengambil tindakan untuk mengevaluasi program ini meski belum pasti akan dihentikan atau tidak.

Perlakuan eksklusif pada koruptor memang masih begitu nyata, tentu ingat Gayus Tambunan, mafia pajak yang bisa dengan santai melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk liburan menonton pertandingan tenis di Bali tahun 2010 silam. Harus jujur pula diakui, semangat pemberantasan korupsi di Indonesia memang masih setengah hati dan hanya manis di mulut. Sebut saja poin revisi UU MD3 yang memberi hak imunitas secara berlebihan bagi anggota DPR yang terduga korupsi, dan selalu ada berbagai upaya pelemahan lainnya.

Tak heran jika Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International untuk Indonesia di tahun 2014 ini hanya berhasil mencapai angka 34 atau naik peringkat dari 114 menjadi 107 dari 175 negara (Kompas 3/12). Padahal ada banyak kemajuan, terutama atas perjuangan lembaga ad hoc KPK yang satu dasawarsa terakhir sudah mengungkap lebih dari 480 kasus dengan Bupati/Walikota, Gubernur, Anggota DPR-RI, Ketua MK, Pejabat BPK, Jenderal, hingga Menteri sebagai tersangka. Ini juga karena tiga lembaga penegak hukum arus utama yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman belum mampu bangkit melawan korupsi di tubuh sendiri.

Idealnya, makin tinggi level kejahatan makin berat pula hukumannya. Korupsi sebagai extra ordinary crime memang secara kasat mata tak semengerikan terorisme, tapi dampaknya jauh lebih luas dan buruk karena merampas hak hidup orang banyak. Sudah saatnya kita tradisikan vonis maksimal bagi koruptor, tanpa remisi apalagi pelayanan istimewa, bahkan sebaiknya wajib dimiskinkan dan mempertimbangkan hukuman mati. Untuk kejahatan sepeti ini, hukum harus ditegakkan lewat cara luar biasa yang menabrak semua benteng kerikuhan moral. Tabik !
__________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT DI HARIAN CETAK "KORAN EDITOR" Selasa 16 Desember 2014.
http://koraneditor.com/publik/8596-koruptor-jadi-pakar 

Selasa, 09 Desember 2014

Opini : Memerangi Wabah Kekerasan


Oleh : Saddam Cahyo*


Apa mau dikata, sekali lagi letupan konflik harus mengemuka di tengah kehidupan masyarakat Lampung. Setelah aksi saling serang antar dua kampung di Padang Ratu Lampung Tengah yang membawa kerugian materi dan psikis teramat besar beberapa waktu lalu, kini tersiar kabar di Pugung Tanggamus siswa SMP saling berduel di dekat sekolah. Ironisnya aksi ini jadi tontonan teman-temannya, dan sempat direkam video ponsel, bahkan ada satu korban luka tusuk yang beruntung tak harus sampai meregang nyawa (Lampost, 4/11).

Meski dalam skala kecil, kabar ini tak patut disepelekan, terutama jika menengok wabah aksi kekerasan serupa yang terjadi se-Indonesia. Sayangnya tak ada angka pasti untuk kasus seperti ini, Kementerian Hukum dan HAM hanya mencatat indeks kekerasan tahunan yang disebabkan oleh paham radikal tertentu, atau kasus kekerasan seksual dan anak saja. Padahal, aksi kekerasan berujung kriminal yang kerap hanya dilandasi ledakan emosi sesaat begini justru sangat mengkhawatirkan.

Internalisasi Massif Kekerasan
Jika memantau media massa, betapa sering muncul berita kriminal pembunuhan hingga tawur massa yang terjadi dalam nuansa balas dendam. Seolah jalan pintas mengejar kepuasan batin untuk menyudahi tekanan masalah lewat aksi kekerasan adalah pilihan yang patut dibenarkan. Ini juga bisa menjadi ukuran asumtif betapa institusi hukum tak lagi meresap dan dipercaya ampuh menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat.

Dalam kasus seperti ini tak bisa menyalahkan satu atau dua pihak saja, sebab kompleksitasnya dilatari banyak faktor, dari motif eksistensi, ekonomi, beladiri, pengaruh lingkungan, hingga dampak suguhan media violence. Untuk yang terakhir ini butuh perhatian khusus, mengingat gejalanya yang begitu massif di Indonesia. Tapi kekerasan media yang dimaksud tidak sebatas pemberitaan aksi kekerasan yang vulgar dan agitatif oleh media massa, tetapi juga merujuk pada tak terkontrolnya akses informasi berunsur kekerasan verbal ataupun fisik dari tayangan hiburan televisi, internet, atau sarana lainnya.

Sosiolog Stuart Hall (1980) menyebut tiga tipe konsumen informasi, yakni dominant reader yang terlampau mudah menganggap semua informasi yang diperoleh sebagai kebenaran tunggal, lalu negotiated reader yang lebih pandai menyaring informasi dan berusaha membangun persepsi sendiri, dan oppositional reader yang selalu mengambil sikap bertentangan dengan arus  mainstream. Sayang, masyarakat Indonesia masih kurang kritis hingga cenderung terjerumus dalam tipe pertama yang sebenarnya paling merugikan.

Masyarakat Indonesia memang menemui seluruh kondisi objektif yang memenuhi syarat definitif bagi tumbuh suburnya budaya kekerasan. Selain sikap dominant reader, masyarakat kita harus juga menghadapi tekanan ekonomi cukup berat dalam keseharian hidup hingga mudah menimbulkan frustasi sosial, ditambah hadirnya kepungan internalisasi nilai kekerasan yang berlebihan di semua lini. Jika situasi ini terus diabaikan, ruang bagi tersulutnya ledakan amarah yang kontra produktif semakin terbuka lebar.

Nilai-nilai kekerasan memang semakin terasa lokal, kehadirannya bisa dengan mudah ditemui dalam setiap rumah tangga, khususnya lewat beragam tayangan hiburan TV yang tak bisa ditolak. Ini patut diwaspadai, sebab tayangan kekerasan yang diterima secara simultan akan memicu proses penyerapan nilai yang bisa saja berlangsung tanpa disadari. Proses ini akan pula mendorong seseorang untuk merekonstruksi nilai kekerasan sebagai hal yang wajar dalam perilaku sosialnya.

Buah Perilaku Agresi
Bahkan kita punya pengalaman mengerikan jika masih ingat kasus LP Cebongan Yogyakarta 23 Maret 2013 lalu, yang seolah menyuguhkan kisah heroik nan nyata ala film aksi Hollywood. Dimana ada sekelompok orang yang bersolidaritas atas terbunuhnya seorang rekan dengan merancang aksi balas dendam, menerobos penjagaan ketat penjara, melumpuhkan petugas, dan sukses menembak mati para tersangka di dalam selnya. Gawatnya, aksi brutal ini dilakukan oleh aparat militer yang semestinya jadi panutan warga sipil.

Inilah tantangan bangsa ke depan, untuk memerangi wabah nilai kekerasan yang merasuki kebudayaan kita. Jangan sampai perilaku agresi yang jauh dari manfaat terus terjadi menumpahkan darah sesame anak bangsa, baik dalam skala kecil berupa pertarungan individu apalagi skala besar dan kompleks seperti pertikaian kelompok. Sejak dahulu kita selalu diingatkan rasa bangga sebagai bangsa beradab, yang nir kekerasan dan mengedepankan musyawarah untuk mufakat.

Pemerintahan melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ternyata sudah merancang Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) sebagai terobosan yang mampu menyediakan data, pemetaan, dan analisis tentang konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah. Ini langkah baik sebagai upaya preventif, dan untuk provinsi Lampung yang belum mampu terbebas dari teror konflik laten pun hendak disusun Perda pengendalian konflik. Sekarang tinggal menguji komitmen bersama, apakah sungguh kita menghendaki kedamaian?

 _____________
*)  Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung  
     


     

TERBIT DI HARIAN CETAK LAMPUNG POST, SELASA 9 DESEMBER 2014.   http://epaper.lampost.co/ 

Senin, 24 November 2014

Resensi : Gambar Protes, Buat PR Presiden !


Terbit di Portal koranopini.com (KoPi), 23 November 2014 : http://koranopini.com/berita-2/ragam/resensi/buku/item/2797-gambar-protes-buat-pr-presiden

_____________________________
KETERANGAN BUKU
Judul : PR Buat Presiden (Karikatur)
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), 2014
Halaman : Hlm iv + 156 ; 24,5 x 17cm
ISBN 13 : 978-979-91-0722-0
_____________________________

Sekali lagi, Benny Rachmadi, seorang kartunis kawakan Indonesia, mempersembahkan karyanya pada khalayak di tengah momentum tahun politik 2014. Buku kumpulan kartun opini berjudul PR Buat Presiden setebal 155 halaman itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan Mei lalu. Sebelumnya, di momen Pemilu tahun 2009, ia bahkan pernah menerbitkan kumpulan karikaturnya dalam dua seri buku berjudul Dari Presiden ke Presiden yang cukup populer.

Benny memang terampil memotret realitas tumpukkan masalah yang begitu membebani bangsa dalam setiap gambar jenakanya. Seolah ia punya trik jitu menyusupkan semangat protes yang hidup, dan cukup berhasil mengajak penikmat karyanya turut serta meneriakkan protes atau setidaknya sadar akan masalah bersama. Maklum saja, kiprahnya di dunia jurnalistik, khususnya kolom kartun editorial Kontan sejak tahun 1998, ditambah dengan beragam raihan penghargaan di bidangnya.

Untuk memanjakan imajinasi, 20 halaman awal disajikan full colour. Secara apik gambar juga dipilah: pertama, pemilu yang karut-marut tapi tetap diharapkan rakyat (hal.2); kedua, jeleknya pejabat terpilih yang asyik sendiri (hal.28); ketiga, melekatnya julukkan Indonesia negeri koruptor (hal.40); keempat, infrastruktur bobrok meski bayar pajak (hal.51); kelima, kebijakan aneh yang membingungkan (hal. 60); keenam, kemelut bidang ekonomi (hal.66); ketujuh, langganan bencana tak berujung (hal.129); kedelapan, premanisme dan kriminalisasi (hal.137) ; terakhir, pertanyaan dilematis apakah hidup adil dan makmur hanya ada dalam mimpi (hal.150).

Sayangnya tak ada daftar isi dan kata pengantar yang sebetulnya penting sebagai pemandu. Setiap gambar juga tak diberi keterangan pernah dipublikasikan di media mana, padahal ini kumpulan karyanya sebagai kartunis kolom selama periode tertentu. Tapi lepas dari itu, buku ini memang sangat menarik dibaca, bahkan penting bagi para penguasa baru yang memimpin negeri. Mengapa ? jelas karena masalah yang dialami bangsa kita ini sudah terlalu banyak dan semuanya menuntut untuk segera dituntaskan.

Terpilihlah Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, sosok yang dielu-elukan telah mewakili semangat pembaharu zaman. Sejak awal kemunculannya  memimpin Kota Solo hingga jadi Gubernur DKI Jakarta, populer dengan gebrakan-gebrakan di luar mainstream. Berbeda dari citra umum  pejabat, Jokowi tampil bersahaja dan mengusung etos kerja dengan metode andalan “blusukan” alias rajin mendatangi masyarakat dan masalahnya di lapangan.

Tapi semua itu belum cukup menjamin keberhasilan, selain karena ada begitu banyak “oknum parasit” yang tersebar di semua sendi lembaga trias politika. Metode yang dipergunakan Jokowi dalam praktek pemerintahannya juga masih belum pernah secara serius menyentuh substansi kebutuhan rakyat, melainkan baru sebatas memuaskan dahaga moral saja.

Nyaris tak ada gambar di buku ini yang tak relevan dengan realita problematika bangsa hari ini. Caleg gagal pusing karena tagihan utang biaya kampanye (hal.27), terbukti banyak yang depresi pasca kalah berlaga, bahkan caleg pemenang pun ramai-ramai menggadai SK. Gambar mobil KPK dicegat  ranjau paku para mafia berdasi (hal.41) cocok dengan terbitnya UU MD3 yang mengebiri kewenangan KPK mengusut praktik korupsi di DPR. Atau gambar susahnya mencari hakim MK yang bersih (hal.50) juga pas dengan tertangkap tangannya suap Akil Mochtar.

Proyek mobil murah yang membingungkan karena murahnya itu bagi siapa dan dampaknya bagi penghematan BBM subsidi pun tidak ada (hal.61-62). Soal polemik subsidi BBM bahkan dapat perhatian khusus (hal 67-73). Apalagi naiknya harga beragam barang/jasa kebutuhan hidup (hal. 77-96). Gambar pemancing lusuh di negeri maritime yang bingung melihat ikan segar impor (hal.119), dan masih banyak lagi PR-nya.

Zaman dimana teknologi olah gambar sudah begitu praktis dan menggusur peran kartunis, eksistensi karya Benny justru kian moncer. Puluhan buku kumpulan karikaturnya meraih sambutan besar dari pembaca Indonesia, sebut saja 4 seri Tiga Manula Jalan – Jalan (2011 – 2013), 2 seri Lost in Bali (2008-2009), dan 4 seri Lagak Jakarta (1997, 1998, 2007, 2008). Saya jadi membayangkan, andai kolom kartun Pak De & Pak Ho asuhan Ferial di Lampung Post atau rubrik-rubrik serupa di Koran-koran daerah lainnya juga dibukukan, sepertinya tak bakal kalah seru dengan gambar-gambar protes seorang Benny Rachmadi.
____________
Saddam CahyoSekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Sosiologi Universitas Lampung (Unila)

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20141123/resensi-gambar-protes-buat-pr-presiden.html#ixzz3JwamNOMD

Kamis, 20 November 2014

Opini : Melindungi Hak Beragama dan Berkepercayaan


Selain kisruh dualisme kepemimpinan DPR RI dan kenaikan harga BBM bersubsidi, ada peristiwa lain yang turut menjelma sebagai polemik meresahkan, yakni soal kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa kolom agama boleh dikosongkan keterangannya bagi masyarakat penghayat kepercayaan tradisional atau di luar 6 agama resmi negara (Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Kong Hu Cu). Namun, isu ini sempat berkembang melenceng seolah pemerintah hendak menghapus kolom agama dari KTP, hingga menuai reaksi publik yang negatif.

Saat Agama Jadi Polemik
Persoalan agama dan kepercayaan memang selalu menjadi sangat sensitif karena menyangkut aspek paling privat bagi setiap manusia. Karenanya, wajar jika ketika isu ini muncul, reaksi yang timbul pun bisa sangat keras. Bagi masyarakat Indonesia, ini memang sebuah fenomena khusus. Jika mengacu data Kementerian Budaya dan Pariwisata di tahun 2003 saja, setidaknya tercatat ada 248 organisasi aliran kepercayaan dengan jumlah penganut sebesar 8.821.724 jiwa. Wajar saja, mengingat data BPS juga menyebut bangsa yang mendiami sekitar 13.466 pulau ini punya lebih dari 1.128 ragam etnis dengan sejarah spiritualnya yang panjang.

Namun, di usia 69 tahun kemerdekaan negara Indonesia, sebagian warganya–yakni para penghayat kepercayaan—masih saja berada di ambang ketidakpastian. Hak-hak nya sebagai warga negara belum bisa utuh dinikmati, pun kewajibannya tak bisa penuh ditunaikan. Ini berakar dari pengakuan negara yang masih tanggung, khususnya terkait agama atau kepercayaan dari tradisi nenek moyang Nusantara sejak berabad lalu. Semisal Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan, Buhun di Jawa Barat, Parmalim di Sumut, Kepribaden, Samin di Jawa. Belum lagi kepercayaan dari luar seperti Zoroaster, Yahudi, dan Sikh.

Terjadi banyak bias di ruang publik, karena kalangan yang punya otoritas kerap mendiskreditkan kepercayaan tradisional dalam kategori animisme yang terkesan kuno bahkan primitif. Hal ini membuat masyarakat penghayat kepercayaan harus menjalani hidup dengan perlakuan diskriminatif hingga stigma sesat yang tentu menimbulkan banyak kerugian. Dalam negara demokrasi modern, KTP memiliki peran vital bagi kehidupan setiap warganya. Segala macam hak sipil (ekonomi, sosial, budaya) dan hak politik yang semestinya diperoleh akan terhambat tanpa adanya kartu identitas.

Selama ini, masyarakat penghayat memang tersisihkan dari ruang-ruang legal. Mereka kesulitan mengakses dokumen-dokumen resmi kependudukan karena identitas spiritualnya yang dianggap anomali. Pernikahan mereka tak bisa masuk catatan sipil, dan anak hasil perkawinanya dicatat di bawah garis Ibu. Konsekuensinya cukup fatal, mulai dari akta kelahiran anak seakan hasil hubungan gelap, hak waris jadi tak jelas, hak  mendapat pelayanan negara seperti jaminan kesehatan dan pendidikan pun terbatas, termasuk hak untuk partisipasi saat pemilu. Tak jarang mereka harus menghadapai situasi “keterpaksaan” memilih agama tertentu hanya untuk mempermudah keperluannya.

Bangsa Pluralis Pancasila
Tapi bukan berarti nihil perhatian, meski lambat negara mulai mengakomodir hak konstitusional warga penghayat. Dasarnya jelas: falsafah Pancasila yang pertama menyebut asas Ketuhanan yang Maha Esa secara tersurat sebagai landasan hidup  masyarakat Indonesia yang plural, yang menjunjung tinggi toleransi. Begitulah Pancasila, pernah diterangkan oleh Gus Dur sebagai pluralisme sosial, dimana persoalan Ketuhanan harus senantiasa merdeka, tak sepatutnya saling dipertentangkan meski kebenarannya dianggap mutlak. Tugas kita adalah saling menegakkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa.

Diperkuat Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 bahwa negara menjamin setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Tapi ini tak boleh dirasa cukup begitu saja, sebab praktiknya masih banyak terjegal. Mulai dari peraturan yang tumpang tindih, subjektifitas dan ketidakpahaman oknum berwenang di lapangan, hingga sistem komputerisasi e-KTP yang tak bisa diinput data selain agama resmi. Padahal sebelumnya sudah mulai diperbolehkan menulis kepercayaan di KTP non elektronik.

Pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayan memanglah sesuai dengan UU Adminduk No.24/ 2013 khususnya Pasal 4 ayat 5, yang sebenarnya bermaksud baik yakni menghentikan praktik “pemaksaan agama” dan “hipokrisi publik”. Tapi meski dikosongkannya keterangan  agama (-) di KTP warga penghayat hanya sementara, tetap saja mengandung resiko yang kurang baik. Terlebih masyarakat kita umumnya memandang identitas agama sebagai salah satu prioritas dalam membangun relasi sosial, hingga ini masih sangat memungkinkan terjadinya kesalahpahaman yang tak dihendaki.

Bagaimana pun, polemik ini sesungguhnya bermanfaat, mengingatkan ternyata masih banyak PR besar untuk mewujudkan cita-cita kebhinekaan bangsa Indonesia. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian serius pemerintah dan para legislator di Senayan, terutama untuk membenahi dasar hukum bagi perlindungan hak beragama dan berkepercayaan warga negara. Setidaknya ada beberapa UU yang harus dirubah karena isinya yang secara sistematis sangat mengabaikan semangat kemerdekaan spiritual, yakni UU PNPS No.1/1965 Tentang Penodaan Agama, UU No.1/1974 Tentang Perkawinan, serta UU Adminduk No.23/2006 yang sudah dirubah menjadi UU No.24/2014.

Positifnya juga, Mendagri sempat berujar poinnya ada pada proses yang  masih berjalan dan terus diupayakan, sebab penegakkan hak-hak warga penghayat kepercayaan termasuk pengakuan resminya sebagai agama sudah sejak lama menjadi salah satu fokus PDI Perjuangan (partai asal dirinya dan Presiden Jokowi). Lagi pula, seperti ucapan Voltaire dalam karya klasiknya Traktat Toleransi, betapa bahaya jika fanatisme atas satu agama terus dibiarkan, padahal hakekat agama bukanlah pemaksaan, melainkan penyadaran. Karenanya sikap toleransi haruslah dijunjung dengan menerima segala perbedaan di atas prinsip kemanusiaan. Mari kita kawal !
____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.

Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, 19 November 2014 dengan judul LINDUNGI HAK BERAGAMA.

Minggu, 02 November 2014

Opini : Persatuan, Pantang Hilang Pasca Tahun Politik


Oleh : Saddam Cahyo
Sekretaris LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) Ekswil Lampung 


USAI sudah rangkaian panjang prosesi tahun politik kali ini, seluruh anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru resmi terlantik, pun Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014—2019 pada 20 Oktober. Pengalaman pemilu kali ini memang sungguh berbeda dari sebelumnya, patutlah diapresiasi sebagai torehan sejarah baru dalam kehidupan politik bangsa. Bagaimana tidak, ini kali pertama pemilu terbuka dengan hanya memilih dua pasang kandidat yang sama gigih membangun optimisme publik menuju zaman baru yang lebih baik. 

Menguatnya Nasionalisme
Sudah rahasia umum sejak reformasi 1998 belumlah terwujud perubahan substansial dalam kehidupan politik bangsa ini, selain terbukanya gerbang demokratisasi. Struktur sistem kekuasaan masih berpola sama bahkan meluas, kekuatan modal menentukan segalanya, sedangkan rakyat cuma mendapat celah partisipasi semu setiap momen pemungutan suara lalu diabaikan. Selama itu pula kita nyaris dibuat amnesia akan karakter kebangsaan, pesimisme dan apatisme pada seluruh spektrum pelaksana negara kian menguat, rasa percaya pada pemimpin pun seolah kian ilusif.


Namun, sepanjang tahun politik ini ada hawa segar yang membalut, ditunjukkan besarnya kerinduan akan nuansa politik aktif dan partisipatif hingga lontaran jargon-jargon ala revolusi ’45. Tampak pula dari menguatnya semangat nasionalisme sebagai wacana bersama. Sepertinya ini memang manifestasi kehendak seluruh rakyat yang mulai resah dan tidak tahan lagi meratapi kedaulatan negerinya diobrak-abrik. Tengok saja kuasa produk impor atas konsumsi harian masyarakat, kuasa investasi atas kekayaan alam yang jomplang dengan BUMN, sampai seluruh kebutuhan energi harus tunduk pada harga pasar dunia yang mencekik.


Interupsi utang luar negeri yang tiap tahun harus bertambah demi menutupi defisit APBN pun makin menghantui, sampai nyaris tidak ada lagi alternatif menyehatkan anggaran negara selain menghapus segala bentuk subsidi sosial (pendidikan, kesehatan, energi, dan lainnya). Beruntung di musim kampanye ini juga, seluruh persoalan bangsa dari hilir sampai ke hulu tanpa tabu lagi justru mulai terungkap dengan sendirinya. Semisal, betapa besar potensi pendapatan negara yang bocor akibat korupsi pajak, kontrak investasi yang tak adil, minimnya industrialisasi nasional, hingga lemahnya sektor pertanian dan maritim. 


Puncaknya, kedua pasangan capres saat itu sama-sama berani mengusung cita-cita kemerdekaan, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur. Terlepas dari siapa yang menang kemudian, ini saja sudah menjadi kemenangan bagi rakyat. Pasalnya, wacana progresif seperti ini sudah lama sekali ditenggelamkan, padahal siapa yang membantah kalau kita ini bangsa yang besar dari segi mana pun, wilayahnya, kekayaan alamnya, manusianya, atau sejarahnya. Namun, segala potensi kebangkitan itu telah dipasung hingga perlahan-lahan bangsa ini mengalami kemunduran dan pengerdilan sedemikian rupa.

Menguatkan Persatuan
Namun sayang, terdikotominya kekuatan politik nasionalis di ajang pilpres lalu sempat menimbulkan persinggungan yang kontra-produktif dengan visi-misi keduanya selama kampanye. Proses penyelesaian pemilu yang agak alot pun menambah pelik perdebatan antarpendukungnya. Situasi ini memaksa kita harus terlibat dalam jebakan konflik horizontal yang tak mendidik, dan malah membuat kita makin menjauhi persatuan, mengabaikan problem pokok bangsa, dan melupakan tugas sejarah menyongsong masa depan yang gilang gemilang. 


Tidak semestinya pula jika parlemen baru terus terbelah antarkubu Indonesia Hebat dengan Merah Putih. Mengingat hasil pemilu legislatif sesungguhnya begitu indah menggusur kekuatan politik pro neoliberal dan memenangkan parpol pengusung nasionalisme, semisal PDI Perjuangan, Gerindra, dan NasDem. Terlebih Prabowo Subianto dan Joko Widodo sudah menunjukkan sikap kesatria sebagai pemimpin yang siap bergotong royong membangun bangsa dengan saling mengawal.

Lima tahun ke depan, yang wajib diutamakan oleh semua pihak ialah sense of belonging, rasa kecintaan yang luhur pada Tanah Air ketimbang sekadar memuaskan kepentingan kelompoknya sendiri. Di tengah kepungan hukum pasar bebas yang sudah siap mengekang, inilah saatnya saling menguatkan persatuan sebagai bangsa yang utuh nan mumpuni bersaing di kancah global. Semangat seperti inilah yang tidak boleh ditanggalkan usai berlalunya tahun politik. 

Naiknya Jokowi yang low profile ke kursi presiden mestinya juga makin memecut kepedulian rakyat untuk turut andil menentukan masa depan. Inilah zaman baru itu, yang mendekatkan pada cita-cita kemerdekaan, yang memberi jalan bagi sistem demokrasi partisipatoris yang substansial. Semua bisa terwujud lewat persatuan nasional yang kokoh, bukan yang chauvinis apalagi xenophobic. Melainkan yang mampu mengawal jalannya roda pemerintahan agar konsisten mengayomi, bukan lagi bebal mengelabui. Jika tidak? Bangsa ini akan musnah dilahab raksasa globalisasi. 
___________
Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, Kamis 23 Oktober 2014.
Sumber : http://lampost.co/berita/persatuan-pantang-hilang-pascatahun-politik 

Opini : Dibawah Kuasa Junkfood

Terbit di harian cetak SINAR MERDEKA, Rabu 22 Oktober 2014.

Kalau masih ada yang ingat persitiwa menggelikan beberapa waktu lalu: sepasang turis  asal Amerika Serikat (AS) menjadi tersangka pembunuhan Ibu kandungnya sendiri Denpasar, Bali, pada Agustus lalu.

Saat mereka ditahan, kedua tersangka itu melakukan protes karena disugugi ayam goreng dari KFC oleh polisi. Mereka menilai ayam goreng dari KFC itu disuguhkan lantaran mereka berkulit hitam. Mereka juga menganggap ayam goreng KFC adalah makanan untuk kalangan kelas bawah. Keduanya menganggap tindakan polisi itu rasis.

Padahal, polisi sebetulnya justru hendak memberlakukan mereka lebih istimewa ketimbang dengan narapidana lain. “Menurut kami fast food itu mahal, tapi mereka menganggapnya sebagai makanan murahan,” kata Kapolresta Denpasar, Kombes Pol Djoko Hariutomo. Uniknya lagi, kedua tersangka itu baru berhenti melakukan protes setelah makanan mereka diganti dengan Soto Ayam (Tribunnews.com, 19 Agustus 2014).

Fatalnya Gagal Faham
Memang nyata, di Indonesia, makanan cap luar negeri yang mulai marak sejak awal 90-an seperti itu selalu menjelma sebagai panganan mewah dan mahal miliknya kaum berduit saja. Tempatnya pun selalu elegan dan mendapat julukan “restoran cepat saji”, sampai-sampai membuat orang awam mana pun langsung menaksir kelasnya tinggi. Padahal, sesungguhnya di negeri asalnya sana panganan yang masuk kategori fast food seperti ini kerap diplesetkan dengan sebutan  junk food alias “makanan sampah”.

Seperti dikupas habis oleh Eric Schlosser dalam bukunya, Negeri Fast Food (2004). Sesungguhnya model usaha ini memang inovasi revolusioner dari bisnis kuliner, namun ia punya konsekuensi ironik yang buruk bagi masyarakat. Cita rasa nikmatnya yang begitu khas di lidah ternyata berkat rekayasa kimiawi yang diracik para flavorist. Makanan ini juga dianggap sebagai biang keladi melonjaknya masalah obesitas, penyakit kardiovaskular, dan kanker. Industri ini memang lebih berorientasi pada terpenuhinya target pelipatgandaan profit ketimbang menyajikan makanan yang baik. Bahkan perlakuan pada pekerjanya pun tidaklah seindah kemasan yang tampak. Lebih buruk. Bisnis ini juga menyumbang anjloknya kesejahteraan petani dan peternak kecil di desa.

Sungguh fenomena ini ibarat noda yang ikut mencoreng cita-cita kedaulatan pangan nasional. Masyarakat kita memang kian banyak terjangkit xenomaniac, terlampau mudah silau dengan produk luar negeri dan merendahkan apa pun yang berbau lokal. Kita gagal memahami globalisasi, sampai menimbulkan mental inlander, jeblok, alias minder. Tak heran jika akhirnya kita menemui kenyataan bahwa julukkan “Indonesia Negeri Agraris” itu kian menjadi mitos yang terkubur oleh segala macam panganan impor yang sudah menerobos masuk ke desa-desa.

Majukan Pangan Lokal
Data miris BPS menyebut dalam satu dekade terakhir, 5 juta petani beralih profesi menjadi tukang ojek dan buruh bangunan. Tak terhitung lagi anak petani yang berurbanisasi ke kotauntuk menjadi buruh pabrik atau sektor informal. Rerata petani Indonesia hanya menggarap lahan kurang dari setengah hektare, dengan status terbanyak cuma buruh tani demi  mencukupi kebutuhan subsisten. Terjadi juga penyusutan lahan pertanian produktif yang signifikan, dari 31,2 juta Ha menjadi 26 juta Ha saja. Situasi ini berdampak langsung pada konsumsi impor produk pertanian yang melambung empat kali lipat dari tahun 2003 sebesar US$ 3,34 miliar sampai tahun 2013 menjadi US$ 14,9 miliar (Nefosnews.com, 11/9).

Proyek raksasa MP3EI yang digadang-gadang sebagai terobosan pembangunan pemerintah pun ternyata malah mengandung ancaman semakin mengurangi lahan pertanian masyarakat. Apa daya, negeri ini memang kepalang jadi target pasar dunia yang begitu diidamkan karena populasi 250 juta jiwanya itu. Terlebih gaya hidup masyarakatnya pun terlalu mudah berkiblat pada barat. Sialnya, bukan kultur produktifnya yang digandrungi, melainkan hanyut dan mulai tenggelam dalam budaya konsumtif terhadap simbol-simbolnya saja.

Namun, tulisan ini bukan untuk mengajak kita anti atau malah sampai phobia pada hal-hal yang berbau asing begitu saja. Sebaliknya, agar sadar diri menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 yang tinggal menghitung hari. Satu-satunya jalan untuk bertahan menjadi negeri berdaulat yang rakyatnya sejahtera adalah dengan meningkatkan peran negara dalam melindungi hak-hak rakyatnya yang berjuang. Ya, Pemerintah wajib membantu perjuangan hidup rakyatnya, selama ini jutaan rakyat meniti perekonomian dari bawah tapi musnah dilibas pesaing besar dari negeri luar.

Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, proyek MEA 2015 yang mulai meniadakan sekat perekonomian regional benua Asia Tenggara merupakan prakondisi dari proyek raksasa globalisasi atau pasar bebas dunia. Proyek pasar bebas regional semacam ini terbukti sangatlah kejam, dan klaim bahwa ia akan menumbuhkan iklim persaingan sempurna yang sehat adalah ilusi yang melegitimasi kekuatan ekonomi raksasa global untuk melahab usaha-usaha kecil menengah, termasuk bagi negara-negara lemah dengan populasi manusia yang berlimpah tanpa diiringi produktifitas tinggi seperti Indonesia.

Begitu kaya sebenarnya ragam panganan khas daerah yang bisa diunggulkan, bahkan rendang, sate, dan nasi goreng saja masuk kategori ternikmat di dunia. Vandana Shiva, aktivis kemanusiaan India, bahkan menyebut Indonesia punya sumber pangan luar-biasa yang tak mungkin membuat rakyatnya alami krisis pangan. Hal ini dibenarkan oleh Badan ketahanan Pangan Kementan RI yang menyebut 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis buah minuman, dan 110 jenis rempah (Greeners.co 19/8).

Ada terlalu banyak potensi yang bangsa ini miliki, tapi terlalu banyak pula persoalan yang menghambatnya berbuah menjadi kejayaan. Kebanggan pada potensi inilah yang semestinya mulai kita galakkan sebagai senjata produktif mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Kualitas produksi pangan lokal harus digenjot agar bermartabat setara di mata dunia. Inilah saatnya, memperkuat kesadaran membangun jaringan ekonomi rakyat yang bangga mengkonsumsi produk pangan lokal, bangga mengolah potensi sumber pangan lokal, mengemas beragam jenis makanan tradisional, dan memasarkannya sebaik mungkin.

Ayo bangkit dari tidur panjang, ada tantangan besar kemajuan bangsa berdaulat yang harus kita perjuangkan bersama sedari sekarang.***
_____________
Saddam CahyoSekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan Pegiat komunitas Bengkel Tulis Bintang Merah