Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 29 Oktober 2014

Karya Kawan : Bersatunya Kaum Muda dengan Pancasila



Ideologi bangsa Indonesia, Pancasila sekarang sedang diuji, terkait dengan rasa nasionalisme kaum pemuda dalam menanggapi isu-isu pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lainnya. Sangat menyedihkan negara yang memiliki ideologi terbaik didunia tidak bisa bertahan dalam gempuran globalisasi (imperialisme). 

Ini merupakan polemik bangsa Indonesia, dan Kaum muda seharusnya tau apa yang harus dilakukan. Tetapi 70% pemuda di indonesia malah ikut terserah dengan gempuran globalisasi. Apalagi tahun 2015, indonesia akan menghadapi gempuran globalisasi yang besar dengan program pemerintah Indoesia bernama MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) 2015.

Bangsa yang sudah tertidur lama sejak orde baru, lalu bangkit kembali pada tahun 1998, kini sedang tertidur lagi sejak tahun 2004, rezim yang berkuasa kini membuat kaum muda terlena, bahkan sekarang kaum muda yang melakukan demo dicap sebagai kaum muda yang menyia-nyiakan masa mudanya. Kini terlihat di setiap tempat nongkrong, karaoke, serta klub malam. Hampir seluruhnya adalah kaum muda.

Sangat disesalkan kaum muda yang pada tahun 1998, pernah menduduki MPR yang menuntut pemberhentian Presiden Soeharto, kini tertidur lagi dan asik sendiri dengan dunianya. Rasa nasionalismenya hanya sesaat, itupun hanya untuk sebuah perlombaan dikancah internasional, bila dikancah nasional, rasa nasionalismenya berubah menjadi rasa kedaerahan, egois, serta kesukuan. Ini terbukti dengan pemberitaan tentang perlombaan yang sering terjadi tawuran antara suporter. Lebih miris lagi rasa kekampungan, yaitu tawuran antar kampung. Inilah yang membuat rasa Nasionalisme indonesia berkurang karena adanya sekat-sekat diantara penduduk indonesia, khususnya adalah kaum muda.

Melihat ciri utama dari kaum muda yaitu kaum muda sedang menjalani masa pembentukan kepribadian. Pembentukan karakter pemuda ini dipengaruhi oleh tiga lingkungan, yaitu 1. Keluarga, 2. Pendidikan 3. Masyarakat. Pengaruh paling besar dalam pembentukan kepribadian/karakter adalah lingkungan keluarga, jika didalam keluarga sudah tidak kondusif atau tidak tentram dan nyaman untuk seorang kaum muda, biasanya kaum muda akan menjadi nakal di tempat pendidikannya dan kaum muda akan dicap sebagai kaum muda nakal. 

Sayangnya dilembaga pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. Kaum muda nakal sering disingkirkan tidak melihat sebab-akibatnya kenapa mereka bisa seperti itu. Pengaruh yang lainnya adalah masyarakat atau dengan siapa mereka bergaul, ini merupakan pengaruh paling besar dalam pembentukan karakter, bila kaum muda sudah didoktrin dengan rasa kesukuan, kekomunitasan. Kaum muda menjadi egoisme yang berlebihan, dan ini merupakan bukan cita-cita dari pancasila.

Pemaknaan/pengertian Pancasila disetiap kaum muda sangat berbeda, dimana setiap satu kaum muda dengan kaum muda lainnya tidak mempunyai persamaan persepsi tentang cita-cita Pancasila. Seharusnya Pancasila dan kaum muda mempunyai satu tujuan yaitu tentang arti/pemaknaan Pancasila itu terdahulu, dengan adanya penyamaan rataan sudut pandang dari berbagai pihak, baik dari golongan sukuan, agama, serta komunitas. Pemikiran kolot yang membuat suatu golongan menjadi golongan paling benar itu harus dihapuskan. Agar bisa menerima pendapat oleh golongan yang lainnya.

Persoalan dari konsepsi Pancasila ini, adalah masalah komplek yang sangat menjurus ke permasalahan SARA, ditambah lagi kaum muda hanya melihat dari satu sisi, tidak melihat dari berbagai sisi dalam analisis persoalan SARA. Sebenarnya konsepsi Pancasila yang diciptakan oleh pendiri bangsa kita bukan hanya sebagai Ideologi bangsa tetapi sebagai solusi, solusi untuk bagaimana tata cara menciptakan persatuan, tata cara hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Inilah yang luput dari berbagai pihak bila pemaknaan Pancasila diambil dari satu sisi saja, sangat disayangkan bila konsepsi Pancasila hanya untuk golongan kaum muda mayoritas dan mengesampingkan kaum muda minoritas.

Meninjau dari sejarah persatuan bangsa indonesia, konsepsi  persatuan sebenarnya sudah ada sejak tahun 1928, tepat pada Hari Sumpah Pemuda yaitu 28 Oktober 1928, dimana sudah ada Sumpah Pemuda hasil dari Kongres yang dilaksanakan PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia). Kongres yang dihadiri oleh berbagai organisasi kepemudaan yaitu jong java, jong batak, jong celebes, jong sumatranen bond, jong islamieten bond, jong ambong, dsb serta pengamat pemuda tiong hoa. Di dalam sambutan Ketua PPPI Sugondo Djojopuspito, kongres pemuda ini dapat memperkuat semangat persatuan  dalam sanubari para pemuda. Yang diuraikan Moehamad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan indonesia, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kemauan (niat).

Isi dari Sumpah Pemuda hasil Kongres Pemuda Kedua adalah sebagai berikut :

Pertama : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Bertoempah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia)
Kedua : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mengakoe Berbangsa Jang Sato Bangsa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia, Mengaku Berbangsa Yang Satu Bangsa Indonesia.)
Ketiga : Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia. (Kami Putra dan Putri Indonesia Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia).

Penjelasan : kaum muda yang hadir di Kongres Pemuda Kedua telah merumuskan 3 keputusan yang membakar semangat bangsa untuk dapat bersatu (persatuan), demi tercapainya kemerdekaan bangsa indones dan merupakan modal awal dalam pergerakan bangsa indonesia untuk merdeka.

Serta Isi dari Pancasila yang ada pada Piagam Jakarta pada Sidang BPUPKI sebagai berikut :
  1. Ketoehanan jang maha esa
  2. Kemanoesiaan jang adil dan beradab
  3. Persatoean Indonesia
  4. Kerakjatan jan dipimpin oleh hukmat, kebidjaksanaan dalam permoesjarawatan/perwakilan
  5. Keadilan sosial bagi seloeroeh rakjat Indonesia
Penjelasan : Subtansi Pancasila yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno merupakan perasan dari Internasioalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan. Yang mana merupakan perasan dari konsep Agamis, Nasionalisme serta Socio Demokrasi yang sering disebut Trisila atau Tiga unsur dasar, serta merupakan perasan dari Ekasila bangsa indonesia yaitu Mufakat.

Sebuah konsepsi persatuan bangsa indonesia dari Sumpah Pemuda, serta Pancasila oleh kaum muda sekarang menjadi tersekat-sekat kembali dikarenakan keegoisan dalam golongan membuat kemunduran dalam arah pergerakan kaum muda yang mana kaum muda adalah kaum perubahan, kaum yang bisa merubah bangsa indonesia, kaum yang merindukan perubahan, tapi apa daya kaum mudanya mati sendiri oleh keserakahannya. Akankah kita terus membiarkan diri hancur lebur tanpa upaya membangun kembali persatuan ?
__________________
Raga Gapilau Jatsuma, Mahasiswa STMIK TEKNOKRAT, pengurus Departemen Pendidikan dan Kaderisasi Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung serta Penggiat Komunitas @Bengkel Tulis Bintang Merah

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20141028/bersatunya-kaum-pemuda-dengan-pancasila.html#ixzz3HXGV4Rks
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Karya Kawan : Perempuan dalam Bingkai Kaca


Penulis : Rismayanti Borthon 
(Mahasiswa Agroteknologi, Fakultas Pertanian Univ. Lampung dan Ketua Ekskot LMND Bandar Lampung)

Menjadi perempuan adalah sebuah takdir gender yang maha kuasa dan ditetapkan melalui jenis kelamin yang diberikan pada masing-masing manusia. Dalam teori penciptaan manusia yang dijelaskan oleh islam, disebutkan jika manusia pertama yang diciptakan adalah laki-laki yakni Adam, kemudian untuk membangun klan manusia diciptakanlah Hawa yang berjenis kelamin perempuan yang tercipta dari tulang rusuk Adam.
Dalam kisah ini, kita meyakini jika proses terbentuknya perempuan adalah berasal dari bagian kecil tubuh laki-laki yakni tulang rusuk. Kemudian, cerita ini mengalur indah dalam benak-benak manusia secara turun temurun. Tetapi, bagi saya jika betul adanya tentang kisah penciptaan perempuan yang berasal dari tulang rusuk laki-laki maka saya yakin itu hanya terjadi dalam kisah Adam dan Hawa. Selebihnya, perempuan-perempuan lain yang terlahir setelahnya bukanlah berasal dari tulang rusuk pasangannya melainkan berasal dari interaksi biologis orang tua mereka.
Ini adalah deskripsi lebih rasionalis ketimbang meperdebatkan perihal tulang rusuk. Perempuan sangat perlu untuk keluar dari berbagai definisi sempit tentang siapa diri mereka dan tentang keharusan dan kewajiban apa yang menjadi haknya. perempuan juga harus menjadi sejajar dalam hal pemikiran dan tindakan dengan kaum laki-laki. Tetapi, saat ini ada beberapa fakta tentang perempuan yang mendistorsi peran serta sosok perempuan dalam masyarakat, diantaranya:
Perempuan dan Pornografi
Dalam wikipedia Pornografi diartikan dari bahasa yunani yakni porne (pelacur) dan graphos (gambar atau tulisan), yang secara harfiah berarti tulisan atau gambar tentang pelacur. Tetapi, yang kemudian muncul menjadi definisi turunan adalah pornografi selalu diidentikan sebagai perempuan atau pornografi=perempuan.
Rasionalisasi miris ini tentu sangat bertolak belakang dengan kondisi psikis kaum perempuan yang tentu tidak menghendaki judge masyarakat terhadap diri mereka. Bahkan UU pornografi yang disahkan pada 30 Oktober 2008 nyatanya hanya semakin menyudutkan kaum perempuan pada sisi yang semakin sulit, dimana perempuan kemudian justru dianggap sebagai biang kerok terjadinya pornografi maupun pornoaksi. Sebagian besar Ormas perempuan bahkan menilai jika isi UU ini hanyalah klise tentang kebencian terhadap kaum perempuan. Karena definsi pornografi sendiri cenderung meruncing pada sisi perempuan yang kemudian menimbulkan aturan-aturan baru tidak formal tentang keharusan-keharusan bagi si perempuan yang sebetulnya tidak perlu. Diantaranya tentang keharusan perempuan dalam berpakaian,bertindak, berbicara dll.
Di Indonesia, walaupun emansipasi perempuan dan kesetaraan hak diakui, tetapi keberadaan perempuan di ruang dan waktu tertentu masih dianggap mengganggu moralitas masyarakat, termasuk oleh kaum perempuan itu sendiri. Dengan begitu dianggap juga sebagai ancaman bagi tegaknya bangunan Negara. Karenanya Pemerintah pun perlu dibebani tugas mengatur tubuh perempuan dalam ruang dan waktu tertentu dan menjaminnya agar tak menghancurkan bangunan Negara. Inilah kegelisahan dari sebagian masyarakat atas merebaknya pornografi dan pornoaksi.  Bagaimana tidak disebut tertindas, jika hari ini tubuh perempuan masih menjadi wilayah politik yang diperdebatkan.
Oleh karena itu, perjuangan penting bagi kaum perempuan adalah mempertegas kembali definisi positif tentang perempuan oleh perempuan itu sendiri, dengan adanya stereotype atas perempuan yang dibangun oleh media massa dan iklan melalui dampak negatifnya terhadap kesehatan perempuan, yang menyentuh kehidupan pribadi mereka. Selain perjuangan untuk melawan sensorship sehingga kaum perempuan dapat menguasai tubuh mereka sendiri, juga kesehatan, kesuburan dan seksualitas mereka tanpa mengalami tuduhan berbuat cabul dan berbagai tindakan menindas lainnya.
Perempuan Sebagai Komoditi
Tidak perlu diragukan lagi, jika kapitalist hari ini menjadi simbol perbudakan era baru yang menimbulkan dampak ‘kenyamanan dalam ketertindasan’. Tak terkecuali bagi perempuan. Hari ini perempuan menjadi objek terbesar bagi kapitalist, baik sebagai objek pasar maupun sebagai objek marketting.
Perempuan sebagai objek pasar telah sukses menghantarkan perempuan sebagai kaum konsumtif massif. Hari ini hampir semua produk yang beredar dipasaran sebagian besarnya adalah produk yang saat ini menjadi koleksi kaum perempuan. Baik kosmetik, busana, perhiasan, obat pelangsing, alat dapur, makanan, alat transportasi dan masih banyak lagi. Semua itu sukses menjadi produk koleksi hampir semua perempuan di dunia.
Kemudian, perempuan sebagai objek marketting juga tak kalah sukses menghantar jutaan perempuan-perempuan cantik yang tubuhnya dimanfaatkan untuk memasarkan produk-produk mereka sehingga laku keras dipasaran, Mulai dari bintang iklan hinggaSales promotion Girl (SPG). Kondisi ini kemudian menjadi semakin dilematis terhadap definisi perempuan yang disiratkan dalam berbagai iklan produk yang dipasarkan, karena teknik marketting tersebut sukses membangun mainset jika perempuan haruslah seperti beberapa bintang iklan yang notabene cantik, putih, tinggi dan langsing.
Hal tersebut kemudian semakin mengikis rasa percaya diri perempuan terhadap tubuh mereka dan inilah yang diinginkan oleh kaum kapitalis, yakni produk mereka kemudian menjadi harapan ditengah padang tandus rasa ketidak percaya dirian perempuan dan mewujudkan tubuh sesuai dengan penggambaran di iklan-iklan.Padahal sebetulnya, definisi cantik ini hanyalah ilusi yang sengaja dibangun kapitalist untuk memasarkan produk-produk mereka yang menjadikan perempauan sebagai objek pasar dan objek marketting.
Diskriminasi Buruh Perempuan
Dalam teori Feminisme Marxis, dijelaskan jika dalam kapitalisme kesetaraan penuh bagi kaum perempuan tidak bisa dicapai, karena pembebasan individual adalah hal mustahil selama seksisme masih menjadi persoalan sosial yang berhembus dari penindasan institusional terhadap perempuan. Persoalan-persoalan seksisme tersebut diantaranya, hak-hak perempuan dalam pendidikan, posisi perempuan di masyarakat, upah rendah dan kondisi kerja bagi perempuan, kekerasan dan perkosaan, definisi sempit tentang peran sosial perempuan yang dibatasi hanya sebagai istri dan ibu dalam keluarga.
Yang perlu diketahui dibalik politik penguasa yang melemparkan perempuan pada posisi hanya sebagai istri dan Ibu rumah tangga yang hanya diributkan oleh kegiatan-kegiatan domestik hanyalah manifesto penguasa agar pemerintah tidak lagi bertanggung jawab atas pekerjaan-pekerjaan kaum perempuan yang sudah berumah tangga ditengah persoalan minimnya lapangan pekerjaan. Sehingga penguasa mulai menghidupkan wacana jika perempuan yang sudah menikah adalah ibu rumah tangga yang diwajibkan mengurusi rumah.
Selain itu, Dalam situasi perburuhan, politik Upah rendah yang dilakukan oleh kapitalist sangat diskriminatif dirasakan oleh kaum perempuan, dimana ada kesenjangan upah antar kaum laki-laki dengan kaum perempuan dengan alasan jika standar kerja perempuan dibawah standar kerja kaum laki-laki. tidak sampai disitu, adanya perbedaan tunjangan antara laki-laki yang sudah berkeluarga dengan perempuan yang sudah berkeluarga juga menunjukan adanya tindak diskriminatif akut. Dimana laki-laki yang sudah berkeluarga mendapat tunjangan lebih untuk keluarganya sedangkan buruh perempuan tidak mendapatkan itu.
Ditambah lagi, saat ini akses pekerjaan yang didapat oleh kaum perempuan tidak cukup luas. Dimana ada beberapa pekerjaan yang dirasa tidak bisa dilakukan oleh kaum perempuan dan hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki. padahal, Semakin luas akses kaum perempuan terhadap pekerjaan-pekerjaan produktif, dan pekerjaan-pekerjaan non-tradisional serta melalui sosialisasi pekerjaan-pekerjaan domestik, semakin mudah untuk mengkondisikan kaum perempuan mengatasi kebiasaan yang menindas. Kapitalisme dalam upaya akumulasi kapitalnya membuka kesempatan bagi kaum perempuan untuk memperoleh akses terhadap pekerjaan, namun karakter eksploitatifnya justru menghancurkan tenaga produktif kaum perempuan, ditambah lagi dengan paket kebijakan neoliberalisme saat ini yang menghancurkan kesempatan kaum perempuan memperoleh pekerjaan.Hari ini, kaum perempuan seperti berada dalam bingkai kaca. Mampu melihat luas kesegala penjuru, namun tidak mampu bergerak bebas, berfikir merdeka, menetukan pilihan secara demokratik hingga bersuara secara bebas dan mendapatkan hak yang sama dengan kaum lain dimuka bumi.
Perempuan dan Keharusan Berorganisasi
Dalam sejarah gerakan perempuan Indonesia sebelum kemerdekaan, kita sudah mengenal banyak sekali oraganisasi perempuan, Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mahardika hingga Aisyah. tetapi, kita tau Hanya sayap perempuan dari Sarekat Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan membangun radikalisasi perempuan miskin. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa, mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip dengan gerakan perempuan Amerika dan Eropa di abad ke-18, yang memfokuskan tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage).
Tetapi, kemudian gerakan perempuan ini dirasa cukup menggelisahkan bagi penguasa neolib sehingga memunculkan gerakan memberhangus tuntas. berdasarkan sejarah penindasan ektreme gerakan perempuan, ternyata penindasan tersebut bukan hanya tentang sejarah penyingkiran tapi penaklukan. Begitu pun di Indonesia, penaklukan perempuan dilakukan dengan keji dan brutal. Catatan-catatan untuk ini pun sudah banyak. Yang cukup lengkap dan fokus  misalnya buku Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia,  terbitan Garba Budaya, Jakarta. Dengan membaca buku ini saja, kita bisa memahami bahwa pembangunan gerakan ormas perempuan sekarang ini  berdiri di atas puing-puing gerakan perempuan pasca kemenangan Orde Baru. Kerusakannya yang parah hampir tak terbayangkan bagi seorang idealis bagaimana mesti memulai membangun gerakan perempuan di Indonesia.  Yang ada konservatisme meluas:  Dharma Wanita, PKK, dimana Perempuan dipaksa tampil sebagaimana konsepsi patriarkhal, yakni lembut, malu-malu, manja, tak agresif, tak melek urusan machoisme seperti politik dan kekuasaan.
Penaklukan gerakan perempuan ini menjadi bukti historis yang nyata bahwa Militerisme di Indonesia menghantam kaum perempuan dan gerakannya. Tidak hanya tragedi penghancuran gerakan perempuan di tahun 1965 yang menjadi bukti kejahatan militer terhadap kaum perempuan. Pemerkosaan terhadap kaum perempuan di Timor-timur, Aceh, Papua, Ambon adalah sederetan penindasan militerisme terhadap kaum perempuan kala itu.
Tetapi, Berdasarkan sejarah gerakan perempuan Indonesia, kita dapat menilai jika kebangkitan kaum perempuan ditandai dengan mulai terbukanya pemikiran-pemikiran kaum perempuan dan mulai aktif dalam berbagai organisasi. Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa kaum perempuan dirasa perlu untuk berorganisasi atau mengorganisir diri? adalah tentang keharusan perempuan untuk keluar dari definsi-defini merugikan bagi diri si perempuan itu sendiri, mulai berfikir terbuka, menyadari ketertindasan, serta mulai memahami jika kondisi masyarakat Indonesia masih dalam kerangka diskriminatif terhadap ruang dan gerak aktif kaum perempuan. Organisasi dirasa perlu untuk wadah kaum perempuan dalam bertukar fikiran, menyalurkan ide dan bergerak berdasarkan kreatifitasnya.
Disini perempuan akan mulai terlatih untuk menunjukan kemampuannya, tidak lagi terpengaruh oleh skat-skat yang hidup dimasyarakat tradisional-agamis, dimana kaum perempuan seperti dibebat tubuhnya oleh pintalan kain.Berbagai bentuk penindasan terhadap kaum perempuan seperti yng telah saya uraikan diatas adalah bentuk penindasan yang cukup struktural. Dimana penindasan kaum perempuan tidak hanya dilakukan oleh sistem, tetapi melibatkan agama dengan organ-organnya yang kerap mengeluarkan fatwa-fatwa diskriminatif, kemudian juga adat dan budaya yang senagaja atau tidak sengaja dihidupkan di Indonesia. Oleh karena itu, penindasan struktural ini perlu melahirkan perlawan-perlawan yang terorganisir dalam sebuah wadah gerakan yang murni, yakni organisasi gerakan perempuan yang betul-betul lahir dari persoalan-persoalan dasar kaum miskin perempuan.
Secara umum kita ketahui bahwa saat ini gerakan perempuan masih Kecil, Fragmentatif, belum meluas. Dalam hal karakter, masih di dominasi oleh karakter reformisme-moderat. Belum memiliki karakter klas yang kongkret. Padahal untuk menuntaskan revolusi demokratik dan membebaskan kaum perempuan dari ketertindasannya Gerakan haruslah Besar, Kuat, Bersatu, Luas dan memiliki Karakter Perjuangan Klas. Dan situasi saat ini belum sampai pada cita-cita tersebut. Oleh karena itu, pembangunan basis organisasi perempuan sangat penting guna mewujudkan revolusi demokratik dan menghentikan penindasan terhadap kaum perempuan. Menyadarkan kembali kaum perempuan dan memebangunkan mereka dari suasana kenyamanan dalam ketertindasan.
Terbit di portal Pojoksamper.com 25 Oktober 2014. http://www.pojoksamber.net/perempuan-dalam-bingkai-kaca/ 

Selasa, 21 Oktober 2014

Opini : Kemiskinan yang Dipelihara


Membicarakan kemiskinan di Indonesia seperti tak pernah habis, rasa-rasanya sudah hampir melekat (maaf) sebagai identitas bangsa ini.
Data BPS hingga Maret 2014 yang menggunakan ukuran garis kemiskinan Rp.302.735,- sebagai pengeluaran bulanan per kapita, menyebut jumlah penduduk miskin masih sebesar 28,280 juta atau sekitar 11, 25% dari populasi. Sementara jika lebih jujur lagi, semisal dengan ukuran internasional yakni 2 US$ per kapita per hari, jumlah ini berlipat jauh hingga 47% dari total populasi penduduk (Lampost, 26/9).

Bagaimana dengan Lampung ? ternyata kita punya “prestasi” sebagai provinsi termiskin ketiga di pulau Sumatera setelah Bengkulu dan Aceh, dengan kisaran angka 1.134.280 jiwa atau 14,39% dari populasinya (Lampost, 27/9). Angka-angka ini memang tidak akan pernah bisa sepenuhnya memotret kemiskinan yang sesungguhnya terjadi, tapi begitu saja sudah membuat kita seolah sedang menatap cermin kusam hingga sangat malu pada pantulan diri sendiri.

Betapa miskinnya kita Indonesia, tak hanya rakyat bahkan negaranya pun masih terus terbilang miskin. Utang negara dalam satu dasawarsa terakhir terus membengkak sampai angka 284,9 US$ atau setara Rp.3.133,90 triliun (Metro TV, 6/10). APBN tahunan kita memang secuilnya minta ampun sampai harus selalu defisit, jangankan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan secara holistik, untuk biaya rutin saja sudah menelan lebih dari separuh porsi anggaran.

Seperti Kutukan

Padahal sedari kecil dulu kita selalu dikisahkan kejayaan bangsa Nusantara, tentang kekayaan alam dan budayanya yang tiada habis. Sebagai bangsa melayu, tentu juga cukup akrab dengan istilah tulah atau kutukan. Dalam Pasal 34 UUD 1945 tersurat kalimat “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Setelah dirombak paksa sampai empat kali tahun 2001-2004 dan ditambah ayat-ayat tambahan yang ambigu, kita malah semakin kehilangan pegangan akan apa sesungguhnya maksud dari amanah itu.

Alhasil, bangsa ini mungkin sudah kena tulah akibat kesembronoan para pemimpinnya yang tak pernah mau singkirkan nafsu berebut kuasa. Alih-alih mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur, kemerdekaan yang sudah mencapai usia 69 tahun ini justru mengantarkan segenap rakyat pada kutukan jurang kemiskinan. Secara struktural sampai kultural kemiskinan di negeri kita memang kian akut dan kompleks, para ilmuwan pun semakin rumit saja membuat kategorinya tanpa solusi.

Kebijakan otonomi daerah yang begitu memberi keleluasaan wewenang pemerintah tingkat Kabupaten dan Kota untuk berkreasi membangun sistem yang mensejahterakan belum juga efektif dipergunakan sebagai solusi. Bahkan indeks pembangunan manusia Indonesia tahun 2013 pun masih bertengger di level 108 dari 187 negara di dunia, inilah karya para pemimpin kita yang hanya berkali-kali ganti wajah.

Tanggal 17 Oktober sebagai hari anti kemiskinan internasional yang diakui PBB sejak tahun 1992 ternyata hanya menjadi rutinitas seremonial belaka. Sebuah proyek global yang kita ikuti, Millenium Development Goal’s (MDGs) 2015 pun tak juga mampu menjawab problem kemiskinan yang makin absolut. Indonesia Civil Society Forum for Foreign Policy (ICFP) bahkan memberi rapor merah pada sepuluh tahun pemerintahan Presiden SBY yang dianggap gagal karena mempertahankan gaya kebijakan neoliberal yang sudah terbukti tak pernah meneteskan kemakmuran pada rakyat (Tempo,13/10).

Mematahkan Kutukan

Bersepakat dengan Amartya Kumar Sen, peraih nobel ekonomi dari India yang mendefinisikan hakekat kemiskinan berada di soal aksesibilitas. Ketiadaan akses masyarakat pada kesejahteraan membuatnya tidak berdaya dan kian melanggengkan masalah. Ini perlu dijawab dengan tegas tidak meneruskan upaya melenyapkan peran negara yang masih begitu dibutuhkan oleh rakyat di tengah kepungan arus globalisasi pasar.

Ide bahwa kesejahteraan harus bangkit dari upaya mandiri rakyat tidaklah salah, tapi tak bisa mutlak dianggap benar. Di situasi begini negara wajib bertanggung jawab memperluas akses untuk mengenyam pendidikan berkualitas, meraih layanan kesehatan memadai, pendampingan skill pengembangan sektor agraris dan maritim, kemudahan bantuan modal usaha kecil menengah, penyediaan akses pasar bagi produk-produk lokal, akses perumahan dan lingkungan yang baik, terbukanya lapangan kerja yang layak, dan seterusnya.

Ibarat kutukan, mantra sihir sesakti apa pun pasti bisa dipatahkan jika ada tekad dan upaya kuat. Ini yang perlu disadari sepenuhnya, terutama oleh segenap pemimpin baru yang sudah memperoleh mandat rakyat, agar berani membanting stir mencari jalan alternatif membenahi keadaan. Kita butuh lebih dari sekedar niat lurus, melainkan aksi nyata yang sinergis antara pemerintah pusat dan daerah mengejar target kesejahteraan yang diukur bukan lagi cuma dari selisih digit pertumbuhan ekonomi semu.

Nelson Mandela yang termashur berpesan “poverty is not an accident, like slavery and apartheid, it’s man made and can be removed by the actions of human being.” Selalu ada pilihan bukan?
____________
Togar Harahappengurus Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) Wilayah Lampung dan alumnus Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND); bergiat di Komunitas Bengkel Tulis Bintang Merah.
Saddam Cahyo, pengurus LMND Lampung, dan penggiat Komunitas Bengkel Tulis Bintang Merah.

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20141018/ironi-kemiskinan.html#ixzz3GkL1a3nd 
Harian cetak KORAN EDITOR, 21 Oktober 2014.
Harian cetak SINAR MERDEKA, 21 Oktober 2014.


Senin, 13 Oktober 2014

Cerpen : Papa, Aku Anak PKI ?


Oleh : Saddam Cahyo*

  
“Cang kacang panjang, yang panjang mati.. sekali lagi.. yang mati jadi..” suara ceria kami serentak saat memulai permainan petak umpet dengan cara berlomba mengulur-tarikkan tangan di halaman samping sekolah.

“Nah, Tian kamu kalah, ayo mulai hitung, jangan ngintip ya…” ucap kawan-kawan sambil bergegas lari sembunyi.

“Tu, wa, ga, pat, ma, nam, juh, pan,lan, luh..” hitungku keras-keras sambil menutup mata.

Uh.. memang paling malas kalau kita kena giliran jadi kucing penjaga. Apalagi kalau teman-teman yang ikut bermain sebanyak ini, aku harus jeli memergoki persembunyian mereka dan harus juga gesit berlari ke titik awal menghitung, kalau aku kalah berlari dengan mereka yang lainnya, aku bisa kena giliran menjadi kucing sekali lagi.

Biasanya aku paling menghindari kekalahan saat penentuan siapa yang menjadi kucing, tapi tadi aku memang lengah, aku sedang risih diganggu mereka seharian ini.

Ah.. Beruntung, mereka semua berhasil kupergoki semua dan satu persatu aku sebut namanya sambil menepuk dinding tempat ku berhitung dan berteriak “Top !” sebagai tanda kemenangan.

***

Hari ini kami baru saja selesai latihan upacara bendera, kami siswa kelas 5 didaulat sebagai petugas upacara di hari peringatan Kesaktian Pancasila 1 Oktober besok lusa. Aku sendiri dipilih menjadi petugas ajudan yang membawa naskah teks Pancasila mengiringi Pembina Upacara yang kabarnya akan dimandatkan pada Kepala Dinas, aku merasa senang  sekali karena tugasku lah yang paling penting di prosesi upacara kali ini.

Aduh, tapi benar juga kata teman-teman, aku ini aneh, aku gak cocok, gak pantes jadi petugas upacara besok, biar pun di hari-hari upacara bendera sebelumnya aku sering menjadi bagian dari petugas pelaksananya. Tapi kali ini beda ! aku benar-benar merasa asing, dan risih sekali dengan ejekan mereka semua, padahal jujur, aku bangga saat ditugasi Bu Indri wali kelas kami itu, dan di dalam hati aku sudah berencana gagah akan cerita pada Papa, Mama, dan si kecil Nia.

Sempat terbayang olehku, wajah mereka yang bakal sumringah kagum, dan jangan-jangan aku dihadiahi sepaket nasi tumpeng kuning, ayam bakakak, dan sambal balado udang campur pete lagi sama Mama, nyamnyam..

Nia juga pasti akan banyak bertanya pada abangnya ini, sore harinya dia cerita ke semua teman mainnya di komplek perumahan kami. Pasti itu akan terasa spesial bagi kami sekeluarga, sebab aku memang lahir persis pada malam tanggal 30 September 2002, jadi aku akan sembari merayakan ulang tahun yang ke 11 ! asyik !.

Ah, tapi semua bayangan gembira itu sekarang pudar, sejak kami mulai latihan upacara tadi, aku cuma menunduk-nunduk seperti ayam pengecut yang bengong, sampai berkali-kali ditegur karena tidak mengikuti arahan Kak Nur, pelatih pramuka sekolah kami.

***

“Eh, kamu tanggal 1 besok ulang tahun kan Tian ? ” Tanya Feri sehabis kami bermain.

“Iya sih, aku kan lahir 30 September, emang kenapa Fer ?” sautku santai.

“Itu berarti kamu anak PKI ! hahaha…” pekik Feri mencibir.

“Enggak ! aku bukan anak PKI kok, aku percaya Allah ! Sumpah!” balasku kesal.

“Tapi buktinya kamu lahir waktu PKI ngebantai jenderal-jenderal pahlawan, itu artinya kamu lahir sebagai anak PKI Tian, udah akuin aja..” tambah si Aan memojokkanku.

“Enggak ! bukan ! aku percaya Allah ! aku gak punya silet !” bantahku makin marah pada mereka.

“Huuu…. Tian anak PKI, Tian anak PKI, huuuu….” Sorak beberapa teman lainnya.

Tega sekali mereka tuduh aku anak PKI, aku makin kesal, mataku panas dan mulai berair, mukaku jadi merah padam. Ingin rasanya aku pukul wajah Feri yang pertama memulai, tapi aku gak mau dimarahin Papa lagi karena berantem di sekolah.

“Huuu….. Tian anak PKI… masa anak PKI jadi petugas upacara.. PKI kan pengkhianat Pancasila !” cibir si Geri yang ikut-ikutan.

Mukaku makin panas dan memerah, aku menunduk, tanganku mengepal geram, mataku makin berair rasanya. Mereka mulai mendorong-dorong tubuhku, aku berusaha bertahan sambil terus mengepal geram tapi menunduk.

“Udah Tian, kamu minta ganti sama yang lain aja, bilang ke Bu Guru, ini kan upacara kesaktian Pancasila, kamu gak pantes tau.” Aan kembali menimpali.

Aku sudah tidak tahan, aku lari menerobos kepungan teman-teman mainku sendiri. Aku lari ke toilet sekolah dan mengunci diri di dalamnya. Mataku rupanya mulai melelehkan air mata, dadaku jadi makin tersengal, aku menangis sesenggukan di dalam toilet, sendirian.

***

Kulepas sepatu dan menaruhnya di rak depan rumah, mama sedang menjemur baju di samping, aku malu dan langsung masuk ke belakang melepas baju seragam yang sudah basah dengan keringat, air mata, dan sedikit lelehan ingus karena nangis sesenggukkan di sekolah tadi. Capek sekali rasanya hari ini, dasar apes.  

Biarlah, aku sudah lemas dan kecapekan memikirkan ejekan mereka semua. Aku pilih rebahkan tubuh sampai tertidur pulas di ambal ruang TV.

***

“Nia, main sepedah yuk..” seruku.

“Kita balapan ke taman, tapi abang gak boleh ninggalin ya” jawabnya.

“Yadeh, yuk buruan..” ajakku.

Sore begini memang seru dipakai main ke taman komplek perumahan kami, ada lapangan basketnya, dan banyak pilihan alat bermain, di sana juga ramai orang.

“Baaang.. jangan cepet-cepet dong !” seru si Nia kecil terengah-engah.

“Makanya roda kecil sepeda kamu dilepas aja biar bisa ngebut..” jawabku memelankan laju sepeda.

“Gak mau, Nia takut jatoh..” jawabnya polos.

***

Di taman memang sudah ramai, ada ibu-ibu yang nyuapin anak-anak balitanya, ada teman-teman tetanggaku juga, kami mau main bola deh.

“Mamaaa…. Nia sama abang main disini ya..” Nia meneriaki mama yang berjalan lewat taman sambil membawa belanjaan.

“Iya, jangan nakal ya, inget sebelum maghrib udah di rumah..” jawab Mama.

“Belanja apa mama tian ?” sapa Ibu-Ibu tetangga yang sedang di taman.

“Ini Bu, beli bahan bumbu, buat bikin nasi tumpeng kuning besok, si Tian ulang tahun.” Jawab Mama.

Aku langsung berlari menghampirinya, “Waahh.. jadi buat tumpeng ya Ma ? ayam bakakaknya juga nggak ?” seruku senang sekali.

“Rahasia dong..” jawab Mama usil.

“Oh Tian mau ulang tahun ya, yang ke berapa sekarang ?” Tanya salah satu Ibu tetangga.

“Sebelas tahun Bu, persis 30 September besok..” jawabku.

“Lha itu kan hari bersejarah, pembantaian PKI, hihii..” saut Ibu tetangga yang lain.

“Kenapa Bu ?” Tanya mama heran.

“Itu lho, si Tian ulang tahunnya bareng sama hari G 30 S/ PKI.. hihihi..” jawab ibu itu disambut tawa kecil ibu-ibu lainnya.

“Ah kan gak ada hubungannya Bu, ya sudah saya pamit dulu, permisi.” sanggah Mama agak kesal.

Jangankan Mama, aku lebih kesal lagi karena gak cuma teman-teman sekolah yang mengejek, tapi Ibu-Ibu tetangga pun sudah ikut-ikutan.

***

Malamnya, aku makin terusik dengan semua omongan orang hari ini, aku hampiri Papa yang sedang nonton televisi.

“Papa, kenapa aku lahir tanggal 30 September sih ? aku malu Pa.” ucapku.

“Lho ? kenapa Tian ? kan memang itu tanggal lahir kamu.” Jawabnya.

“Aku malu Pa, aku gak mau lahir di tanggal itu, aku mau ganti aja Pa.” tambahku.

“Gak bisa Tian, mana ada hari lahir diganti-ganti, coba emangnya malu kenapa ?” Tanya Papa.

“Semua orang benci sama tanggal itu Pa, mereka juga jadi benci sama aku, aku malu Pa.” jawabku.

“Kok bisa ?” Tanya Papa heran.

“Semuanya bilang kalo tanggal lahirku itu harinya PKI, yang jahat, yang ngebunuh jenderal-jenderal pahlawan negara Pa, aku dibilang anak PKI karena lahir di tanggal itu, aku juga diejekin karena jadi petugas upacara yang bawa naskah Pancasila besok lusa. Apa bener aku ini anak PKI ya Pa?” ucapku agak tersengal.

“Lho ! nggak gitu Tian.. kamu anak Papa dengan Mama, mereka salah, mereka yang dosa buat fitnah, kamu harus cuekin. Gak ada yang salah sama tanggal lahir kamu, 30 September itu hari yang bagus, Papa masih ingat tangis kamu waktu lahir dulu. Papa kasih kamu nama Akhirul Septian yang artinya penghujung bulan September, kamu itu berkah buat keluarga kita Tian, kamu harus ikut bersyukur, jangan dengerin omongan mereka lagi ya, siapa sih yang bilang begitu ?” ucap Papa sambil mengusap kepalaku.

“Teman-teman di sekolah Pa, tadi Ibu-Ibu di taman juga pada ngetawain, aku malu Pa, aku mau ganti aja lahir tanggal 17 Agustus biar semua orang ikut ngerayain, juga ikut seneng ke akunya Pa.” pintaku lagi.

“Nggak bisa Tian.. kamu harusnya bangga sama tanggal lahir kamu, itu hari bersejarah lho, mereka yang ngetawain dan ngejek kamu justru karena iri, tanggal lahir mereka cuma hari biasa, gak istimewa kayak kamu.” Jawab Papa.

“Tapi mereka semua ngejek aku terus Pa, aku malu, aku gak berani jadi petugas upacara besok, memangnya PKI itu apa sih Pa ? kenapa semua orang jadi ngejek dan benci sama aku karena lahir di tanggal peringatan PKI.” Tanyaku lagi.

“Kamu harus percaya diri Tian, kamu buktiin ke semua orang, kamu itu hebat, kamu bangga sama diri kamu yang besok ulang tahun sambil jadi petugas upacara. Papa percaya kamu bisa kok. Ah PKI itu ceritanya panjang, nanti kalo udah besar Tian pasti bisa lebih ngerti, tapi setau Papa itu Partai Komunis Indonesia, katanya mereka dianggap benci sama agama, sama Tuhan kita, karenanya dilarang ada sama pemerintah.” Jawab Papa.

“Tapi aku takut Pa, nanti mereka ejek aku anak PKI terus.” Keluhku.

“Kamu anak Papa dengan Mama, kamu Tian yang berani, dan bangga dengan hari lahirmu yang bersejarah, kamu juga pasti bakal buat kita semua bangga Tian, Papa yakin.” Ucap papa sambil menggenggam kedua pundakku.

Tuhan, nanti kalau sudah besar aku mau tahu lebih banyak soal PKI, soal sejarah bangsa sendiri, kenapa sampai semua orang harus merasa sibuk membencinya berlebihan, sampai tega ikut juga  membenciku cuma lantaran lahir tanggal 30 September.

_***_
__________
Yogyakarta, 12 September 2014.
*)  Bergiat di LMND Wilayah Lampung, mahasiswa sosiologi FISIP Unila.

Catatan :
Dipersembahkan untuk memperingati hari tragedy berdarah yang telah menodai amanat Pancasila, yang mempunyai semangat keadilan sosial sebagai dasar negara oleh rezim otoritarian Orde Baru/Soeharto, yang sukses menjerumuskan bangsa ini ke dalam cengkram penghisapan imperialisme-neoliberal sebagai wujud penjajahan gaya baru, dan telah mengukuhkan kapitalisme sebagai sistem hidup tunggal yang penuh relasi penindasan namun harus diamini.

Terinspirasi oleh surat berjudul “Kalau Aku Bisa Memilih” dari Ahmad Akhirul Septian Tridaya, siswa kelas II SDI Nurul Hasanah Tangerang dalam rubrik kiriman anak di media cetak harian KOMPAS, tanggal 30 September 2010 lalu.  Berikut isi suratnya ;

Kalau Aku Bisa Memilih
Aku lahir tanggal 30 September, maka Papa memberiku nama Akhirul Septian, artinya akhir bulan September.
Tetapi, belum lama ini aku mendengar ibu-ibu menertawaiku, katanya 30 September itu hari lahirnya PKI. Kata Papa, PKI itu Partai Komunis Indonesia, orang-orang komunis itu orang yang tidak percaya adanya Tuhan, maka PKI tidak boleh ada.
Kalau sebelum lahir aku boleh memilih tanggal, pasti aku memilih 17 Agustus atau 1 Januari. Pasti aku diperingati banyak orang setiap ulang tahun.


Terbit di Portal KoranOpini.com dan BerdikariOnline.com.
http://koranopini.com/berita-2/news/cerpen/item/2433-papa-aku-anak-pki
http://www.berdikarionline.com/suluh/20141012/papa-aku-anak-pki.html





Kamis, 09 Oktober 2014

Opini : Mengabadikan Nama Pejuang


Oleh : Saddam Cahyo*

Beberapa waktu lalu, aliansi gerakan mahasiswa dari berbagai organisasi baik internal, eksternal, mau pun kampus di Lampung kembali bekerjasama menggelar rangkaian peringatan Tragedi UBL Berdarah 28 September 1999. Sebuah peristiwa pilu era reformasi yang turut tertulis di  sejarah perjuangan demokrasi Indonesia. Dimana dalam nuansa euforia kemenangan politik rakyat menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru, hendak dikekang lagi oleh disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya yang berpotensi membenarkan kembalinya cara-cara represif membungkam aspirasi.

Kala itu penolakan RUU PKB dilakukan secara massif oleh mahasiswa di seluruh penjuru negeri. Puncaknya Tragedi Semanggi II 24 September 1999 dimana Yap Yun Hap mahasiswa UI tewas diterjang peluru aparat di Jakarta. Beberapa hari kemudian represifitas kembali merenggut jiwa anak bangsa, yakni di Lampung M Yusuf Rizal (Mahasiswa Sosiologi Unila) tewas akibat dadanya dijebol peluru tajam, dan Saidatul Fitria (Fotografer SKM Teknokra Unila) tewas setelah koma akibat kepalanya dipopor senapan hingga tersungkur masuk got. Sementara di Palembang, Meyer Ardiansyah (Mahasiswa IBA) tewas tertusuk sangkur di depan Makodam.

Itikad Menghargai Sejarah

Di momentum peringatan 15 tahun tragedi ini, mahasiswa kembali ajukan tuntutan; Pertama, agar dibuat tim ad hoc, sebab dulu Danrem  043 Gatam Kol. Inf. Mudjiono mengaku bertanggung jawab lewat permintaan maafnya pada Dema Unila, dan proyektil peluru di jenazah Ijal sudah disita sebagai barang bukti; Kedua, agar peristiwa ini dapat dikenang secara lebih luas oleh masyarakat dibuatkan tugu peringatan di lokasi Jalan ZA Pagar Alam depan kampus UBL; Ketiga, agar Saidatul Fitria diabadikan menjadi nama gedung Pusat kegiatan Mahasiswa (PKM) Unila sebagaimana pernah dijanjikan.

Namun sayang, dari tahun ke tahun tuntutan yang sama ini tetap tak kunjung ditanggapi  serius oleh pihak-pihak terkait. Anggota dewan yang beberapa kali pernah menemui aksi mahasiswa selalu memberikan janji sekedarnya, sementara Rektor Universitas Lampung malah menolak menepati janji agar nama para pejuang reformasi dari Lampung yang telah berkorban nyawa itu diabadikan sebagai nama gedung. Alasannya karena menganggap kiprah mereka ini sebatas regional saja, bukan nasional  hingga tak cukup mendesak untuk diperjuangkan (Lampost, 1/10).

Padahal jika mau meluangkan waktu untuk membuka mata hati dan mengulik ulang sejarah reformasi, dengan gamblang akan terurai ingatan bahwa Tragedi UBL Berdarah ialah kepingan penting dari sejarah politik bangsa ini. Perjuangan dan pengorbanan mereka jelas telah berhasil dengan dibatalkannya Undang-Undang yang berwatak represif dan anti demokrasi itu. Merasa bersyukur pulalah kita semestinya, karena terbukti setiap tahunnya mahasiswa di Lampung tak pernah absen memperingati perjuangan para pendahulunya, berbeda dengan di daerah lain yang kadang melupakan.

Mengabadikan Perjuangan

Sesungguhnya gerakan mahasiswa merupakan gerakan moral yang punya kekuatan politik signifikan, pergulatan sejarah bangsa selalu ditandai dengan hadirnya gerakan mahasiswa atau pemuda terpelajar sebagai katalisator perubahan. Wajar jika kemudian banyak tokoh pemimpin dan pejuang termashur yang lahir dari kelompok sosial ini, karena mereka memang putra-putri Indonesia yang nalar kritis dan moralnya matang ditempa situasi karut-marutnya negeri.

Wujud apresiasi nyata pada kiprah sejarah kaum muda ini bisa ditelusur lewat upaya mengabadikan nama para pejuangnya. Arief Rahman Hakim aktivis mahasiswa yang tewas tanggal 24 Februari 1966 saat menuntut Tritura, diabadikan sebagai nama masjid di almamaternya Fakultas Kedokteran UI Salemba. Moses Gatot Kaca aktivis mahasiswa Universitas Sanata Dharma yang tewas mengenaskan dalam Peristiwa Gejayan Kelabu Mei 1998, namanya diabadikan sebagai nama jalan di Yogyakarta.

Universitas Trisakti bahkan menganugerahkan nama abadi pada 4 aktivis mahasiswanya yang tewas pada kerusuhan 12 Mei 1998, yakni Elang Mulia Lesmana di gedung Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Hafidhin Royan juga jadi nama salah satu gedung Fakultas Teknik Sipil, Hendrawan Sie di gedung Fakultas Ekonomi dan ternyata Pemda Kalimantan Timur tempatnya berasal juga mengubah nama jalan di kediaman keluarganya, lalu nama Herry Hertanto di gedung Fakultas Teknologi Industri.

Jika masih ingat Sondang Hutagalung, aktivis mahasiswa yang tewas setelah aksi bakar diri di depan Istana Negara pada Desember 2011 lalu, juga resmi menjadi nama ruang praktik peradilan semu di almamaternya Fakultas Hukum Universitas Bung Karno. Atau Aditya Prasetya, alumnus FKIP Unila yang meninggal sakit pada November 2013 saat menjalankan misi kemanusiaan sebagai relawan Gerakan Indonesia Mengajar di daerah terpencil Saumlaki Maluku pun menjadi nama  jalan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Mengabadikan nama pejuang tak cuma bermakna menghormati pengorbanannya, melainkan juga bukti turut mengabadikan perjuangannya. Jelas ini persoalan itikad menghargai sejarah yang dipunyai atau tidak ?
_______
*) Sekretaris LMND  Ekswil Lampung.
    Mahasiswa Sosiologi FISIP Unila.

Terbit diharian cetak LAMPUNG POST, Kamis 9 Oktober 2014. 
http://lampost.co/berita/mengabadikan-nama-pejuang 
    

Selasa, 07 Oktober 2014

Karya Kawan : Dagelan di Balik UU Pilkada

Indonesia masih dihebohkan dengan kegemparan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pemilukada) yang telah disahkan oleh DPR pada tanggal 25 September lalu.

Belum selesai, rakyat indonesia kembali di kagetkan dengan keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mementahkan UU Pilkada Tidak Langsung. Ditengah kelimpungan dan kehebohan ini, rakyat Indonesia masih harus disadarkan penuh jika pemilu hanyalah senjata demokarsi untuk mencapai tujuan utama bangsa ini yang telah dicita-citakan oleh pendiri bangsa kita.

UU Pilkada dan Demokrasi Indonesia

Pengesahan UU Pilkada tidak langsung yang dilakukan oleh anggota DPR dengan dukungan penuh dari kubu Merah-Putih cukup meluluh-lantakkan sendi-sendi demokrasi buah karya Reformasi yang belakangan ini berjalan riuh dalam pesta lima tahunan. Masyarakat menilai, UU Pilkada tidak langsung yang disahkan oleh anggota DPR merupakan produk undang-undang yang sangat menyakiti hati rakyat, dimana proses pemilihan calon kepala daerah tanpa melibatkan campur tangan rakyat dalam proses pemilihannya. Tetapi, bagi kelompok pendukung Pilkada lewat DPRD, ini adalah salah satu jalan untuk mengembalikan demokrasi bangsa ini yang sudah sedemikian liberalnya.

Dua alasan yang menguatkan sikap dari masing-masing kubu yang masih diwarnai sentimen pasca pilpres ini hanya menimbulkan perdebatan teknis yang tidak pernah mengerucut pada persoalan inti bangsa ini, yaitu soal bagaimana berdemokrasi yang baik di negara ini.

Pilkada langsung dengan melibatkan suara rakyat dalam ritual pelaksanaannya memang dinilai mampu menyerap aspirasi rakyat dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya kelak. Tetapi, apakah kemudian dalam tahapan ini persoalan mendasar rakyat soal kemiskinan, pendidikan, jaminan kesehatan dan pemenuhan lapangan kerja tercapai dengan baik sesuai amanat UUD 1945? 

Jawabannya adalah tidak. Karena sampai hari ini, pemilu sebagai senjata Demokrasi tidak pernah mengantarkan cita-cita reformasi bangsa indonesia pada titik klimaksnya. Pemilu hanya berupa pesta lima tahunan yang dihebohkan dengan gerombolan badut-badut politik yang bertengger dengan ribuan janji palsu pada wajah-wajah media dan baliho-baliho besar dipinggir-pinggir jalan.

Bung karno dalam konsep demokrasinya telah mengenalkan konsep sosio-demokrasi yang berdiri pada dua sendi, yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi ditengah-tengah rakyat. Karena sejatinya, proses demokrasi dalam tahapannya harus mengawinkan dua sendi tersebut untuk menciptakan Marhaenisme. Dengan sosio-demokrasi, kaum marhaen akan terpastikan memegang kekuasaan politik, semua urusan berada di bawah kontrol rakyat. Rakyat terlibat langsung dalam memutuskan, menjalankan, dan mengontrol semua kebijakan-kebijakan politik negara. Inilah demokrasi politik.

Sedangkan, konsep lain yang diutarakan bung karno adalah sosio-nasionalisme sederhananya adalah itu tidak hanya mencari atau mengusahakan Indonesia merdeka, yaitu lepas dari kolonialisme dan imperialisme, tetapi juga mengusahakan hilangnya kepincangan dalam masyarakat, yaitu menghilangkan susunan masyarakat kapitalis.

Jadi, jika ada yang bertanya apakah perlu ditolak produk undang-undang Pilkada tidak langsung yang kemarin baru saja disahkan? Tentu saja, karena tidak ada satupun produk undang-undang yang tidak pro dengan rakyat kita imani dan aminkan begitu saja. tetapi, yang perlu menjadi garis besar adalah ketika demokrasi yang dilaksanakan di indonesia saat ini tidak pernah menyentuh inti persoalan seperti konsep yang telah dijabarkan oleh Bung Karno diatas, maka akan melalui tahapan pilkada langsung ataupun tidak langsung tidak akan pernah menghasilkan perubahan berarti terkait kesejahteraan segenap rakyat indonesia. Karena pasca pemilu, badut-badut politik hanya akan memamerkan lawakan-lawakan garing yang semakin memiskinkan rakyat Indonesia.

Terbitnya Perppu Presiden

Dua buah Undang-Undang, yakni UU no. 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan UU no. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus wewenang DPRD memilih kepala daerah, yang telah disahkan tempo hari melalui rapat paripurna DPR yang diwarnai walk out dari salah satu parpol ini telah menuai kecaman dari beragam lapisan masyarakat.

Tetapi tak berumur panjang, dua produk undang-undang pilkada yang telah disahkan ini lantas dipatahkan, dengan ditanda-tanganinya dua beleid oleh presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono yakni Perppu no. 1/2014 berisi aturan mengenai pelaksanaan pemilu kepala daerah oleh rakyat dan mencabut UU no. 22/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta Perppu no. 2/2014 merupakan beleid perubahan atas UU no. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapus wewenang DPRD memilih kepala daerah.

Ini terlalu janggal jika diamati, apalagi proses pengesahan UU pilkada yang kelewat mepet dengan keputusan SBY mengeluarkan Perppu. Jika dilihat menggunakan kacamata awam, tentu keputusan orang nomor satu di Indonesia itu bak telaga air ditengah gurun pasir tandus. Menjawab dengan cepat persoalan bangsa ini dengan kewenangannya sebagai pemangku kuasa di negeri ini.

Ditambah lagi, dengan gagahnya SBY mengatakan jika keputusannya mengeluarkan Perppu adalah merupakan tekadnya dalam menyerap aspirasi rakyat yang konsisten ingin dijalanknnya. Tentu, rakyat indonesia harus sadar jika apa yang diucapkan SBY di detik-detik terakhir kepemimpinannya tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini menjadi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya selama 10 tahun memimpin Indonesia.

Tentu kita masih ingat, berapa kali kebijakan kenaikan BBM dikeluarkan semasa kepemimpinan SBY? Apakah saat itu rakyat Indonesia tidak menjerit dan menolak kebijakan tersebut? Tentu saja iya, lalu kemana SBY saat itu? Mengapa baru hari ini beliau berbicara konsistensi mendengarkan aspirasi rakyat dan mengabulkannya dengan menggunakan wewenangnya sebagai orang nomor satu di Indonesia.

Lagi-lagi rakyat indonesia dibuat bingung oleh ulah pemimpinnya, politik pencitraan yang terang-terangan dilakukan SBY di akhir kepemimpinannya benar-benar telak mengubur arti demokrasi seseungguhnya di negeri ini, politik lagi-lagi hanya dagelan yang membuat lapar para elite politik yang tak segan-segan menyengsarakan rakyat.
_______
Rismayanti Borthon, Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung; Mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Terbit di harian cetak SINAR MERDEKA, Selasa 7 Oktober 2014.

Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, Rabu 8 Oktober 2014.
Sumber Artikel: 
http://www.berdikarionline.com/opini/20141007/dagelan-di-balik-uu-pilkada.html#ixzz3FRReJpOt