Oleh : Saddam Cahyo*
30
Agustus kemarin sebenarnya merupakan hari peringatan orang hilang internasional
(International Day of the Disappeared),
yang dimaksud ialah orang korban penghilangan paksa oleh kekuatan menyimpang
penguasa karena tindakan vokal dan kritisnya dianggap sangat mengusik dan
merongrong status quo. Sayangnya peringatan
ini kurang populer diketahui publik padahal isunya sangat krusial. Tragedi
kejahatan Hak Azasi Manusia (HAM) sudah terjadi di seluruh belahan dunia,
hingga di tahun 1981 organisasi sosial
bernama FEDEFAM di Kosta Rika menentang keras aksi keji penghilangan
paksa sejumlah orang yang dimusuhi negara, pasalnya kebanyakan dari korban
pasti mengalami penculikan, intimidasi, siksaan, penjara isolasi, trauma dan
depresi, hingga mati dibunuh secara mengenaskan.
Utang Sejarah
Di
Indonesia sendiri selama tiga dasawarsa lebih Orde Baru berkuasa bahkan hingga
era reformasi, teror kejahatan HAM melalui alat negara (terutama militer) terhadap
warganya telah terjadi secara sistematis, terstruktur, dan massif. Sebut saja
kasus pembantaian dan pengasingan ’65, Timor Timur ‘75, Tanjung Priok ‘84, Talang
Sari ‘89, kerusuhan 27 Juli ‘96, Tragedi Semanggi/Trisakti 1 dan 2, kerusuhan
Mei ‘98, DOM Aceh, Papua, dan seterusnya telah menumpuk tinggi ibarat utang
sejarah yang semestinya dilunasi oleh pemerintah pada rakyatnya, namun masih selalu diabaikan.
KontraS
(Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) bersama Ikohi (Ikatan
Keluarga Orang Hilang) merupakan dua lembaga yang paling konsen memperjuangkan
terwujudnya keadilan HAM di negeri ini, bersama elemen masyarakat lainnya hampir
setiap hari kamis mereka konsisten demonstrasi di istana negara menuntut agar
dibentuk pengadilan HAM ad hoc yang
tak pandang bulu berani menghukum seluruh pelaku tindak kejahatan penghilangan
orang secara paksa. Tercatat masih ada lebih dari 1600 orang warga Indonesia masih
berstatus dihilangkan dan tak diketahui rimbanya sejak 40 tahun terakhir, yang
paling menonjol adalah 13 orang aktivis pro demokrasi (Wiji Thukul, dkk) sejak
tahun 98 lalu.
Memang
ada kemajuan kecil selama 12 tahun masa transisi, seperti terbentuknya Komisi
Nasional HAM yang telah menemukan dugaan pelanggaran HAM berat atas kasus
penghilangan aktivis prodem 97-98, namun masih dimentahkan Jaksa Agung. Ada
pula rekomendasi pansus DPR RI tahun 2007-2009 pada Presiden SBY dengan jalan
pembentukan pengadilan HAM ad hoc,
pencarian ulang, pemulihan korban, hingga ratifikasi konvensi internasional untuk
pencegahan terulannya kembali, tapi tak satu pun yang digubris. Tahun 2010
keluarga korban penghilangan juga pernah mengajukan sendiri konsep penyelesaian
kasus pada Presiden namun tak juga mendapat respon, sampai mereka melapor pada
Ombudsman sekali pun. Di tahun itu juga sebenarnya Indonesia terpilih menjadi
anggota dewan HAM PBB padahal sama sekali belum bersih dari lumuran utang dosa
sejarah.
Esensi
pokok dari hari peringatan ini sebenarnya ialah seruan pada kita semua untuk
berani ikut menghentikan tragedi kemanusiaan di negeri yang terlanjur mengklaim
telah mencapai era keterbukaan ini. Karena jelas kejahatan represif seperti ini
masuk kategori on going crime, terus
menerus terjadi sampai sekarang, sebab masih terlalu lemahnya komitmen pada
demokrasi. Semisal yang menimpa Martinus Yohame ketua KNPB (Komite Nasional
Papua Barat) Wilayah Sorong Raya ditemukan tewas penuh luka lebam sekujur tubuh
dan tembakan di dada kiri pada 26 Agustus 2014 setelah sempat hilang hampir
seminggu, jasadnya ditemukan mengapung di tepi lautan dalam sebuah karung goni
yang terikat (Suarapapua.com, 29/8).
Menghentikan Tragedi
Keberanian
untuk itu tak cukup dihadirkan sebatas hanya satu hari di setiap putaran tahun seperti ritual momentumal saja, melainkan
harus jadi kewajiban sepanjang hidup bagi siapa pun. Terutama oleh pemerintahan
baru Joko Widodo – Jusuf Kalla mendatang, pasalnya pasangan ini paling vokal mengkampanyekan semangat
penegakkan keadilan HAM khususnya terhadap kasus masa silam. Tetapi belakangan
sulit dipungkiri di lingkaran mereka sendiri ada beberapa nama jenderal terduga
terlibat dalam kasus kejahatan HAM, yang paling banyak muncul resistensinya
adalah sosok A.M. Hendropriyono, yang dianggap penanggung jawab atas tragedi
Talang Sari dan tewasnya aktivis Munir justru terpilih sebagai penasihat Rumah Transisi.
Tentu
kita tak mau sekedar ditiupkan angin surga, cukup selama 10 tahun pemerintahan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono saja berbagai upaya penegakkan keadilan HAM
menemui jalan buntu. Impunitas negara untuk menebus utang sejarah dan
menghentikan tragedi kemanusiaan inilah yang harus didobrak bersama. Komitmen
yang sudah dimiliki oleh pemerintahan baru seharusnya dikawal secara keras dan konsisten,
agar mereka tak lagi bersembunyi bungkam di balik tembok raksasa kelaliman.
Sebab tidak ada alasan untuk menolak menghadirkan keadilan bagi rakyatnya, itu
semua kewajiban utama yang diamanatkan konstitusi dasar kita demi masa depan
bangsa yang lebih bermartabat.
___________
*) Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi (LMND) EksWil Lampung
Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, 5 September 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar