Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Selasa, 16 Desember 2014

Opini : Mencipta Pakar Korupsi Dalam Jeruji


Oleh : Saddam Cahyo*

Syarat apalagi yang kurang agar kita semua bulat menyepakati dan teguh bersikap bahwa praktek korupsi itu sudah menjelma bagai penyakit kronis stadium akhir hingga sebegitu jauhnya menggerogoti masa depan bangsa menuju keterpurukan. Bukankah juga secara sederhana jika kita menguji nalar kritis masyarakat, rata-rata akan lebih dulu menyebut perkara korupsi sebagai sasaran kritiknya? semestinya ini sudah lebih dari cukup dijadikan acuan dasar bahwa korupsi memanglah problem pokok bagi bangsa Indonesia.

Berangkat dari asumsi ini, sudah tak ada alasan untuk terus mentolerir lemahnya sanksi hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Apalagi jika mengingat  kebocoran anggaran negara akibat korupsi sistemik yang terjadi di semua lini pemerintahan dari pusat hingga daerah yang telah merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah per tahunnya, belum lagi korupsi pendapatan potensial negara yang tak sempat masuk dalam kas resmi. Padahal sejatinya semua anggaran itu hak seluruh rakyat untuk dinikmati dalam wujud pembangunan.

Sekolah Koruptor Pakar
Tapi aneh bin ajaib, bukannya diganjar hukuman khusus dalam arti seberat-beratnya, para koruptor kelas kakap di LP Sukamiskin Jawa Barat justru diberi perlakuan khusus yang istimewa. Lapas ini menjalin kerjasama dengan Universitas Pasundan untuk menyelenggarakan program Magister Hukum bagi  terpidana korupsi yang akan ditempuh selama 1,5 tahun masa studi dengan biaya sebesar 30 juta rupiah. Program ini bahkan sudah resmi dibuka dan berjalan, ada sekitar 23 narapidana korupsi yang menjadi peserta termasuk Lutfi Hasan Ishaq, Rudi Rubiandini, Adrian Woworuntu, Ahmad fathonah, dan Nazaruddin.

Memang benar tak ada yang salah jikalau napi yang ingin memenuhi hak pendidikannya difasilitasi bahkan ini dijamin oleh UU Pemasyarakatan No.12/1995, apalagi untuk program ini mereka merogoh kocek pribadinya. Tapi perlu diingat bahwa korupsi merupakan extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa, kategori ini tak boleh dibuat main-main. Terlebih jamak ditemui fakta bahwa koruptor memiliki latar pendidikan dan kesejahteraan yang amat timpang dengan ribuan narapidana umum lain. Sebagian besarnya orang-orang yang “terjebak” dalam dunia kriminal lantaran putus asa didera kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan.

Lagi pula ini bisa dirasa sangat menodai perasaan masyarakat Indonesia yang sebelumnya sudah menaruh ekspektasi besar agar para koruptor diganjar hukuman berat yang memberi efek jera. Lebih buruk, ini juga bisa dianggap sebagai simbol keberpihakan yang menunjukkan betapa masih tak seriusnya penegakkan keadilan di negeri ini. Terlebih sekolah magister tentu levelnya bukan lagi untuk mencetak orang-orang yang menguasai dasar ilmu hukum, melainkan terarah untuk menciptakan para pakar dalam bidang ilmu tersebut.

Konsisten Menghukum Berat
Tentu kita sama-sama tak menginginkan jika kelak muncul celetukan betapa enaknya menjadi koruptor di negeri ini, bisa terkenal, tetap untung dan banyak uang, masa tahanan bisa terus disunat remisi, ruang tahanan bisa tetap mewah dan nyaman, ditambah bisa sambil sekolah S2, dan kelak bebas pun masih terhormat dengan menyandang gelar “pakar korupsi”. Beruntung Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly segera mengambil tindakan untuk mengevaluasi program ini meski belum pasti akan dihentikan atau tidak.

Perlakuan eksklusif pada koruptor memang masih begitu nyata, tentu ingat Gayus Tambunan, mafia pajak yang bisa dengan santai melenggang keluar tahanan Mako Brimob untuk liburan menonton pertandingan tenis di Bali tahun 2010 silam. Harus jujur pula diakui, semangat pemberantasan korupsi di Indonesia memang masih setengah hati dan hanya manis di mulut. Sebut saja poin revisi UU MD3 yang memberi hak imunitas secara berlebihan bagi anggota DPR yang terduga korupsi, dan selalu ada berbagai upaya pelemahan lainnya.

Tak heran jika Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International untuk Indonesia di tahun 2014 ini hanya berhasil mencapai angka 34 atau naik peringkat dari 114 menjadi 107 dari 175 negara (Kompas 3/12). Padahal ada banyak kemajuan, terutama atas perjuangan lembaga ad hoc KPK yang satu dasawarsa terakhir sudah mengungkap lebih dari 480 kasus dengan Bupati/Walikota, Gubernur, Anggota DPR-RI, Ketua MK, Pejabat BPK, Jenderal, hingga Menteri sebagai tersangka. Ini juga karena tiga lembaga penegak hukum arus utama yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman belum mampu bangkit melawan korupsi di tubuh sendiri.

Idealnya, makin tinggi level kejahatan makin berat pula hukumannya. Korupsi sebagai extra ordinary crime memang secara kasat mata tak semengerikan terorisme, tapi dampaknya jauh lebih luas dan buruk karena merampas hak hidup orang banyak. Sudah saatnya kita tradisikan vonis maksimal bagi koruptor, tanpa remisi apalagi pelayanan istimewa, bahkan sebaiknya wajib dimiskinkan dan mempertimbangkan hukuman mati. Untuk kejahatan sepeti ini, hukum harus ditegakkan lewat cara luar biasa yang menabrak semua benteng kerikuhan moral. Tabik !
__________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.
TERBIT DI HARIAN CETAK "KORAN EDITOR" Selasa 16 Desember 2014.
http://koraneditor.com/publik/8596-koruptor-jadi-pakar 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar