Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Rabu, 22 Maret 2017

Refleksi Kebangsaan: Memahami Indonesia dalam Pusaran Polemik Kebhinekaan

Oleh : Rizqy Umami
( Mahasiswi Pascasarjana PEP UNY 2015 )


Indonesia merupakan negeri yang diberkati keistimewaan dalam banyak hal, terutama keberagamannya di segala aspek yang sudah sepatutnya disyukuri sebagai harta kolektif. Segala perbedaan yang terbentang dari ujung Sabang hingga Merauke, mulai dari aspek geografis, tradisi, bahasa, etnis, hingga agama dan kepercayaan, pada akhirnya menjelma sebagai keberagaman yang melekat dalam suatu identitas nasional.

Kesadaran ini sayangnya belumlah mencapai final dan bebas dari sanggahan. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menunjukkan betapa konsepsi kemajemukan masih terus diuji lewat berbagai konflik dan perpecahan, baik yang berlangsung secara vertikal maupun horizontal. Contoh terdekat ialah runtutan fenomena aksi massa dalam skala nasional yang bernuansa SARA, yakni Aksi 411, Aksi 212, dan berbagai reaksi terhadapnya.

Konflik Sebagai Ujian Integritas Nasional

Aksi massa bertajuk "Bela Islam" yang berlangsung di Jakarta sebagai Ibukota Negara pada tanggal 4 November 2016 yang lalu, merupakan kulminasi dari keresahan sebagian kalangan masyarakat Indonesia atas indikasi telah terjadinya dugaan penistaan agama Islam. Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, salah satu calon Gubernur DKI Jakarta yang berlatar non muslim dianggap bersalah karena menyitir Surat Al Maidah ayat 51 dalam pidato kampanyenya di Kepulauan Seribu.

Penggalan video rekamannya menyebar sebagai viral di berbagai media sosial dan internet. Berbagai pihak kemudian mengolahnya dari isu politik pemilukada menjadi isu yang bernuansa sentimen agama dan etnis. Sementara mayoritas masyarakat Indonesia merupakan umat muslim, data sensus BPS tahun 2010 bahkan menyebut angka 87,17% dari total populasi. Sehingga isu yang sensitif seperti ini sangatlah mudah menuai resistensi.

Mobilisasi dalam aksi massa tersebut diperkirakan mencapai angka dua ratus ribu orang, yang datang berbondong-bondong dari berbagai daerah. Tuntutan utama sebagaimana dilansir dalam surat pemberitahuan ke pihak kepolisian ialah agar Ahok bisa diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perkataannya. Namun, sayangnya beredar pula wacana disintegritas seperti anti etnis Cina/Tionghoa, tudingan kafir, dan sebagainya.

Aksi ini ternyata berdampak besar bagi kohesifitas masyarakat Indonesia, maupun stabilitas nasional bagi pemerintah. Isunya terus meluas, berkembang, dan menjadi kontroversial, bahkan situasinya sempat menimbulkan ketegangan horizontal antar masyarakat yang bereaksi terhadapnya. Namun, patut diapresiasi bahwa pemerintah cukup responsif dengan segera melakukan pemeriksaan hukum kepada pihak-pihak yang diduga terlibat dan tersangka.

Pemerintah Indonesia beserta jajarannya kemudian melakukan konsolidasi, dan menginisiasi gerakan "Apel Siaga Nusantara Bersatu". Tujuannya tak lain untuk meredakan keadaan, hal ini memang krusial, karena dalam situasi konflik harus ada pihak yang mengambil posisi arbitrase untuk menengahi dan memediasi masing-masing pihak yang terlibat langsung maupun yang bersimpati agar tercipta konsensus yang melegakan (Soekamto, 1982: 291).

Fenomena ini masih terus berlanjut hingga kembali dilakukannya mobilisasi ratusan ribu massa aksi dengan tuntutan yang sama di tanggal 2 Desember 2106 lalu. Namun, tidak sampai menimbulkan kericuhan dan vandalisme sebagaimana terjadi di aksi sebelumnya, lantaran Presiden RI segera tanggap membuka ruang dialog dan mendatangi langsung ke lokasi demonstrasi.

Tak lama berselang, di tanggal 4 Desember 2016, dan seolah saling berjawab juga dilangsungkan aksi "Parade Kebhinekaan" yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial-politik di Jakarta sebagai respon terhadap aksi sebelumnya. Meski demikian, konflik adalah keniscayaan dalam suatu bangsa, ia bisa melahirkan perubahan sosial yang tak selamanya negatif. Menjadi tanggung jawab bersama bagi setiap elemen masyarakat untuk dapat mengelolanya sebagai jalan menuju penguatan integritas nasional.

Memaknai Kembali Hakikat Kebhinekaan

Para pendiri Republik Indonesia pada dasarnya sudah dengan tepat memberikan fondasi yang kokoh bagi bangunan kemerdekaan yang sekarang ini kita nikmati. Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional, sudah secara eksplisit menegaskan keberagaman sebagai hakikat yang menyatukan, bukan sebaliknya menjadi alasan bagi terciptanya perpecahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Patut kembali disadari bahwa bangsa Indonesia ini terbentuk bukan hanya dilatari oleh cultural unity atau karena berada dalam satu persekutuan hidup yang sama ras, religi,bahasa sejarah, dan adat istiadat. Lebih dari itu, bangsa ini juga terbentuk karena adanya political unity, dimana telah terdapat suatu kesepahaman, terbentuk suatu kesadaran akan kesamaan cita-cita untuk dapat hidup berdaulat, adil, dan makmur (Winarno, 2009: 31).

Problemnya, kesadaran yang seperti itu memang kian terkikis dan memudar dalam kehidupan masyarakat Indonesia belakangan. Terlalu sering terjadi saling silang pendapat yang berujung pada permusuhan antar saudara sebangsa. Oleh karenanya, perlu kembali digencarkan upaya-upaya kolektif dalam memaknai hakikat kebhinekaan dengan segenap kebesaran hati dan keluasan alam pikiran.

Zainal Abidin Bagir (2009: 29-31) misalnya, menerangkan konsepsi Pluralisme Kewargaan untuk memisahkannya dari konsepsi Pliralisme Teologis yang sensitif. Maksudnya, memusatkan perhatian pada bagaimana masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok identitas yang berbeda dapat hidup bersama dalam ikatan negara-bangsa yang mempersatukan. Dengan demikian ada pemilahan yang tegas antara ranah teologis dengan kewargaan.

Dalam hal kewargaan, yaitu sebagai warga negara, baik secara individu-individu maupun asosiasi atau kelompok, jelas memiliki hak untuk bertindak (berpendapat, melakukan sesuatu, mendukung ataupun menentang sesuatu) secara bertanggungjawab dan tetap mengedepankan prinsip persatuan nasional. Artinya, pengejawantahan hak sipil itu juga tidak dibenarkan jika sampai merampas hak-hak warga yang lainnya.

Apa yang terjadi dalam rentang waktu dua bulan terakhir ini, hemat penulis bukanlah hal yang patut disesali begitu saja. Sebaliknya bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi publik, untuk dapat menemukan jalan pulang ke arah pemahaman kebhinekaan yang hakiki. Berangkat dari konsep pluralisme kewargaan, rangkaian Aksi Bela Islam patut dipahami sebagai ekspresi politik yang konstitusional dari kelompok masyarakat muslim Indonesia.

Begitupun reapon yang telah diberikan pemerintah, dengan porsi yang mencukupi sudah membuka ruang bagi proses pembuktian secara hukum akan dugaan penistaan agama yang dituduhkan pada Ahok. Sikap dari oihak yang disangkakan pun terbilang kooperatif dengan menyatakan kesiapan diri mengikuti persidangan dan berharap prosesnya dapat dilangsungkan secara terbuka bagi publik.

Menjawab Persoalan Bersama

Secara legal dan konstitusional, persoalan ini sebenarnya sudah menemukan jalannya untuk terjawab. Namun, tidak juga bisa disederhanakan begitu saja, karena masalah utamanya bukan lagi terletak pada Ahok yang jadi tersangka, massa aksi Bela Islam sebagai penuntut, atau pemerintah dan proses hukum sebagai penengahnya. Masalah utamanya justru terletak pada kita semua, warga negara Indonesia.

Fenomena ini, yang berkembang menjadi isu kontraproduktif berbau SARA, sesungguhnya hanyalah mencerminkan betapa berbahayanya konflik laten yang integral dalam identitas kebangsaan Indonesia. Bahwa ternyata intoleransi masih terus bersemayam sebagai penyakit sosial (social deviation) yang sulit disembuhkan, atau bahkan bisa dibilang kambuhan.

Interaksi silang budaya (cross-cultural) yang selama ini berlangsung dalam masyarakat Indonesia, masih saja melahirkan proses disosiatif berupa rasa saling memisahkan, menolak, membenci, dan curiga. Stereotip dan berbagai prasangka buruk selalu mewarnai hubungan antar kolektif. Pengabaian terhadap gejala-gejalanya yang timbul justru hanya akan mengakumulasi dan berpotensi destruktif bagi semua pihak (Pranowo, 1988:2-5).

Dibutuhkan tumbuhnya motivasi yang kuat dari dalam benak setiap warga negara Indonesia untuk dapat memutus rantai penyakit intoleransi tersebut. Penting rasanya sekarang ini untuk saling berinstropeksi, saling meredakan ketegangan, saling meluruskan pemahaman, dan untuk bersama-sama fokus pada persoalan yang pokok, dan menyudahi penyimpangan isu ke arah perpecahan.

Persoalan ini adalah persoalan bersama yang wajib mendapatkan jawaban secara utuh dari setiap pihak, baik yang terlibat maupun tidak, sebagai sebuah kolektif bangsa Indonesia. Ini dilakukan dengan mengawal proses hukumnya, dan yang terpenting untuk dapat menerima dan memahami hasilya sebagai kesepahaman yang positif, dan menjadi panutan bagi penyelesaian konflik serupa di kemudian hari.

Dari Ahok, pubik belajar betapa pentingnya etika politik. Dari massa Aksi Bela Islam publik belajar betapa besarnya kekuatan persatuan. Dari pemerintah, publik belajar bagaimana semestinya mengelola kekuasaan. Sedangkan dari pihak-pihak yang merayakan penyelewengan dari isu ini, publik mendapatkan peringatan, betapa besarnya urgensi meresapi hakikat kebangsaan Indonesia, yang berbhineka tunggal ika.

-----------
Bagir, Zainal Abidin. 2011, Pluralisme Kewargaan: Arah Baru Politik Keragaman di Indonesia, Bandung,Mizan.
Pranowo, Bambang, M. 1988, Stereotip, Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial, Jakarta, Pustaka Grafika.
Soekamto, Soerjono. 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press.
Winarno. 2009, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta, Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar