Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Selasa, 09 Desember 2014

Opini : Memerangi Wabah Kekerasan


Oleh : Saddam Cahyo*


Apa mau dikata, sekali lagi letupan konflik harus mengemuka di tengah kehidupan masyarakat Lampung. Setelah aksi saling serang antar dua kampung di Padang Ratu Lampung Tengah yang membawa kerugian materi dan psikis teramat besar beberapa waktu lalu, kini tersiar kabar di Pugung Tanggamus siswa SMP saling berduel di dekat sekolah. Ironisnya aksi ini jadi tontonan teman-temannya, dan sempat direkam video ponsel, bahkan ada satu korban luka tusuk yang beruntung tak harus sampai meregang nyawa (Lampost, 4/11).

Meski dalam skala kecil, kabar ini tak patut disepelekan, terutama jika menengok wabah aksi kekerasan serupa yang terjadi se-Indonesia. Sayangnya tak ada angka pasti untuk kasus seperti ini, Kementerian Hukum dan HAM hanya mencatat indeks kekerasan tahunan yang disebabkan oleh paham radikal tertentu, atau kasus kekerasan seksual dan anak saja. Padahal, aksi kekerasan berujung kriminal yang kerap hanya dilandasi ledakan emosi sesaat begini justru sangat mengkhawatirkan.

Internalisasi Massif Kekerasan
Jika memantau media massa, betapa sering muncul berita kriminal pembunuhan hingga tawur massa yang terjadi dalam nuansa balas dendam. Seolah jalan pintas mengejar kepuasan batin untuk menyudahi tekanan masalah lewat aksi kekerasan adalah pilihan yang patut dibenarkan. Ini juga bisa menjadi ukuran asumtif betapa institusi hukum tak lagi meresap dan dipercaya ampuh menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat.

Dalam kasus seperti ini tak bisa menyalahkan satu atau dua pihak saja, sebab kompleksitasnya dilatari banyak faktor, dari motif eksistensi, ekonomi, beladiri, pengaruh lingkungan, hingga dampak suguhan media violence. Untuk yang terakhir ini butuh perhatian khusus, mengingat gejalanya yang begitu massif di Indonesia. Tapi kekerasan media yang dimaksud tidak sebatas pemberitaan aksi kekerasan yang vulgar dan agitatif oleh media massa, tetapi juga merujuk pada tak terkontrolnya akses informasi berunsur kekerasan verbal ataupun fisik dari tayangan hiburan televisi, internet, atau sarana lainnya.

Sosiolog Stuart Hall (1980) menyebut tiga tipe konsumen informasi, yakni dominant reader yang terlampau mudah menganggap semua informasi yang diperoleh sebagai kebenaran tunggal, lalu negotiated reader yang lebih pandai menyaring informasi dan berusaha membangun persepsi sendiri, dan oppositional reader yang selalu mengambil sikap bertentangan dengan arus  mainstream. Sayang, masyarakat Indonesia masih kurang kritis hingga cenderung terjerumus dalam tipe pertama yang sebenarnya paling merugikan.

Masyarakat Indonesia memang menemui seluruh kondisi objektif yang memenuhi syarat definitif bagi tumbuh suburnya budaya kekerasan. Selain sikap dominant reader, masyarakat kita harus juga menghadapi tekanan ekonomi cukup berat dalam keseharian hidup hingga mudah menimbulkan frustasi sosial, ditambah hadirnya kepungan internalisasi nilai kekerasan yang berlebihan di semua lini. Jika situasi ini terus diabaikan, ruang bagi tersulutnya ledakan amarah yang kontra produktif semakin terbuka lebar.

Nilai-nilai kekerasan memang semakin terasa lokal, kehadirannya bisa dengan mudah ditemui dalam setiap rumah tangga, khususnya lewat beragam tayangan hiburan TV yang tak bisa ditolak. Ini patut diwaspadai, sebab tayangan kekerasan yang diterima secara simultan akan memicu proses penyerapan nilai yang bisa saja berlangsung tanpa disadari. Proses ini akan pula mendorong seseorang untuk merekonstruksi nilai kekerasan sebagai hal yang wajar dalam perilaku sosialnya.

Buah Perilaku Agresi
Bahkan kita punya pengalaman mengerikan jika masih ingat kasus LP Cebongan Yogyakarta 23 Maret 2013 lalu, yang seolah menyuguhkan kisah heroik nan nyata ala film aksi Hollywood. Dimana ada sekelompok orang yang bersolidaritas atas terbunuhnya seorang rekan dengan merancang aksi balas dendam, menerobos penjagaan ketat penjara, melumpuhkan petugas, dan sukses menembak mati para tersangka di dalam selnya. Gawatnya, aksi brutal ini dilakukan oleh aparat militer yang semestinya jadi panutan warga sipil.

Inilah tantangan bangsa ke depan, untuk memerangi wabah nilai kekerasan yang merasuki kebudayaan kita. Jangan sampai perilaku agresi yang jauh dari manfaat terus terjadi menumpahkan darah sesame anak bangsa, baik dalam skala kecil berupa pertarungan individu apalagi skala besar dan kompleks seperti pertikaian kelompok. Sejak dahulu kita selalu diingatkan rasa bangga sebagai bangsa beradab, yang nir kekerasan dan mengedepankan musyawarah untuk mufakat.

Pemerintahan melalui Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan ternyata sudah merancang Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) sebagai terobosan yang mampu menyediakan data, pemetaan, dan analisis tentang konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai daerah. Ini langkah baik sebagai upaya preventif, dan untuk provinsi Lampung yang belum mampu terbebas dari teror konflik laten pun hendak disusun Perda pengendalian konflik. Sekarang tinggal menguji komitmen bersama, apakah sungguh kita menghendaki kedamaian?

 _____________
*)  Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung  
     


     

TERBIT DI HARIAN CETAK LAMPUNG POST, SELASA 9 DESEMBER 2014.   http://epaper.lampost.co/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar