Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 26 September 2014

Karya Kawan : Perempuan di Pusaran Konflik Agraria*



Mengapa konflik agraria selalu menjadi persoalan luar biasa? Karena sampai hari ini dan kapanpun, tanah sangatlah vital nilainya sebagai alat produksi, sumber penghidupan, investasi, dan sebagai tempat berpijaknya rumah bagi manusia. Saya ingat Ibu Nipis, salah satu petani Ogan Ilir Sumatera Selatan yang berkonflik dengan PTPN Cinta Manis saat melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta bulan November tahun lalu, dengan lantang berkata, “Pemerintah tak perlu repot-repot beri kami pekerjaan, cukup kembalikan saja tanah kami, biarkan kami berproduksi seperti yang dilakukan nenek moyang, itu cukup untuk menghidupi anak cucu kami dan memberikannya pendidikan tinggi”.

Dalam kekisruhan badai konflik agraria di negeri ini, ada satu hal yang perlu diperhatikan lebih objektif, yakni terkait dampaknya bagi kaum perempuan. Betul jika dimasyarakat kita yang patriarkal, laki-laki adalah tulang punggung keluarga, sehingga apapun yang berkaitan dengan nafkah menjadi persoalan utama yang musti diselesaikan oleh mereka. Namun tak bisa dinafikkan, bahwa persoalan konflik agraria ternyata cukup dramatis melibatkan perempuan, baik sebagai istri maupun sebagai anak perempuan yang mulai dewasa dalam keluarga. Berikut saya uraikan bagaimana konflik agraria turut menjadi polemik bagi perempuan indonesia.

Pertama, tersingkirnya peranan bersejarah dalam produksi pertanian. Perempuan sejak awal dibekali keterampilan luar biasa dalam mengelola lahan, bahkan proses bercocok tanam pada masa purbakala diperkenalkan oleh kaum perempuan sebagai solusi persediaan pangan guna bertahan hidup, karena sewaktu-waktu berburu tak bisa dilakukan oleh mereka yang punya siklus biologis hamil dan menyusui. Dari sinilah muncul suatu fase baru yang merubah corak produksi peradaban manusia dari berburu menjadi meramu, dimana perempuan dan lelaki punya peran setara dalam produksi pertanian. 

Di tahun 1950-an hingga 1980-an terjadi gerakan revolusi hijau yang dipelopori Amerika, ini dianggap sebuah transformasi agrikultural yang membawa peningkatan produksi secara signifikan dan diterapkan di banyak negara berkembang di Asia dan Amerika Latin berdasarkan anjuran lembaga-lembaga bonafit semacam The Rockefeller Foundation, Ford Foundation, dan sebagainya.

Namun, pada dasarnya revolusi hijau hanyalah strategi awal globalisasi sektor pertanian, yang kemudian membawa masuk sistem perdagangan bebas dengan dalih dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Faktanya. sejak diberlakukan, angka kemiskinan di Asia dan Afrika justru meningkat mencapai 850 juta penduduk. Ini dikarenakan liberalisasi pasar menyebabkan tidak adanya perlindungan produk lokal. Selain itu pencabutan subsidi akhirnya memicu meningkatnya impor pangan, dan tentu ini merusak harga produk pangan lokal.

Revolusi hijau ini juga memunculkan alat-alat produksi pertanian canggih yang  menggusur tangan-tangan kreatif perempuan dari perannya menyemai padi, bercocok tanam, menyiram tanaman hingga proses pemupukan dan perawatan yang lain. Ini juga menggusur kepemilikan lahan dari tangan petani kepada tangan perusahaan besar. Akibatnya, perempuan tani kehilangan akses pekerjaan dibidangnya, atau sekedar menjadi buruh tani landless. Sebagaimana terungkap oleh Imam Cahyono, dalam Jurnal Perempuan (2005) yang menyebut kemiskinan itu berwajah perempuan.

Kedua, konflik agraria meningkatkan populasi TKW yang rentan hidupnya di negeri orang. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat tahun 2013 ada 6,5 juta jumlah TKI yang bekerja di 142 negara dari 194 negara anggota PBB, berasal dari 392 Kabupaten/Kota dari jumlah total 500 kota/kabupaten seluruh Indonesia. Artinya, hampir seluruh daerah indonesia menjadi penyuplai tenaga kerja ke luar negeri. Ironisnya, sebagian besar tenaga kerja indonesia itu adalah perempuan yang bekerja disektor domestik hanya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Bukan tanpa alasan perempuan ini memilih menjadi PRT di negari asing. Melainkan, karena tak ada sektor pekerjaan yang mampu menampung mereka agar terlepas dari belenggu kemiskinan di negeri sendiri. Jikapun ada, upahnya sangat rendah dan tak cukup sekedar memenuhi kebutuhan pokok harian. Apa mau dikata, lahan produksi sudah tak lagi ada, sektor pertanian pun tak lagi digalakkan oleh pemerintah hingga jutaan hektar sawah berganti rupa menjadi bangunan beton, atau lahan perkebunan milik perusahaan raksasa. Akhirnya keluarga petani kian termiskinkan dan kaum perempuannya tersingkir mengadu nasib sebagai TKW.

Uniknya dari aktivitas TKW Indonesia yang berhasil pasca pulang ke kampung halaman adalah cenderung membeli tanah garapan baru baik itu persawahan ataupun perkebunan dari tabungan kerjanya. Artinya, sekali lagi tanah memang alat produksi paling urgent dibutuhkan bagi sebagian besar rakyat indonesia. Padahal, jika tak ada konflik agraria yang mengakibatkan petani kehilangan aksesnya, mereka tidak perlu ambil jalan berputar menjadi pembantu diluar negeri hanya untuk membeli sepetak tanah.

Ketiga, akibatnya pada akses pendidikan kaum perempuan. konflik agraria juga menjadi faktor besar kurangnya asupan pendidikan bagi anak-anak yang hidup di wilayah  konflik ini, terlebih anak perempuan. Himpitan ekonomi membuat masyarakatnya menjadi sulit memenuhi kebutuhan pokok apalagi pendidikan bagi anak. Dalam hal ini, perempuan selalu yang paling terpinggirkan, dianggap sebagai objek yang sudah mampu ikut menopang ekonomi keluarga meski masih usia belia, semisal menjadi pembantu rumah tangga. Tak bisa dipungkiri, saat ini banyak sekali tenaga-tenaga kerja sektor domestik yang menempatkan perempuan belia sebagai agennya.

Kondisi ini yang kemudian memudarkan ambisi berpendidikan tinggi bagi kaum perempuan muda karena terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Itulah beberapa polemik yang ditimbulkan oleh konflik agraria dan mendera kaum perempuan. Berdasarkan data Konsorsium pembaruan Agraria (KPA), sepanjang sepuluh tahun kekuasaan SBY, telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, lebih dari 926.700 kepala keluarga harus menjadi korban ketidakadilan agraria dan alami konflik berkepanjangan. Inilah salah satu tugas mendesak bagi pemerintahan baru Jokowi-JK, agar polemik tak berujung yang sangat memilukan ini bisa diurai dan dituntaskan.
_______
(*) Oleh :
Rismayanti Borthon
Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung.
Mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Terbit di KORAN EDITOR, Rabu 24 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar