Oleh: Rizqy Umami
(Mahasiswi Pascasarjana PEP UNY 2015)
Artikel berita KOMPAS
bertanggal 28 Januari 1993 yang mengutip diskursus dalam sebuah
Lokakarya Internasional bertemakan "Pendekatan Filsafat
Ketimuran dalam Menangani Problema Kaum Muda" ini sangatlah
menarik. Pasalnya, meski sudah lebih dari dua puluh tahun berlalu,
tema yang dibahasnya terasa masih cukup relevan dengan realitas
problem kebangsaan saat ini. Khususnya bagi generasi muda Indonesia,
kegamangan akan nilai-nilai kehidupan, baik sebagai diri pribadi,
maupun sebagai bangsa, sesungguhnya masih terus berlangsung.
Antropolog Niels Mulder,
dalam artikel itu menyebut bahwa terdapat kekosongan moril dalam
masyarakat kita, karena belum juga mampu menemukan nilai-nilai baru.
Sementara ini sudah bukan lagi masanya untuk terus memilah
nilai-nilai Kebaratan dengan Ketimuran, karena peradaban manusia
sudah mengalami problem kebudayaan yang sama sekali baru.
Senada dengan pandangan
ini, budayawan Y.B. Mangunwijaya dalam artikel ini menjelaskan bahwa
kebudayaan adalah organisme hidup, yang tidak memiliki nilai tetap
sebagaimana benda mati. Bahkan ia menegaskan bahwa generasi muda
semestinya bisa lebih aktif dan penuh kreasi, bukan malah bersikap
pasif dengan hanya menjadi penerus tongkat estafet kebudayaan.
Sudah menjadi hakikat
bahwa kebudayaan itu memang bersifat dinamis, adaptif, dan
integratif. Apa yang dimaksud oleh Mangunwijaya adalah teguran keras
bagi kita semua. Harus diakui bahwa kaum muda Indonesia secara umum
memang punya kecenderungan untuk selalu mengharapkan hal yang
instant. Bahkan kepada nilai-nilai kehidupan pun rasanya begitu
enggan berinovasi, maunya hanya mengandalkan nilai-nilai lama yang
sayangnya juga tidaklah begitu diresapi dalam kehidupan.
Nilai-nilai yang berupa
barang jadi itu berkembang hampir menyerupai jargon-jargon atau
slogan yang semu. Dipergunakan hanya sebagai identitas, sementara
substansinya semakin diabaikan. Sebut saja nilai kebhinekaan yang
sering dibanggakan, namun selalu dinodai dengan sentimen SARA yang
seolah tak berujung-pangkal. Atau nilai Pancasila yang begitu
dibanggakan sebagai hapalan tetapi selalu dipinggirkan dalam
pemahaman dan praktik kehidupan sehari-hari.
Sementara waktu terus
bergulir, dinamika zaman terus memperkaya realitas problem kebudayaan
yang kita hadapi. Sementara kemampuan subjektif masyarakat Indonesia
untuk menjawab persoalan ini masih belum banyak bergerak dari masa
dua dekade yang lalu. Masih banyak dari kita yang sibuk
mempertentangkan nilai-nilai Kebaratan dengan Ketimuran. Lagi-lagi
hanya sebagai identitas, untuk menghakimi yang satu, demi
mengunggulkan yang lain. Padahal sudah begitu jelas, perdebatan
seperti itu amatlah usang, dan tidak lagi pokok.
Patut disadari bahwa
kehidupan kita di negara-negara dunia ketiga ini tidaklah terlepas
dari tarik ulur pengaruh atau kepentingan banyak kebudayaan dominan,
baik dari negeri-negeri barat maupun timur. Pengaruh teknologi
ataupun budaya populer, dari negeri seperti Amerika, Eropa, Jepang,
Jazirah Arab misalnya, sesugguhnya telah ikut terinternalisasi dalam
kebudayaan nasional kita. Hal ini terutama tercermin dari nuansa
kehidupan kebanyakan generasi muda Indonesia.
Tentu saja, pengaruh
nilai-nilai dari luar ini sangat berbeda dengan persentuhan
kebudayaan di masa lalu. Sifatnya lebih hegemonik tetapi sangat cair
dan beragam. Sementara di masa lalu, karena praktek kolonialisme,
hegemoni kebudayaan cenderung dilatari oleh dominasi struktural satu
atau beberapa kebudayaan dominan saja.
Ikut terjebak dalam
dikotomi yang memaksakan pilihan pada nilai-nilai Ketimuran atau
Kebaratan saja, hemat saya adalah tindakan yang mubazir, kurang
berguna dan patut disayangkan. Sementara terus hanyut dalam
pengabaian atas problem kebudayaan ini adalah tindakan bodoh yang
tidak semestinya. Sementara harus disadari betul bahwa nilai-nilai
baru itupun memang belumlah terwujud.
Namun, dari artikel
tersebut kita bisa menangkap keresahan yang pantas dijadikan sebagai
bekal oto-kritik. Bahwa sudahkah kita melakukan kebaikan dengan
mempersempit jarak antara budi pekerti dan perilaku hidup yang nyata?
Mengingat kekosongan moril yang dirisaukan para begawan tersebut juga
cerminan dari apa yang kita rasakan. Betapa nilai-nilai kebaikan yang
diajarkan selalu dimentahkan oleh berbagai praktik penyelewengan,
penindasan, dan penyalahgunaan wewenang.
Pengabaian terhadap
kekosongan moril inilah yang bisa memperburuk keadaan, karena secara
kolektif bangsa kita bisa semakin kehilangan kehendak untuk membangun
nilai-nilai baru yang paling sesuai dengan tuntutan zaman. Kita akan
terus terombang-ambing menjadi pembebek kebudayaan asing, dan lebih
buruk lagi jika sampai tak sudi mengusunh nilai apapun.
Timur, Barat, atau lainnya
tentu memiliki sisi buruk dan juga baik. Sejarah mengajarkan, bangsa
kita bukanlah bangsa yang mudah ditaklukan, bukan pula bangsa yang
begitu tertutup. Dibekali dengan local genius, semestinya generasi
muda Indonesia mampu menyaring keburukan, sekaligus menyerap segala
kebaikan dari nilai-nilai Ketimuran maupun Kebaratan.
Hal terpenting sebagaimana
diingatkan Niels Mulder dalam diskursus di artikel tersebut, bahwa
realitas objektiflah yang semestinya menjadi pijakan bagi pembangunan
nilai-nilai baru. Jangan lagi kita berpijak pada nilai-nilai jargonis
yang dipaksakan, yang justru menciptakan persoalan baru. Apabila
berangkat dari pengalaman kolektif, kita bisa merumuskan persoalan
bersama dengan tepat, dan memandu kita menuju pemajaman akan
nilai-nilai apa yang sesungguhnya kita butuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar