Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 06 Desember 2021

CERPEN : Si Pemabuk Mimpi

 


Oleh : Saddam Cahyo*

 

Klik-klik..

Tanda bunyi pesan masuk di jejaring media sosialku menjelang dini hari.

“Itu salah mu sendiri lho, jangan limpahin sesalmu ke aku dong, salah alamat. Kamu yang gak pernah tahan sendirian. Gak mau nunggu aku siap.”

Pesan masuk ini sudah tentu berasal darinya. Siapa lagi orang yang bakal aktif menghubungiku hanya di waktu semua orang lelap berselancar dengan mimpi-mimpinya.

Sementara aku, belakangan ini harus diserang gejala sakit hati dan pikiran yang kambuhan. Hampir setiap malam tubuh menuntut direbahkan, tapi mata teramat takluk pada keresahan. Ia tak sudi memejam sebelum pesan demi pesan masuk terbaca hingga menjelang fajar.

Sebenarnya putaran ini sudah berlangsung dalam sepuluh tahun terakhir. Bukanlah waktu yang singkat, apalagi mudah untuk dilewati. Bayangannya nyaris setiap hari selalu saja terputar dengan sendirinya di dalam kepala. Memori ingatan dengan mudah bergulung mundur ke setiap lapisan peristiwa yang berkenaan dengannya.

Bagaimana Tuhan begitu jenaka, mempertemukan kami tapi seperti tidak untuk disatukan sama sekali. Lucunya ini terjadi berkali-kali, terus berulang dalam adegan demi adegan dengan tingkat penyesalan yang kian berlipat pula.

Dari tahun ke tahun, tiap kali musim perjumpaan dengannya harus berakhir, aku kembali menutup dengan satu simpulan yang tak pernah berubah, bahwa aku hanyalah seonggok manusia bodoh yang diberkati nafas kehidupan. Tak ada lain.

Ibarat Sisifus yang mashur akan keburukan hidupnya dalam mitologi Yunani. Dikutuk para dewa agar selamanya memikul batu karang naik ke puncak bukit hanya untuk melihatnya kembali menggelinding ke bawah. Lalu kembali ia ulangi tindakan yang sama, entah untuk keberapa kalinya, dan luka apa saja yang harus dialami dalam pendakian tanpa henti itu.

“Apa sebelumnya pernah kamu tanya? Saat kamu benar-benar sendiri? Setahuku enggak.” Pesannya kemudian.

Memang benar kata-katanya. Ternyata sama sekali aku tidak pernah sungguh-sungguh berjuang menggapainya. Alih-alih berusaha, aku cuma sibuk memetiki bunga mimpi. Mendambakan sambutan tangannya, tapi terus menggamit tangan-tangan mereka yang lain.

Dasar pemimpi, bahkan dalam mimpi pun masih bermalas-malasan.

Tapi sepertinya bukan hanya aku yang candu pada mimpi-mimpi ini. Entah bagaimana, ia bertahan tanpa pernah memiliki komitmen afektif dengan siapa pun sampai saat ini. Kemunculannya yang terus timbul tenggelam semaunya, dengan rentang waktu yang tak pernah bisa diduga, dan berbagai momen perjumpaan yang seperti jebakan ilahi. Semua ini terasa begitu dibuat-buat, terlalu disengaja untuk sebuah kebetulan.

Hasrat pecundangku selalu bergolak tiap kali memikirkan sudut pandang yang satu ini. Senyum sendiri dengan pikiran yang penuh halusinasi, dan beberapa saat  kemudian ujung bibir ditarik kecut memecundangi diri sendiri. Cih!

Jujur, aku sudah berusaha sekerasnya, kupaksakan diri untuk merdeka dari segala siksa harapan palsu ini. Tapi ia pula yang selalu tetiba muncul kembali. Sosoknya menjelma seperti bayang-bayang kutukan yang tak mungkin dihindari. Ibarat sebuah keniscayaan, yang entah bagaimana caranya harus diterima sebagai kenyataan.

Pernah satu kali, aku tegas memintanya. “Aku harus bilang ke kamu, aku mau kita menyatu.” Ucapku lebih dari lima tahun lalu, setelah berbagai kesalahpahaman harus kami lalui.

Apa jawabnya saat itu? Ingatanku sangat baik untuk merekam semuanya. Terus berputar ia menyusun kata-kata, entah memang karena seperti yang sekarang diungkapnya bahwa dulu ia belum siap, entah memang ia sekedar ingin menolak, atau justru memang itu caranya menikmati semua ini.

Sekarang, setelah satu dekade, ia muncul dengan gugatan. Hah? Bagaimana bisa ia balik menggugat semuanya. Bukankah selama ini aku yang terus dihembuskan hawa sejuk angin surga yang sengaja ia tiupkan saat aku mulai membiasakan diri dengan panas dan keringnya udara patah hati.

Sekarang, dengan berani ia katakan. “Bukan soal aku yang gak mau, tapi kamu yang gak pernah mau nunggu. Kamu gak beri aku waktu.”

Oh Tuhan, ternyata baginya ini soal waktu.

Aku ingat dengan benderang, bagaimana dulu kali pertama pesonanya tertangkap mata remajaku. Sikapnya yang antusias dan jenaka meski berbalut seragam putih-abu-abu dengan hijab panjang. Tawanya yang selalu dibendung dengan telapak tangan, namun tak pernah bisa menutupi dua lesung pipitnya yang teramat manis itu.

Aku masih bisa merasakan, bagaimana dulu kami menyambut senja duduk di tepi lapangan sepak bola kampus. Ngalor-ngidul adu argumentasi soal ideologi, padahal hanya demi membunuh rindu. Bagaimana kami bisa duduk seharian di taman beringin kembar hanya untuk menonton film dan bertukar buku. Bagaimana kami bisa menyebut bermacam alasan, dari jenguk teman sampai takut kesurupan agar bisa kembali bersua.

Aku hapal betul semua gesturnya, dan senyum itu sungguh menyiksaku dalam waktu yang begitu lama. Waktu yang sudah bergulung tebal dan tak mungkin lagi digelar. Waktu yang juga telah aku dan ia abaikan untuk tidak sekalipun masuk ke inti soal. Waktu yang kami biarkan mengalir deras dan liar, bercabang entah kemana. Waktu yang kini ia gugat seolah tanpa beban.

“Tapi sekarang udah gak bisa lagi andai-andai. Kita berbeda sejak awal. Bahkan dasarnya gak pernah bisa disamakan. Buatku ada cinta yang lebih agung dan tinggi ketimbang konsep cinta mu yang kerdil.” Tutupnya ketus.

Oh, barangkali kamu pikir aku bakal terluka mendengarnya. Berhenti, lalu pergi melupakan segalanya. Maaf, aku adalah sang Sisifus itu sendiri.

Kamu tahu? Begawan Albert Camus pernah menyodorkan sudut pandang yang berbeda dari awam kebanyakan. Mungkin, kamu sendiri yang harus membongkar pikiran. Betapa aku sebagai Sisifus yang terkutuk dalam derita, ternyata seorang yang tuntas. Sadar betul jika luka yang berulang itu justru jalan kebahagiaan.

Ya, ini adalah caraku untuk berbahagia karena pernah mengenalmu. Malah bisa jadi, aku adalah kamu itu sendiri.

Ah, dasar pemabuk mimpi!




--------------

Jagakarsa, 30 Juni 2021.

*) Seorang pekerja urban di Ibu kota. Tulisannya berupa laporan berita, cerpen, resensi, opini, esai kerap terbit di media massa. Tahun 2019 salah satu cerpennya berjudul “Kita Kalah Mbah, Sekali Lagi” terpilih masuk dalam buku antologi Yang Tergusur: Tanah Air Dan Banalitas Pembangunan.



 

Sabtu, 16 Oktober 2021

FRIKSI : Teruntuk Buku dan Belenggunya

                             TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 

" BOOKLOVA: Kumpulan Kisah Seru Para Pecinta Buku " dari Rumah Produktif Indonesia



Teruntuk Buku dan Belenggunya

Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

 

Bagaimana bisa aku menyebut buku sebagai belenggu? Lancang sekali kiranya. Bukankah ia dipuja dengan julukan si jendela dunia? Betapa manusia modern selama ini begitu takjimnya pada aksara, kepada kitab-kitab, dan para cendekia yang hidup berkelindan dengannya demi mencerahkan seisi dunia.

Buku ibarat monumen sejarah peradaban. Ia menjadi penanda terkuburnya zaman gelap pra sejarah. Tatkala manusia belum mengenal sistem bahasa yang kompleks dan konon nyaris berperilaku setengah binatang. Ya, buku adalah cermin kemajuan alam pikir manusia yang bervolume otak lebih besar karena kegigihannya berevolusi.

Sulaman Aksara Pengetahuan

Lewat rangkaian huruf yang disemat dan disulam dengan apik dalam gulungan kulit hewan, lembaran daun kering, ukiran tulang belulang, sampai goresan tinta pada kertas, segala macam pengetahuan, pengalaman, kesan, dan angan-angan kehidupan dicatat untuk bisa dipelajari. Orang-orang besar dan pemimpin di masa lalu bahkan identik dengan buku-buku yang dikaryakannya semasa hidup

Tradisi literasi yang mulia ini memanglah pencapaian luar biasa bagi peradaban manusia. Bagaimana tidak? Ia menjawab keresahan para tetua nan bijaksana, soal hidup yang harus diisi dengan mencecap segala pengalaman dan belajar darinya untuk kebaikan di masa depan. Namun, akungnya umur dan kemampuan manusia untuk bisa mengalami banyak hal sangatlah terbatas.

Kehadiran buku sebagai teknologi mutakhir dalam denyut nadi zaman telah sungguh-sungguh mengukuhkan keadaban manusia. Lebih jauh, buku-buku yang kian banyak diciptakan dan dipelajari di seantero penjuru dunia kemudian melahirkan budaya keilmuan. Ilmu pengetahuan sebagai sistem pengetahuan yang terstruktur dan terukur kian berkembang, pun demikian dengan pengajarannya.

Bahkan jika menengok banyak catatan sejarah di masa lalu, soal kerajaan-kerajaan mashur yang berhasrat tinggi membangun imperium dengan meluaskan kuasanya di muka bumi lewat jalan perang. Mereka tidak hanya membantai pasukan dari negeri lawan, tak sekedar meruntuhkah ajaran agama lokal, bukan cuma memperbudak rakyatnya, tapi juga membumihanguskan dan menjarah perpustakaan. Itu karena mereka sadar betul betapa buku adalah sumber ilmu pengetahuan yang harus dikuasai jika ingin berkuasa penuh.

Model kejahatan peradaban seperti ini terus diduplikasi meski zaman telah berubah. Di masa awal gerakan kolonialisme negeri-negeri barat atas dunia, mereka tidak berpuas diri dengan hanya menaklukan tanah jajahan dan menguras segala potensi kekayaannya. Bangsa-bangsa superior itu juga merasa berhak atas segala pencapaian pengetahuan bangsa jajahannya.

Tak ayal, sudah menjadi rahasia umum, entah berapa ton pastinya kitab-kitab kuno para leluhur Nusantara yang dirampas oleh Belanda dan tak kunjung dikembalikan sampai sekarang. Belum lagi akan tambah memilukan jika mengulik aneka koleksi artefak dan arsip asal tanah jajahan di museum negeri adidaya semacam Inggris, Prancis, Spanyol, dan sebagainya.

Mereka sadar betul cara ini adalah bagian utuh dari strategi penjajahan. Betapa jika sebuah bangsa yang telah menyusun hidupnya sendiri, lalu ditaklukan dan dirampas sumber ilmu pengetahuannya, ia akan melahirkan generasi yang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa penjajahan di atas dunia bukanlah keniscayaan ilahi. Inilah kunci sukses kejayaan hingga sanggup membagi-bagi belahan dunia dalam genggaman kuasa selama ratusan.

Aku dan Buku

Lantas bagaimana urusanku dengan buku? Barangkali tulisan ini akan menjadi terlalu pribadi dan bernada subjektif. Bisa juga uraianku dianggap pesimistik, meski sesungguhnya tidak ditujukan demikian. Tak mengapa, karena telah menjadi hak mutlak pembaca untuk menafsirkan segala tulisan yang diterbitkan. Penulis tidak lagi sepenuhnya berhak menentukan makna. Bahkan jika ia sibuk memberi penjelasan, hanyalah menjadi khutbah di tengah lautan.

Bermula dari kebiasaan yang ditularkan mendiang Ayahku dengan ratusan koleksi bukunya. Beberapa bulan sekali, ia akan memaksaku untuk membantunya membersihkan debu dan merapihkan kembali susunan buku dalam rak-rak sesuai tema. Beberapa ia perlakukan khusus dengan bungkusan plastik transparan agar tak rentan rusak. Di tengah proses itu, ia akan mengulas kisah dibalik buku yang mengesankannya, entah karena isinya atau cara mendapatkannya. Beberapa ceritanya kadang sudah pernah diulang berkali-kali.

Si kecil aku, hingga masa remaja masih merasa jika ini hanyalah siklus yang memuakkan. Tapi seiring berjalannya waktu, aku menyadari telah mulai terhabituasi dengan tumpukan buku-buku. Di kolong ranjang kasur tidurku misalnya, entah sudah berapa banyak buku yang tersusun rapih dalam kardus-kardus. Meski semuanya hanyalah buku komik bergambar yang hampir setiap hari kubeli di toko loak sepulang sekolah.

Mulai dari cerita yang paling sederhana dan jenaka, hingga akhirnya mulai mengeja novel-novel yang kompleks. Aku semakin larut merenangi samudera aksara. Kemanapun, di manapun, sebuah buku yang sedang kugandrungi akan terselip di saku tas. Saat naik bus dan angkot, jam istirahat kelas, tengkurap di ruang tamu, sampai jongkok buang air besar pun menjadi waktu-waktu favorit buatku melahap kisah demi kisah yang ditulis.

Perpustakaan SMP rasanya sudah jadi taman bermain imajinasiku, dan pustakawan yang dikenal judes itu ternyata sangat ramah. Kecenderungan ini ikut bertumbuh seiring bertambahnya usia. Saat berseragam putih-abu aku punya kebiasaan baru, nyaris setiap hari sepulang sekolah aku berjalan kaki sejauh dua kilometer menuju satu-satunya Gramedia Store di kotaku saat itu. Meski setibanya bajuku harus agak basah diganjar keringat, tapi hembusan dingin dan aroma parfum mesin AC gedungnya sangat bisa diandalkan.

Ada beberapa alasan: pertama, harga buku mulai terasa mahal dan di sana selalu tersedia sampel tak bersegel yang bebas dibaca sambil berdiri; kedua, di sana ada beragam buku baru dengan genre yang seolah tak berbatas, belum lagi aneka benda yang seru buat sekedar cuci mata; ketiga, tentu saja karena tempat ini cukup popular khususnya bagi remaja. Aku tak hanya bisa memuaskan dahaga literasi, tapi juga menikmati pesona gadis dari beragam sekolah di kota itu.

Nafsu membacaku kian memuncak. Dari komik ke novel, cerita komedi dan roman, masuk ke buku sejarah, tokoh politik, dan mulai menjamah teori-teori sosial bukunya anak kuliahan. Semakin tebal saja buku yang menarik minat mataku. Ini pertanda semakin mahal pula harganya, dan karena uang saku jauh dari cukup hanya beberapa yang sanggup kutebus dan bawa pulang. Kebanyakan aku harus bolak balik dan berdiri minimal dua jam sehari demi menuntaskan bab demi bab yang menggugah fantasi.

Di bangku perkuliahan, hobi membacaku semakin mengapung kesana-kemari. Lebih dari separuh dinding kamarku mulai terinstal rak buku dengan koleksi yang akan terus bertambah karena sudah ada jatah belanja bulanan. Ya seperti para pemabuk aksara lainnya, aku memimpikan bisa membangun sebuah perpustakaan pribadi. Menikmati indahnya hidup yang berkalang buku. Kucatat dengan cermat identitas setiap koleksi yang baru masuk ke dalam buku besar sesuai genrenya. Tak hanya itu, kubuat fanpage facebook dan rutin mengupload fotonya ke dalam album sesuai tema. Bahkan kupesan khusus stempel karet ukir untuk menandai semua buku koleksiku.

Lambat laun nama Bengkel Batja Saddam Tjahjo mulai dikenal di kalangan teman sejawat, dan mereka banyak datang untuk sekedar meminjam dan berbincang seputar buku. Aku sangat menikmati pencapaian itu, bahkan sampai agak kewalahan menanggapi permintaan. Padahal tidak sedikitpun kegiatan ini dikomersilkan, murni hanya untuk kepuasan batin saja, peminjam buku hanya diwajibkan untuk mengkonfirmasi apakah sudah selesai membaca dalam sebulan, dan memberi sedikit ulasan sebagai bukti hasil bacaannya.

Aktivitas literasi ini akhirnya mendorongku melangkah lebih jauh. Rasanya sudah begitu banyak nama penulis dan karyanya yang ku simak baik-baik. Tapi seperti ada yang kurang, ya tentu mengapa tidak aku sendiri mulai belajar menulis? Akhirnya secara berangsur secara otodidak aku berusaha untuk membuat artikel resensi atas buku-buku yang pernah terbaca. Aku mencatat informasi detil dari buku yang diulas, dan berbagai hal penting di dalamnya, bahkan juga kesan pribadi atas karya tersebut.

Lama kelamaan, aku mulai candu menulis. Seolah inspirasi selalu bertaburan dan memohon dipetik lalu dikunyah, dicerna, dan diteruskan menjadi gagasan yang patut ditawarkan pada khalayak. Aku pun nekat menulis artikel opini serampangan, lalu mengirimnya terus menerus ke email redaktur koran-koran daerah. Setelah lebih dari sepuluh kali diabaikan, akhirnya kujumpai kegembiraan yang maha dahsyat. Seorang kawan mengabarkan tulisan berjudul Masyarakat Dilarang Mudik Lebaran! terbit di Jawa Pos.

Sejak itu produktivitasku menulis artikel pun semakin terpacu. Setiap bulannya minimal bisa lebih dari satu kali menjebol meja redaksi media massa baik cetak atau online di ranah lokal hingga nasional. Ternyata hobi baruku ini tak luput dari sorotan Ayahanda. Secara diam-diam ia mengkliping tulisan-tulisanku dan memamerkannya pada handai taulan yang berkunjung ke rumah. Sungguh itu adalah apresiasi yang sangat tinggi dan tak tergantikan nilainya.

Hobi menulis ini juga menjadi sumber penghasilan yang menggiurkan, meski tak seberapa dibanding pekerjaan fisik. Tapi hal ini telah mematangkanku untuk tumbuh sebagai orang dewasa yang mandiri dan berangsur bebas dari tanggungan orang tua. Aku juga terdorong untuk lebih sering dan banyak membaca, tak hanya buku kulahap tapi juga informasi terkini yang terus mengalir tanpa jeda dari siaran berita media massa. Isi kepalaku selalu bergolak, mengolah gagasan, dan meluap-luap dalam kerangka tulisan.



Berubah Jadi Belenggu

Sayangnya laju grafik kelindan hidupku pada buku malah jatuh melandai. Ada begitu banyak faktor dari realitas subjektif maupun objektif yang kualami kemudian, yang menuntut dan memaksaku untuk memalingkan wajah dari dunia literasi yang kuimpikan. Ya, aku pernah bersumpah harus menulis setidaknya satu buku yang berguna sebelum harus mati meninggalkan dunia.

Obsesi itu sepertinya terlalu besar buat jiwaku yang kerdil kala itu. Aku jatuh dalam kekecewaan pada diri sendiri, merasa gagal dan bodoh tak ketulungan. Segala upaya untuk bisa menemukan ide besar dan serius menuliskannya secara terstruktur malah menjebak diriku untuk berkali-kali tersandung hambatan dan jatuh tersungkur dalam jurang keraguan. Alih-alih mencapai kristalisasi gagasan, aku justru kian minder dan merasa tak layak.

Ditambah percepatan perubahan keadaan. Satu-satunya jalan yang kutemui hanyalah ikut dalam arus serapan pasar tenaga kerja seperti manusia pada umumnya. Maka habislah ragaku dilumat rutinitas pekerjaan, dengan lingkungan yang kian jauh dari tradisi literasi. Kebiasaan ku membawa buku ke tempat kerja dan membacanya di sela waktu istirahat dipandang terlalu aneh bagi semua orang yang ada di sana.

Tahun demi tahun berlalu, aku masih bertahan keras untuk rutin membaca, meski kemampuan menulis kian rontok. Otak seperti begitu mampet atas karat saat harus kembali menari di atas keyboard atau menggoyangkan pena. Sedangkan obsesi itu masih membara meski sudah terselip jauh di ujung lorong jiwa. Mental pecundang tumbuh menggerogoti akal sehat, seiring dengan kian menebalnya debu menyelimuti koleksi buku di kamar.

Bertahun-tahun kemudian aku hidup dalam keterasingan. Raga ku harus lebur dengan ritme rutinitas kelas pekerja yang menghisap habis energi dan pikiran. Seringkali dalam putaran waktu sepekan aku sungguh tak punya kecukupan tenaga untuk membaca, bahkan sekedar berita serius. Sialnya, jiwaku yang kosong ini berontak dengan cara yang entah baik atau tidak. Ia bergerak sendiri secara serampangan, ibarat samurai yang kalah perang dan dikepung ratusan lawan sebagai sebuah penghabisan.

Berangkat dari seorang penggemar bacaan, beralih menjadi kolektor buku yang produktif, tetapi kemudian harus terpuruk menjadi seorang pecandu buku yang tak punya arah. Apabila pembaca budiman pernah mendengar istilah tsundoku atau juga bibliomania, barangkali gangguan mental semacam fetisisme itulah yang menerpa jiwaku yang kalang kabut menerima perubahan kenyataan.

Setiap bulannya buku menarik yang diwartakan terbit semakin banyak saja, belum lagi siaran jalur khusus soal buku langka yang begitu layak jadi buruan. Aku sungguh kelelahan dan sering kehabisan uang, setiap minggunya satu demi satu kiriman paket buku datang ke rumah. Tak ada lagi pencatatan di buku besar, apalagi mau dibaca dan diulas. Buku-buku itu hanya menumpuk, kebanyakan masih tersegel, dan beberapa utuh dalam kemasan kardus dari toko asalnya.

Sesungguhnya aku merasa tersiksa. Keadaan ini tidaklah semudah mereka yang enteng saja mencibirku sebagai penimbun buku. Tak jarang pula penghakiman dunia datang dengan citarasa akhirat, mereka sebut kecanduanku ini akan menjadi dosa pemberat di masa hisab pasca kematian menjemput kelak. Duh, betapa mereka semua tak mau mengerti dan ambil peduli bahwa aku sedang membutuhkan uluran tangan penyelamat.

Beruntung, di sela riuhnya perhelatan tahun politik 2019 aku mendapatkan kesempatan emas untuk beralih profesi. Kini aku bekerja di lingkungan yang lebih kondusif untuk kembali menyuburkan gagasan dan tentu merujuk pada banyak referensi bacaan. Kusadari jika Tuhan memang selalu ada, tapi caranya menjawab doa memang selalu menjadi misteri bagi manusia. Luka pada jiwaku berangsur sembuh, kini tak lagi ada beban di pundak.

Kupilah dengan sadar memilah mana buku yang perlu dibeli dan layak dibaca. Selalu kusisihkan jeda waktu untuk mengolah gagasan dalam tulisan. Tanpa keraguan, aku suka berbagi buku sebagai tanda mata persahabatan. Belakangan cerpen dan esaiku mulai rutin lolos terbit di banyak ajang kepenulisan buku antologi, dan kumpulan artikel opiniku di masa lalu telah dikemas sebagai bunga rampai. Semoga kelak aku sungguh bisa menulis buku  sebagaimana diimpikan sejak awal. Amin.

--------------

*) Seorang pekerja urban di ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Kumpulan artikel opininya dalam rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa di akhir tahun 2020 lalu.

 

Jumat, 15 Oktober 2021

OPINI: Memaknai Ulang Pesan “Hidup Berdamai dengan Covid-19”



TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 
" PAGEBLUK DAN SEGORES TINTA KEHIDUPAN " dari UVI MEDIA


 Memaknai Ulang Pesan “Hidup Berdamai dengan Covid-19

Oleh : Saddam Cahyo*

 

Izinkanlah saya berceloteh, konon menulis itu terapi mental yang sangat bermanfaat. Sore tanggal 5 Juni 2021, berjalan dengan pikiran setengah kosong ke arah lapangan parkir RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Setibanya di dekat kendaraan, tarikan napas dalam dan hembusan panjang perlahan terasa cukup melegakan. Sekali lagi, amplop dalam genggaman dibuka dan baca dengan cermat. Tak lain, sudah final saya dinyatakan positif terinfeksi virus SARS-CoV-2 dengan angka CT (Cycle Treshold) hanya 14 dari angka minimal 40.

Setidaknya sudah empat hari sejak gejala pertama. Sepulang mengiringi pemakaman jenazah paman ke kampung halaman, muncullah batuk yang mengganggu. Esoknya di kantor tubuh menggigil tapi harus lembur, dan diguyur hujan dalam perjalanan pulang. Alhasil saya mengalami demam tinggi dengan suhu tubuh mencapai 39 derajat celcius selama dua malam. Hari berikutnya saya putuskan untuk tes rapid anti gen di klinik terdekat, dan langsung reaktif.

Keringat dingin tetiba saja bercucuran, kacamata berembun, dan saran dokter tak bisa disimak karena mental lekas ambruk. Malam itu saya nyaris tak bisa tidur, diterpa demam, radang tenggorokan, batuk berdahak disertai bercak merah, dan diare hebat. Pada akhirnya usai setahun lebih bertahan di Ibu kota, ternyata saya harus turut merasakan langsung paparan Corona Viruses Deseases 2019 alias Covid-19. Sejak itu indra penciuman lumpuh, tak ada aroma yang bisa dikenali. Indra perasa pun bekerja kacau, tak ada rasa yang tepat dicecap.

Berdamai dengan Virus Pembunuh?

Setelah berhasil menenangkan diri dan menyusun ulang mental untuk siap menghadapi masa isolasi mandiri, ingatan saya bergulung mundur ke satu tahun lalu. Masih di tengah keterombang-ambingan bangsa menghadapi krisis multi-dimensi akibat pagebluk yang secara spontan menghentikan semua arus dan putaran kehidupan. Presiden Joko Widodo tetiba mengajukan gagasan yang menggemparkan publik.

Melalui pidato yang videonya diunggah Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden di tanggal 7 Mei 2020, Pak Jokowi berkata, “..Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19..” Kutipan ini kemudian berkembang pelik menjadi “gorengan” isu nasional.

Intinya ia menyeru agar kita semua mulai berusaha menyudahi kepanikan dan segala ketakutan, untuk segera bangkit melanjutkan kehidupan, memandang hari esok penuh rasa optimis. Sebuah maksud baik lagi mulia, tapi tak salah bila sang pemimpin harus menuai semburan kritik warganya, terlebih di jagat maya. Maklum, saat itu kita baru saja diserang kepanikan massal pasca ditemukannya pasien 01 dan 02 di Depok bulan Maret 2020. Tak lama berselang, terbitlah kebijakan yang membuat semua aktivitas publik nyaris dihentikan.

Sekolah, kantor, pabrik, pusat perbelanjaan, objek wisata, sarana hiburan, rumah ibadah, hingga layanan transportasi antar kota dipaksa berhenti beroperasi sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Semua warga negara diharuskan berdiam diri di rumah, membatasi aktivitas di luar, dan meminimalisir adanya interaksi sosial secara fisik. Sungguh keadaan yang mengejutkan, dan jauh terbalik dari kebiasaan yang selama ini dikenal.

Terang saja kondisi ini memporak-porandakan segalanya. Pandemi melahirkan krisis mental, di mana manusia dihadapkan pada kondisi ancaman dan terdorong cari selamat sendiri. Fenomena panic buying misalnya memberi gambaran empiris bagaimana orang menimbun segala perkakas protokol kesehatan dan sembako tanpa peduli dampaknya secara makro. Setelah barang-barang kebutuhan itu habis di pasaran, para spekulan kelas kakap pun beringas mengambil kesempatan dan menularkan mental keculasannya.

Seketika masker, cairan antiseptik, pemutih pakaian yang juga disinfektan dijual terbatas dengan harga yang sundul langit menabrak batasan akal. Pandemi juga melahirkan krisis finansial yang luar biasa. Tiga bulan pertama hantamannya, laju pertumbuhan ekonomi nasional merosot tajam. Catatan Badan Pusat Statistik di kuartal I 2020 hanya mencapai angka 2,97% dari target 4,5%. Kuartal II 2020 realisasinya minus 5,32% dan ini terendah pasca Krisis 1999. Jangan ditanya bagaimana kondisi real di lapangan. Berapa banyak perusahaan bangkrut, usaha mikro menengah gulung tikar, rakyat kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan.

Tapi faktanya kita tak sendirian mengalami derita ini, sebab seluruh umat manusia di dunia ikut terluka. Tak ada satupun negara bangsa yang sanggup tampil digdaya atas pandemi virus corona. Angka infeksi terus melonjak naik dan penularan kian meluas dalam waktu singkat. Jutaan orang terpapar, kapasitas bangsal fasilitas medis tak lagi mencukupi, tenaga kesehatan mendadak jadi prajurit perang garda terdepan, sementara penyakit ini belum dikenal karenanya tak ada obat yang pasti, hingga korban terus berguguran. Setidaknya tercatat 223 negara terdampak, dengan nyaris dua ratus juta orang telah terinfeksi, dan hampir empat juta orang tewas.

Teror kematian massal merebak dimana-mana, ini begitu menakutkan bagi semua lapisan umat manusia. Inilah latar objektif munculnya keriuhan bernada gugatan sebagai ekspresi kekecewaan warga pada pemimpinnya. Bukan cuma pemerintah pusat, di daerah pun pemerintahnya ikut gelagapan menerjemahkan kebijakan. Suara protes dugaan ketidakbecusan penguasa masih bergulir sampai sekarang. Data resmi yang muncul setiap hari bagai hujan kabar buruk yang tak kunjung mereda. Angka infeksi harian di berbagai kota terus memecahkan rekornya sendiri. Bukanlah prestasi yang patut dibanggakan, sudah begitu kok mau berdamai?

Sungguhkah Kita Bisa Berdamai?

Juni 2021, Indonesia menyentuh angka dua juta lebih manusia positif terinfeksi, dan kematian yang berhasil dicatat 54.662 jiwa. Disebut tertinggi sedunia untuk angka kematian anak. 12,5% kasus positif adalah anak-anak dengan Case fatality rate mencapai 3-5% . Memang semua takut mati, tapi nyatanya ada ketakutan yang lebih meresahkan mayoritas warga di negeri ini. Terus menahan diri mengurangi aktivitas dan interaksi ternyata menimbulkan persoalan lain. Secara domestik, kemampuan rumah tangga memenuhi kebutuhan logistik terus menurun karena tak lagi produktif, dan keadaan ini menimbulkan banyak gangguan kesehatan mental.

Kemiskinan jadi momok baru. Keluar rumah mungkin menjemput mati, namun berdiam sama saja mengubur diri hidup-hidup. Sambil terus mencibir pidato Presiden yang dianggap sebagai pernyataan menyerah pada kuasa pandemi, rakyat terus menerjemahkan sesuka hati. Alih-alih menyentuh substansi pesan damai soal disiplin dan konsekuen mengetatkan prokes saat harus mengayuh kembali roda kehidupan. Sebagian warga justru keluar rumah dengan rona wajah pasrah berputus asa, menerobos dengan ketidakacuhan, bahkan mengingkari keberadaan pandemi itu sendiri.

Kebijakan masa transisi dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) memang terkesan mengendurkan segalanya. Aktivitas masyarakat di ruang publik tampak berangsur pulih. Inilah era Normal Baru dengan prosedur Adaptasi Kebiasaan Baru yang menerapkan model Prokes 5 M sebagai pra syarat. Memang dunia tak lagi terasa begitu longgar seperti dahulu, sebab ada banyak sorot mata awas yang berusaha menjamin kita bisa membangun kesadaran dan perilaku sesuai kaidah zaman corona. Tapi setidaknya, kita mulai bisa kembali menikmati aneka warna dunia, meski dengan banyak syarat.

Namun, siapalah mampu membendung banalitas. Saya menyoroti dua fenomena sosial yang populer karena sifatnya dekonstruktif bagi peradaban. Fenomena Covidiot, merupakan sindiran bagi mereka yang bebal dan secara sadar melawan arus gerakan penanggulangan pandemi. Orang-orang ini tanpa ragu bersikap terbuka, dalam perilaku maupun pernyataan, menuding bahwa Novel Corona Virus hanyalah bualan tingkat tinggi, konspirasi global untuk memuaskan kepentingan elit dunia dan menumbalkan kehidupan jelata. Sebagian dari golongan ini juga mungkin tak terlalu sampai ke ranah penentangan teoritis, melainkan sekedar pokoknya tidak percaya.

Merasa dirinya selalu baik-baik saja meski terus melakukan aktivitas beresiko tanpa melakukan prokes. Menganggap sebaran data penularan, penanganan medis, dan angka kematian sebagai berita fiktif yang disengaja untuk memantik kegemparan. Masih banyak lagi alasan yang diajukan golongan ini. Musisi Jerink alias JRX Superman Is Dead misalnya, tampil sebagai sosok yang agresif membangun narasi konspiratif. Belakangan ia harus menjalani sengketa hukum karena ulahnya, tapi sampai bebasnya dari masa tahanan pun ia konsisten memassifkan wacana ini.

Di ranah yang lebih mikro, tak terhitung berapa banyak pemberitaan muncul seputar razia gabungan Satgas Covid-19 yang menjumpai warga berpolah nyeleneh. Menolak pakai masker, tak sudi diuji rapid anti gen, mengabaikan prosedur isolasi, dan keras hati mengumpati petugas tanpa memandang lagi lapisan warna dan motif seragam apapun yang dikenakan. Seolah keberanian untuk membela kebenaran (palsu) timbul membuncah begitu saja. Belum lagi kebebasan bicara di media sosial yang sulit disaring itu. Banyak orang khilaf memposting pernyataan sensitif tanpa empati, tapi berujung pula pada permintaan maaf usai ditangkap aparat.

Kasus terakhir Asep Sakamullah (32) warga Kuningan, Jawa Barat yang mengunggah video di akun facebooknya (18/6/21). Ia berani menyentuh langsung jenazah korban Covid-19 demi membuktikan virus ini omong kosong belaka. Tak hanya itu, di sekitar pun banyak warga yang tak lagi pernah menerapkan prokes sesuai anjuran. Pesta hajatan dan beragam giat yang menimbulkan kerumunan digelar, tanpa seorang pun menggunakan masker, apalagi mencuci tangan dan menjaga jarak aman.

Sungguh mengenaskan lonjakan dan rekor baru penularan virus mematikan ini di setiap musim liburan. Meski pemerintah bersiasat menahan laju mobilitas penduduk dengan menganulir cuti bersama, melarang mudik, pembubaran kerumunan, pembatasan jam operasional, penyegatan di jalur lintas kota, dan sebagainya, seakan sia-sia belaka. Arus mudik dan pariwisata tak terlalu bisa dicegah, lagi-lagi berita menyiarkan betapa banyaknya manusia yang merasa berhak lantang membantah instruksi petugas dan melontarkan caci maki karena pemenuhan hajatnya dihalangi. Kecupetan alam pikir manusia memang sulit ditolak, belakangan fenomena ini juga kerap diimbangi dengan istilah Herd Stupidity.

Berikutnya Fenomena Infodemi juga tak kalah memilukan. Saat banyak pihak masih terus berusaha membangun optimisme dan narasi baik, urun tangan mengatasi dampak ekosob pandemi, mengurai biang perkara lewat riset virologi, pontang-panting mengurus pasien dan jenazah di bangsal isolasi, sampai gencar mensukseskan program vaksinasi. Seiring itu pula, kesimpangsiuran berita mengalir deras tiada henti, melewati segala celah jejaring komunikasi. Baik dari perusahaan media ternama, yang abal-abal, sampai sebaran kabar sporadik di gawai dalam genggaman tangan sendiri.

Viral! Awas! Bahaya! Seruan demi seruan didengungkan, entah benar tidaknya, entahlah! Seolah tak ada lagi kabar pasti, semua informasi samar berkabut, yang benar terasa bohong, yang salah dianggap jujur. Barangkali inilah akibatnya jika wabah terbit di era yang disebut post-truth oleh para ahli pikir. Nalar manusia tak lagi diberi waktu yang cukup untuk memilah, memilih, mencerna, dan menguji informasi yang masuk. Sialnya, setiap upaya tabayyun atau verifikasi juga seakan menemui jalan buntu karena kepalang terjadi bias massal common sense.

Jika satu kabar terkonfirmasi, maka kabar lain memberi pembanding yang tak kalah kuat, dan kabar lainnya mengajukan bantahan yang pas di perasaan. Begitu seterusnya, pola ini direproduksi sampai orang-orang harus berdebat tanpa pijakan yang kuat. Kejinya, berita bohong yang menyesatkan seputar pandemi terus bertaburan, berserakan, menggunung dan siap runtuh menenggelamkan kesadaran umum. Keadaan ini sangatlah merugikan, ia menghambat perjuangan memenangkan perang tak kasat mata ini. Bukan hanya bagi pemerintah si empunya kuasa, melainkan kita semua warga biasa, pemilik peradaban yang sesungguhnya.

Berdamai itu Kata Kerja!

Tidak, jangan salah paham. Saya bukan sedang menggugat saudara sebangsa semua. Lebih jauh saya menuntut diri sendiri, yang telah begitu hanyut dalam suasana dan mengabaikan indahan kesadaran. Saya mulai mengugurkan kedisiplinan atas prokes. Keangkuhan tumbuh seiring menguatnya rasa aman dan nyaman dalam menekuni aktivitas harian. Pekerjaan mulai lagi tak karuan menyita waktu, mobilitas antar daerah dan bersinggungan langsung dengan khalayak dalam frekuensi yang meninggi. Apalagi saya sudah mendapat vaksinasi dua tahap di masa awal program digulirkan.

Kesombongan memang selalu berbuah kejatuhan, kita harus selalu mawas diri terhadapnya. Semoga celoteh oto-kritik ini tak sampai melukai perasaan pembaca budiman. Pada dasarnya refleksi ini berujung pada simpulan, betapa sesungguhnya seruan untuk berdamai itu sama sekali bukan pengganti kata menyerah. Ia justru sebuah kata kerja yang menuntut aktivasi daya kolektif kita sebagai sebuah bangsa. Bagaimana kemampuan kita untuk membangkitkan kembali spirit gotong royong menghalau pandemi.

Kebijakan pemerintah yang efektif dan efisien ternyata bukanlah satu-satunya syarat kemenangan, sebab ia tak mungkin menjadi utuh tanpa partisipasi sadar dari seluruh rakyat. Dalam keadaan sakit saya menulis ini, merasakan langsung betapa kehadiran dukungan dan perhatian handai taulan telah menjadi suplemen ampuh yang menguatkan imunitas tubuh. Sementara ketegangan dari kabar hoaks dan perlakuan dengan stigma justru menjorokkan tubuh pada gejala sakit yang kian mendalam, meski berbagai obat-obatan sudah ditelan.

Inilah urgensinya untuk kita dapat lekas bergandengan hati dan pikiran, membangun support system dari lingkungan yang sadar. Bahwa pandemi tak akan hilang begitu saja, ia juga tak mungkin dilawan sendirian. Saatnya kita berhenti mengutuki kegelapan dan berbalik saling dukung menerangi kenyataan. Berdamai adalah pesan kesiapsiagaan, sebuah tugas mulia bagi setiap warga negara untuk ikut berjuang membela bangsa. Mengasah kepekaan dan kepedulian terhadap sesama, mulai dari hal kecil dalam diri sendiri. Sekarang, kesadaran individu sangat menentukan keselamatan populasi komunitasnya. Salam Sehat Bangsaku!

--------------

*) Seorang pekerja urban di tengah belantara hutan beton ibu kota negara. Alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung. Kumpulan artikel opininya dalam rentang tahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa di akhir tahun 2020.

FRIKSI : Pandemi dan Cerita Empat Ruang Rindu

 TELAH TERBIT ! Tulisan Saddam Cahyo dalam Buku Antologi 

" DIBALIK PANDEMI: SECERCAH ASA DI TENGAH BADAI " dari Ay Publisher



Pandemi dan Cerita Empat Ruang Rindu

Oleh : Saddam Cahyo*

Ah, siapa menduga ini pagebluk bakal terjadi. Ia tetiba saja datang, entah dari mana dan bagaimana mulanya. Muncul meluas tanpa bisa dibendung dan mengobrak-abrik kehidupan kita semua. Ya, semua manusia, bahkan seluruh makhluk di Bumi. Barangkali, para lelembut dari bangsa jin atau arwah penasaran pun ikut digojlok jiwa dan raganya oleh bencana yang lebih tak kasat mata tapi teramat memilukan ini.

Ketimbang tahun politik 2019 yang penuh dengan narasi absurd perpecahan antar sesama hanya karena beda pilihan, keadaan ini jauh lebih cocok dinamai zaman edan. Di mana kita benar-benar harus merubah segala aturan hidup di dunia karena dipaksa keadaan. Semua orang seakan harus menerapkan budaya saling awas dan curiga. Setiap manusia adalah ancaman bagi manusia yang lainnya.

Kamu bisa saja mencelakakan atau malah membunuhku hanya lewat kehangatan percakapan yang bersahabat. Pun demikian, aku bisa saja menjadi penghantar  malapetaka bagi hidup mu hanya karena begitu dekat. Jaga jarak ! Tidak adalagi anjang sana, tak ada lagi tegur sapa, tak lagi boleh ramai-ramai bersua. Padahal sudah menjadi budaya kita untuk selalu merawat keguyuban hidup dalam segala hal. Gotong royong ! kalau kata mendiang Bung Karno Sang proklamator kemerdekaan dulu.

Kita sudah sama-sama dibuat setengah gila. Satu tahun putaran waktu memang sudah lewat menggelinding sejak kasus 01 Indonesia atas infeksi virus berjuluk Corona Viruses Desease alias Covid-19 ini muncul di bulan Maret 2020 lalu. Tapi siapa yang berani bilang tak terasa? Di dunia maya, orang gila saja jadi viral lantaran mengeluhkan virus corona. Coba bayangkan, di akhir bulan April tahun 2021 ini tercatat sudah hampir dua juta manusia Indonesia harus mencicipi siksaan sakit raga dan keruntuhan mental karenanya.

Sudah nyaris 50 ribu nyawa dilaporkan melayang di seluruh penjuru Nusantara. Ya, itu nyawa manusia Indonesia. Bisa jadi mereka yang gugur adalah sosok yang punya andil besar dalam suatu bidang yang sangat dibutuhkan bangsa. Oh, betapa kehilangannya kita semua. Belum lagi soal prosedur pemulasaran jenazah yang sama sekali jauh dari bayangan normal adat istiadat dan ajaran agama yang kita kenal.

Seseorang bisa lenyap begitu saja dalam tempo singkat. Baru sebentar masuk rumah sakit, dirawat dalam isolasi ketat, dikabarkan kritis dengan obat yang tak kunjung diketahui, lalu gugur. Ditambah lagi, harus dikubur dengan sunyi senyap. Berbalut plastik dan bermandikan cairan disinfektan. Tanpa ad airing-iringan serta doa dari kerabat, tetangga, dan sejawat yang turut berduka. Kita hanya bisa pasrah kepada Sang Maha Kuasa, semoga para korban pandemi ini ada di sisi yang paling mulia.

Bencana ini juga ibarat nasib buruk bagi mereka yang membaktikan hidup sebagai tenaga medis. Setelah sejak beberapa tahun lalu sekolah-sekolah kesehatan tumbuh bagaikan jamur dan popular menyerap peserta didik. Berbiaya tinggi namun ada harapan gemilang kesuksesan di masa depan. Kini, dibenturkan dengan kenyataan pahit sebagai prajurit peradaban. Berada di barisan garda terdepan dengan resiko tertinggi dalam menjaga ketahanan nasional atas serangan bertubi-tubi pandemi global.

Setiap detik nafas hidup mereka sungguh berarti, karena mengandung harap penyelamatan jiwa rakyat umum. Perkaranya, rangkuman data oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Januari 2021 menyebut angka mengerikan. Sudah 161 orang dokter umum, 123 orang dokter spesialis, 27 orang dokter gigi, 221 perawat, 84 orang bidan, 11 orang apoteker, dan 15 orang tenaga laboratorium medik dinyatakan gugur dalam perang yang tak kunjung usai ini.

Pukulan telak yang paling terasa adalah soal keruntuhan ekonomi nasional. Tidak, maaf, bukan hanya di negeri tercinta ini saja negara harus tampil kurang berdaya menjamin keselamatan warganya. Seluruh dunia mengalami, bahkan di negeri-negeri imperium sekalipun kalang-kabut dan keteteran dalam penerapan kebijakan jaminan sosial.

Tampaknya umat manusia sudah lama mengabaikan kesiagaan atas potensi datangnya bencana global semacam ini. Padahal sejarah sudah banyak mencatat pelajaran, sesungguhnya bencana ini tak lain memang konsekuensi logis dari hembusan denyut kemajuan yang kian menyingkirkan nalar kesahajaan dan prinsip harmoni dengan alam.

Jelas ekonomi runtuh! Jika saat ini kamu masih bisa mempertahankan kehidupan tanpa kekurangan, maka bersyukurlah karena kamu sungguh beruntung. Jutaan manusia lainnya harus merangkak-rangkak demi tetap bisa menjaga nafas hidupnya. Aktivitas perekonomian warga sempat harus berhenti sama sekali. Semua orang dituntut berdiam diri di rumah, bertahan dengan bekal seadanya saja untuk setidaknya tiga bulan.

Bagi mereka pekerja formal, mungkin kebijakan ini masih bisa diterima. Ada gambaran pemasukan rutin yang masih bisa diharapkan. Sayangnya, dari total populasi penduduk di negeri kita, jauh lebih banyak mereka yang tak diserap pasar tenaga kerja. Mereka harus menjadi pejuang hidup yang rentan dengan mengais peruntungan harian di sektor informal. Seruan berdiam diri di rumah karena adanya ancaman pandemi, ternyata tak semenakutkan ancaman mati berdiri. Akhirnya, semua orang tetap memilih pergi mencari rejeki.

Sekolah dan kampus yang biasanya diramaikan denyut nadi bocah dan muda-mudi pun kini hanya jadi gedung kosong. Anak Indonesia terpaksa harus jeda dari aktivitas belajar mengajar. Para guru dan pemilik kebijakan sama gagapnya. Skema belajar dari ruang virtual dihembuskan sebagai solusi. Tapi tak sedikit pendidik yang awam menggunakan teknologi komunikasi digital, apalagi harus mengurai pelajaran. Sialnya lagi, ini membuahkan beban baru bagi setiap rumah tangga. Setiap anak harus diberi akses gawai dan jaringan internet yang memadai.

Huft. Pandemi Virus Corona alias Covid-19 ini memang sungguh melelahkan, atau lebih tepat lagi disebut memuakkan. Begitu banyak hal yang menggumpal di benak karenanya. Itulah mengapa kita harus saling bercerita dan mendengarkan, dengan begitu kita saling menguatkan. Kali ini bergeser ke soal tradisi musiman yang begitu khas kita miliki. Mudik ! Yap, siapa yang tak rindu akan kampung halaman dan suasana perayaan lebaran penuh kemenangan.

Apa daya, sekali lagi kita harus membendung kuat-kuat perasaan untuk bisa pulang di hari raya idul fitri. Tentu dengan alasan rasional yang sama dengan tahun lalu, meski kian berat rasanya, inilah yang terbaik untuk keselamatan bangsa. Ya, sebagai bagian utuh dari negara Pancasila ini, kita sadar betul jika kehidupan ini tidak hanya untuk diri kita sendiri. Kepentingan umum haruslah menjadi pertimbangan di atas kepentingan pribadi.

Kasus gelombang tsunami pandemi di India misalnya bisa menjadi peringatan keras. Vaksinasi Covid-19 di tanah Hindustan itu konon sudah jauh lebih optimal berjalan ketimbang Indonesia. Namun sayangnya, sebelum kekebalan imunitas kolektif terbentuk, semua pertahanan atas protokol kesehatan mengendur di sana-sini. Kebanyakan warganya merasa keadaan sudah aman sentosa, tapi akibatnya justru sangat fatal.

Jujur saja, sesungguhnya aku sangat merindukan pulang. Rumah, Ibu, dan kamar bujang ku di seberang Selat Sunda sana. Tapi terpaksa hati kukeraskan, alhasil selama pernyataan perang atas pandemi dikumandangkan penguasa negeri, tak sejengkal pun tanah Serambi Sumatera ku jejaki. Padahal, jarak tempuh dari ibu kota hanya di kisaran delapan jam perjalanan. Tapi tidak, setiap hari aku harus meminta maaf pada Ibunda. Justru karena aku sangat menyayanginya, kubiarkan ia hidup sebatang kara di rumah keluarga kecil kami itu. Hanya bisa rutin menyapa lewat gambar yang kini bisa menyala.



Ah, rasanya ada lubang kosong yang terbentuk dan terus meluas di dalam relung hati ini. Bayang-bayang ketakutan menjadi carrier pembawa virus selalu menahan langkah untuk bisa pulang menambal bolongnya perasaan. Disinilah ruang-ruang rindu itu aku catatkan.

#Ruang 1: Rindu Masakan Ibu

Aku bersumpah, dan sangat percaya. Ibu ku memiliki tangan ajaib yang diberkati Tuhan Semesta Alam. Racikan bahan pangan dan bumbu apapun yang tersedia di dapur rumah kami, pasti sanggup disulapnya menjadi sajian makanan yang maha lezat. Tak terhitung lagi ada berapa resep favoritku yang Ibu kuasai. Terlebih di momen lebaran begini, biasanya ia akan begitu antusias dan rela tak tidur demi menyiapkan segalanya. Sayur kari ayam, rendang kerbau, pepes ikan mas, sop daging sapi, oreg-oreg, bistik babat, sampai kue lapis legit yang bisa menghadirkan citarasa surgawi. Oh, Ibu sungguh aku merindukan keajaiban mu.

#Ruang 2: Merawat Pusara Ayah

Lewat tanganku sendiri inilah Ayah, yang turut merawat sakit mu, mengantar mu dalam hembusan nafas terakhir, membawa jasad mu pulang dalam pelukan, memandikannya dengan penuh khidmat, menyolatkan dengan serentak irama jamaah, membaringkan mu di dalam kubur, mengumandangkan azan terakhir, menimbun papan dan tanah merah, serta menyusun batu nisan di atas pusara makam mu. Maafkanlah, meski dua kali sambutan bulan suci Ramadan kali ini aku sama sekali terhalang datang berkunjung, mencabuti rerumputan dan membacakan doa. Sungguh Ayah, nyaris tiada hari kulewatkan tanpa mengirimkan lafadz doa agar engkau mendapatkan kelapangan jalan untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki di alam langgeng itu.

#Ruang 3: Mendengarkan Abang

Hanya ia seorang saudara sekandung ku, taka da lain tiada bukan. Ialah Abangku. Sejak kecil kami tumbuh sebagai dua orang putra lewat cara yang tak sama dengan kisah saudara lainnya. Terpisah tapi menyatu. Meski aku harus tumbuh hanya dengan menatap punggungnya dari kejauhan, ia selalu mampu memastikan pendar cahaya langkahnya tampak dalam kasat mata kecil ku ini. Terima kasih Abang, engkau tak pernah henti membuktikan kelayakan diri sebagai panutan hidupku. Kita lelaki, tentu kelak sendiri. Karena itulah, sejak dulu selalu kurindukan masa di mana kita bisa bersua. Aku akan terus tergelak tawa mendengar semua kisah mu yang jenaka. Aku juga akan terus terpana menyimak wawasan baru yang engkau percikkan. Aku akan terus bersyukur menjadi adik mu, meski lebaran kali ini kita tak lagi bisa jumpa.

#Ruang 4: Cengkerama Kawan Lama

Nyatanya hidup itu begitu dinamis. Kita bergerak terus melewati hari demi hari dan masa demi masa. Ada begitu banyak perjumpaan dan persinggahan yang kita tempuh. Seringkali, kita yang menjalani kehidupan justru malah melupa. Tapi adakah yang akan mengingatkan semuanya dalam canda? Tentu saja ada. Ialah Sang Kawan Lama. Coba sejenak kita renungkan, siapa saja mereka yang pernah bersama. Melewati masa indah dan dengan lagak sok hebat bersama menyebut: “Ini momen yang tak akan terlupakan!”. Kepada mereka Si Kawan Lama, ruang rindu ini juga ikut terbuka. Kapankah kita bisa kembali kumpul bersua? Menumpahkan dan mengurai kembali semua cerita yang mungkin sama-sama sudah mulai kita lupakan.

Demikianlah sidang pembaca. Semoga kita semua senantiasa diberkati selamat dan sehat sentosa. Bangkit dari segala keterpurukan yang ditimbulkan bencana wabah ini. Jika terus  bersama-sama, tentu kita akan mampu menjadi penyintas yang merenggut kemenangan sejarah dan menorehkan catatan terbaik bagi generasi penerus bangsa ini. Lewat karya kecil ini, kita himpun dan jahit erat menjadi kisah yang hebat. Tabik!



*Karya yang telah dibukukan: cerpen “Kita Kalah Mbah, Sekali Lagi.” dalam antologi Yang Tergusur: Tanah Air Dan Banalitas Pembangunan (2019); kumpulan opini tahun 2010-2015 dalam Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa (2020); dan esai “Jungkir Balik Kebangkitan Nalar Kolektif Manusia Indonesia” dalam Pandemi Pasti Berlalu: Mencatat Covid-19, Tragedi, dan Harapan Setelah Itu (2021).