Membicarakan kemiskinan di Indonesia seperti tak pernah habis, rasa-rasanya sudah hampir melekat (maaf) sebagai identitas bangsa ini.
Data BPS hingga Maret 2014 yang menggunakan ukuran garis kemiskinan Rp.302.735,- sebagai pengeluaran bulanan per kapita, menyebut jumlah penduduk miskin masih sebesar 28,280 juta atau sekitar 11, 25% dari populasi. Sementara jika lebih jujur lagi, semisal dengan ukuran internasional yakni 2 US$ per kapita per hari, jumlah ini berlipat jauh hingga 47% dari total populasi penduduk (Lampost, 26/9).
Bagaimana dengan Lampung ? ternyata kita punya “prestasi” sebagai provinsi termiskin ketiga di pulau Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh, dengan kisaran angka 1.134.280 jiwa atau 14,39% dari populasinya (Lampost, 27/9). Angka-angka ini memang tidak akan pernah bisa sepenuhnya memotret kemiskinan yang sesungguhnya terjadi, tapi begitu saja sudah membuat kita seolah sedang menatap cermin kusam hingga sangat malu pada pantulan diri sendiri.
Betapa miskinnya kita Indonesia, tak hanya rakyat bahkan negaranya pun masih terus terbilang miskin. Utang negara dalam satu dasawarsa terakhir terus membengkak sampai angka 284,9 US$ atau setara Rp.3.133,90 triliun (Metro TV, 6/10). APBN tahunan kita memang secuilnya minta ampun sampai harus selalu defisit, jangankan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan secara holistik, untuk biaya rutin saja sudah menelan lebih dari separuh porsi anggaran.
Seperti Kutukan
Padahal sedari kecil dulu kita selalu dikisahkan kejayaan bangsa Nusantara, tentang kekayaan alam dan budayanya yang tiada habis. Sebagai bangsa melayu, tentu juga cukup akrab dengan istilah tulah atau kutukan. Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersurat kalimat “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Setelah dirombak paksa sampai empat kali tahun 2001-2004 dan ditambah ayat-ayat tambahan yang ambigu, kita malah semakin kehilangan pegangan akan apa sesungguhnya maksud dari amanah itu.
Alhasil, bangsa ini mungkin sudah kena tulah akibat kesembronoan para pemimpinnya yang tak pernah mau singkirkan nafsu berebut kuasa. Alih-alih mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, kemerdekaan yang sudah mencapai usia 69 tahun ini justru mengantarkan segenap rakyat pada kutukan jurang kemiskinan. Secara struktural sampai kultural kemiskinan di negeri kita memang kian akut dan kompleks, para ilmuwan pun semakin rumit saja membuat kategorinya tanpa solusi.
Kebijakan otonomi daerah yang begitu memberi keleluasaan wewenang pemerintah tingkat Kabupaten dan Kota untuk berkreasi membangun sistem yang mensejahterakan belum juga efektif dipergunakan sebagai solusi. Bahkan indeks pembangunan manusia Indonesia tahun 2013 pun masih bertengger di level 108 dari 187 negara di dunia, inilah karya para pemimpin kita yang hanya berkali-kali ganti wajah.
Tanggal 17 Oktober sebagai hari anti kemiskinan internasional yang diakui PBB sejak tahun 1992 ternyata hanya menjadi rutinitas seremonial belaka. Sebuah proyek global yang kita ikuti, Millenium Development Goal’s (MDGs) 2015 pun tak juga mampu menjawab problem kemiskinan yang makin absolut. Indonesia Civil Society Forum for Foreign Policy (ICFP) bahkan memberi rapor merah pada sepuluh tahun pemerintahan Presiden SBY yang dianggap gagal karena mempertahankan gaya kebijakan neoliberal yang sudah terbukti tak pernah meneteskan kemakmuran pada rakyat (Tempo,13/10).
Mematahkan Kutukan
Bersepakat dengan Amartya Kumar Sen, peraih nobel ekonomi dari India yang mendefinisikan hakekat kemiskinan berada di soal aksesibilitas. Ketiadaan akses masyarakat pada kesejahteraan membuatnya tidak berdaya dan kian melanggengkan masalah. Ini perlu dijawab dengan tegas tidak meneruskan upaya melenyapkan peran negara yang masih begitu dibutuhkan oleh rakyat di tengah kepungan arus globalisasi pasar.
Ide bahwa kesejahteraan harus bangkit dari upaya mandiri rakyat tidaklah salah, tapi tak bisa mutlak dianggap benar. Di situasi begini negara wajib bertanggung jawab memperluas akses untuk mengenyam pendidikan berkualitas, meraih layanan kesehatan memadai, pendampingan skill pengembangan sektor agraris dan maritim, kemudahan bantuan modal usaha kecil menengah, penyediaan akses pasar bagi produk-produk lokal, akses perumahan dan lingkungan yang baik, terbukanya lapangan kerja yang layak, dan seterusnya.
Ibarat kutukan, mantra sihir sesakti apa pun pasti bisa dipatahkan jika ada tekad dan upaya kuat. Ini yang perlu disadari sepenuhnya, terutama oleh segenap pemimpin baru yang sudah memperoleh mandat rakyat, agar berani membanting stir mencari jalan alternatif membenahi keadaan. Kita butuh lebih dari sekedar niat lurus, melainkan aksi nyata yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah mengejar target kesejahteraan yang diukur bukan lagi cuma dari selisih digit pertumbuhan ekonomi semu.
Nelson Mandela yang termashur berpesan “poverty is not an accident, like slavery and apartheid, it’s man made and can be removed by the actions of human being.” Selalu ada pilihan bukan?
____________
Togar Harahap, pengurus Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Wilayah Lampung dan alumnus Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND); bergiat di Komunitas Bengkel Tulis Bintang Merah.
Saddam Cahyo, pengurus LMND Lampung, dan penggiat Komunitas Bengkel Tulis Bintang Merah.
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20141018/ironi-kemiskinan.html#ixzz3GkL1a3nd Harian cetak KORAN EDITOR, 21 Oktober 2014.
Harian cetak SINAR MERDEKA, 21 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar