Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 27 Mei 2013

Opini : Angin Segar Demokratisasi Bumi Ruwa Jurai



Oleh : Saddam Cahyo*

Sudah sekian lama masyarakat Lampung dibuat terombang-ambing oleh polemik  panjang penentuan jadwal Pemilihan Gubernur yang diwarnai nuansa “panas” antara pihak yang memandang 2013 adalah tahun yang tepat berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku karena habisnya masa jabatan Sjahroedin ZP pada 2 Juni akan bertumburan jadwal Pileg dan Pilpres 2014, dengan pihak lainnya yang memandang Pilgub lebih efisien bila diselenggarakan tahun 2015 karena tidak dianggarkan dalam APBD 2013 yang sudah ditetapkan sembari menunggu pengesahan RUU Pilkada oleh DPR RI.  

Kedua pihak sempat saling berdebat keras dan alot, KPU Lampung berkukuh  sejak menerbitkan surat Keputusan No.75/Kpts/KPU-Prov-008/2012 tertanggal 11 September 2012 tentang penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013 yang menegaskan putaran pertama akan dilakukan pada 2 Oktober dan putaran kedua disiapkan pada 4 Desember. Sementara itu Gubernur pun kukuh pada pendiriannya menunda pelaksanaan Pilgub dengan tidak menganggarkannya, bahkan beberapa kali ia mengeluarkan steatment keras dan nyeleneh yang khas.

Polemik ini tak terjadi hanya di kalangan elit saja, melainkan juga terasa di tingkatan masyarakat, semisal rangkaian aksi gerakan penggalangan koin untuk pilgub yang bermaksud sebagai dukungan moril kepada KPU Lampung untuk terus memperjuangkan komitmennya, sementara kelompok massa yang lain beberapa kali melakukan demonstrasi mendukung penundaan Pilgub dan hendak melakukan penyegelan kantor KPU. Kekisruhan polemik Pilgub Lampung ini pun sempat menjadi perhatian khusus di tingkatan nasional, pasalnya hanya di Lampung fenomena tarik ulur penentuan jadwal ini terjadi, hingga pada 2 Desember 2012 berlangsung pertemuan di Hotel Sheraton oleh Kemendagri dan KPU Pusat yang mencoba memediasi kedua pihak dan hanya menghasilkan pernyataan “islah” tanpa kejelasan putusan.

Namun angin segar kini benar-benar berhembus menyejukkan iklim demokrasi di tanah Sai Bumi Ruwa Jurai, yakni melalui terbitnya Surat Edaran No. 270/2305/SJ tertanggal 6 Mei 2013 dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi kepada 43 kepala daerah yang turun jabatan pada 2014 untuk menyelenggarakan pilkada pada tahun 2013 ini dengan payung hukum UU No.32 Th.2004 Tentang Pemerintah Daerah. Selain itu, bertepatan dengan jadwal sosialisasi resmi KPU Lampung tentang tata cara pendaftaran dan persyaratan calon, senin lalu (20/5) Gubernur Sjahroedin ZP memberi kepastian sikap setuju atas penetapan jadwal pelaksanaan Pilgub pada tahun ini, termasuk masalah penganggaran yang diperkirakan akan membutuhkan dana sekitar 144 milyar rupiah agar dimasukkan dalam APBD-Perubahan nanti.

Dengan demikian polemik ini seharusnya sudah berakhir dan masyarakat bisa segera mendapat kepastian atas hak politiknya untuk turut andil dalam masa transisi demokrasi ini. Pada dasarnya, masyarakat kini memang mulai terbiasa untuk jenuh menerima karut marutnya sistem politik dan perilaku elit yang semakin tidak karuan dan tak menyentuh kepentingan rakyat, yakni perbaikan kesejahteraan hidup. Fenomena ini sangat berbahaya dan tak boleh dibiarkan, sebab akan menyuburkan penyakit apatisme politik di benak setiap lapisan masyarakat, sementara jiwa dari sistem demokrasi itu adalah partisipasi publik.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah berkah yang bisa kita nikmati setelah pada masa awal reformasi UUD 1945 di amandemen, dimana esensi demokrasi sebagai pemerintahan dari-oleh-untuk rakyat bisa  dipraktekkan sampai di tingkat lokal. Aspek positif dari Pilkada langsung adalah terpilihnya pemimpin yang legitimate, terikat tanggung jawab politik dan moral, terbangunnya relasi sinergis-aspiratif antara rakyat dengan pemerintah, serta sebagai sarana untuk pembelajaran demokratisasi bagi publik maupun untuk mencetak pemimpin nasional yang punya track record dan komitmen yang berkualitas (Chozin Chumaidy, 2006).

Oleh karena itu, tingginya kepedulian dan partisipasi publik sangatlah penting untuk menjamin proses demokratisasi benar-benar berlangsung demi mendewasakan sistem politik Indonesia. Mari kita masyarakat Lampung mulai mempersiapkan diri menyongsong datangnya momentum tahun politik dengan menumbuh suburkan budaya politik yang cerdas, dewasa, dan kritis demi suksesnya rangkaian Pilgub – Pileg – Pilpres yang jujur dan adil. Semoga para tokoh yang masuk dalam bursa kandidat Gubernur kita nanti memang mewakili kehendak masyarakat akan figur pemimpin ideal yang mampu menjalankan amanah membangkitkan daerah Lampung yang masih jongkok di peringkat ketiga provinsi termiskin se-Sumatera ini.

_________________________
Bandar Lampung, 22 Mei 2013.
Diterbitkan  media cetak harian SENATOR (Jawa Pos Group), Senin 27 Mei 2013.
Diterbitkan media cetak harian LAMPUNG POST (Media Indonesia Group), 30 Mei 2013.

*) Sekretaris LMND Ekswil Lampung         
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila
  

Minggu, 19 Mei 2013

Opini : Media Massa, Alat Pertarungan Elit Politik ?



'Our Word Is Our Weapon'-Subcomandante Marcos
'Our Word Is Our Weapon'-Subcomandante Marcos


Digagas dan ditulis pertama oleh : Devin Prastyia*
Diedit dan ditulis ulang oleh : Saddam Cahyo (28 April 2013)
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa media massa mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Tak bisa dipungkiri bahwa hampir pada setiap aspek kegiatan manusia baik secara pribadi maupun umum, selalu berhubungan dengan aktifitas komunikasi massa. Hasrat interaksi antar individu atau masyarakat yang tinggi tersebut menemukan salurannya yang paling efektif dan terandalkan dalam berbagai bentuk media massa, untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi.
Dalam perkembangannya, media massa memang sangat berpengaruh di wilayah kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga politik. Dari aspek sosaia-budaya, media adalah institusi sosial yang membentuk definisi dan citra realitas serta dianggap sebagai ekspresi sosial yang berlaku umum, secara ekonomis, media adalah institusi bisnis yang membantu masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari berbagai usaha yang dilakoni, sedang dari aspek politik, media memberi ruang atau arena pertarungan diskursuf bagi kepentingan berbagai kelompok sosial-politik yang ada dalam masyarakat demokratis.
Oleh karena begitu vitalnya peran media massa dalam berbagai aspek kehidupan publik, maka memicu banyak pihak dari golongan politik tertentu yang mencoba memanfaatkan media massa sebagai alat untuk mencapai tujuannya, dan secara hegemonik kerap memaksakannya kepada publik. Diantaranya bahkan mampu menguasai media secara keseluruhan yakni dengan menjadi pemilik perusahaan media massa ataupun dengan menguasai kebijakan redaksi media massa. 
Alat Politik
Hal seperti ini juga terungkap dalam teori ekonomi-politik media yang dikemukakan oleh Golding dan Murdock, dengan memakai pendekatan strukturasi Giddens mereka menguraikan bahwa media massa memang telah menjelma sebagai industri yang menjual produk berupa informasi untuk dikonsumsi masyarakat demi memperoleh profit bagi pemiliknya, pola ini telah menggurita secara global dalam suatu sistem kapitalisme media, dalam hal ini media massa berperan penting sebagai agen ideologis yang membentuk pola fikir dan memandu perilaku konsumennya. Nilai umum yang biasanya ditanamkan adalah perihal memacu hasrat konsumsi, pandangan hidup liberal, melegitimasi wacana investasi dan pasar bebas, hingga memassifkan budaya trend-popular dan sebagainya.
Namun, pendekatan strukturasi ini juga melirik bahwa determinasi kapitalisme global sebagai satu-satunya penentu nilai-nilai apa yang akan disebar melalui media massa tidaklah patut diterima begitu saja, sebab dalam rantai strukturnya, terdapat agen-agen lokal yang penting karena memiliki peranan aktif dan kreatif dalam proses pengendalian pengaruh media massa terhadap pembentukan opini publik sesuai dengan kepentingan politis yang hendak dicapai golongannya (Sunarto, 2009).
Sebagai contoh yang paling kasat mata misalnya, media massa ANTV dan TV One adalah kepunyaan dari Aburizal Bakrie ketua umum partai Golkar, sedangkan Surya Paloh sebagai ketua umum partai Nasdem merupakan pemilik dari Metro TV dan harian cetak Media Indonesia Group, kemudian MNC Media Group yang meliputi MNC TV, RCTI, Global TV, dan harian cetak Sindo adalah kepemilikan dari Hary Tanoesoedibjo yang juga menjadi ketua dewan pertimbangan partai Hanura sekaligus ketua umum ormas Perindo. Ketiga sosok pemilik media massa ini bukanlah pengusaha biasa, namun juga praktisi politik, maka disadari ataupun tidak, ini berdampak pada kecenderungan media tersebut mengarahkan gagasan politik dan pencitraan tokoh masing-masing dalam setiap pemberitaannya.
Pada dasarnya secara ideal, pemberitaan media massa haruslah sesuai dengan azas dan prinsip jurnalistik yang berlaku secara universal, yakni menjunjung tinggi azas objektifitas, akurat, adil, berimbang, dan menegaskan posisi netralitasnya, selain itu wajib hukumnya setiap pelaku jurnalistik dalam pemberitaannya untuk menaati kode etik. Privatisasi atau kepemilikan pribadi maupun kelompok atas perusahaan media massa sebenarnya bukanlah masalah,  jika semua pemberitaan yang disebarkan kepada masyarakat luas senantiasa tunduk pada azas serta prinsip ideal tersebut.
Menjadi masalah kemudian, apabila terjadi penyimpangan terhadap fungsi media sebagai sarana komunikasi massa yang mengutamakan kepentingan publik, terutama jika hal ini dilakukan oleh sang pemilik modal itu sendiri. Sebagai pemilik dari suatu perusahaan media, tentunya mereka memiliki kuasa lebih untuk mengintervensi kebijakan redaksi, sayangnya beberapa pihak yang disebut di atas maupun pihak lain yang mengindikasikan fenomena serupa, justru beralih memanfaatkan situasi ini untuk memuluskan proyek politik pribadi maupun golongannya saja, sehingga objektifitas pemberitaan sebagai syarat bagi informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat demokratis telah dikesampingkan.
Nalar Kritis Publik
Sekarang ini, fenomena pemanfaatan media massa sebagai alat politik bagi pertarungan kepentingan elit tertentu telah menjadi gejala umum yang terus menjalar tidak hanya di ranah nasional, bahkan sampai di tingkatan daerah pun sudah mulai vulgar. Berbagai ajang pencitraan yang berlebihan, tendensi sikap yang diskriminatif terhadap golongan atau tokoh tertentu, serta berbagai upaya pemelintiran substansi pemberitaan pun kerap dengan mudah kita jumpai.
Kondisi seperti ini merupakan paradoks dilematis yang telah menciderai kehidupan masyarakat demokratis, dimana setiap orang memiliki hak untuk memperoleh informasi publik yang objektif, sementara media massa sebagai sarana pemenuhan informasi paling mainstream justru mulai ditunggangi oleh elit politik tertentu yang berkepentingan mengarahkan pilihan politik masyarakat kepada apa yang dia munculkan sebagai pilihan tunggal.
Sebagai konsumen informasi, masyarakat tidak boleh terus menerus pasrah melihat keadaan ini, nalar kritis haruslah dijadikan pedoman setiap menerima informasi publik dari media manapun. Jangan pula kondisi ini membuat kita menjadi apatis dan cenderung tak pro aktif mengikuti perkembangan informasi publik, karena justru hanya akan merugikan kita, upaya konfirmasi dan komparasi dengan media massa lain tentang suatu tema pemberitaan yang sama haruslah dijadikan pertimbangan sebelum kita menentukan kesimpulan sendiri.
Sebagai insan media, tentu hal ini patut kembali direnungkan, baik oleh mereka kuli tinta di lapangan maupun dibalik meja redaksi, mengingat kembali pentingnya berkeras menegakkan idealisme jurnalis yang menitipkan tanggung jawab objektifitas pemberitaan informasi publik dengan pedoman tunggal, yakni mengutamakan kepentingan masyarakat umum, bukan golongan apalagi elit tertentu saja. Berpolitik praktis secara aktif tentu menjadi hak bagi setiap orang, namun akan lebih bijaksana jika pengusaha pemilik industry media massa lebih mengedepankan profesionalisme dalam menjalankan bisnisnya, sementara perjuangan politiknya haruslah meraih legitimasi publik secara demokratis, bukan dengan pemaksaan terselubung seperti yang nampak selama ini. Semoga..
________
*) Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika STMIK Darmajaya.
    Anggota Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung.

Catatan: tulisan pernah diikutsertakan dalam Lomba Menulis Opini bertema “Mengkritisi Pelaku Media” yang  diselenggarakan oleh UKPM Teknokra Unila dalam rangkaian acara HUT ke-36 tahun 2013.

Dimuat di media massa alternatif Berdikari Online (BO) pada 19 Mei 2013. http://www.berdikarionline.com/opini/20130519/media-massa-sebagai-alat-pertarungan-elit-politik.html#ixzz2Tl3hRK9c .


Senin, 13 Mei 2013

Opini : Menuntut Tanggung Jawab Sosial Media Massa



 
Sebuah buku klasik berjudul “Four Theories of  The Press” pernah ditulis secara kolektif oleh Fred S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, pada masa perang dingin berlangsung di era 1950an. Buku itu kemudian menjadi legenda karena dijadikan acuan umum bagi pelajar jurnalisme di berbagai belahan dunia. Dalam buku itu, mereka berangkat dari pemahaman atas sejarah peradaban manusia dan menguraikan tentang empat teori sistem pers yang berlaku di dunia ini, yakni authoritarian press system, libertarian press system, soviet-communism press system dan social responsibility press system.

Indonesia sebagai negara dunia ketiga alias negeri yang belum pernah sepenuhnya merdeka dari intervensi ekonomi-politik negar-negeri barat tak bisa luput dari penilaian baku yang berdasar pada empat kerangka teori sistem tersebut. Namun, kehidupan pers kita belumlah menemukan karakter spesifik menganut sistem pers yang mana di antara keempat teori tadi. Seperti di masa Orde Lama kita mempraktekkan campuran sistem pers otoriter dengan sistem pers liberal secara kasar, yang ditandai dengan pertarungan opini kelompok sosial-politik yang begitu terbuka di media massa. Sedangkan di masa Orde Baru, rezim yang sangat anti ideologi komunisme itu, justru menggabungkan sistem pers komunis dan sistem pers otoriter yang ditandai dengan kehidupan pers dibungkam rapat-rapat dan pemberitaan dimonopoli oleh media massa milik pemerintah saja.

Baru kemudian di masa reformasi, kehidupan pers di negeri ini mendapatkan nyawa baru berupa UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin bahwa kehidupan pers diberikan kembali kemerdekaannya tanpa ancaman pelarangan, sensor ketat apalagi pembredelan. Namun, jangan pula mengira bahwa kehidupan pers kembali dalam nuansa kental pertarungan ideologis-politis seperti era Orde Lama dahulu, yang terjadi justru kehidupan pers diwarnai oleh arus deras liberalisasi jurnalistik yang paradoksal.

Antara Kenyataan dan Harapan

Dalam situasi yang begitu terbuka seperti saat ini, banyak pakar jurnalisme yang menerangkan dengan manis bahwa saat ini kehidupan pers di Negara kita cenderung menganut sistem pers social responsibility, yakni dalam setiap pemberitaannya, media massa dituntut untuk mampu bertanggung jawab secara sosial kepada masyarakat umum, bersinergi dengan nilai-nilau kemanusiaan universal dan senantiasa melakukan kerja jurnalistik dengan dilandasi prinsip social conscience (kesadaran moral sosial) yang teguh.

Namun, dalam prakteknya hari ini, mimpi indah tentang kebebasan pers itu justru menjadi sesuatu yang bermakna absurd bagi masyarakat, bukan hanya karena masih adanya berbagai upaya pembelengguan kerja-kerja jurnalistik oleh pemerintah maupun pihak penguasa lainnya yang merasa tidak senang atas substansi berita tertentu. Media massa sendiri pun kerap menjadi biang kerok dalam hal ini, terutama dalam konteks konsistensinya atas pemberitaan yang menyangkut issue tertentu yang bersifat fenomenal.

Media massa sering kali terkesan gemar mempermainkan fikiran publik. Gejala ini sangat terasa jika kita mencermati lompatan-lompatan atraktif-inkonsisten yang dilakukan oleh redaksi media massa saat memilih issue yang patut diusung sebagai beritanya. Memang benar bahwa media massa dituntut untuk selalu siap bergerak selaras dengan gerak dinamis masyarakat itu sendiri, sehingga pemilihan berita yang layak terbit haruslah bersifat kekinian dan mampu merangkum segala peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat.

Namun, bukan berarti media massa harus menjadi kutu loncat yang gemar mengusik, yakni mewacanakan issue tertentu yang sangat menyita perhatian publik dengan melakukan pemberitaan yang berlebihan dan terlalu massif hingga menuai beragam reaksi publik, namun dalam waktu yang singkat, berganti lagi mencari issue lainnya yang yang tidak berhubungan tapi lebih berpotensi dibuat melejit, dan begitu seterusnya. Sebagai contoh, hari ini kasus korupsi arena olahraga hambalang yang menyeret banyak politisi kawakan seperti Angelina Sondakh, Andi Malarangeng, dan Anas Urbaningrum diangkat, besoknya berita tentang konflik dukun santet eyang Subur dengan artis Adi Bing Slamet yang dihebohkan, ketika memanasnya konflik internal partai Demokrat dan melemahnya posisi politik SBY justru wacana mengamini aksi pembunuhan sepihak atas nama jiwa korsa TNI memberantas preman di LP Cebongan yang dihebohkan, lalu saat gonjang-ganjing rencana kenaikan BBM Subsidi dengan dua harga mencuat justru kisah pilu bocah Tasripin di pelosok Jawa Tengah yang dihebohkan.

Fenomena yang terus berulang seperti ini tentu menimbulkan keresahan bagi masyarakat sebagai konsumen informasi. Tak jarang, hal ini justru menimbulkan efek buruk berupa meningkatnya sikap apatisme publik terhadap perkembangan situasi Negara dan bangsanya. Padahal, partisipasi publik sebagai agent of social control dalam sistem politik demokrasi seperti sekarang ini sangat diperlukan demi memastikan berlangsungnya proses pemerintahan yang pro rakyat.

Dalam konteks ini, penulis sendiri justru berasumsi bahwa saat ini kehidupan pers di Indonesia justru menganut sistem pers neo-liberal yang melampaui batasan klasik dari konsep libertarian press system. Berdasarkan perilaku pers yang dipaparkan tadi, dapat disimpulkan bahwa,  secara umum pemberitaan di segala bentuk media massa, baik cetak, elektronik, maupun online, hanyalah bertanggung jawab pada pemilik modal dan pasar.

Dimana media massa yang semula dirancang sebagai institusi sosial penyedia ruang interaksi dan komunikasi massa justru berubah menjadi suatu sektor industri jasa informasi yang berorientasi pada akumulasi profit bagi pemiliknya, dan kondisi ini menuntut proses redaksi media massa yang semula terikat pada gagasan mewakili kebutuhan publik akan informasi yang objektif dan terpercaya pun harus tunduk kepada mekanisme pasar yang menuntut percepatan inovasi produk yang mampu mendongkrak oplah maupun rating media tersebut. Sementara itu, Idealisme para jurnalisnya pun dicerabut menjadi hanya sebuah bentuk profesionalisme yang mekanis khas pekerja yang teralienasi dari kerjanya sendiri. Di sisi lain, tuduhan miring bahwa media massa hanyalah agen terandal dari kepentingan elit politik untuk sekedar mengalihkan issue dan pembentukan citra demi melanggengkan keuasaan pun tak dapat dihindarkan.

As long as you can write, you can be journalist” adalah kalimat yang dapat dimaknai sebagai, siapapun asalkan bisa menulis dan memiliki saluran media, maka pasti menjadi konsumsi publik, meskipun informasi yang disampaikannya mengingkari prinsip dan azas jurnalisme yang bermuara pada kewajiban pemenuhan informasi publik demi meningkatkan kualitas hidup manusia. Jangan sampai pameo sindiran semacam ini justru menjadi kenyataan paling hakiki dari kehidupan pers di Indonesia. Salam..
____________________________
Bandar Lampung, 28 April 2013.

M. Saddam SSDC, Mahasiswa Jurusan Sosiologi FISIP Unila dan aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Lampung.

Penulis tinggal di Jl.Abdul Muis, Griya Gedong Meneng Blok B5 No.4, Kel.Gedong Meneng Kec. Rajabasa, Bandar Lampung, kode pos 35145.Dapat dihubungi di nomor HP 0857-69422333, email ; saddam.cahyo@gmail.com.

Catatan: Tulisan ini untuk disertakan dalam Lomba Menulis Opini bertema “Mengkritisi Pelaku Media” yang  diselenggarakan oleh UKPM Teknokra Unila dalam rangkaian acara HUT ke-36 tahun april 2013.

Dimuat di media massa alternatif BO / Berdikari Online pada 13 Mei 2013.
http://www.berdikarionline.com/opini/20130513/menuntut-tanggung-jawab-sosial-media-massa.html 
Dimuat di media massa cetak harian LAMPUNG POST rubrik Opini berjudul "Menagih Tanggung Jawab Sosial Media Massa" pada 16 Mei 2013.