Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Jumat, 26 September 2014

Opini : Kriminalisasi dan Lingkaran Setan Konflik Agraria



Oleh : Saddam Cahyo**

Indonesia memang negeri yang sama sekali belum berhasil terbebas dari belenggu lingkaran setan konflik agraria. Lapisan konfliknya pun beragam, dari vertikal antara rakyat dengan negara atau perusahaan, atau yang horizontal dengan sesamanya. Ada yang bermula dari masa kolonialisme, tapi terbanyak terjadi di era Orde Baru. Pasca reformasi hingga sekarang, sengketa tanah seperti terus timbul menjamur hingga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama Presiden SBY menjabat sejak 2004 hingga 2014, setidaknya terjadi 1.391 kasus di seluruh penjuru negeri, dengan cakupan areal 5.711.396 hektar, melibatkan 1.011.090 keluarga, menewaskan 70 orang, 553 luka-luka, 110 tertembak peluru, dan 1.354 orang dikriminalisasikan.

Senjata Tuduhan Provokasi

Pendekatan represif memang kerap diambil sebagai jalan pintas penguasa untuk mengatasi polemik agraria yang terjadi di daerahnya. Barangkali karena tidak tahan lama-lama menghadapi masyarakat yang tampil kotor, berkeringat, miskin, dan ramai-ramai mendatangi kantornya sambil teriak protes. Atau karena tak mau pusing lagi mengulik sejarah konfliknya, dan lebih nyaman negosiasi dengan perusahaan. Alhasil dalam sengketa tanah yang melibatkan masyarakat pemilik lahan dengan perusahaan yang entah bagaimana bisa menguasainya jadi lahan perkebunan, penguasa lebih suka memposisikan warganya sebagai pihak yang bersalah bahkan kriminal.

Masih segar ingatan kita, bulan Maret lalu Puji (33) salah satu petani Batang Hari Jambi yang berkonflik dengan PT Asiatik Persada tewas dalam kondisi kaki dan tangan diborgol, juga luka lebam sekujur tubuh setelah ditangkap atas tuduhan pencurian hasil panen di tanahnya sendiri. Muhamad Ridwan aktivis Serikat Tani Riau yang bertahun-tahun membela petani Pulau Padang Kepri yang berkonflik dengan PT RAPP, bulan April lalu harus rela divonis penjara 16 tahun dengan tuduhan provokasi. Begitu pun dialami Eva S. Bande aktivis FRAS, bulan Mei lalu diburu dan ditangkap seperti teroris akibat perjuangannya membela petani Luwuk Sulawesi Tengah yang bersengketa dengan PT KLS.

Ini sangat memilukan, padahal semestinya kita memberikan apresiasi yang tinggi pada setiap anak bangsa yang berani bangkit memperjuangkan haknya yang terampas, apalagi untuk mereka yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya untuk membela saudara sebangsanya yang tertindas. Tak salah memang jika kemudian banyak orang yang semakin mengedepankan individualitas, karena kepedulian ternyata harus dibayar dengan hukuman, hingga akhirnya keadilan menjadi hal yang paling langka bisa diperoleh di negeri ini.

Bukan Ranahnya Litigasi

Sebagaimana diungkap Novri Susan (2011), konflik agraria di Indonesia kebanyakan tidaklah timbul sebagai perkara baru, melainkan dampak dari praktik abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan  secara sistematis oleh pemerintahan Orde Baru di masa lalu. Ini  kenyataan ironik yang patut diakui bersama, dari sekian banyak kasus yang terungkap ke muka publik, kisahnya hampir senada, rakyat dipaksa menyerahkan hak guna lahannya pada perusahaan perkebunan di bawah intimidasi aparatur negara baik pemerintah daerah mau pun militer, jika melawan diancaman hukum subversif atau tuduhan PKI sebagai jurus ampuh yang membuat pasrah ketimbang harus hidup tersiksa.

Karenanya pemerintahan sekarang ini, baik pusat mau pun daerah, harus jeli memilah mana kasus yang diwariskan oleh pendahulunya. Untuk yang  seperti ini jelas tak bisa digunakan metode penyelesaian secara litigasi atau prosedur hukum positif formal, sebab posisi masyarakat sudah pasti kalah soal legalitas. Bagaimana tidak, di masa itu kebanyakan rakyat memang belum secara penuh melakukan sertifikasi tanahnya, penyerahan lahan pun tanpa proses pembebasan,  sementara aparat negara selalu siap diajak kongkalikong melegalkan semua keperluan perusahaan untuk mengeksploitasi lahan mereka.

Memang dibutuhkan pendekatan khusus seadil-adilnya untuk mengurai dan menuntaskan lingkaran setan konflik agraria di negeri ini. Agar tak ada lagi masyarakat yang terusir dari tanah sendiri, yang dimiskinkan karena lahan garapan dirampas, yang mati atau dipenjara cuma karena berjuang mempertahankan haknya. Kunci utamanya tentulah pada keberpihakan negara, itikad pertanggungjawaban negara, pemerintahan Jokowi-JK mendatang harus mampu menengahi persoalan yang sudah terlanjur kompleks dan mewabah ini, akibatnya pun sudah sangat fatal dalam menyumbang angka kemiskinan.

Sesungguhnya peringatan hari tani nasional (HTN) dari tahun ke tahun nyaris hampa karena mengabaikan makna historisnya, yakni terbitnya UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960. Sebagai aturan hukum tertinggi di bidang agraria, kebijakan ini memang tidaklah sempurna, namun amanatnya untuk menegakkan suatu reforma agraria guna menggapai kesejahteraan bangsa perlulah kembali dianggap penting. Hemat saya, gagasan soal dibentuknya suatu kepanitiaan nasional bersifat ad hoc agar bisa lebih objektif untuk menuntaskan persoalan ini, memang juga sangat mendesak diwujudkan.

___________
** Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung  
         
Terbit di LAMPUNG POST, Kamis 25 September 2014.



Karya Kawan : Perempuan di Pusaran Konflik Agraria*



Mengapa konflik agraria selalu menjadi persoalan luar biasa? Karena sampai hari ini dan kapanpun, tanah sangatlah vital nilainya sebagai alat produksi, sumber penghidupan, investasi, dan sebagai tempat berpijaknya rumah bagi manusia. Saya ingat Ibu Nipis, salah satu petani Ogan Ilir Sumatera Selatan yang berkonflik dengan PTPN Cinta Manis saat melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta bulan November tahun lalu, dengan lantang berkata, “Pemerintah tak perlu repot-repot beri kami pekerjaan, cukup kembalikan saja tanah kami, biarkan kami berproduksi seperti yang dilakukan nenek moyang, itu cukup untuk menghidupi anak cucu kami dan memberikannya pendidikan tinggi”.

Dalam kekisruhan badai konflik agraria di negeri ini, ada satu hal yang perlu diperhatikan lebih objektif, yakni terkait dampaknya bagi kaum perempuan. Betul jika dimasyarakat kita yang patriarkal, laki-laki adalah tulang punggung keluarga, sehingga apapun yang berkaitan dengan nafkah menjadi persoalan utama yang musti diselesaikan oleh mereka. Namun tak bisa dinafikkan, bahwa persoalan konflik agraria ternyata cukup dramatis melibatkan perempuan, baik sebagai istri maupun sebagai anak perempuan yang mulai dewasa dalam keluarga. Berikut saya uraikan bagaimana konflik agraria turut menjadi polemik bagi perempuan indonesia.

Pertama, tersingkirnya peranan bersejarah dalam produksi pertanian. Perempuan sejak awal dibekali keterampilan luar biasa dalam mengelola lahan, bahkan proses bercocok tanam pada masa purbakala diperkenalkan oleh kaum perempuan sebagai solusi persediaan pangan guna bertahan hidup, karena sewaktu-waktu berburu tak bisa dilakukan oleh mereka yang punya siklus biologis hamil dan menyusui. Dari sinilah muncul suatu fase baru yang merubah corak produksi peradaban manusia dari berburu menjadi meramu, dimana perempuan dan lelaki punya peran setara dalam produksi pertanian. 

Di tahun 1950-an hingga 1980-an terjadi gerakan revolusi hijau yang dipelopori Amerika, ini dianggap sebuah transformasi agrikultural yang membawa peningkatan produksi secara signifikan dan diterapkan di banyak negara berkembang di Asia dan Amerika Latin berdasarkan anjuran lembaga-lembaga bonafit semacam The Rockefeller Foundation, Ford Foundation, dan sebagainya.

Namun, pada dasarnya revolusi hijau hanyalah strategi awal globalisasi sektor pertanian, yang kemudian membawa masuk sistem perdagangan bebas dengan dalih dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Faktanya. sejak diberlakukan, angka kemiskinan di Asia dan Afrika justru meningkat mencapai 850 juta penduduk. Ini dikarenakan liberalisasi pasar menyebabkan tidak adanya perlindungan produk lokal. Selain itu pencabutan subsidi akhirnya memicu meningkatnya impor pangan, dan tentu ini merusak harga produk pangan lokal.

Revolusi hijau ini juga memunculkan alat-alat produksi pertanian canggih yang  menggusur tangan-tangan kreatif perempuan dari perannya menyemai padi, bercocok tanam, menyiram tanaman hingga proses pemupukan dan perawatan yang lain. Ini juga menggusur kepemilikan lahan dari tangan petani kepada tangan perusahaan besar. Akibatnya, perempuan tani kehilangan akses pekerjaan dibidangnya, atau sekedar menjadi buruh tani landless. Sebagaimana terungkap oleh Imam Cahyono, dalam Jurnal Perempuan (2005) yang menyebut kemiskinan itu berwajah perempuan.

Kedua, konflik agraria meningkatkan populasi TKW yang rentan hidupnya di negeri orang. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat tahun 2013 ada 6,5 juta jumlah TKI yang bekerja di 142 negara dari 194 negara anggota PBB, berasal dari 392 Kabupaten/Kota dari jumlah total 500 kota/kabupaten seluruh Indonesia. Artinya, hampir seluruh daerah indonesia menjadi penyuplai tenaga kerja ke luar negeri. Ironisnya, sebagian besar tenaga kerja indonesia itu adalah perempuan yang bekerja disektor domestik hanya untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Bukan tanpa alasan perempuan ini memilih menjadi PRT di negari asing. Melainkan, karena tak ada sektor pekerjaan yang mampu menampung mereka agar terlepas dari belenggu kemiskinan di negeri sendiri. Jikapun ada, upahnya sangat rendah dan tak cukup sekedar memenuhi kebutuhan pokok harian. Apa mau dikata, lahan produksi sudah tak lagi ada, sektor pertanian pun tak lagi digalakkan oleh pemerintah hingga jutaan hektar sawah berganti rupa menjadi bangunan beton, atau lahan perkebunan milik perusahaan raksasa. Akhirnya keluarga petani kian termiskinkan dan kaum perempuannya tersingkir mengadu nasib sebagai TKW.

Uniknya dari aktivitas TKW Indonesia yang berhasil pasca pulang ke kampung halaman adalah cenderung membeli tanah garapan baru baik itu persawahan ataupun perkebunan dari tabungan kerjanya. Artinya, sekali lagi tanah memang alat produksi paling urgent dibutuhkan bagi sebagian besar rakyat indonesia. Padahal, jika tak ada konflik agraria yang mengakibatkan petani kehilangan aksesnya, mereka tidak perlu ambil jalan berputar menjadi pembantu diluar negeri hanya untuk membeli sepetak tanah.

Ketiga, akibatnya pada akses pendidikan kaum perempuan. konflik agraria juga menjadi faktor besar kurangnya asupan pendidikan bagi anak-anak yang hidup di wilayah  konflik ini, terlebih anak perempuan. Himpitan ekonomi membuat masyarakatnya menjadi sulit memenuhi kebutuhan pokok apalagi pendidikan bagi anak. Dalam hal ini, perempuan selalu yang paling terpinggirkan, dianggap sebagai objek yang sudah mampu ikut menopang ekonomi keluarga meski masih usia belia, semisal menjadi pembantu rumah tangga. Tak bisa dipungkiri, saat ini banyak sekali tenaga-tenaga kerja sektor domestik yang menempatkan perempuan belia sebagai agennya.

Kondisi ini yang kemudian memudarkan ambisi berpendidikan tinggi bagi kaum perempuan muda karena terpaksa menjadi tulang punggung keluarga. Itulah beberapa polemik yang ditimbulkan oleh konflik agraria dan mendera kaum perempuan. Berdasarkan data Konsorsium pembaruan Agraria (KPA), sepanjang sepuluh tahun kekuasaan SBY, telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, lebih dari 926.700 kepala keluarga harus menjadi korban ketidakadilan agraria dan alami konflik berkepanjangan. Inilah salah satu tugas mendesak bagi pemerintahan baru Jokowi-JK, agar polemik tak berujung yang sangat memilukan ini bisa diurai dan dituntaskan.
_______
(*) Oleh :
Rismayanti Borthon
Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung.
Mahasiswi Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

Terbit di KORAN EDITOR, Rabu 24 September 2014

Senin, 08 September 2014

Opini : Mendobrak Tembok Keadilan untuk Orang Hilang


Oleh : Saddam Cahyo*


30 Agustus kemarin sebenarnya merupakan hari peringatan orang hilang internasional (International Day of the Disappeared), yang dimaksud ialah orang korban penghilangan paksa oleh kekuatan menyimpang penguasa karena tindakan vokal dan kritisnya dianggap sangat mengusik dan merongrong status quo. Sayangnya peringatan ini kurang populer diketahui publik padahal isunya sangat krusial. Tragedi kejahatan Hak Azasi Manusia (HAM) sudah terjadi di seluruh belahan dunia, hingga di tahun 1981 organisasi sosial  bernama FEDEFAM di Kosta Rika menentang keras aksi keji penghilangan paksa sejumlah orang yang dimusuhi negara, pasalnya kebanyakan dari korban pasti mengalami penculikan, intimidasi, siksaan, penjara isolasi, trauma dan depresi, hingga mati dibunuh secara mengenaskan.

Utang Sejarah

Di Indonesia sendiri selama tiga dasawarsa lebih Orde Baru berkuasa bahkan hingga era reformasi, teror kejahatan HAM melalui alat negara (terutama militer) terhadap warganya telah terjadi secara sistematis, terstruktur, dan massif. Sebut saja kasus pembantaian dan pengasingan ’65, Timor Timur ‘75, Tanjung Priok ‘84, Talang Sari ‘89, kerusuhan 27 Juli ‘96, Tragedi Semanggi/Trisakti 1 dan 2, kerusuhan Mei ‘98, DOM Aceh, Papua, dan seterusnya telah menumpuk tinggi ibarat utang sejarah yang semestinya dilunasi oleh pemerintah pada rakyatnya,  namun masih selalu diabaikan.

KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama Ikohi (Ikatan Keluarga Orang Hilang) merupakan dua lembaga yang paling konsen memperjuangkan terwujudnya keadilan HAM di negeri ini, bersama elemen masyarakat lainnya hampir setiap hari kamis mereka konsisten demonstrasi di istana negara menuntut agar dibentuk pengadilan HAM ad hoc yang tak pandang bulu berani menghukum seluruh pelaku tindak kejahatan penghilangan orang secara paksa. Tercatat masih ada lebih dari 1600 orang warga Indonesia masih berstatus dihilangkan dan tak diketahui rimbanya sejak 40 tahun terakhir, yang paling menonjol adalah 13 orang aktivis pro demokrasi (Wiji Thukul, dkk) sejak tahun 98 lalu.

Memang ada kemajuan kecil selama 12 tahun masa transisi, seperti terbentuknya Komisi Nasional HAM yang telah menemukan dugaan pelanggaran HAM berat atas kasus penghilangan aktivis prodem 97-98, namun masih dimentahkan Jaksa Agung. Ada pula rekomendasi pansus DPR RI tahun 2007-2009 pada Presiden SBY dengan jalan pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian ulang, pemulihan korban, hingga ratifikasi konvensi internasional untuk pencegahan terulannya kembali, tapi tak satu pun yang digubris. Tahun 2010 keluarga korban penghilangan juga pernah mengajukan sendiri konsep penyelesaian kasus pada Presiden namun tak juga mendapat respon, sampai mereka melapor pada Ombudsman sekali pun. Di tahun itu juga sebenarnya Indonesia terpilih menjadi anggota dewan HAM PBB padahal sama sekali belum bersih dari lumuran utang dosa sejarah.

Esensi pokok dari hari peringatan ini sebenarnya ialah seruan pada kita semua untuk berani ikut menghentikan tragedi kemanusiaan di negeri yang terlanjur mengklaim telah mencapai era keterbukaan ini. Karena jelas kejahatan represif seperti ini masuk kategori on going crime, terus menerus terjadi sampai sekarang, sebab masih terlalu lemahnya komitmen pada demokrasi. Semisal yang menimpa Martinus Yohame ketua KNPB (Komite Nasional Papua Barat) Wilayah Sorong Raya ditemukan tewas penuh luka lebam sekujur tubuh dan tembakan di dada kiri pada 26 Agustus 2014 setelah sempat hilang hampir seminggu, jasadnya ditemukan mengapung di tepi lautan dalam sebuah karung goni yang terikat (Suarapapua.com, 29/8).

Menghentikan Tragedi

Keberanian untuk itu tak cukup dihadirkan sebatas hanya satu hari di setiap putaran tahun  seperti ritual momentumal saja, melainkan harus jadi kewajiban sepanjang hidup bagi siapa pun. Terutama oleh pemerintahan baru Joko Widodo – Jusuf Kalla mendatang, pasalnya pasangan ini  paling vokal mengkampanyekan semangat penegakkan keadilan HAM khususnya terhadap kasus masa silam. Tetapi belakangan sulit dipungkiri di lingkaran mereka sendiri ada beberapa nama jenderal terduga terlibat dalam kasus kejahatan HAM, yang paling banyak muncul resistensinya adalah sosok A.M. Hendropriyono, yang dianggap penanggung jawab atas tragedi Talang Sari dan tewasnya aktivis Munir justru terpilih sebagai penasihat Rumah Transisi.

Tentu kita tak mau sekedar ditiupkan angin surga, cukup selama 10 tahun pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saja berbagai upaya penegakkan keadilan HAM menemui jalan buntu. Impunitas negara untuk menebus utang sejarah dan menghentikan tragedi kemanusiaan inilah yang harus didobrak bersama. Komitmen yang sudah dimiliki oleh pemerintahan baru seharusnya dikawal secara keras dan konsisten, agar mereka tak lagi bersembunyi bungkam di balik tembok raksasa kelaliman. Sebab tidak ada alasan untuk menolak menghadirkan keadilan bagi rakyatnya, itu semua kewajiban utama yang diamanatkan konstitusi dasar kita demi masa depan bangsa yang lebih bermartabat.
___________
*)  Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) EksWil Lampung  

Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, 5 September 2014.



Rabu, 03 September 2014

Opini : "Jilboobs" Sebagai Problem Kepribadian Bangsa


Oleh : Saddam Cahyo dan Rismayanti Borthon


Anda tahu apa itu ‘jilboobs’ ? barangkali sebagian kalangan yang aktif di kehidupan media sosial sudah akrab dengan istilah ini.

Tentu, ini hanya cuma sebutan sembarang yang berasal dari kata ‘jilbab’ dan ‘boobs’ (dalam bahasa Inggris prokem berarti payudara), lebih tepatnya merujuk pada gaya busana berjilbab namun disertai pakaian ketat hingga membuat lekuk tubuh perempuan sangat tampak menonjol. Ini juga plesetan dari dua istilah terkait trend gaya busana berjilbab yang lebih dulu populer, yakni ‘jilbabers’ bagi pengguna busana jilbab konvensional yang menuruti syariat Islam secara ketat, serta ‘hijabers’ bagi pengguna jilbab yang lebih modis dengan aneka kreasi tanpa mengabaikan syariat.

Sebagai Masalah

Sayangnya, perbincangan ramai tentang ‘jilboobs’ ini justru muncul dalam nuansa yang  peyoratif, dengan meyakininya sebagai masalah besar yang harus diberantas, bahkan patut dicela habis. Sebagian besar pendapat publik tentang fenomena ini memang menganggapnya sebagai wujud penyimpangan dari moral ketimuran yang kita junjung. Di satu sisi, barangkali ini benar, bahwa dalam tatanan masyarakat ideal mana pun, pasti memiliki aturan nilai tertentu tentang seksualitas yang menghendaki adanya kepatutan berpakaian, khususnya bagi perempuan.

Masyarakat Indonesia memang cenderung patriarkal baik dari latar budaya mau pun agamanya, di mana perempuan diposisikan sebagai second sex dengan berbagai penjelasan positifnya. Semisal pandangan tradisional bahwa kaum perempuan atau ibu ialah perwujudan dari “Tuhan yang nampak” karenanya harus diperlakukan secara luhur dengan melindunginya agar keselarasan hidup umat manusia terus berlangsung. Pun dalam Islam sebagai agama mayoritas warganya, perempuan dimuliakan dengan cara dilindungi. Penggunaan jilbab bagi perempuan muslim tak lain untuk memenuhi hakekat ini.

Namun, konsep ideal itu sekarang sudah menemui situasi baru yang sangat paradoksal. Yakni ketika budaya patriarki saling bersambut dengan iklim industri eksploitatif yang ditiupkan oleh liberalisme. Ditambah lagi dengan kian memudarnya kesadaran persatuan nasional yang berkepribadian di benak masyarakat kita. Alhasil, superioritas lelaki untuk merasa berhak menghakimi perempuan sebagai biang kerok seksualitas sembari terus menjadikannya sebagai objek eksploitasi seksual justru kian menggila. Itulah yang nampak gamblang dalam pergunjingan yang hampir menanggalkan segala empati dan kesantunan belakangan ini.

Kita begitu pelupa kalau bebas mengenakan busana jilbab di Indonesia belumlah lama bisa dinikmati perempuan muslim sebagai hak yang dijamin negara. Pemerintah Orde Baru yang berkuasa tiga dasawarsa lebih, pernah secara terbuka menyatakan pelarangan penggunaan jilbab karena dianggap sebagai simbol gerakan politik ekstrim yang membahayakan stabilitas nasional. Selama itu pula hak perempuan muslim terampas dan busana jilbab mendapat stigmaisasi yang memilukan.

Belenggu ini masih harus ditambah dengan terjadinya tindak kejahatan terorisme oleh pihak tak bertanggung jawab beserta ekspos berlebihan bernuansa phobianya di era reformasi belakangan. Kita juga melupakan sebagai negara dengan umat muslim terbesar sedunia, diskriminasi masih nyata terjadi dengan sulitnya perempuan berjilbab menggapai cita-cita di dunia kerja. Semisal Polri, baru satu tahun terakhir membolehkan polwan muslim mengenakan jilbab. Padahal di sisi lain, kita punya prestasi membanggakan dengan menjadi trend-setter busana jilbab dunia terkreatif.

Mengubah Paradigma

Sejak awal persoalannya memang pada kesadaran moral bangsa yang terombang-ambing dalam pusaran liberalisme-patriarkal. Tapi ini memang gejala umum, Global Summit to End Sexual Violence in Conflict yang berlangsung di London Inggris pada 10 – 13 Juni 2014 lalu, yang diikuti oleh 1700an delegasi dari 129 negara, bahkan menyebut untuk memerangi kasus kejahatan seksual pada perempuan yang kian mengkhawatirkan, hal utama yang harus diubah adalah paradigma masyarakat, khususnya soal superioritas lelaki yang secara hegemonik terlalu berlebihan mensubordinatkan perempuan (Ajazeera.com).

Sedang Bung Karno dalam Sarinah (1947) menyebut tiga hal wajib diamalkan perempuan Indonesia, yakni memenuhi hakekat kodratinya, memperjuangkan emansipasi, dan bergotongroyong bersama kaum lelaki mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil makmur tanpa penindasan. Dari situ juga mestinya kita bisa berfikir jernih dan saling meluruskan, bahwa timbulnya masalah ini berakar dari kesalahan bersama baik lelaki mau pun perempuan Indonesia yang abai pada persatuan. Meributkannya terus menerus malah makin memicu terpecah belahnya masyarakat, padahal banyak hal yang lebih urgent untuk dijadikan bahasan bersama supaya bangsa ini berhasil bangkit dari keterpurukan penghisapan imperialisme-neoliberal.

Karenanya kita juga harus lebih bijak, sebab mereka yang tertuduh ‘jilboobs’ kebanyakan kalangan remaja yang membutuhkan bimbingan ketimbang celaan, karena masih dalam proses belajar memahami hakekat jilbab sebagai pelindung yang memuliakan kaumnya. Penggunaan istilah ini pun harus kita sudahi, sebab konotasinya yang melecehkan itu justru semakin melanggengkan krisis kepribadian bangsa, malah merendahkan martabat dan nilai kemanusiaan itu sendiri. Mari bersama kita berbenah ! sebab bukan pakaiannya yang salah, tetapi fikiran manusianya yang kotor.


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20140820/jilboobs-sebagai-problem-kepribadian-bangsa.html#ixzz3CDIbJ0Ld