Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Minggu, 02 November 2014

Opini : Persatuan, Pantang Hilang Pasca Tahun Politik


Oleh : Saddam Cahyo
Sekretaris LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) Ekswil Lampung 


USAI sudah rangkaian panjang prosesi tahun politik kali ini, seluruh anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru resmi terlantik, pun Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014—2019 pada 20 Oktober. Pengalaman pemilu kali ini memang sungguh berbeda dari sebelumnya, patutlah diapresiasi sebagai torehan sejarah baru dalam kehidupan politik bangsa. Bagaimana tidak, ini kali pertama pemilu terbuka dengan hanya memilih dua pasang kandidat yang sama gigih membangun optimisme publik menuju zaman baru yang lebih baik. 

Menguatnya Nasionalisme
Sudah rahasia umum sejak reformasi 1998 belumlah terwujud perubahan substansial dalam kehidupan politik bangsa ini, selain terbukanya gerbang demokratisasi. Struktur sistem kekuasaan masih berpola sama bahkan meluas, kekuatan modal menentukan segalanya, sedangkan rakyat cuma mendapat celah partisipasi semu setiap momen pemungutan suara lalu diabaikan. Selama itu pula kita nyaris dibuat amnesia akan karakter kebangsaan, pesimisme dan apatisme pada seluruh spektrum pelaksana negara kian menguat, rasa percaya pada pemimpin pun seolah kian ilusif.


Namun, sepanjang tahun politik ini ada hawa segar yang membalut, ditunjukkan besarnya kerinduan akan nuansa politik aktif dan partisipatif hingga lontaran jargon-jargon ala revolusi ’45. Tampak pula dari menguatnya semangat nasionalisme sebagai wacana bersama. Sepertinya ini memang manifestasi kehendak seluruh rakyat yang mulai resah dan tidak tahan lagi meratapi kedaulatan negerinya diobrak-abrik. Tengok saja kuasa produk impor atas konsumsi harian masyarakat, kuasa investasi atas kekayaan alam yang jomplang dengan BUMN, sampai seluruh kebutuhan energi harus tunduk pada harga pasar dunia yang mencekik.


Interupsi utang luar negeri yang tiap tahun harus bertambah demi menutupi defisit APBN pun makin menghantui, sampai nyaris tidak ada lagi alternatif menyehatkan anggaran negara selain menghapus segala bentuk subsidi sosial (pendidikan, kesehatan, energi, dan lainnya). Beruntung di musim kampanye ini juga, seluruh persoalan bangsa dari hilir sampai ke hulu tanpa tabu lagi justru mulai terungkap dengan sendirinya. Semisal, betapa besar potensi pendapatan negara yang bocor akibat korupsi pajak, kontrak investasi yang tak adil, minimnya industrialisasi nasional, hingga lemahnya sektor pertanian dan maritim. 


Puncaknya, kedua pasangan capres saat itu sama-sama berani mengusung cita-cita kemerdekaan, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur. Terlepas dari siapa yang menang kemudian, ini saja sudah menjadi kemenangan bagi rakyat. Pasalnya, wacana progresif seperti ini sudah lama sekali ditenggelamkan, padahal siapa yang membantah kalau kita ini bangsa yang besar dari segi mana pun, wilayahnya, kekayaan alamnya, manusianya, atau sejarahnya. Namun, segala potensi kebangkitan itu telah dipasung hingga perlahan-lahan bangsa ini mengalami kemunduran dan pengerdilan sedemikian rupa.

Menguatkan Persatuan
Namun sayang, terdikotominya kekuatan politik nasionalis di ajang pilpres lalu sempat menimbulkan persinggungan yang kontra-produktif dengan visi-misi keduanya selama kampanye. Proses penyelesaian pemilu yang agak alot pun menambah pelik perdebatan antarpendukungnya. Situasi ini memaksa kita harus terlibat dalam jebakan konflik horizontal yang tak mendidik, dan malah membuat kita makin menjauhi persatuan, mengabaikan problem pokok bangsa, dan melupakan tugas sejarah menyongsong masa depan yang gilang gemilang. 


Tidak semestinya pula jika parlemen baru terus terbelah antarkubu Indonesia Hebat dengan Merah Putih. Mengingat hasil pemilu legislatif sesungguhnya begitu indah menggusur kekuatan politik pro neoliberal dan memenangkan parpol pengusung nasionalisme, semisal PDI Perjuangan, Gerindra, dan NasDem. Terlebih Prabowo Subianto dan Joko Widodo sudah menunjukkan sikap kesatria sebagai pemimpin yang siap bergotong royong membangun bangsa dengan saling mengawal.

Lima tahun ke depan, yang wajib diutamakan oleh semua pihak ialah sense of belonging, rasa kecintaan yang luhur pada Tanah Air ketimbang sekadar memuaskan kepentingan kelompoknya sendiri. Di tengah kepungan hukum pasar bebas yang sudah siap mengekang, inilah saatnya saling menguatkan persatuan sebagai bangsa yang utuh nan mumpuni bersaing di kancah global. Semangat seperti inilah yang tidak boleh ditanggalkan usai berlalunya tahun politik. 

Naiknya Jokowi yang low profile ke kursi presiden mestinya juga makin memecut kepedulian rakyat untuk turut andil menentukan masa depan. Inilah zaman baru itu, yang mendekatkan pada cita-cita kemerdekaan, yang memberi jalan bagi sistem demokrasi partisipatoris yang substansial. Semua bisa terwujud lewat persatuan nasional yang kokoh, bukan yang chauvinis apalagi xenophobic. Melainkan yang mampu mengawal jalannya roda pemerintahan agar konsisten mengayomi, bukan lagi bebal mengelabui. Jika tidak? Bangsa ini akan musnah dilahab raksasa globalisasi. 
___________
Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, Kamis 23 Oktober 2014.
Sumber : http://lampost.co/berita/persatuan-pantang-hilang-pascatahun-politik 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar