Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Kamis, 20 November 2014

Opini : Melindungi Hak Beragama dan Berkepercayaan


Selain kisruh dualisme kepemimpinan DPR RI dan kenaikan harga BBM bersubsidi, ada peristiwa lain yang turut menjelma sebagai polemik meresahkan, yakni soal kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa kolom agama boleh dikosongkan keterangannya bagi masyarakat penghayat kepercayaan tradisional atau di luar 6 agama resmi negara (Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Kong Hu Cu). Namun, isu ini sempat berkembang melenceng seolah pemerintah hendak menghapus kolom agama dari KTP, hingga menuai reaksi publik yang negatif.

Saat Agama Jadi Polemik
Persoalan agama dan kepercayaan memang selalu menjadi sangat sensitif karena menyangkut aspek paling privat bagi setiap manusia. Karenanya, wajar jika ketika isu ini muncul, reaksi yang timbul pun bisa sangat keras. Bagi masyarakat Indonesia, ini memang sebuah fenomena khusus. Jika mengacu data Kementerian Budaya dan Pariwisata di tahun 2003 saja, setidaknya tercatat ada 248 organisasi aliran kepercayaan dengan jumlah penganut sebesar 8.821.724 jiwa. Wajar saja, mengingat data BPS juga menyebut bangsa yang mendiami sekitar 13.466 pulau ini punya lebih dari 1.128 ragam etnis dengan sejarah spiritualnya yang panjang.

Namun, di usia 69 tahun kemerdekaan negara Indonesia, sebagian warganya–yakni para penghayat kepercayaan—masih saja berada di ambang ketidakpastian. Hak-hak nya sebagai warga negara belum bisa utuh dinikmati, pun kewajibannya tak bisa penuh ditunaikan. Ini berakar dari pengakuan negara yang masih tanggung, khususnya terkait agama atau kepercayaan dari tradisi nenek moyang Nusantara sejak berabad lalu. Semisal Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan, Buhun di Jawa Barat, Parmalim di Sumut, Kepribaden, Samin di Jawa. Belum lagi kepercayaan dari luar seperti Zoroaster, Yahudi, dan Sikh.

Terjadi banyak bias di ruang publik, karena kalangan yang punya otoritas kerap mendiskreditkan kepercayaan tradisional dalam kategori animisme yang terkesan kuno bahkan primitif. Hal ini membuat masyarakat penghayat kepercayaan harus menjalani hidup dengan perlakuan diskriminatif hingga stigma sesat yang tentu menimbulkan banyak kerugian. Dalam negara demokrasi modern, KTP memiliki peran vital bagi kehidupan setiap warganya. Segala macam hak sipil (ekonomi, sosial, budaya) dan hak politik yang semestinya diperoleh akan terhambat tanpa adanya kartu identitas.

Selama ini, masyarakat penghayat memang tersisihkan dari ruang-ruang legal. Mereka kesulitan mengakses dokumen-dokumen resmi kependudukan karena identitas spiritualnya yang dianggap anomali. Pernikahan mereka tak bisa masuk catatan sipil, dan anak hasil perkawinanya dicatat di bawah garis Ibu. Konsekuensinya cukup fatal, mulai dari akta kelahiran anak seakan hasil hubungan gelap, hak waris jadi tak jelas, hak  mendapat pelayanan negara seperti jaminan kesehatan dan pendidikan pun terbatas, termasuk hak untuk partisipasi saat pemilu. Tak jarang mereka harus menghadapai situasi “keterpaksaan” memilih agama tertentu hanya untuk mempermudah keperluannya.

Bangsa Pluralis Pancasila
Tapi bukan berarti nihil perhatian, meski lambat negara mulai mengakomodir hak konstitusional warga penghayat. Dasarnya jelas: falsafah Pancasila yang pertama menyebut asas Ketuhanan yang Maha Esa secara tersurat sebagai landasan hidup  masyarakat Indonesia yang plural, yang menjunjung tinggi toleransi. Begitulah Pancasila, pernah diterangkan oleh Gus Dur sebagai pluralisme sosial, dimana persoalan Ketuhanan harus senantiasa merdeka, tak sepatutnya saling dipertentangkan meski kebenarannya dianggap mutlak. Tugas kita adalah saling menegakkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa.

Diperkuat Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 bahwa negara menjamin setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Tapi ini tak boleh dirasa cukup begitu saja, sebab praktiknya masih banyak terjegal. Mulai dari peraturan yang tumpang tindih, subjektifitas dan ketidakpahaman oknum berwenang di lapangan, hingga sistem komputerisasi e-KTP yang tak bisa diinput data selain agama resmi. Padahal sebelumnya sudah mulai diperbolehkan menulis kepercayaan di KTP non elektronik.

Pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayan memanglah sesuai dengan UU Adminduk No.24/ 2013 khususnya Pasal 4 ayat 5, yang sebenarnya bermaksud baik yakni menghentikan praktik “pemaksaan agama” dan “hipokrisi publik”. Tapi meski dikosongkannya keterangan  agama (-) di KTP warga penghayat hanya sementara, tetap saja mengandung resiko yang kurang baik. Terlebih masyarakat kita umumnya memandang identitas agama sebagai salah satu prioritas dalam membangun relasi sosial, hingga ini masih sangat memungkinkan terjadinya kesalahpahaman yang tak dihendaki.

Bagaimana pun, polemik ini sesungguhnya bermanfaat, mengingatkan ternyata masih banyak PR besar untuk mewujudkan cita-cita kebhinekaan bangsa Indonesia. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian serius pemerintah dan para legislator di Senayan, terutama untuk membenahi dasar hukum bagi perlindungan hak beragama dan berkepercayaan warga negara. Setidaknya ada beberapa UU yang harus dirubah karena isinya yang secara sistematis sangat mengabaikan semangat kemerdekaan spiritual, yakni UU PNPS No.1/1965 Tentang Penodaan Agama, UU No.1/1974 Tentang Perkawinan, serta UU Adminduk No.23/2006 yang sudah dirubah menjadi UU No.24/2014.

Positifnya juga, Mendagri sempat berujar poinnya ada pada proses yang  masih berjalan dan terus diupayakan, sebab penegakkan hak-hak warga penghayat kepercayaan termasuk pengakuan resminya sebagai agama sudah sejak lama menjadi salah satu fokus PDI Perjuangan (partai asal dirinya dan Presiden Jokowi). Lagi pula, seperti ucapan Voltaire dalam karya klasiknya Traktat Toleransi, betapa bahaya jika fanatisme atas satu agama terus dibiarkan, padahal hakekat agama bukanlah pemaksaan, melainkan penyadaran. Karenanya sikap toleransi haruslah dijunjung dengan menerima segala perbedaan di atas prinsip kemanusiaan. Mari kita kawal !
____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.

Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, 19 November 2014 dengan judul LINDUNGI HAK BERAGAMA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar