Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 08 September 2014

Opini : Mendobrak Tembok Keadilan untuk Orang Hilang


Oleh : Saddam Cahyo*


30 Agustus kemarin sebenarnya merupakan hari peringatan orang hilang internasional (International Day of the Disappeared), yang dimaksud ialah orang korban penghilangan paksa oleh kekuatan menyimpang penguasa karena tindakan vokal dan kritisnya dianggap sangat mengusik dan merongrong status quo. Sayangnya peringatan ini kurang populer diketahui publik padahal isunya sangat krusial. Tragedi kejahatan Hak Azasi Manusia (HAM) sudah terjadi di seluruh belahan dunia, hingga di tahun 1981 organisasi sosial  bernama FEDEFAM di Kosta Rika menentang keras aksi keji penghilangan paksa sejumlah orang yang dimusuhi negara, pasalnya kebanyakan dari korban pasti mengalami penculikan, intimidasi, siksaan, penjara isolasi, trauma dan depresi, hingga mati dibunuh secara mengenaskan.

Utang Sejarah

Di Indonesia sendiri selama tiga dasawarsa lebih Orde Baru berkuasa bahkan hingga era reformasi, teror kejahatan HAM melalui alat negara (terutama militer) terhadap warganya telah terjadi secara sistematis, terstruktur, dan massif. Sebut saja kasus pembantaian dan pengasingan ’65, Timor Timur ‘75, Tanjung Priok ‘84, Talang Sari ‘89, kerusuhan 27 Juli ‘96, Tragedi Semanggi/Trisakti 1 dan 2, kerusuhan Mei ‘98, DOM Aceh, Papua, dan seterusnya telah menumpuk tinggi ibarat utang sejarah yang semestinya dilunasi oleh pemerintah pada rakyatnya,  namun masih selalu diabaikan.

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama Ikohi (Ikatan Keluarga Orang Hilang) merupakan dua lembaga yang paling konsen memperjuangkan terwujudnya keadilan HAM di negeri ini, bersama elemen masyarakat lainnya hampir setiap hari kamis mereka konsisten demonstrasi di istana negara menuntut agar dibentuk pengadilan HAM ad hoc yang tak pandang bulu berani menghukum seluruh pelaku tindak kejahatan penghilangan orang secara paksa. Tercatat masih ada lebih dari 1600 orang warga Indonesia masih berstatus dihilangkan dan tak diketahui rimbanya sejak 40 tahun terakhir, yang paling menonjol adalah 13 orang aktivis pro demokrasi (Wiji Thukul, dkk) sejak tahun 98 lalu.

Memang ada kemajuan kecil selama 12 tahun masa transisi, seperti terbentuknya Komisi Nasional HAM yang telah menemukan dugaan pelanggaran HAM berat atas kasus penghilangan aktivis prodem 97-98, namun masih dimentahkan Jaksa Agung. Ada pula rekomendasi pansus DPR RI tahun 2007-2009 pada Presiden SBY dengan jalan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian ulang, pemulihan korban, hingga ratifikasi konvensi internasional untuk pencegahan terulannya kembali, tapi tak satu pun yang digubris. Tahun 2010 keluarga korban penghilangan juga pernah mengajukan sendiri konsep penyelesaian kasus pada Presiden namun tak juga mendapat respon, sampai mereka melapor pada Ombudsman sekali pun. Di tahun itu juga sebenarnya Indonesia terpilih menjadi anggota dewan HAM PBB padahal sama sekali belum bersih dari lumuran utang dosa sejarah.

Esensi pokok dari hari peringatan ini sebenarnya ialah seruan pada kita semua untuk berani ikut menghentikan tragedi kemanusiaan di negeri yang terlanjur mengklaim telah mencapai era keterbukaan ini. Karena jelas kejahatan represif seperti ini masuk kategori on going crime, terus menerus terjadi sampai sekarang, sebab masih terlalu lemahnya komitmen pada demokrasi. Semisal yang menimpa Martinus Yohame ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) Wilayah Sorong Raya ditemukan tewas penuh luka lebam sekujur tubuh dan tembakan di dada kiri pada 26 Agustus 2014 setelah sempat hilang hampir seminggu, jasadnya ditemukan mengapung di tepi lautan dalam sebuah karung goni yang terikat (Suarapapua.com, 29/8).

Menghentikan Tragedi

Keberanian untuk itu tak cukup dihadirkan sebatas hanya satu hari di setiap putaran tahun  seperti ritual momentumal saja, melainkan harus jadi kewajiban sepanjang hidup bagi siapa pun. Terutama oleh pemerintahan baru Joko Widodo – Jusuf Kalla mendatang, pasalnya pasangan ini  paling vokal mengkampanyekan semangat penegakkan keadilan HAM khususnya terhadap kasus masa silam. Tetapi belakangan sulit dipungkiri di lingkaran mereka sendiri ada beberapa nama jenderal terduga terlibat dalam kasus kejahatan HAM, yang paling banyak muncul resistensinya adalah sosok A.M. Hendropriyono, yang dianggap penanggung jawab atas tragedi Talang Sari dan tewasnya aktivis Munir justru terpilih sebagai penasihat Rumah Transisi.

Tentu kita tak mau sekedar ditiupkan angin surga, cukup selama 10 tahun pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saja berbagai upaya penegakkan keadilan HAM menemui jalan buntu. Impunitas negara untuk menebus utang sejarah dan menghentikan tragedi kemanusiaan inilah yang harus didobrak bersama. Komitmen yang sudah dimiliki oleh pemerintahan baru seharusnya dikawal secara keras dan konsisten, agar mereka tak lagi bersembunyi bungkam di balik tembok raksasa kelaliman. Sebab tidak ada alasan untuk menolak menghadirkan keadilan bagi rakyatnya, itu semua kewajiban utama yang diamanatkan konstitusi dasar kita demi masa depan bangsa yang lebih bermartabat.
___________
*)  Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) EksWil Lampung  

Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, 5 September 2014.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar