Oleh
: Saddam Cahyo*
Syarat apalagi yang
kurang agar kita semua bulat menyepakati dan teguh bersikap bahwa praktek
korupsi itu sudah menjelma bagai penyakit kronis stadium akhir hingga sebegitu
jauhnya menggerogoti masa depan bangsa menuju keterpurukan. Bukankah juga
secara sederhana jika kita menguji nalar kritis masyarakat, rata-rata akan
lebih dulu menyebut perkara korupsi sebagai sasaran kritiknya? semestinya ini sudah
lebih dari cukup dijadikan acuan dasar bahwa korupsi memanglah problem pokok bagi
bangsa Indonesia.
Berangkat dari asumsi
ini, sudah tak ada alasan untuk terus mentolerir lemahnya sanksi hukum bagi
para pelaku tindak pidana korupsi. Apalagi jika mengingat kebocoran anggaran negara akibat korupsi
sistemik yang terjadi di semua lini pemerintahan dari pusat hingga daerah yang telah
merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah per tahunnya, belum lagi korupsi
pendapatan potensial negara yang tak sempat masuk dalam kas resmi. Padahal
sejatinya semua anggaran itu hak seluruh rakyat untuk dinikmati dalam wujud
pembangunan.
Sekolah
Koruptor Pakar
Tapi aneh bin ajaib, bukannya
diganjar hukuman khusus dalam arti seberat-beratnya, para koruptor kelas kakap
di LP Sukamiskin Jawa Barat justru diberi perlakuan khusus yang istimewa. Lapas
ini menjalin kerjasama dengan Universitas Pasundan untuk menyelenggarakan
program Magister Hukum bagi terpidana
korupsi yang akan ditempuh selama 1,5 tahun masa studi dengan biaya sebesar 30
juta rupiah. Program ini bahkan sudah resmi dibuka dan berjalan, ada sekitar 23
narapidana korupsi yang menjadi peserta termasuk Lutfi Hasan Ishaq, Rudi
Rubiandini, Adrian Woworuntu, Ahmad fathonah, dan Nazaruddin.
Memang benar tak ada
yang salah jikalau napi yang ingin memenuhi hak pendidikannya difasilitasi
bahkan ini dijamin oleh UU Pemasyarakatan No.12/1995, apalagi untuk program ini
mereka merogoh kocek pribadinya. Tapi perlu diingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime alias kejahatan
luar biasa, kategori ini tak boleh dibuat main-main. Terlebih jamak ditemui
fakta bahwa koruptor memiliki latar pendidikan dan kesejahteraan yang amat
timpang dengan ribuan narapidana umum lain. Sebagian besarnya orang-orang yang “terjebak”
dalam dunia kriminal lantaran putus asa didera kemiskinan dan rendahnya tingkat
pendidikan.
Lagi pula ini bisa
dirasa sangat menodai perasaan masyarakat Indonesia yang sebelumnya sudah
menaruh ekspektasi besar agar para koruptor diganjar hukuman berat yang memberi
efek jera. Lebih buruk, ini juga bisa dianggap sebagai simbol keberpihakan yang
menunjukkan betapa masih tak seriusnya penegakkan keadilan di negeri ini. Terlebih
sekolah magister tentu levelnya bukan lagi untuk mencetak orang-orang yang
menguasai dasar ilmu hukum, melainkan terarah untuk menciptakan para pakar dalam
bidang ilmu tersebut.
Konsisten
Menghukum Berat
Tentu kita sama-sama
tak menginginkan jika kelak muncul celetukan betapa enaknya menjadi koruptor di
negeri ini, bisa terkenal, tetap untung dan banyak uang, masa tahanan bisa
terus disunat remisi, ruang tahanan bisa tetap mewah dan nyaman, ditambah bisa
sambil sekolah S2, dan kelak bebas pun masih terhormat dengan menyandang gelar
“pakar korupsi”. Beruntung Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly segera
mengambil tindakan untuk mengevaluasi program ini meski belum pasti akan dihentikan
atau tidak.
Perlakuan eksklusif
pada koruptor memang masih begitu nyata, tentu ingat Gayus Tambunan, mafia pajak
yang bisa dengan santai melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk liburan
menonton pertandingan tenis di Bali tahun 2010 silam. Harus jujur pula diakui,
semangat pemberantasan korupsi di Indonesia memang masih setengah hati dan hanya
manis di mulut. Sebut saja poin revisi UU MD3 yang memberi hak imunitas secara
berlebihan bagi anggota DPR yang terduga korupsi, dan selalu ada berbagai upaya
pelemahan lainnya.
Tak heran jika Indeks Persepsi
Korupsi yang dikeluarkan Transparency International untuk Indonesia di tahun
2014 ini hanya berhasil mencapai angka 34 atau naik peringkat dari 114 menjadi
107 dari 175 negara (Kompas 3/12). Padahal ada banyak kemajuan, terutama atas perjuangan
lembaga ad hoc KPK yang satu
dasawarsa terakhir sudah mengungkap lebih dari 480 kasus dengan
Bupati/Walikota, Gubernur, Anggota DPR-RI, Ketua MK, Pejabat BPK, Jenderal, hingga
Menteri sebagai tersangka. Ini juga karena tiga lembaga penegak hukum arus
utama yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman belum mampu bangkit melawan
korupsi di tubuh sendiri.
Idealnya, makin tinggi
level kejahatan makin berat pula hukumannya. Korupsi sebagai extra ordinary crime memang secara kasat
mata tak semengerikan terorisme, tapi dampaknya jauh lebih luas dan buruk
karena merampas hak hidup orang banyak. Sudah saatnya kita tradisikan vonis
maksimal bagi koruptor, tanpa remisi apalagi pelayanan istimewa, bahkan sebaiknya
wajib dimiskinkan dan mempertimbangkan hukuman mati. Untuk kejahatan sepeti
ini, hukum harus ditegakkan lewat cara luar biasa yang menabrak semua benteng
kerikuhan moral. Tabik !
__________
*) Sekretaris
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT DI HARIAN CETAK "KORAN EDITOR" Selasa 16 Desember 2014.
http://koraneditor.com/publik/8596-koruptor-jadi-pakar
http://koraneditor.com/publik/8596-koruptor-jadi-pakar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar