Oleh
: Saddam Cahyo*
Beberapa waktu lalu,
aliansi gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi baik internal, eksternal, mau
pun kampus di Lampung kembali bekerjasama menggelar rangkaian peringatan
Tragedi UBL Berdarah 28 September 1999. Sebuah peristiwa pilu era reformasi yang
turut tertulis di sejarah perjuangan
demokrasi Indonesia. Dimana dalam nuansa euforia kemenangan politik rakyat
menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru, hendak dikekang lagi oleh disahkannya
RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang berpotensi membenarkan kembalinya
cara-cara represif membungkam aspirasi.
Kala itu penolakan RUU
PKB dilakukan secara massif oleh mahasiswa di seluruh penjuru negeri. Puncaknya
Tragedi Semanggi II 24 September 1999 dimana Yap Yun Hap mahasiswa UI tewas
diterjang peluru aparat di Jakarta. Beberapa hari kemudian represifitas kembali
merenggut jiwa anak bangsa, yakni di Lampung M Yusuf Rizal (Mahasiswa Sosiologi
Unila) tewas akibat dadanya dijebol peluru tajam, dan Saidatul Fitria (Fotografer
SKM Teknokra Unila) tewas setelah koma akibat kepalanya dipopor senapan hingga
tersungkur masuk got. Sementara di Palembang, Meyer Ardiansyah (Mahasiswa IBA)
tewas tertusuk sangkur di depan Makodam.
Itikad
Menghargai Sejarah
Di momentum peringatan
15 tahun tragedi ini, mahasiswa kembali ajukan tuntutan; Pertama, agar dibuat
tim ad hoc, sebab dulu Danrem 043 Gatam
Kol. Inf. Mudjiono mengaku bertanggung jawab lewat permintaan maafnya pada Dema
Unila, dan proyektil peluru di jenazah Ijal sudah disita sebagai barang bukti;
Kedua, agar peristiwa ini dapat dikenang secara lebih luas oleh masyarakat
dibuatkan tugu peringatan di lokasi Jalan ZA Pagar Alam depan kampus UBL;
Ketiga, agar Saidatul Fitria diabadikan menjadi nama gedung Pusat kegiatan
Mahasiswa (PKM) Unila sebagaimana pernah dijanjikan.
Namun sayang, dari
tahun ke tahun tuntutan yang sama ini tetap tak kunjung ditanggapi serius oleh pihak-pihak terkait. Anggota dewan
yang beberapa kali pernah menemui aksi mahasiswa selalu memberikan janji sekedarnya,
sementara Rektor Universitas Lampung malah menolak menepati janji agar nama para
pejuang reformasi dari Lampung yang telah berkorban nyawa itu diabadikan
sebagai nama gedung. Alasannya karena menganggap kiprah mereka ini sebatas regional
saja, bukan nasional hingga tak cukup
mendesak untuk diperjuangkan (Lampost, 1/10).
Padahal jika mau meluangkan
waktu untuk membuka mata hati dan mengulik ulang sejarah reformasi, dengan
gamblang akan terurai ingatan bahwa Tragedi UBL Berdarah ialah kepingan penting
dari sejarah politik bangsa ini. Perjuangan dan pengorbanan mereka jelas telah
berhasil dengan dibatalkannya Undang-Undang yang berwatak represif dan anti
demokrasi itu. Merasa bersyukur pulalah kita semestinya, karena terbukti setiap
tahunnya mahasiswa di Lampung tak pernah absen memperingati perjuangan para
pendahulunya, berbeda dengan di daerah lain yang kadang melupakan.
Mengabadikan
Perjuangan
Sesungguhnya gerakan
mahasiswa merupakan gerakan moral yang punya kekuatan politik signifikan, pergulatan
sejarah bangsa selalu ditandai dengan hadirnya gerakan mahasiswa atau pemuda
terpelajar sebagai katalisator perubahan. Wajar jika kemudian banyak tokoh
pemimpin dan pejuang termashur yang lahir dari kelompok sosial ini, karena
mereka memang putra-putri Indonesia yang nalar kritis dan moralnya matang
ditempa situasi karut-marutnya negeri.
Wujud apresiasi nyata pada
kiprah sejarah kaum muda ini bisa ditelusur lewat upaya mengabadikan nama para
pejuangnya. Arief Rahman Hakim aktivis mahasiswa yang tewas tanggal 24 Februari
1966 saat menuntut Tritura, diabadikan sebagai nama masjid di almamaternya Fakultas
Kedokteran UI Salemba. Moses Gatot Kaca aktivis mahasiswa Universitas Sanata
Dharma yang tewas mengenaskan dalam Peristiwa Gejayan Kelabu Mei 1998, namanya
diabadikan sebagai nama jalan di Yogyakarta.
Universitas Trisakti
bahkan menganugerahkan nama abadi pada 4 aktivis mahasiswanya yang tewas pada kerusuhan
12 Mei 1998, yakni Elang Mulia Lesmana di gedung Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Hafidhin Royan juga jadi nama salah satu gedung Fakultas Teknik
Sipil, Hendrawan Sie di gedung Fakultas Ekonomi dan ternyata Pemda Kalimantan Timur
tempatnya berasal juga mengubah nama jalan di kediaman keluarganya, lalu nama Herry
Hertanto di gedung Fakultas Teknologi Industri.
Jika masih ingat Sondang
Hutagalung, aktivis mahasiswa yang tewas setelah aksi bakar diri di depan
Istana Negara pada Desember 2011 lalu, juga resmi menjadi nama ruang praktik
peradilan semu di almamaternya Fakultas Hukum Universitas Bung Karno. Atau Aditya
Prasetya, alumnus FKIP Unila yang meninggal sakit pada November 2013 saat menjalankan
misi kemanusiaan sebagai relawan Gerakan Indonesia Mengajar di daerah terpencil
Saumlaki Maluku pun menjadi nama jalan di
Kabupaten Maluku Tenggara Barat.
Mengabadikan nama
pejuang tak cuma bermakna menghormati pengorbanannya, melainkan juga bukti
turut mengabadikan perjuangannya. Jelas ini persoalan itikad menghargai sejarah
yang dipunyai atau tidak ?
_______
*) Sekretaris LMND Ekswil Lampung.
Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.
Terbit diharian cetak LAMPUNG POST, Kamis 9 Oktober 2014.
http://lampost.co/berita/mengabadikan-nama-pejuang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar