BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pekerja migran merupakan sebutan bagi
masyarakat yang bekerja di luar negara asalnya. Negara yang masuk dalam
kategori dunia ketiga seperti Indonesia, memang belum memiliki kemampuan yang
cukup kuat untuk memberikan jaminan kehidupan yang layak dengan menyediakan
lapangan pekerjaan yang mencukupi. Biasanya kita memberi sebutan Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) atau untuk yang lebih spesifik Tenaga Kerja Wanita (TKW) karena
memang lapangan kerja bagi kaum perempuan lebih besar peluangnya untuk direkrut
di sektor informal khususnya pekerja rumah tangga. Keberadaan mereka sering
menjadi bahan pemberitaan media massa terkait perlakuan buruk yang mereka
terima di luar negeri. Meski tidak semua buruh migran mengalami hal yang sama,
namun tidak dipungkiri, sebagian besar masih berada dalam situasi rentan karena
rendahnya perlindungan dan jaminan keamanan di negeri tujuan.
Saat ini ada lebih dari empat
setengah juta warga Indonesia mengadu nasib sebagai tenaga kerja di luar negeri
dalam berbagai sektor formal maupun informal di negara-negara Asia, Australia,
Amerika, dan Eropa. Setiap tahun ada sekitar 600-700 ribu tenaga kerja asli Indonesia
diberangkatkan ke luar negeri baik lewat jalur resmi mau pun ilegal. Jumlah buruh migran
terbesar terpusat di sektor-sektor berpenghasilan rendah dengan regulasi yang
sangat buruk seperti pekerjaan rumah tangga, pertanian, dan konstruksi di
Malaysia, Arab Saudi, dan Kuwait.
Dari sekitar 4,5 juta TKI di luar
negeri itu, jumlah yang terbesar adalah kaum perempuan, sekitar 70% bekerja di
sektor domestik (PRT) dan manufaktur. Sedangkan sekitar 30% lainnya adalah kaum
laki-laki yang bekerja sebagai buruh perkebunan, konstruksi, transportasi, dan
jasa. Jumlah pekerja migran yang berangkat melalui jalur tidak resmi
(ilegal) diperkirakan melampaui jumlah pekerja migran yang melalui jalur resmi.
Setiap tahunnya juga diperkirakan jumlah TKI di luar negeri terus bertambah
seiring dengan "situasi sulit" yang kian melanda warga masyarakat
miskin di dalam negeri.
Kian bertambahnya arus migrasi TKI ke
luar negeri ini makin memperberat persoalan. Ini karena para TKI umumnya tidak
memiliki keahlian bahasa dan kedewasaan diri. Mereka dalam kondisi finansial
yang minim, tanpa pengetahuan hukum dan perundang-undangan terkait dengan
posisinya. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terlibat pemalsuan identitas
dokumen perjalanan dan sebagainya. Fenomena TKI ini menjadi tambah rumit
dan ironis karena banyaknya kasus penganiayaan yang terjadi pada diri
mereka.
Kendati pekerja migran
Indonesia merupakan penyumbang kedua terbesar terhadap pendapatan devisa
Indonesia, yakni mencapai 2,4 miliar US dolar per tahunnya, banyak di antara
"pahlawan devisa" ini yang mengalami eksploitasi dan penganiayaan di
sepanjang proses migrasi, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kerumitan
persoalan TKI dimulai dari tahap awalnya, yaitu pada saat rekrutmen tenaga
kerja migran dilakukan, hingga tahap akhir, sekembali mereka dari tempat kerja
di luar negeri. Persoalan
mendasar yang dihadapi para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dan Tenaga Kerja
Wanita (TKW) kita yang paling menonjol dan perlu diperhatikan adalah menyangkut
peran mereka dalam kehidupan keluarganya. Diantaranya yaitu kehidupan pasangan
dan anak-anaknya (bagi yang sudah berkeluarga) tidak terurus dan kurang perhatian. Perceraian
juga sering menjadi ancaman yang sangat serius meskipun itu bukanlah dampak
mutlak dari profesi buruh migran tersebut.
Keruwetan persoalan
pekerja migrant ini memang selalu bermula dari persoalan lingkaran setan
kemiskinan (vicious circle of abject poverty) yang dialami keluarga TKI
kita, yang umumnya telah turun-temurun berada dalam kondisi miskin. Rangkaian
persoalan kemiskinan ini semestinya dapat diputus, sehingga generasi baru yang
terberdayakan akan tampil dan merangkai sejarah peradaban baru yang lebih
sejahtera dan bermartabat bagi keluarganya.
Tanpa bermaksud menyederhanakan
persoalan yang rumit ini, Pemerintah Indonesia semestinya dapat mengalokasikan
sebuah kawasan (daerah) yang potensial ekonomis atau memiliki sumber daya alam yang
kaya sebagai tempat pengembangan potensi ekonomi dan kapasitas dari mereka yang
semula berprofesi sebagai tenaga kerja migran Indonesia. Pengembangan kawasan
tersebut harus mengandung berbagai program pemberdayaan yang produktif dan
memiliki nilai jual produk yang tinggi, dalam sebuah skema pemberdayaan
komunitas yang komprehensif terpadu.
Model pengembangan kawasan yang mengandung pendekatan pembangunan
berkelanjutan (sustainable
development) tersebut
diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan anak-anak bangsa ini. Tidak
sepatutnya mereka terus-menerus mengais rezeki di negara lain sebagai pembantu
rumah tangga hanya untuk sekadar mempertahankan hidup dan harkat mereka sebagai
manusia Indonesia yang mulia. Karena itu, Pemerintah Indonesia harus
mengupayakan terbentuknya lahan kehidupan bagi mereka
B. Contoh Kasus
Dari sekitar 4,5 juta tenaga
migran Indonesia yang ada di luar negeri, terdapat sekitar 138.000 TKI legal
asal Indonesia yang terlibat dalam berbagai kasus. Diperkirakan, di Malaysia
terdapat sekitar 2 juta TKI, yang 1,2 juta di antaranya legal dan 800 ribu TKI
lainnya ilegal dalam rentang waktu tahun 2007-2008. Memang, permasalahan TKI di
Malaysia ibarat fenomena gunung es yang menimbulkan persoalan besar dan rumit
bagi kedua negara. Dalam waktu satu tahun, KBRI Kuala Lumpur harus menampung
sekitar 1.000 kasus TKI yang lari dari majikan dan sekitar 600 kasus kematian
TKI di Malaysia. Itu belum termasuk data di keempat Konsulat Jenderal RI di
Penang, Johor Bahru, Kota Kinabalu, dan Kuching yang juga menerima kasus-kasus
yang sama terkait permasalahan TKI.
Pada tahun 2007 saja terdapat
71 orang (35%) mendapat vonis mati dari pengadilan di Malaysia atas beragam
tuduhan kasus. Jumlah ini merupakan kasus terbesar pada masa tahun tersebut
dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi pada tenaga kerja migran Indonesia
di negara lain. Vonis mati yang menimpa TKI pada 2007 mencapai 206 orang.
Dari jumlah tersebut, yang menimpa kaum perempuan mencapai 114 kasus (55%).
Contoh kasus penganiayaan TKI di Malaysia misalkan yang dialami oleh Siti Hajar
yang dianiaya oleh majikannya pada 2009. TKI Muntik Hani juga disiksa
majikannya hingga tewas. Namun, kasus penganiayaan TKI paling heboh menimpa
diri TKW Nirmala Bonat asal NTT yang disiksa oleh majikannya pada awal Januari
2004.
Di Timur Tengah tidak sedikit
tenaga kerja migran asal Indonesia dianggap seperti budak atau diperlakukan
sebagai budak. Sebagian masyarakat Timur Tengah secara populer mengenali
Indonesia sebagai "negeri pembantu". Bahkan dii negeri Singapura yang
kecil malah pernah diberitakan ada majikan yang melecehkan kemanusiaan TKI
dengan memaksa TKI itu memakan kotoran binatang piaraan tertentu.
Kasus
terbaru yang menarik dari pekerja migran Indonesia adalah kepulangan TKI asal
Sragen Jawa Tengah, Erwiana Sulistyaningsih (23) dalam kondisi tubuh penuh luka
siksaan setelah kurang lebih delapan bulan dianiaya majikannya di Hongkong.
Padahal sebelumnya, Hongkong dipandang sebagai negara sasaran penerima jasa TKI
yang paling aman dan stabil. Bahkan sudah sangat dikenal bahwa negara ini
memberlakukan sistem kerja manusiawi dengan memberi hari libur, kebebasan
membangun serikat, kebebasan beraktifitas, termasuk melakukan demonstrasi.
Upaya Pemerintah Indonesia
untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada para tenaga kerja migran
Indonesia di luar negeri, di antaranya lewat pengesahan UU No 39 Tahun 2004
tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Namun, itu belum memadai. Bahkan belum genap usia 100 hari kinerja Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pada awal tahun 2010 lalu, dilaporkan tujuh
buruh migran asal Indonesia mengalami kematian dalam waktu satu hari di
berbagai negara. Gambaran ini menyiratkan betapa rumit dan pedihnya
persoalan tenaga kerja migran Indonesia, yang sejauh ini belum banyak mendapat
perhatian serius dari pemerintah. Ditambah lagi, adanya oknum yang merusak
idealisme yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan
tenaga kerja migran asal Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peran Pemerintah
Pemerintah
Indonesia selama ini memang kerap dituding tidak terlalu serius memperdulikan
nasib warganya yang menjadi pekerja migrant di luar negeri. Namun, bukan
berarti pemerintah tidak melakukan tindakan apa pun apalagi tidak mengeluarkan
kebijakan sebagai upaya resminya. Ratifikasi Konvensi Buruh Migran oleh
Pemerintah RI dan DPR pada 12 April 2012 memberi secercah harapan bagi
perbaikan hidup para buruh migran Indonesia di luar negeri. Meskipun demikian,
masih tingginya angka pengangguran di dalam negeri dan krisis ekonomi dunia tetap
menjadi faktor tingginya angka buruh migran Indonesia di luar negeri. Sudah ada
pula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri menjadi patokan hukum bagi
penyelenggaraan hubungan kerja lintas negara.
Sayangnya
atas dasar hukum ini pemerintah seringkali menjadikan pengiriman TKI ke luar
negeri menjadi lahan eksploitatif. Pemerintah seolah-olah telah melakukan hal
yang benar dengan melakukan pengiriman rutin TKI yang setiap tahunnya terus
bertambah. Sayangnya pula pemerintah tidak melengkapinya dengan jaminan
perlindungan selama bekerja, serta tidak mau menyadari apakah warganya itu
dengan sukarela menjadi TKI. Pasalnya menjadi TKI lebih banyak dilatari oleh
tuntutan keadaan, semisal belenggu kemiskinan, lemahnya kualitas sumber daya
manusia, hingga minimnya lapangan pekerjaan yang tersedia di dalam negeri,
pertumbuhan penduduk yang tinggi, beralihnya lahan-lahan pertanian menjadi
bangunan tinggal maupun usaha, dan seterusnya. Semua kondisi buruk ini secara
simultan telah memaksa warga Indonesia untuk berlomba-lomba mencari peruntungan
demi peningkatan mobilitas hidupnya ke luar negeri sekali pun hanya menjadi
pekerja rumah tangga dan pekerja kasar, bahkan banyak yang nekat dengan status
imigran gelap tanpa izin.
Organisasi
PBB, International Labour
Organization (ILO) pernah
memberikan rekomendasi untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia.
Laporan tersebut terkait dengan program Poverty Reduction Strategy
Paper (PRSP) untuk Indonesia. Laporan tersebut merupakan bentuk
kepedulian ILO untuk menanggulangi kemiskinan diIndonesia. Sehubungan dengan
laporan itu, ILO membuat 12 paparan teknis singkat, salah satu paparannya
menyoroti masalah buruh migran. Menurut laporan ILO atas PRSP Indonesia, ILO
membahas masalah buruh migran dalam sub migrasi sebagai peluang dan tantangan
bagi pengentasan kemiskinan.
Direktur
ILO untuk Indonesia, Alan Boulton pernah mengatakan masalah buruh migran
menjadi hal yang sangat berpengaruh bagi kondisi ekonomi di Indonesia.
Keadaan di Indonesia membuat banyak orang memutuskan untuk memilih bekerja di
luar negeri. Dengan adanya proses migrasi tenaga kerja, maka dengan sendirinya
masalah pengangguran akan berkurang. Pendapatan yang masuk bagi buruh akan
mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia. Namun, dengan banyaknya kasus-kasus
yang melibatkan buruh migran, ILO merasa perlunya diberikan perlindungan yang
lebih serius dan konkret terhadap buruh migran tersebut.
Pemerintah Indonesia pernah kalang-kabut menyikapi tuntutan
keluarga tiga buruh migran asal Nusa Tenggara Barat yang jadi korban penembakan
polisi Malaysia tahun 2012 lalu. Upaya Kementerian Luar Negeri mengirim tim ke
Malaysia untuk mengumpulkan informasi, padahal Kedubes RI di Kuala Lumpur sejak
3 April sudah menerima informasi kematian tiga buruh migran tersebut, ditambah
proses otopsi yang lambat, kian menunjukkan sikap pemerintah yang reaktif,
sporadis, dan selalu tak tuntas dalam menghadapi persoalan buruh migran.
Kalau tidak ada tuntutan keluarga, mungkin saja Pemerintah
Indonesia tidak mengupayakan protes kepada Malaysia, apalagi mengusut
penembakan tiga warga negaranya. Sungguh ini sebuah kelalaian fatal yang tidak
hanya berdampak pada hilangnya penghormatan negara lain terhadap buruh migran
Indonesia, tetapi juga melecehkan martabat dan kedaulatan bangsa. Ironis
memang, kematian buruh migran selalu saja dilihat sebagai musibah semata.
Padahal, dalam ketentuan UU No 39/2004 Pasal 73 Ayat (2) tentang penempatan dan
perlindungan TKI, aturan tentang prosedur tetap penanganan buruh migran yang
meninggal di luar negeri sangat jelas.
Pertama, kewajiban untuk memberitahukan kematian TKI kepada
keluarganya paling lambat 3 x 24 jam sejak kematiannya diketahui. Kedua,
mencari informasi tentang sebab-sebab kematian. Ketiga, memulangkan jenazah TKI
ke tempat asal secara layak serta menanggung semua biaya, termasuk biaya
penguburan. Keempat, memberikan perlindungan terhadap seluruh harta TKI untuk
kepentingan anggota keluarga. Kelima, mengurus pemenuhan hak-hak TKI yang
seharusnya diterima.
Untuk kasus Malaysia, Kepolisian Diraja Malaysia telah
berulang kali bertindak represif terhadap buruh migran Indonesia. Tindakan
tersebut adalah kelanjutan dari stigmatisasi Malaysia terhadap buruh migran
Indonesia sebagai kriminal dan terus-menerus menyebut buruh migran Indonesia
dengan sebutan ”indon”. Sikap Pemerintah Indonesia yang terlalu lembek dan
toleran sesungguhnya menjadi akar dari terus berulangnya kejadian yang sama.
Penanganan persoalan buruh migran yang masih berlangsung
seperti sekarang akan kontraproduktif terhadap komitmen Pemerintah Indonesia
yang baru saja meratifikasi International
Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and
Members of Their Families pada
Sidang Paripurna DPR, 12 April 2012. Konvensi tersebut sangat menjunjung tinggi
prinsip-prinsip dasar penegakan HAM buruh migran, yakni tanggung jawab negara,
nondiskriminasi, kesamaan di hadapan hukum, dan kesetaraan dalam penerimaan
hak. Dengan demikian, tidak relevan mempersoalkan status keimigrasian ketiga
buruh migran yang tidak berdokumen.
Komitmen ratifikasi harus segera ditindaklanjuti dengan
implementasi konkret untuk perlindungan hak-hak buruh migran. Setidaknya ada
tiga langkah penting yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, mengkaji ulang
dan mengevaluasi seluruh kebijakan yang ada di Indonesia terkait perlindungan
buruh migran. Kebijakan yang tidak selaras harus diganti kebijakan baru,
termasuk UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. UU adalah
regulasi paling utama yang isinya harus disesuaikan dengan konvensi karena UU
ini merupakan payung hukum dalam penempatan dan perlindungan buruh migran.
Kedua, meninjau ulang semua kelembagaan yang relevan dengan
tugas pokok dan fungsi perlindungan buruh migran, terutama Badan Nasional
Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI). Salah satu ketentuan dalam konvensi:
negara pihak harus membentuk badan-badan yang layak untuk memastikan
implementasi konvensi. Ketiga, membangun mekanisme perlindungan bagi buruh
migran pada keseluruhan tahapan migrasi dari pra-, selama bekerja, hingga
purnamigrasi.
Pemerintah juga harus memperbaiki sumber daya manusia. Sebaik
apa pun aturan dan sistemnya, tanpa sumber daya manusia yang jujur dan
berdedikasi, nasib buruh migran tidak akan pernah menjadi lebih baik. Presiden
perlu berani mengevaluasi kinerja birokrasi secara fundamental. Hal ini penting
untuk mengurangi beban dan derita masyarakat karena birokrasi yang tidak
mendukung. Mengutamakan pembenahan kehidupan rakyat di dalam negeri adalah
solusi mendasar yang akan memutus rantai masalah buruh migrant Indonesia.
B. Peran Organisasi Sosial
Berdasarkan
kenyataan bahwa Pemerintah Indonesia masih belum berhasil melakukan kerja-kerja
serius dan konkret untuk mengatasi berbagai persoalan dan melindungi nasib
pekerja migrannya di luar negeri yang berjumlah jutaan jiwa, maka partisipasi
aktif dari masyarakat sangatlah diperlukan untuk memperhatikan dan turut
memperjuangkan hal ini. di situlah organisasi sosial, khususnya yang fokus di
bidang pekerja migrant sangat dibutuhkan pernanannya. Ada banyak sekali fungsi
organisasi sosial dalam membantu melindungi kaum buruh migran ini, semisal saja
mereka bisa melakukan pencatatan, pengumpulan data kasus sebagai bahan kajian
dan pertimbangan bagi pembuat kebijakan.
Dalam
banyak kasus, organisasi sosial malah tampak lebih pro aktif dalam memantau
perkembangan buruh migrant Indonesia, mulai dari fluktuasi jumlah
pemberangkatan per tahun, jalur-jalur pemberangkatan, sektor pekerjaan yang
menyerapnya, keterampilan dasar yang mereka miliki, kesepakatan kerja dan upah
yang diterima, jaminan keselamatan kerja, pendampingan masalah, hingga proses
pemulangan ke tanah air. Apalagi jika ada kasus kekerasan, tuntutan hukum, atau
bahkan kematian yang menimpa TKI kita, organisasi sosial lah yang paling sering
muncul melalui berbagai cara, terutama media massa guna menekan pemerintah agar
memperhatikan dan bertindak, serta menggalang solidaritas dari kalangan luas
baik masyarakat Indonesia mau pun internasional.
Semisal
apa yang telah dilakukan oleh organisasi Migrant Care, yang mencatat bahwa
selama pemerintahan SBY terjadi tiga peristiwa penembakan terhadap buruh migran
yang proses penegakan hukumnya tidak tuntas.Pada 9 Maret 2005, polisi Diraja
Malaysia menembak empat buruh migran, yakni Gaspar, Dedi, Markus, dan Reni di
Sungai Buloh, Selangor, atas dugaan kriminalitas. Lima tahun berikutnya, 16
Maret 2010, tiga buruh migran asal Sampang, yakni Musdi, Abdul Sanu, dan
Muklis, ditembak polisi Malaysia di Danau Putri dengan dugaan serupa. Lalu,
pada 24 Maret 2012, tiga buruh migran asal NTB, yakni Herman, Abdul Kadir
Jaelani, dan Mad Noor juga ditembak.
Selain itu, organisasi sosial
juga kerap melakukan layanan-layanan khusus bagi buruh migrant, seperti;
Pengaduan dan Pendampingan Kasus, Pendidikan Kritis, dan Pemberdayaan Ekonomi. Mereka menerima pengaduan dan
pendampingan kepada buruh migran dan atau keluarganya yang mengalami
permasalahan, baik pada pra penempatan, masa penempatan maupun purna
penempatan. Pengaduan yang masuk juga disampaikan kepada pihak yang
bertanggungjawab dalam hal perlindungan buruh migran, baik pemerintah ataupun
swasta. Dalam melakukan kerja-kerja organisasi, mereka
melakukan kaderisasi berupa pelatihan-pelatihan yang membangun kesadaran buruh
migran untuk mendapatkan segala hak-haknya, seperti training paralegal tentang advokasi dan hukum, comunity organizer tentang organisasi dan kepemimpinan,
serta membuat panduan praktis yang mudah diaplikasikan oleh buruh migran dan
keluarganya. Sementara dalam hal pemberdayaan ekonomi biasanya membangun
koperasi, pengembangan kelompok ternak untuk mantan buruh migran, usaha kecil
dan menengah.
BAB III
PENUTUP
Mendiskusikan persoalan buruh migran
di luar negeri saja tidak cukup, mesti juga melihat permasalahan sejak
pemberangkatan dari Indonesia, atau hanya dari satu aspeknya saja, tapi harus
melihatnya secara utuh. Setidaknya bisa disimpulkan ada empat persoalan utama
yang selalu dihadapi buruh migran Indonesia di luar negeri, diantaranya :
1. Pola hubungan kerja (buruh-majikan).
Pola kerja antara buruh migran dan majikannya masih dibangun secara sepihak
oleh majikan tanpa memperhatikan hak dan suara buruh. Diperlukan upaya untuk
memperkuat posisi buruh sehingga memiliki kekuatan yang sama dalam
kontrak/kesepakatan kerja.
2. Hak berserikat. Para buruh migran
tidak menggunakan haknya untuk ikut dalam perserikatan buruh di negeri
setempat, sehingga bila sewaktu-waktu ada masalah tidak ada dukungan dari yang
lain.
3. Standar minimal upah. Buruh migran
rata-rata belum mengikuti standar upah negara setempat dan belum mendapatkan
hak-hak yang sama dengan buruh/pekerja di negara tersebut.
4. Konflik. Ketika terjadi konflik dengan
majikan, rata-rata buruh migran belum memiliki kekuatan untuk menyelesaikannya
secara hukum melalui pengadilan atau mediasi pihak ketiga.
Keempatnya
ini harus menjadi perhatian utama bagi pemerintah dalam rangka mengatasi
persoalan, tapi jika ingin lebih serius lagi, semestinya fokus pada peningkatan
kemakmuran rakyat di dalam negeri sebagai solusi yang lebih mengakar.
DAFTAR PUSTAKA
· Nasution, M. Arief. 2001. Orang Indonesia di Malaysia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar