Oleh : Saddam Cahyo*
“Cang kacang
panjang, yang panjang mati.. sekali lagi.. yang mati jadi..” suara ceria kami
serentak saat memulai permainan petak umpet dengan cara berlomba
mengulur-tarikkan tangan di halaman samping sekolah.
“Nah, Tian kamu
kalah, ayo mulai hitung, jangan ngintip ya…” ucap kawan-kawan sambil bergegas
lari sembunyi.
“Tu, wa, ga,
pat, ma, nam, juh, pan,lan, luh..” hitungku keras-keras sambil menutup mata.
Uh.. memang
paling malas kalau kita kena giliran jadi kucing penjaga. Apalagi kalau
teman-teman yang ikut bermain sebanyak ini, aku harus jeli memergoki
persembunyian mereka dan harus juga gesit berlari ke titik awal menghitung,
kalau aku kalah berlari dengan mereka yang lainnya, aku bisa kena giliran
menjadi kucing sekali lagi.
Biasanya aku
paling menghindari kekalahan saat penentuan siapa yang menjadi kucing, tapi
tadi aku memang lengah, aku sedang risih diganggu mereka seharian ini.
Ah.. Beruntung,
mereka semua berhasil kupergoki semua dan satu persatu aku sebut namanya sambil
menepuk dinding tempat ku berhitung dan berteriak “Top !” sebagai tanda
kemenangan.
***
Hari ini kami
baru saja selesai latihan upacara bendera, kami siswa kelas 5 didaulat sebagai
petugas upacara di hari peringatan Kesaktian
Pancasila 1 Oktober besok lusa. Aku sendiri dipilih menjadi petugas ajudan
yang membawa naskah teks Pancasila mengiringi Pembina Upacara yang kabarnya
akan dimandatkan pada Kepala Dinas, aku merasa senang sekali karena tugasku lah yang paling penting di prosesi upacara kali ini.
Aduh, tapi benar
juga kata teman-teman, aku ini aneh, aku gak cocok, gak pantes jadi petugas
upacara besok, biar pun di hari-hari upacara bendera sebelumnya aku sering
menjadi bagian dari petugas pelaksananya. Tapi kali ini beda ! aku benar-benar
merasa asing, dan risih sekali dengan ejekan mereka semua, padahal jujur, aku
bangga saat ditugasi Bu Indri wali kelas kami itu, dan di dalam hati aku sudah
berencana gagah akan cerita pada Papa, Mama, dan si kecil Nia.
Sempat terbayang
olehku, wajah mereka yang bakal sumringah kagum, dan jangan-jangan aku
dihadiahi sepaket nasi tumpeng kuning, ayam bakakak, dan sambal balado udang
campur pete lagi sama Mama, nyamnyam..
Nia juga pasti
akan banyak bertanya pada abangnya ini, sore harinya dia cerita ke semua teman
mainnya di komplek perumahan kami. Pasti itu akan terasa spesial bagi kami
sekeluarga, sebab aku memang lahir persis pada malam tanggal 30 September 2002,
jadi aku akan sembari merayakan ulang tahun yang ke 11 ! asyik !.
Ah, tapi semua
bayangan gembira itu sekarang pudar, sejak kami mulai latihan upacara tadi, aku
cuma menunduk-nunduk seperti ayam pengecut yang bengong, sampai berkali-kali
ditegur karena tidak mengikuti arahan Kak Nur, pelatih pramuka sekolah kami.
***
“Eh, kamu
tanggal 1 besok ulang tahun kan Tian ? ” Tanya Feri sehabis kami bermain.
“Iya sih, aku
kan lahir 30 September, emang kenapa Fer ?” sautku santai.
“Itu berarti
kamu anak PKI ! hahaha…” pekik Feri mencibir.
“Enggak ! aku
bukan anak PKI kok, aku percaya Allah ! Sumpah!” balasku kesal.
“Tapi buktinya
kamu lahir waktu PKI ngebantai jenderal-jenderal pahlawan, itu artinya kamu
lahir sebagai anak PKI Tian, udah akuin aja..” tambah si Aan memojokkanku.
“Enggak ! bukan
! aku percaya Allah ! aku gak punya silet !” bantahku makin marah pada mereka.
“Huuu…. Tian
anak PKI, Tian anak PKI, huuuu….” Sorak beberapa teman lainnya.
Tega sekali
mereka tuduh aku anak PKI, aku makin kesal, mataku panas dan mulai berair,
mukaku jadi merah padam. Ingin rasanya aku pukul wajah Feri yang pertama memulai,
tapi aku gak mau dimarahin Papa lagi karena berantem di sekolah.
“Huuu….. Tian
anak PKI… masa anak PKI jadi petugas upacara.. PKI kan pengkhianat Pancasila !”
cibir si Geri yang ikut-ikutan.
Mukaku makin
panas dan memerah, aku menunduk, tanganku mengepal geram, mataku makin berair
rasanya. Mereka mulai mendorong-dorong tubuhku, aku berusaha bertahan sambil
terus mengepal geram tapi menunduk.
“Udah Tian, kamu
minta ganti sama yang lain aja, bilang ke Bu Guru, ini kan upacara kesaktian
Pancasila, kamu gak pantes tau.” Aan kembali menimpali.
Aku sudah tidak
tahan, aku lari menerobos kepungan teman-teman mainku sendiri. Aku lari ke
toilet sekolah dan mengunci diri di dalamnya. Mataku rupanya mulai melelehkan
air mata, dadaku jadi makin tersengal, aku menangis sesenggukan di dalam
toilet, sendirian.
***
Kulepas sepatu
dan menaruhnya di rak depan rumah, mama sedang menjemur baju di samping, aku malu
dan langsung masuk ke belakang melepas baju seragam yang sudah basah dengan
keringat, air mata, dan sedikit lelehan ingus karena nangis sesenggukkan di
sekolah tadi. Capek sekali rasanya hari ini, dasar apes.
Biarlah, aku
sudah lemas dan kecapekan memikirkan ejekan mereka semua. Aku pilih rebahkan
tubuh sampai tertidur pulas di ambal ruang TV.
***
“Nia, main
sepedah yuk..” seruku.
“Kita balapan ke
taman, tapi abang gak boleh ninggalin ya” jawabnya.
“Yadeh, yuk
buruan..” ajakku.
Sore begini
memang seru dipakai main ke taman komplek perumahan kami, ada lapangan
basketnya, dan banyak pilihan alat bermain, di sana juga ramai orang.
“Baaang.. jangan
cepet-cepet dong !” seru si Nia kecil terengah-engah.
“Makanya roda
kecil sepeda kamu dilepas aja biar bisa ngebut..” jawabku memelankan laju
sepeda.
“Gak mau, Nia
takut jatoh..” jawabnya polos.
***
Di taman memang
sudah ramai, ada ibu-ibu yang nyuapin anak-anak balitanya, ada teman-teman
tetanggaku juga, kami mau main bola deh.
“Mamaaa…. Nia
sama abang main disini ya..” Nia meneriaki mama yang berjalan lewat taman
sambil membawa belanjaan.
“Iya, jangan
nakal ya, inget sebelum maghrib udah di rumah..” jawab Mama.
“Belanja apa
mama tian ?” sapa Ibu-Ibu tetangga yang sedang di taman.
“Ini Bu, beli
bahan bumbu, buat bikin nasi tumpeng kuning besok, si Tian ulang tahun.” Jawab
Mama.
Aku langsung
berlari menghampirinya, “Waahh.. jadi buat tumpeng ya Ma ? ayam bakakaknya juga
nggak ?” seruku senang sekali.
“Rahasia dong..”
jawab Mama usil.
“Oh Tian mau
ulang tahun ya, yang ke berapa sekarang ?” Tanya salah satu Ibu tetangga.
“Sebelas tahun
Bu, persis 30 September besok..” jawabku.
“Lha itu kan
hari bersejarah, pembantaian PKI, hihii..” saut Ibu tetangga yang lain.
“Kenapa Bu ?”
Tanya mama heran.
“Itu lho, si
Tian ulang tahunnya bareng sama hari G 30 S/ PKI.. hihihi..” jawab ibu itu
disambut tawa kecil ibu-ibu lainnya.
“Ah kan gak ada
hubungannya Bu, ya sudah saya pamit dulu, permisi.” sanggah Mama agak kesal.
Jangankan Mama,
aku lebih kesal lagi karena gak cuma teman-teman sekolah yang mengejek, tapi
Ibu-Ibu tetangga pun sudah ikut-ikutan.
***
Malamnya, aku
makin terusik dengan semua omongan orang hari ini, aku hampiri Papa yang sedang
nonton televisi.
“Papa, kenapa
aku lahir tanggal 30 September sih ? aku malu Pa.” ucapku.
“Lho ? kenapa
Tian ? kan memang itu tanggal lahir kamu.” Jawabnya.
“Aku malu Pa,
aku gak mau lahir di tanggal itu, aku mau ganti aja Pa.” tambahku.
“Gak bisa Tian,
mana ada hari lahir diganti-ganti, coba emangnya malu kenapa ?” Tanya Papa.
“Semua orang
benci sama tanggal itu Pa, mereka juga jadi benci sama aku, aku malu Pa.”
jawabku.
“Kok bisa ?”
Tanya Papa heran.
“Semuanya bilang
kalo tanggal lahirku itu harinya PKI, yang jahat, yang ngebunuh
jenderal-jenderal pahlawan negara Pa, aku dibilang anak PKI karena lahir di
tanggal itu, aku juga diejekin karena jadi petugas upacara yang bawa naskah
Pancasila besok lusa. Apa bener aku ini anak PKI ya Pa?” ucapku agak tersengal.
“Lho ! nggak
gitu Tian.. kamu anak Papa dengan Mama, mereka salah, mereka yang dosa buat
fitnah, kamu harus cuekin. Gak ada yang salah sama tanggal lahir kamu, 30
September itu hari yang bagus, Papa masih ingat tangis kamu waktu lahir dulu.
Papa kasih kamu nama Akhirul Septian yang artinya penghujung bulan September,
kamu itu berkah buat keluarga kita Tian, kamu harus ikut bersyukur, jangan
dengerin omongan mereka lagi ya, siapa sih yang bilang begitu ?” ucap Papa
sambil mengusap kepalaku.
“Teman-teman di
sekolah Pa, tadi Ibu-Ibu di taman juga pada ngetawain, aku malu Pa, aku mau
ganti aja lahir tanggal 17 Agustus biar semua orang ikut ngerayain, juga ikut
seneng ke akunya Pa.” pintaku lagi.
“Nggak bisa
Tian.. kamu harusnya bangga sama tanggal lahir kamu, itu hari bersejarah lho,
mereka yang ngetawain dan ngejek kamu justru karena iri, tanggal lahir mereka
cuma hari biasa, gak istimewa kayak kamu.” Jawab Papa.
“Tapi mereka
semua ngejek aku terus Pa, aku malu, aku gak berani jadi petugas upacara besok,
memangnya PKI itu apa sih Pa ? kenapa semua orang jadi ngejek dan benci sama
aku karena lahir di tanggal peringatan PKI.” Tanyaku lagi.
“Kamu harus
percaya diri Tian, kamu buktiin ke semua orang, kamu itu hebat, kamu bangga
sama diri kamu yang besok ulang tahun sambil jadi petugas upacara. Papa percaya
kamu bisa kok. Ah PKI itu ceritanya panjang, nanti kalo udah besar Tian pasti
bisa lebih ngerti, tapi setau Papa itu Partai Komunis Indonesia, katanya mereka
dianggap benci sama agama, sama Tuhan kita, karenanya dilarang ada sama
pemerintah.” Jawab Papa.
“Tapi aku takut
Pa, nanti mereka ejek aku anak PKI terus.” Keluhku.
“Kamu anak Papa
dengan Mama, kamu Tian yang berani, dan bangga dengan hari lahirmu yang
bersejarah, kamu juga pasti bakal buat kita semua bangga Tian, Papa yakin.”
Ucap papa sambil menggenggam kedua pundakku.
Tuhan, nanti
kalau sudah besar aku mau tahu lebih banyak soal PKI, soal sejarah bangsa
sendiri, kenapa sampai semua orang harus merasa sibuk membencinya berlebihan,
sampai tega ikut juga membenciku cuma
lantaran lahir tanggal 30 September.
_***_
__________
Yogyakarta, 12
September 2014.
*) Bergiat di LMND Wilayah Lampung, mahasiswa
sosiologi FISIP Unila.
Catatan :
Dipersembahkan
untuk memperingati hari tragedy berdarah yang telah menodai amanat Pancasila,
yang mempunyai semangat keadilan sosial sebagai dasar negara oleh rezim
otoritarian Orde Baru/Soeharto, yang sukses menjerumuskan bangsa ini ke dalam
cengkram penghisapan imperialisme-neoliberal sebagai wujud penjajahan gaya
baru, dan telah mengukuhkan kapitalisme sebagai sistem hidup tunggal yang penuh
relasi penindasan namun harus diamini.
Terinspirasi
oleh surat berjudul “Kalau Aku Bisa Memilih” dari Ahmad Akhirul Septian
Tridaya, siswa kelas II SDI Nurul Hasanah Tangerang dalam rubrik kiriman anak di media cetak harian
KOMPAS, tanggal 30 September 2010 lalu.
Berikut isi suratnya ;
Kalau
Aku Bisa Memilih
Aku lahir
tanggal 30 September, maka Papa memberiku nama Akhirul Septian, artinya akhir
bulan September.
Tetapi, belum
lama ini aku mendengar ibu-ibu menertawaiku, katanya 30 September itu hari
lahirnya PKI. Kata Papa, PKI itu Partai Komunis Indonesia, orang-orang komunis
itu orang yang tidak percaya adanya Tuhan, maka PKI tidak boleh ada.
Kalau sebelum
lahir aku boleh memilih tanggal, pasti aku memilih 17 Agustus atau 1 Januari.
Pasti aku diperingati banyak orang setiap ulang tahun.
Terbit di Portal KoranOpini.com dan BerdikariOnline.com.
http://koranopini.com/berita-2/news/cerpen/item/2433-papa-aku-anak-pki
http://www.berdikarionline.com/suluh/20141012/papa-aku-anak-pki.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar