Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 26 September 2014

Opini : Kriminalisasi dan Lingkaran Setan Konflik Agraria



Oleh : Saddam Cahyo**

Indonesia memang negeri yang sama sekali belum berhasil terbebas dari belenggu lingkaran setan konflik agraria. Lapisan konfliknya pun beragam, dari vertikal antara rakyat dengan negara atau perusahaan, atau yang horizontal dengan sesamanya. Ada yang bermula dari masa kolonialisme, tapi terbanyak terjadi di era Orde Baru. Pasca reformasi hingga sekarang, sengketa tanah seperti terus timbul menjamur hingga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama Presiden SBY menjabat sejak 2004 hingga 2014, setidaknya terjadi 1.391 kasus di seluruh penjuru negeri, dengan cakupan areal 5.711.396 hektar, melibatkan 1.011.090 keluarga, menewaskan 70 orang, 553 luka-luka, 110 tertembak peluru, dan 1.354 orang dikriminalisasikan.

Senjata Tuduhan Provokasi

Pendekatan represif memang kerap diambil sebagai jalan pintas penguasa untuk mengatasi polemik agraria yang terjadi di daerahnya. Barangkali karena tidak tahan lama-lama menghadapi masyarakat yang tampil kotor, berkeringat, miskin, dan ramai-ramai mendatangi kantornya sambil teriak protes. Atau karena tak mau pusing lagi mengulik sejarah konfliknya, dan lebih nyaman negosiasi dengan perusahaan. Alhasil dalam sengketa tanah yang melibatkan masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan yang entah bagaimana bisa menguasainya jadi lahan perkebunan, penguasa lebih suka memposisikan warganya sebagai pihak yang bersalah bahkan kriminal.

Masih segar ingatan kita, bulan Maret lalu Puji (33) salah satu petani Batang Hari Jambi yang berkonflik dengan PT Asiatik Persada tewas dalam kondisi kaki dan tangan diborgol, juga luka lebam sekujur tubuh setelah ditangkap atas tuduhan pencurian hasil panen di tanahnya sendiri. Muhamad Ridwan aktivis Serikat Tani Riau yang bertahun-tahun membela petani Pulau Padang Kepri yang berkonflik dengan PT RAPP, bulan April lalu harus rela divonis penjara 16 tahun dengan tuduhan provokasi. Begitu pun dialami Eva S. Bande aktivis FRAS, bulan Mei lalu diburu dan ditangkap seperti teroris akibat perjuangannya membela petani Luwuk Sulawesi Tengah yang bersengketa dengan PT KLS.

Ini sangat memilukan, padahal semestinya kita memberikan apresiasi yang tinggi pada setiap anak bangsa yang berani bangkit memperjuangkan haknya yang terampas, apalagi untuk mereka yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya untuk membela saudara sebangsanya yang tertindas. Tak salah memang jika kemudian banyak orang yang semakin mengedepankan individualitas, karena kepedulian ternyata harus dibayar dengan hukuman, hingga akhirnya keadilan menjadi hal yang paling langka bisa diperoleh di negeri ini.

Bukan Ranahnya Litigasi

Sebagaimana diungkap Novri Susan (2011), konflik agraria di Indonesia kebanyakan tidaklah timbul sebagai perkara baru, melainkan dampak dari praktik abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan  secara sistematis oleh pemerintahan Orde Baru di masa lalu. Ini  kenyataan ironik yang patut diakui bersama, dari sekian banyak kasus yang terungkap ke muka publik, kisahnya hampir senada, rakyat dipaksa menyerahkan hak guna lahannya pada perusahaan perkebunan di bawah intimidasi aparatur negara baik pemerintah daerah mau pun militer, jika melawan diancaman hukum subversif atau tuduhan PKI sebagai jurus ampuh yang membuat pasrah ketimbang harus hidup tersiksa.

Karenanya pemerintahan sekarang ini, baik pusat mau pun daerah, harus jeli memilah mana kasus yang diwariskan oleh pendahulunya. Untuk yang  seperti ini jelas tak bisa digunakan metode penyelesaian secara litigasi atau prosedur hukum positif formal, sebab posisi masyarakat sudah pasti kalah soal legalitas. Bagaimana tidak, di masa itu kebanyakan rakyat memang belum secara penuh melakukan sertifikasi tanahnya, penyerahan lahan pun tanpa proses pembebasan,  sementara aparat negara selalu siap diajak kongkalikong melegalkan semua keperluan perusahaan untuk mengeksploitasi lahan mereka.

Memang dibutuhkan pendekatan khusus seadil-adilnya untuk mengurai dan menuntaskan lingkaran setan konflik agraria di negeri ini. Agar tak ada lagi masyarakat yang terusir dari tanah sendiri, yang dimiskinkan karena lahan garapan dirampas, yang mati atau dipenjara cuma karena berjuang mempertahankan haknya. Kunci utamanya tentulah pada keberpihakan negara, itikad pertanggungjawaban negara, pemerintahan Jokowi-JK mendatang harus mampu menengahi persoalan yang sudah terlanjur kompleks dan mewabah ini, akibatnya pun sudah sangat fatal dalam menyumbang angka kemiskinan.

Sesungguhnya peringatan hari tani nasional (HTN) dari tahun ke tahun nyaris hampa karena mengabaikan makna historisnya, yakni terbitnya UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Sebagai aturan hukum tertinggi di bidang agraria, kebijakan ini memang tidaklah sempurna, namun amanatnya untuk menegakkan suatu reforma agraria guna menggapai kesejahteraan bangsa perlulah kembali dianggap penting. Hemat saya, gagasan soal dibentuknya suatu kepanitiaan nasional bersifat ad hoc agar bisa lebih objektif untuk menuntaskan persoalan ini, memang juga sangat mendesak diwujudkan.

___________
** Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung  
         
Terbit di LAMPUNG POST, Kamis 25 September 2014.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar