Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Kamis, 09 Oktober 2014

Opini : Mengabadikan Nama Pejuang


Oleh : Saddam Cahyo*

Beberapa waktu lalu, aliansi gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi baik internal, eksternal, mau pun kampus di Lampung kembali bekerjasama menggelar rangkaian peringatan Tragedi UBL Berdarah 28 September 1999. Sebuah peristiwa pilu era reformasi yang turut tertulis di  sejarah perjuangan demokrasi Indonesia. Dimana dalam nuansa euforia kemenangan politik rakyat menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru, hendak dikekang lagi oleh disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang berpotensi membenarkan kembalinya cara-cara represif membungkam aspirasi.

Kala itu penolakan RUU PKB dilakukan secara massif oleh mahasiswa di seluruh penjuru negeri. Puncaknya Tragedi Semanggi II 24 September 1999 dimana Yap Yun Hap mahasiswa UI tewas diterjang peluru aparat di Jakarta. Beberapa hari kemudian represifitas kembali merenggut jiwa anak bangsa, yakni di Lampung M Yusuf Rizal (Mahasiswa Sosiologi Unila) tewas akibat dadanya dijebol peluru tajam, dan Saidatul Fitria (Fotografer SKM Teknokra Unila) tewas setelah koma akibat kepalanya dipopor senapan hingga tersungkur masuk got. Sementara di Palembang, Meyer Ardiansyah (Mahasiswa IBA) tewas tertusuk sangkur di depan Makodam.

Itikad Menghargai Sejarah

Di momentum peringatan 15 tahun tragedi ini, mahasiswa kembali ajukan tuntutan; Pertama, agar dibuat tim ad hoc, sebab dulu Danrem  043 Gatam Kol. Inf. Mudjiono mengaku bertanggung jawab lewat permintaan maafnya pada Dema Unila, dan proyektil peluru di jenazah Ijal sudah disita sebagai barang bukti; Kedua, agar peristiwa ini dapat dikenang secara lebih luas oleh masyarakat dibuatkan tugu peringatan di lokasi Jalan ZA Pagar Alam depan kampus UBL; Ketiga, agar Saidatul Fitria diabadikan menjadi nama gedung Pusat kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila sebagaimana pernah dijanjikan.

Namun sayang, dari tahun ke tahun tuntutan yang sama ini tetap tak kunjung ditanggapi  serius oleh pihak-pihak terkait. Anggota dewan yang beberapa kali pernah menemui aksi mahasiswa selalu memberikan janji sekedarnya, sementara Rektor Universitas Lampung malah menolak menepati janji agar nama para pejuang reformasi dari Lampung yang telah berkorban nyawa itu diabadikan sebagai nama gedung. Alasannya karena menganggap kiprah mereka ini sebatas regional saja, bukan nasional  hingga tak cukup mendesak untuk diperjuangkan (Lampost, 1/10).

Padahal jika mau meluangkan waktu untuk membuka mata hati dan mengulik ulang sejarah reformasi, dengan gamblang akan terurai ingatan bahwa Tragedi UBL Berdarah ialah kepingan penting dari sejarah politik bangsa ini. Perjuangan dan pengorbanan mereka jelas telah berhasil dengan dibatalkannya Undang-Undang yang berwatak represif dan anti demokrasi itu. Merasa bersyukur pulalah kita semestinya, karena terbukti setiap tahunnya mahasiswa di Lampung tak pernah absen memperingati perjuangan para pendahulunya, berbeda dengan di daerah lain yang kadang melupakan.

Mengabadikan Perjuangan

Sesungguhnya gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral yang punya kekuatan politik signifikan, pergulatan sejarah bangsa selalu ditandai dengan hadirnya gerakan mahasiswa atau pemuda terpelajar sebagai katalisator perubahan. Wajar jika kemudian banyak tokoh pemimpin dan pejuang termashur yang lahir dari kelompok sosial ini, karena mereka memang putra-putri Indonesia yang nalar kritis dan moralnya matang ditempa situasi karut-marutnya negeri.

Wujud apresiasi nyata pada kiprah sejarah kaum muda ini bisa ditelusur lewat upaya mengabadikan nama para pejuangnya. Arief Rahman Hakim aktivis mahasiswa yang tewas tanggal 24 Februari 1966 saat menuntut Tritura, diabadikan sebagai nama masjid di almamaternya Fakultas Kedokteran UI Salemba. Moses Gatot Kaca aktivis mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang tewas mengenaskan dalam Peristiwa Gejayan Kelabu Mei 1998, namanya diabadikan sebagai nama jalan di Yogyakarta.

Universitas Trisakti bahkan menganugerahkan nama abadi pada 4 aktivis mahasiswanya yang tewas pada kerusuhan 12 Mei 1998, yakni Elang Mulia Lesmana di gedung Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Hafidhin Royan juga jadi nama salah satu gedung Fakultas Teknik Sipil, Hendrawan Sie di gedung Fakultas Ekonomi dan ternyata Pemda Kalimantan Timur tempatnya berasal juga mengubah nama jalan di kediaman keluarganya, lalu nama Herry Hertanto di gedung Fakultas Teknologi Industri.

Jika masih ingat Sondang Hutagalung, aktivis mahasiswa yang tewas setelah aksi bakar diri di depan Istana Negara pada Desember 2011 lalu, juga resmi menjadi nama ruang praktik peradilan semu di almamaternya Fakultas Hukum Universitas Bung Karno. Atau Aditya Prasetya, alumnus FKIP Unila yang meninggal sakit pada November 2013 saat menjalankan misi kemanusiaan sebagai relawan Gerakan Indonesia Mengajar di daerah terpencil Saumlaki Maluku pun menjadi nama  jalan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Mengabadikan nama pejuang tak cuma bermakna menghormati pengorbanannya, melainkan juga bukti turut mengabadikan perjuangannya. Jelas ini persoalan itikad menghargai sejarah yang dipunyai atau tidak ?
_______
*) Sekretaris LMND  Ekswil Lampung.
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.

Terbit diharian cetak LAMPUNG POST, Kamis 9 Oktober 2014. 
http://lampost.co/berita/mengabadikan-nama-pejuang 
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar