Oleh : Saddam Cahyo**
Indonesia
memang negeri yang sama sekali belum berhasil terbebas dari belenggu lingkaran
setan konflik agraria. Lapisan konfliknya pun beragam, dari vertikal antara
rakyat dengan negara atau perusahaan, atau yang horizontal dengan sesamanya.
Ada yang bermula dari masa kolonialisme, tapi terbanyak terjadi di era Orde
Baru. Pasca reformasi hingga sekarang, sengketa tanah seperti terus timbul
menjamur hingga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama Presiden SBY
menjabat sejak 2004 hingga 2014, setidaknya terjadi 1.391 kasus di seluruh
penjuru negeri, dengan cakupan areal 5.711.396 hektar, melibatkan 1.011.090 keluarga,
menewaskan 70 orang, 553 luka-luka, 110 tertembak peluru, dan 1.354 orang
dikriminalisasikan.
Senjata Tuduhan
Provokasi
Pendekatan
represif memang kerap diambil sebagai jalan pintas penguasa untuk mengatasi
polemik agraria yang terjadi di daerahnya. Barangkali karena tidak tahan
lama-lama menghadapi masyarakat yang tampil kotor, berkeringat, miskin, dan
ramai-ramai mendatangi kantornya sambil teriak protes. Atau karena tak mau
pusing lagi mengulik sejarah konfliknya, dan lebih nyaman negosiasi dengan
perusahaan. Alhasil dalam sengketa tanah yang melibatkan masyarakat pemilik
lahan dengan perusahaan yang entah bagaimana bisa menguasainya jadi lahan
perkebunan, penguasa lebih suka memposisikan warganya sebagai pihak yang
bersalah bahkan kriminal.
Masih
segar ingatan kita, bulan Maret lalu Puji (33) salah satu petani Batang Hari
Jambi yang berkonflik dengan PT Asiatik Persada tewas dalam kondisi kaki dan
tangan diborgol, juga luka lebam sekujur tubuh setelah ditangkap atas tuduhan
pencurian hasil panen di tanahnya sendiri. Muhamad Ridwan aktivis Serikat Tani
Riau yang bertahun-tahun membela petani Pulau Padang Kepri yang berkonflik
dengan PT RAPP, bulan April lalu harus rela divonis penjara 16 tahun dengan
tuduhan provokasi. Begitu pun dialami Eva S. Bande aktivis FRAS, bulan Mei lalu
diburu dan ditangkap seperti teroris akibat perjuangannya membela petani Luwuk
Sulawesi Tengah yang bersengketa dengan PT KLS.
Ini
sangat memilukan, padahal semestinya kita memberikan apresiasi yang tinggi pada
setiap anak bangsa yang berani bangkit memperjuangkan haknya yang terampas,
apalagi untuk mereka yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya untuk
membela saudara sebangsanya yang tertindas. Tak salah memang jika kemudian
banyak orang yang semakin mengedepankan individualitas, karena kepedulian
ternyata harus dibayar dengan hukuman, hingga akhirnya keadilan menjadi hal
yang paling langka bisa diperoleh di negeri ini.
Bukan Ranahnya Litigasi
Sebagaimana
diungkap Novri Susan (2011), konflik agraria di Indonesia kebanyakan tidaklah
timbul sebagai perkara baru, melainkan dampak dari praktik abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan secara sistematis oleh pemerintahan Orde Baru
di masa lalu. Ini kenyataan ironik yang
patut diakui bersama, dari sekian banyak kasus yang terungkap ke muka publik,
kisahnya hampir senada, rakyat dipaksa menyerahkan hak guna lahannya pada
perusahaan perkebunan di bawah intimidasi aparatur negara baik pemerintah
daerah mau pun militer, jika melawan diancaman hukum subversif atau tuduhan PKI
sebagai jurus ampuh yang membuat pasrah ketimbang harus hidup tersiksa.
Karenanya
pemerintahan sekarang ini, baik pusat mau pun daerah, harus jeli memilah mana
kasus yang diwariskan oleh pendahulunya. Untuk yang seperti ini jelas tak bisa digunakan metode
penyelesaian secara litigasi atau prosedur hukum positif formal, sebab posisi
masyarakat sudah pasti kalah soal legalitas. Bagaimana tidak, di masa itu
kebanyakan rakyat memang belum secara penuh melakukan sertifikasi tanahnya,
penyerahan lahan pun tanpa proses pembebasan,
sementara aparat negara selalu siap diajak kongkalikong melegalkan semua
keperluan perusahaan untuk mengeksploitasi lahan mereka.
Memang
dibutuhkan pendekatan khusus seadil-adilnya untuk mengurai dan menuntaskan
lingkaran setan konflik agraria di negeri ini. Agar tak ada lagi masyarakat
yang terusir dari tanah sendiri, yang dimiskinkan karena lahan garapan
dirampas, yang mati atau dipenjara cuma karena berjuang mempertahankan haknya.
Kunci utamanya tentulah pada keberpihakan negara, itikad pertanggungjawaban
negara, pemerintahan Jokowi-JK mendatang harus mampu menengahi persoalan yang
sudah terlanjur kompleks dan mewabah ini, akibatnya pun sudah sangat fatal
dalam menyumbang angka kemiskinan.
Sesungguhnya
peringatan hari tani nasional (HTN) dari tahun ke tahun nyaris hampa karena
mengabaikan makna historisnya, yakni terbitnya UU Pokok Agraria No.5 Tahun
1960. Sebagai aturan hukum tertinggi di bidang agraria, kebijakan ini memang
tidaklah sempurna, namun amanatnya untuk menegakkan suatu reforma agraria guna
menggapai kesejahteraan bangsa perlulah kembali dianggap penting. Hemat saya,
gagasan soal dibentuknya suatu kepanitiaan nasional bersifat ad hoc agar bisa lebih objektif untuk
menuntaskan persoalan ini, memang juga sangat mendesak diwujudkan.
___________
** Sekretaris
Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung
Terbit di LAMPUNG POST, Kamis 25 September 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar