Mengapa
konflik agraria selalu menjadi
persoalan luar biasa? Karena sampai hari ini dan kapanpun, tanah sangatlah vital nilainya sebagai
alat produksi, sumber
penghidupan, investasi,
dan sebagai tempat berpijaknya
rumah bagi manusia. Saya ingat Ibu Nipis, salah
satu petani Ogan Ilir Sumatera Selatan yang berkonflik dengan PTPN Cinta Manis saat melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta bulan
November tahun lalu, dengan lantang berkata, “Pemerintah tak perlu
repot-repot beri kami pekerjaan, cukup kembalikan saja tanah kami, biarkan kami
berproduksi seperti yang dilakukan nenek moyang, itu cukup untuk menghidupi
anak cucu kami dan memberikannya pendidikan tinggi”.
Dalam
kekisruhan badai konflik agraria di negeri
ini, ada satu hal yang perlu diperhatikan
lebih objektif, yakni terkait dampaknya bagi kaum
perempuan. Betul jika dimasyarakat kita yang
patriarkal, laki-laki adalah tulang punggung
keluarga, sehingga apapun yang berkaitan dengan nafkah menjadi persoalan utama
yang musti diselesaikan oleh mereka.
Namun tak bisa dinafikkan, bahwa persoalan konflik
agraria ternyata cukup dramatis melibatkan perempuan, baik
sebagai istri maupun sebagai anak perempuan yang mulai dewasa dalam keluarga. Berikut saya uraikan
bagaimana konflik agraria turut menjadi
polemik bagi perempuan indonesia.
Pertama, tersingkirnya peranan bersejarah dalam produksi
pertanian. Perempuan
sejak awal dibekali keterampilan luar biasa dalam mengelola lahan, bahkan proses bercocok tanam
pada masa purbakala diperkenalkan oleh kaum perempuan sebagai solusi persediaan
pangan guna bertahan hidup, karena
sewaktu-waktu berburu tak bisa dilakukan oleh
mereka yang punya siklus biologis hamil dan menyusui.
Dari sinilah muncul suatu fase baru yang merubah corak produksi peradaban manusia dari berburu menjadi meramu, dimana perempuan dan
lelaki punya peran setara dalam produksi pertanian.
Di
tahun 1950-an hingga 1980-an terjadi gerakan
revolusi
hijau yang dipelopori Amerika,
ini dianggap sebuah
transformasi agrikultural yang membawa peningkatan produksi secara signifikan dan diterapkan di banyak negara
berkembang di Asia dan Amerika
Latin berdasarkan anjuran lembaga-lembaga bonafit semacam The
Rockefeller Foundation, Ford Foundation, dan sebagainya.
Namun, pada dasarnya revolusi
hijau hanyalah strategi awal globalisasi sektor pertanian, yang kemudian membawa
masuk sistem perdagangan bebas dengan
dalih dapat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Faktanya. sejak diberlakukan,
angka kemiskinan di Asia dan Afrika justru meningkat mencapai 850 juta
penduduk. Ini
dikarenakan liberalisasi pasar menyebabkan
tidak
adanya perlindungan produk lokal. Selain itu pencabutan subsidi akhirnya memicu
meningkatnya impor pangan, dan tentu ini
merusak harga produk pangan lokal.
Revolusi hijau ini juga memunculkan alat-alat produksi
pertanian canggih yang
menggusur
tangan-tangan kreatif perempuan dari perannya menyemai padi, bercocok tanam,
menyiram tanaman hingga proses pemupukan dan perawatan yang lain. Ini juga menggusur kepemilikan lahan dari tangan
petani kepada tangan perusahaan besar. Akibatnya,
perempuan tani kehilangan
akses pekerjaan dibidangnya,
atau sekedar menjadi buruh
tani landless. Sebagaimana terungkap oleh Imam
Cahyono, dalam Jurnal Perempuan
(2005) yang menyebut kemiskinan itu berwajah perempuan.
Kedua, konflik agraria meningkatkan populasi TKW yang rentan hidupnya di negeri orang.
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat tahun 2013 ada 6,5 juta jumlah TKI yang
bekerja di 142 negara dari 194 negara anggota PBB, berasal dari 392
Kabupaten/Kota dari jumlah total 500 kota/kabupaten seluruh Indonesia. Artinya,
hampir seluruh daerah indonesia menjadi penyuplai tenaga kerja ke luar negeri. Ironisnya, sebagian
besar tenaga kerja indonesia itu adalah perempuan yang bekerja disektor
domestik hanya untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.
Bukan
tanpa alasan perempuan ini memilih menjadi PRT
di negari asing. Melainkan, karena tak ada sektor pekerjaan yang mampu menampung mereka
agar terlepas dari belenggu kemiskinan di negeri sendiri.
Jikapun ada, upahnya
sangat rendah dan tak cukup sekedar memenuhi
kebutuhan pokok harian. Apa mau dikata,
lahan produksi sudah tak lagi ada, sektor pertanian pun tak lagi digalakkan
oleh pemerintah hingga jutaan hektar sawah berganti rupa menjadi bangunan
beton, atau lahan perkebunan milik perusahaan raksasa. Akhirnya keluarga petani
kian termiskinkan dan kaum perempuannya tersingkir mengadu nasib sebagai TKW.
Uniknya dari aktivitas TKW
Indonesia yang berhasil pasca
pulang ke kampung halaman adalah cenderung
membeli tanah garapan baru baik itu
persawahan ataupun perkebunan dari tabungan kerjanya.
Artinya, sekali lagi tanah
memang alat produksi paling
urgent dibutuhkan bagi
sebagian besar rakyat indonesia. Padahal, jika tak ada
konflik agraria yang mengakibatkan petani kehilangan aksesnya, mereka tidak
perlu ambil jalan berputar
menjadi pembantu diluar negeri hanya untuk membeli sepetak tanah.
Ketiga, akibatnya pada akses pendidikan kaum perempuan.
konflik agraria juga menjadi faktor besar kurangnya asupan pendidikan bagi
anak-anak yang hidup di wilayah konflik ini, terlebih anak perempuan. Himpitan ekonomi membuat
masyarakatnya menjadi
sulit memenuhi kebutuhan pokok apalagi pendidikan bagi anak. Dalam hal ini,
perempuan selalu yang
paling terpinggirkan, dianggap sebagai objek yang sudah mampu ikut menopang ekonomi
keluarga meski masih usia belia, semisal
menjadi pembantu rumah
tangga. Tak bisa dipungkiri, saat ini banyak sekali tenaga-tenaga kerja sektor
domestik yang menempatkan perempuan belia sebagai agennya.
Kondisi
ini yang kemudian memudarkan ambisi berpendidikan tinggi bagi kaum perempuan muda karena terpaksa menjadi tulang punggung
keluarga. Itulah beberapa polemik
yang ditimbulkan oleh
konflik agraria dan
mendera kaum perempuan.
Berdasarkan data
Konsorsium pembaruan Agraria (KPA),
sepanjang sepuluh tahun kekuasaan SBY, telah
terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik
Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar, lebih
dari 926.700 kepala keluarga harus menjadi korban ketidakadilan agraria
dan alami konflik
berkepanjangan. Inilah salah satu tugas mendesak bagi pemerintahan baru Jokowi-JK, agar polemik tak berujung yang sangat memilukan ini bisa diurai dan
dituntaskan.
_______
(*) Oleh :
Rismayanti
Borthon
Ketua Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Kota Bandar Lampung.
Mahasiswi Jurusan
Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Terbit di KORAN EDITOR, Rabu 24 September 2014
Sumber
Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20140924/perempuan-ditengah-kecamuk-konflik-agraria.html#ixzz3EF5DfJvR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar