Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 29 Oktober 2014

Karya Kawan : Perempuan dalam Bingkai Kaca


Penulis : Rismayanti Borthon 
(Mahasiswa Agroteknologi, Fakultas Pertanian Univ. Lampung dan Ketua Ekskot LMND Bandar Lampung)

Menjadi perempuan adalah sebuah takdir gender yang maha kuasa dan ditetapkan melalui jenis kelamin yang diberikan pada masing-masing manusia. Dalam teori penciptaan manusia yang dijelaskan oleh islam, disebutkan jika manusia pertama yang diciptakan adalah laki-laki yakni Adam, kemudian untuk membangun klan manusia diciptakanlah Hawa yang berjenis kelamin perempuan yang tercipta dari tulang rusuk Adam.
Dalam kisah ini, kita meyakini jika proses terbentuknya perempuan adalah berasal dari bagian kecil tubuh laki-laki yakni tulang rusuk. Kemudian, cerita ini mengalur indah dalam benak-benak manusia secara turun temurun. Tetapi, bagi saya jika betul adanya tentang kisah penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki maka saya yakin itu hanya terjadi dalam kisah Adam dan Hawa. Selebihnya, perempuan-perempuan lain yang terlahir setelahnya bukanlah berasal dari tulang rusuk pasangannya melainkan berasal dari interaksi biologis orang tua mereka.
Ini adalah deskripsi lebih rasionalis ketimbang meperdebatkan perihal tulang rusuk. Perempuan sangat perlu untuk keluar dari berbagai definisi sempit tentang siapa diri mereka dan tentang keharusan dan kewajiban apa yang menjadi haknya. perempuan juga harus menjadi sejajar dalam hal pemikiran dan tindakan dengan kaum laki-laki. Tetapi, saat ini ada beberapa fakta tentang perempuan yang mendistorsi peran serta sosok perempuan dalam masyarakat, diantaranya:
Perempuan dan Pornografi
Dalam wikipedia Pornografi diartikan dari bahasa yunani yakni porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan), yang secara harfiah berarti tulisan atau gambar tentang pelacur. Tetapi, yang kemudian muncul menjadi definisi turunan adalah pornografi selalu diidentikan sebagai perempuan atau pornografi=perempuan.
Rasionalisasi miris ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisi psikis kaum perempuan yang tentu tidak menghendaki judge masyarakat terhadap diri mereka. Bahkan UU pornografi yang disahkan pada 30 Oktober 2008 nyatanya hanya semakin menyudutkan kaum perempuan pada sisi yang semakin sulit, dimana perempuan kemudian justru dianggap sebagai biang kerok terjadinya pornografi maupun pornoaksi. Sebagian besar Ormas perempuan bahkan menilai jika isi UU ini hanyalah klise tentang kebencian terhadap kaum perempuan. Karena definsi pornografi sendiri cenderung meruncing pada sisi perempuan yang kemudian menimbulkan aturan-aturan baru tidak formal tentang keharusan-keharusan bagi si perempuan yang sebetulnya tidak perlu. Diantaranya tentang keharusan perempuan dalam berpakaian,bertindak, berbicara dll.
Di Indonesia, walaupun emansipasi perempuan dan kesetaraan hak diakui, tetapi keberadaan perempuan di ruang dan waktu tertentu masih dianggap mengganggu moralitas masyarakat, termasuk oleh kaum perempuan itu sendiri. Dengan begitu dianggap juga sebagai ancaman bagi tegaknya bangunan Negara. Karenanya Pemerintah pun perlu dibebani tugas mengatur tubuh perempuan dalam ruang dan waktu tertentu dan menjaminnya agar tak menghancurkan bangunan Negara. Inilah kegelisahan dari sebagian masyarakat atas merebaknya pornografi dan pornoaksi.  Bagaimana tidak disebut tertindas, jika hari ini tubuh perempuan masih menjadi wilayah politik yang diperdebatkan.
Oleh karena itu, perjuangan penting bagi kaum perempuan adalah mempertegas kembali definisi positif tentang perempuan oleh perempuan itu sendiri, dengan adanya stereotype atas perempuan yang dibangun oleh media massa dan iklan melalui dampak negatifnya terhadap kesehatan perempuan, yang menyentuh kehidupan pribadi mereka. Selain perjuangan untuk melawan sensorship sehingga kaum perempuan dapat menguasai tubuh mereka sendiri, juga kesehatan, kesuburan dan seksualitas mereka tanpa mengalami tuduhan berbuat cabul dan berbagai tindakan menindas lainnya.
Perempuan Sebagai Komoditi
Tidak perlu diragukan lagi, jika kapitalist hari ini menjadi simbol perbudakan era baru yang menimbulkan dampak ‘kenyamanan dalam ketertindasan’. Tak terkecuali bagi perempuan. Hari ini perempuan menjadi objek terbesar bagi kapitalist, baik sebagai objek pasar maupun sebagai objek marketting.
Perempuan sebagai objek pasar telah sukses menghantarkan perempuan sebagai kaum konsumtif massif. Hari ini hampir semua produk yang beredar dipasaran sebagian besarnya adalah produk yang saat ini menjadi koleksi kaum perempuan. Baik kosmetik, busana, perhiasan, obat pelangsing, alat dapur, makanan, alat transportasi dan masih banyak lagi. Semua itu sukses menjadi produk koleksi hampir semua perempuan di dunia.
Kemudian, perempuan sebagai objek marketting juga tak kalah sukses menghantar jutaan perempuan-perempuan cantik yang tubuhnya dimanfaatkan untuk memasarkan produk-produk mereka sehingga laku keras dipasaran, Mulai dari bintang iklan hinggaSales promotion Girl (SPG). Kondisi ini kemudian menjadi semakin dilematis terhadap definisi perempuan yang disiratkan dalam berbagai iklan produk yang dipasarkan, karena teknik marketting tersebut sukses membangun mainset jika perempuan haruslah seperti beberapa bintang iklan yang notabene cantik, putih, tinggi dan langsing.
Hal tersebut kemudian semakin mengikis rasa percaya diri perempuan terhadap tubuh mereka dan inilah yang diinginkan oleh kaum kapitalis, yakni produk mereka kemudian menjadi harapan ditengah padang tandus rasa ketidak percaya dirian perempuan dan mewujudkan tubuh sesuai dengan penggambaran di iklan-iklan.Padahal sebetulnya, definisi cantik ini hanyalah ilusi yang sengaja dibangun kapitalist untuk memasarkan produk-produk mereka yang menjadikan perempauan sebagai objek pasar dan objek marketting.
Diskriminasi Buruh Perempuan
Dalam teori Feminisme Marxis, dijelaskan jika dalam kapitalisme kesetaraan penuh bagi kaum perempuan tidak bisa dicapai, karena pembebasan individual adalah hal mustahil selama seksisme masih menjadi persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan. Persoalan-persoalan seksisme tersebut diantaranya, hak-hak perempuan dalam pendidikan, posisi perempuan di masyarakat, upah rendah dan kondisi kerja bagi perempuan, kekerasan dan perkosaan, definisi sempit tentang peran sosial perempuan yang dibatasi hanya sebagai istri dan ibu dalam keluarga.
Yang perlu diketahui dibalik politik penguasa yang melemparkan perempuan pada posisi hanya sebagai istri dan Ibu rumah tangga yang hanya diributkan oleh kegiatan-kegiatan domestik hanyalah manifesto penguasa agar pemerintah tidak lagi bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan yang sudah berumah tangga ditengah persoalan minimnya lapangan pekerjaan. Sehingga penguasa mulai menghidupkan wacana jika perempuan yang sudah menikah adalah ibu rumah tangga yang diwajibkan mengurusi rumah.
Selain itu, Dalam situasi perburuhan, politik Upah rendah yang dilakukan oleh kapitalist sangat diskriminatif dirasakan oleh kaum perempuan, dimana ada kesenjangan upah antar kaum laki-laki dengan kaum perempuan dengan alasan jika standar kerja perempuan dibawah standar kerja kaum laki-laki. tidak sampai disitu, adanya perbedaan tunjangan antara laki-laki yang sudah berkeluarga dengan perempuan yang sudah berkeluarga juga menunjukan adanya tindak diskriminatif akut. Dimana laki-laki yang sudah berkeluarga mendapat tunjangan lebih untuk keluarganya sedangkan buruh perempuan tidak mendapatkan itu.
Ditambah lagi, saat ini akses pekerjaan yang didapat oleh kaum perempuan tidak cukup luas. Dimana ada beberapa pekerjaan yang dirasa tidak bisa dilakukan oleh kaum perempuan dan hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki. padahal, Semakin luas akses kaum perempuan terhadap pekerjaan-pekerjaan produktif, dan pekerjaan-pekerjaan non-tradisional serta melalui sosialisasi pekerjaan-pekerjaan domestik, semakin mudah untuk mengkondisikan kaum perempuan mengatasi kebiasaan yang menindas. Kapitalisme dalam upaya akumulasi kapitalnya membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh akses terhadap pekerjaan, namun karakter eksploitatifnya justru menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan, ditambah lagi dengan paket kebijakan neoliberalisme saat ini yang menghancurkan kesempatan kaum perempuan memperoleh pekerjaan.Hari ini, kaum perempuan seperti berada dalam bingkai kaca. Mampu melihat luas kesegala penjuru, namun tidak mampu bergerak bebas, berfikir merdeka, menetukan pilihan secara demokratik hingga bersuara secara bebas dan mendapatkan hak yang sama dengan kaum lain dimuka bumi.
Perempuan dan Keharusan Berorganisasi
Dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan, kita sudah mengenal banyak sekali oraganisasi perempuan, Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mahardika hingga Aisyah. tetapi, kita tau Hanya sayap perempuan dari Sarekat Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan membangun radikalisasi perempuan miskin. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa, mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip dengan gerakan perempuan Amerika dan Eropa di abad ke-18, yang memfokuskan tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage).
Tetapi, kemudian gerakan perempuan ini dirasa cukup menggelisahkan bagi penguasa neolib sehingga memunculkan gerakan memberhangus tuntas. berdasarkan sejarah penindasan ektreme gerakan perempuan, ternyata penindasan tersebut bukan hanya tentang sejarah penyingkiran tapi penaklukan. Begitu pun di Indonesia, penaklukan perempuan dilakukan dengan keji dan brutal. Catatan-catatan untuk ini pun sudah banyak. Yang cukup lengkap dan fokus  misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia,  terbitan Garba Budaya, Jakarta. Dengan membaca buku ini saja, kita bisa memahami bahwa pembangunan gerakan ormas perempuan sekarang ini  berdiri di atas puing-puing gerakan perempuan pasca kemenangan Orde Baru. Kerusakannya yang parah hampir tak terbayangkan bagi seorang idealis bagaimana mesti memulai membangun gerakan perempuan di Indonesia.  Yang ada konservatisme meluas:  Dharma Wanita, PKK, dimana Perempuan dipaksa tampil sebagaimana konsepsi patriarkhal, yakni lembut, malu-malu, manja, tak agresif, tak melek urusan machoisme seperti politik dan kekuasaan.
Penaklukan gerakan perempuan ini menjadi bukti historis yang nyata bahwa Militerisme di Indonesia menghantam kaum perempuan dan gerakannya. Tidak hanya tragedi penghancuran gerakan perempuan di tahun 1965 yang menjadi bukti kejahatan militer terhadap kaum perempuan. Pemerkosaan terhadap kaum perempuan di Timor-timur, Aceh, Papua, Ambon adalah sederetan penindasan militerisme terhadap kaum perempuan kala itu.
Tetapi, Berdasarkan sejarah gerakan perempuan Indonesia, kita dapat menilai jika kebangkitan kaum perempuan ditandai dengan mulai terbukanya pemikiran-pemikiran kaum perempuan dan mulai aktif dalam berbagai organisasi. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa kaum perempuan dirasa perlu untuk berorganisasi atau mengorganisir diri? adalah tentang keharusan perempuan untuk keluar dari definsi-defini merugikan bagi diri si perempuan itu sendiri, mulai berfikir terbuka, menyadari ketertindasan, serta mulai memahami jika kondisi masyarakat Indonesia masih dalam kerangka diskriminatif terhadap ruang dan gerak aktif kaum perempuan. Organisasi dirasa perlu untuk wadah kaum perempuan dalam bertukar fikiran, menyalurkan ide dan bergerak berdasarkan kreatifitasnya.
Disini perempuan akan mulai terlatih untuk menunjukan kemampuannya, tidak lagi terpengaruh oleh skat-skat yang hidup dimasyarakat tradisional-agamis, dimana kaum perempuan seperti dibebat tubuhnya oleh pintalan kain.Berbagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan seperti yng telah saya uraikan diatas adalah bentuk penindasan yang cukup struktural. Dimana penindasan kaum perempuan tidak hanya dilakukan oleh sistem, tetapi melibatkan agama dengan organ-organnya yang kerap mengeluarkan fatwa-fatwa diskriminatif, kemudian juga adat dan budaya yang senagaja atau tidak sengaja dihidupkan di Indonesia. Oleh karena itu, penindasan struktural ini perlu melahirkan perlawan-perlawan yang terorganisir dalam sebuah wadah gerakan yang murni, yakni organisasi gerakan perempuan yang betul-betul lahir dari persoalan-persoalan dasar kaum miskin perempuan.
Secara umum kita ketahui bahwa saat ini gerakan perempuan masih Kecil, Fragmentatif, belum meluas. Dalam hal karakter, masih di dominasi oleh karakter reformisme-moderat. Belum memiliki karakter klas yang kongkret. Padahal untuk menuntaskan revolusi demokratik dan membebaskan kaum perempuan dari ketertindasannya Gerakan haruslah Besar, Kuat, Bersatu, Luas dan memiliki Karakter Perjuangan Klas. Dan situasi saat ini belum sampai pada cita-cita tersebut. Oleh karena itu, pembangunan basis organisasi perempuan sangat penting guna mewujudkan revolusi demokratik dan menghentikan penindasan terhadap kaum perempuan. Menyadarkan kembali kaum perempuan dan memebangunkan mereka dari suasana kenyamanan dalam ketertindasan.
Terbit di portal Pojoksamper.com 25 Oktober 2014. http://www.pojoksamber.net/perempuan-dalam-bingkai-kaca/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar