Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 22 Maret 2017

REVIEW ARTIKEL : Menelusur Nilai-Nilai Kebangsaan Di Persimpangan Timur-Barat

Oleh: Rizqy Umami
(Mahasiswi Pascasarjana PEP UNY 2015)


Artikel berita KOMPAS bertanggal 28 Januari 1993 yang mengutip diskursus dalam sebuah Lokakarya Internasional bertemakan "Pendekatan Filsafat Ketimuran dalam Menangani Problema Kaum Muda" ini sangatlah menarik. Pasalnya, meski sudah lebih dari dua puluh tahun berlalu, tema yang dibahasnya terasa masih cukup relevan dengan realitas problem kebangsaan saat ini. Khususnya bagi generasi muda Indonesia, kegamangan akan nilai-nilai kehidupan, baik sebagai diri pribadi, maupun sebagai bangsa, sesungguhnya masih terus berlangsung.

Antropolog Niels Mulder, dalam artikel itu menyebut bahwa terdapat kekosongan moril dalam masyarakat kita, karena belum juga mampu menemukan nilai-nilai baru. Sementara ini sudah bukan lagi masanya untuk terus memilah nilai-nilai Kebaratan dengan Ketimuran, karena peradaban manusia sudah mengalami problem kebudayaan yang sama sekali baru.

Senada dengan pandangan ini, budayawan Y.B. Mangunwijaya dalam artikel ini menjelaskan bahwa kebudayaan adalah organisme hidup, yang tidak memiliki nilai tetap sebagaimana benda mati. Bahkan ia menegaskan bahwa generasi muda semestinya bisa lebih aktif dan penuh kreasi, bukan malah bersikap pasif dengan hanya menjadi penerus tongkat estafet kebudayaan.

Sudah menjadi hakikat bahwa kebudayaan itu memang bersifat dinamis, adaptif, dan integratif. Apa yang dimaksud oleh Mangunwijaya adalah teguran keras bagi kita semua. Harus diakui bahwa kaum muda Indonesia secara umum memang punya kecenderungan untuk selalu mengharapkan hal yang instant. Bahkan kepada nilai-nilai kehidupan pun rasanya begitu enggan berinovasi, maunya hanya mengandalkan nilai-nilai lama yang sayangnya juga tidaklah begitu diresapi dalam kehidupan.

Nilai-nilai yang berupa barang jadi itu berkembang hampir menyerupai jargon-jargon atau slogan yang semu. Dipergunakan hanya sebagai identitas, sementara substansinya semakin diabaikan. Sebut saja nilai kebhinekaan yang sering dibanggakan, namun selalu dinodai dengan sentimen SARA yang seolah tak berujung-pangkal. Atau nilai Pancasila yang begitu dibanggakan sebagai hapalan tetapi selalu dipinggirkan dalam pemahaman dan praktik kehidupan sehari-hari.

Sementara waktu terus bergulir, dinamika zaman terus memperkaya realitas problem kebudayaan yang kita hadapi. Sementara kemampuan subjektif masyarakat Indonesia untuk menjawab persoalan ini masih belum banyak bergerak dari masa dua dekade yang lalu. Masih banyak dari kita yang sibuk mempertentangkan nilai-nilai Kebaratan dengan Ketimuran. Lagi-lagi hanya sebagai identitas, untuk menghakimi yang satu, demi mengunggulkan yang lain. Padahal sudah begitu jelas, perdebatan seperti itu amatlah usang, dan tidak lagi pokok.

Patut disadari bahwa kehidupan kita di negara-negara dunia ketiga ini tidaklah terlepas dari tarik ulur pengaruh atau kepentingan banyak kebudayaan dominan, baik dari negeri-negeri barat maupun timur. Pengaruh teknologi ataupun budaya populer, dari negeri seperti Amerika, Eropa, Jepang, Jazirah Arab misalnya, sesugguhnya telah ikut terinternalisasi dalam kebudayaan nasional kita. Hal ini terutama tercermin dari nuansa kehidupan kebanyakan generasi muda Indonesia.

Tentu saja, pengaruh nilai-nilai dari luar ini sangat berbeda dengan persentuhan kebudayaan di masa lalu. Sifatnya lebih hegemonik tetapi sangat cair dan beragam. Sementara di masa lalu, karena praktek kolonialisme, hegemoni kebudayaan cenderung dilatari oleh dominasi struktural satu atau beberapa kebudayaan dominan saja.

Ikut terjebak dalam dikotomi yang memaksakan pilihan pada nilai-nilai Ketimuran atau Kebaratan saja, hemat saya adalah tindakan yang mubazir, kurang berguna dan patut disayangkan. Sementara terus hanyut dalam pengabaian atas problem kebudayaan ini adalah tindakan bodoh yang tidak semestinya. Sementara harus disadari betul bahwa nilai-nilai baru itupun memang belumlah terwujud.

Namun, dari artikel tersebut kita bisa menangkap keresahan yang pantas dijadikan sebagai bekal oto-kritik. Bahwa sudahkah kita melakukan kebaikan dengan mempersempit jarak antara budi pekerti dan perilaku hidup yang nyata? Mengingat kekosongan moril yang dirisaukan para begawan tersebut juga cerminan dari apa yang kita rasakan. Betapa nilai-nilai kebaikan yang diajarkan selalu dimentahkan oleh berbagai praktik penyelewengan, penindasan, dan penyalahgunaan wewenang.

Pengabaian terhadap kekosongan moril inilah yang bisa memperburuk keadaan, karena secara kolektif bangsa kita bisa semakin kehilangan kehendak untuk membangun nilai-nilai baru yang paling sesuai dengan tuntutan zaman. Kita akan terus terombang-ambing menjadi pembebek kebudayaan asing, dan lebih buruk lagi jika sampai tak sudi mengusunh nilai apapun.

Timur, Barat, atau lainnya tentu memiliki sisi buruk dan juga baik. Sejarah mengajarkan, bangsa kita bukanlah bangsa yang mudah ditaklukan, bukan pula bangsa yang begitu tertutup. Dibekali dengan local genius, semestinya generasi muda Indonesia mampu menyaring keburukan, sekaligus menyerap segala kebaikan dari nilai-nilai Ketimuran maupun Kebaratan.

Hal terpenting sebagaimana diingatkan Niels Mulder dalam diskursus di artikel tersebut, bahwa realitas objektiflah yang semestinya menjadi pijakan bagi pembangunan nilai-nilai baru. Jangan lagi kita berpijak pada nilai-nilai jargonis yang dipaksakan, yang justru menciptakan persoalan baru. Apabila berangkat dari pengalaman kolektif, kita bisa merumuskan persoalan bersama dengan tepat, dan memandu kita menuju pemajaman akan nilai-nilai apa yang sesungguhnya kita butuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar