Indonesia masih dihebohkan dengan kegemparan Undang-Undang
Pemilihan Kepala Daerah (UU Pemilukada) yang telah disahkan oleh DPR pada
tanggal 25 September lalu.
Belum selesai, rakyat indonesia kembali di kagetkan dengan
keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk
mementahkan UU Pilkada Tidak Langsung. Ditengah kelimpungan dan kehebohan ini,
rakyat Indonesia masih harus disadarkan penuh jika pemilu hanyalah senjata
demokarsi untuk mencapai tujuan utama bangsa ini yang telah dicita-citakan oleh
pendiri bangsa kita.
UU Pilkada dan Demokrasi
Indonesia
Pengesahan UU Pilkada tidak langsung yang dilakukan oleh anggota
DPR dengan dukungan penuh dari kubu Merah-Putih cukup meluluh-lantakkan
sendi-sendi demokrasi buah karya Reformasi yang belakangan ini berjalan riuh
dalam pesta lima tahunan. Masyarakat menilai, UU Pilkada tidak langsung yang
disahkan oleh anggota DPR merupakan produk undang-undang yang sangat menyakiti
hati rakyat, dimana proses pemilihan calon kepala daerah tanpa melibatkan
campur tangan rakyat dalam proses pemilihannya. Tetapi, bagi kelompok pendukung
Pilkada lewat DPRD, ini adalah salah satu jalan untuk mengembalikan demokrasi
bangsa ini yang sudah sedemikian liberalnya.
Dua alasan yang menguatkan sikap dari masing-masing kubu yang
masih diwarnai sentimen pasca pilpres ini hanya menimbulkan perdebatan teknis
yang tidak pernah mengerucut pada persoalan inti bangsa ini, yaitu soal
bagaimana berdemokrasi yang baik di negara ini.
Pilkada langsung dengan melibatkan suara rakyat dalam ritual
pelaksanaannya memang dinilai mampu menyerap aspirasi rakyat dalam memilih
siapa yang akan menjadi pemimpinnya kelak. Tetapi, apakah kemudian dalam
tahapan ini persoalan mendasar rakyat soal kemiskinan, pendidikan, jaminan
kesehatan dan pemenuhan lapangan kerja tercapai dengan baik sesuai amanat UUD
1945?
Jawabannya adalah tidak. Karena sampai hari ini, pemilu sebagai senjata
Demokrasi tidak pernah mengantarkan cita-cita reformasi bangsa indonesia pada
titik klimaksnya. Pemilu hanya berupa pesta lima tahunan yang dihebohkan dengan
gerombolan badut-badut politik yang bertengger dengan ribuan janji palsu pada
wajah-wajah media dan baliho-baliho besar dipinggir-pinggir jalan.
Bung karno dalam konsep demokrasinya telah mengenalkan konsep
sosio-demokrasi yang berdiri pada dua sendi, yaitu demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi ditengah-tengah rakyat. Karena sejatinya, proses demokrasi
dalam tahapannya harus mengawinkan dua sendi tersebut untuk menciptakan
Marhaenisme. Dengan sosio-demokrasi, kaum marhaen akan terpastikan memegang
kekuasaan politik, semua urusan berada di bawah kontrol rakyat. Rakyat terlibat
langsung dalam memutuskan, menjalankan, dan mengontrol semua
kebijakan-kebijakan politik negara. Inilah demokrasi politik.
Sedangkan, konsep lain yang diutarakan bung karno adalah
sosio-nasionalisme sederhananya adalah itu tidak hanya mencari atau
mengusahakan Indonesia merdeka, yaitu lepas dari kolonialisme dan imperialisme,
tetapi juga mengusahakan hilangnya kepincangan dalam masyarakat, yaitu
menghilangkan susunan masyarakat kapitalis.
Jadi, jika ada yang bertanya apakah perlu ditolak produk
undang-undang Pilkada tidak langsung yang kemarin baru saja disahkan? Tentu
saja, karena tidak ada satupun produk undang-undang yang tidak pro dengan
rakyat kita imani dan aminkan begitu saja. tetapi, yang perlu menjadi garis
besar adalah ketika demokrasi yang dilaksanakan di indonesia saat ini tidak
pernah menyentuh inti persoalan seperti konsep yang telah dijabarkan oleh Bung
Karno diatas, maka akan melalui tahapan pilkada langsung ataupun tidak langsung
tidak akan pernah menghasilkan perubahan berarti terkait kesejahteraan segenap
rakyat indonesia. Karena pasca pemilu, badut-badut politik hanya akan
memamerkan lawakan-lawakan garing yang semakin memiskinkan rakyat Indonesia.
Terbitnya Perppu Presiden
Dua buah Undang-Undang, yakni UU no. 22/2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota dan UU no. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang menghapus wewenang DPRD memilih kepala daerah, yang telah disahkan tempo
hari melalui rapat paripurna DPR yang diwarnai walk out dari salah satu parpol
ini telah menuai kecaman dari beragam lapisan masyarakat.
Tetapi tak berumur panjang, dua produk undang-undang pilkada yang
telah disahkan ini lantas dipatahkan, dengan ditanda-tanganinya dua beleid oleh
presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yakni Perppu no. 1/2014
berisi aturan mengenai pelaksanaan pemilu kepala daerah oleh rakyat dan
mencabut UU no. 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta
Perppu no. 2/2014 merupakan beleid perubahan atas UU no. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang menghapus wewenang DPRD memilih kepala daerah.
Ini terlalu janggal jika diamati, apalagi proses pengesahan UU
pilkada yang kelewat mepet dengan keputusan SBY mengeluarkan Perppu. Jika
dilihat menggunakan kacamata awam, tentu keputusan orang nomor satu di
Indonesia itu bak telaga air ditengah gurun pasir tandus. Menjawab dengan cepat
persoalan bangsa ini dengan kewenangannya sebagai pemangku kuasa di negeri ini.
Ditambah lagi, dengan gagahnya SBY mengatakan jika keputusannya mengeluarkan
Perppu adalah merupakan tekadnya dalam menyerap aspirasi rakyat yang konsisten
ingin dijalanknnya. Tentu, rakyat indonesia harus sadar jika apa yang diucapkan
SBY di detik-detik terakhir kepemimpinannya tersebut sangat bertolak belakang
dengan apa yang selama ini menjadi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya
selama 10 tahun memimpin Indonesia.
Tentu kita masih ingat, berapa kali kebijakan kenaikan BBM
dikeluarkan semasa kepemimpinan SBY? Apakah saat itu rakyat Indonesia tidak
menjerit dan menolak kebijakan tersebut? Tentu saja iya, lalu kemana SBY saat
itu? Mengapa baru hari ini beliau berbicara konsistensi mendengarkan aspirasi
rakyat dan mengabulkannya dengan menggunakan wewenangnya sebagai orang nomor
satu di Indonesia.
Lagi-lagi rakyat indonesia dibuat bingung oleh ulah pemimpinnya,
politik pencitraan yang terang-terangan dilakukan SBY di akhir kepemimpinannya
benar-benar telak mengubur arti demokrasi seseungguhnya di negeri ini, politik
lagi-lagi hanya dagelan yang membuat lapar para elite politik yang tak
segan-segan menyengsarakan rakyat.
_______
Rismayanti Borthon, Ketua Liga Mahasiswa Nasional
untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung; Mahasiswi Jurusan Agroteknologi,
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Terbit di harian cetak SINAR MERDEKA, Selasa 7 Oktober 2014.
Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, Rabu 8 Oktober 2014.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20141007/dagelan-di-balik-uu-pilkada.html#ixzz3FRReJpOt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar