Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 24 November 2014

Resensi : Gambar Protes, Buat PR Presiden !


Terbit di Portal koranopini.com (KoPi), 23 November 2014 : http://koranopini.com/berita-2/ragam/resensi/buku/item/2797-gambar-protes-buat-pr-presiden

_____________________________
KETERANGAN BUKU
Judul : PR Buat Presiden (Karikatur)
Penulis : Benny Rachmadi
Penerbit : Jakarta, Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), 2014
Halaman : Hlm iv + 156 ; 24,5 x 17cm
ISBN 13 : 978-979-91-0722-0
_____________________________

Sekali lagi, Benny Rachmadi, seorang kartunis kawakan Indonesia, mempersembahkan karyanya pada khalayak di tengah momentum tahun politik 2014. Buku kumpulan kartun opini berjudul PR Buat Presiden setebal 155 halaman itu diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) pada bulan Mei lalu. Sebelumnya, di momen Pemilu tahun 2009, ia bahkan pernah menerbitkan kumpulan karikaturnya dalam dua seri buku berjudul Dari Presiden ke Presiden yang cukup populer.

Benny memang terampil memotret realitas tumpukkan masalah yang begitu membebani bangsa dalam setiap gambar jenakanya. Seolah ia punya trik jitu menyusupkan semangat protes yang hidup, dan cukup berhasil mengajak penikmat karyanya turut serta meneriakkan protes atau setidaknya sadar akan masalah bersama. Maklum saja, kiprahnya di dunia jurnalistik, khususnya kolom kartun editorial Kontan sejak tahun 1998, ditambah dengan beragam raihan penghargaan di bidangnya.

Untuk memanjakan imajinasi, 20 halaman awal disajikan full colour. Secara apik gambar juga dipilah: pertama, pemilu yang karut-marut tapi tetap diharapkan rakyat (hal.2); kedua, jeleknya pejabat terpilih yang asyik sendiri (hal.28); ketiga, melekatnya julukkan Indonesia negeri koruptor (hal.40); keempat, infrastruktur bobrok meski bayar pajak (hal.51); kelima, kebijakan aneh yang membingungkan (hal. 60); keenam, kemelut bidang ekonomi (hal.66); ketujuh, langganan bencana tak berujung (hal.129); kedelapan, premanisme dan kriminalisasi (hal.137) ; terakhir, pertanyaan dilematis apakah hidup adil dan makmur hanya ada dalam mimpi (hal.150).

Sayangnya tak ada daftar isi dan kata pengantar yang sebetulnya penting sebagai pemandu. Setiap gambar juga tak diberi keterangan pernah dipublikasikan di media mana, padahal ini kumpulan karyanya sebagai kartunis kolom selama periode tertentu. Tapi lepas dari itu, buku ini memang sangat menarik dibaca, bahkan penting bagi para penguasa baru yang memimpin negeri. Mengapa ? jelas karena masalah yang dialami bangsa kita ini sudah terlalu banyak dan semuanya menuntut untuk segera dituntaskan.

Terpilihlah Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019, sosok yang dielu-elukan telah mewakili semangat pembaharu zaman. Sejak awal kemunculannya  memimpin Kota Solo hingga jadi Gubernur DKI Jakarta, populer dengan gebrakan-gebrakan di luar mainstream. Berbeda dari citra umum  pejabat, Jokowi tampil bersahaja dan mengusung etos kerja dengan metode andalan “blusukan” alias rajin mendatangi masyarakat dan masalahnya di lapangan.

Tapi semua itu belum cukup menjamin keberhasilan, selain karena ada begitu banyak “oknum parasit” yang tersebar di semua sendi lembaga trias politika. Metode yang dipergunakan Jokowi dalam praktek pemerintahannya juga masih belum pernah secara serius menyentuh substansi kebutuhan rakyat, melainkan baru sebatas memuaskan dahaga moral saja.

Nyaris tak ada gambar di buku ini yang tak relevan dengan realita problematika bangsa hari ini. Caleg gagal pusing karena tagihan utang biaya kampanye (hal.27), terbukti banyak yang depresi pasca kalah berlaga, bahkan caleg pemenang pun ramai-ramai menggadai SK. Gambar mobil KPK dicegat  ranjau paku para mafia berdasi (hal.41) cocok dengan terbitnya UU MD3 yang mengebiri kewenangan KPK mengusut praktik korupsi di DPR. Atau gambar susahnya mencari hakim MK yang bersih (hal.50) juga pas dengan tertangkap tangannya suap Akil Mochtar.

Proyek mobil murah yang membingungkan karena murahnya itu bagi siapa dan dampaknya bagi penghematan BBM subsidi pun tidak ada (hal.61-62). Soal polemik subsidi BBM bahkan dapat perhatian khusus (hal 67-73). Apalagi naiknya harga beragam barang/jasa kebutuhan hidup (hal. 77-96). Gambar pemancing lusuh di negeri maritime yang bingung melihat ikan segar impor (hal.119), dan masih banyak lagi PR-nya.

Zaman dimana teknologi olah gambar sudah begitu praktis dan menggusur peran kartunis, eksistensi karya Benny justru kian moncer. Puluhan buku kumpulan karikaturnya meraih sambutan besar dari pembaca Indonesia, sebut saja 4 seri Tiga Manula Jalan – Jalan (2011 – 2013), 2 seri Lost in Bali (2008-2009), dan 4 seri Lagak Jakarta (1997, 1998, 2007, 2008). Saya jadi membayangkan, andai kolom kartun Pak De & Pak Ho asuhan Ferial di Lampung Post atau rubrik-rubrik serupa di Koran-koran daerah lainnya juga dibukukan, sepertinya tak bakal kalah seru dengan gambar-gambar protes seorang Benny Rachmadi.
____________
Saddam CahyoSekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan  Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) jurusan Sosiologi Universitas Lampung (Unila)

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/suluh/20141123/resensi-gambar-protes-buat-pr-presiden.html#ixzz3JwamNOMD

Kamis, 20 November 2014

Opini : Melindungi Hak Beragama dan Berkepercayaan


Selain kisruh dualisme kepemimpinan DPR RI dan kenaikan harga BBM bersubsidi, ada peristiwa lain yang turut menjelma sebagai polemik meresahkan, yakni soal kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa kolom agama boleh dikosongkan keterangannya bagi masyarakat penghayat kepercayaan tradisional atau di luar 6 agama resmi negara (Islam, Hindu, Buddha, Kristen Protestan, Kristen Katolik, dan Kong Hu Cu). Namun, isu ini sempat berkembang melenceng seolah pemerintah hendak menghapus kolom agama dari KTP, hingga menuai reaksi publik yang negatif.

Saat Agama Jadi Polemik
Persoalan agama dan kepercayaan memang selalu menjadi sangat sensitif karena menyangkut aspek paling privat bagi setiap manusia. Karenanya, wajar jika ketika isu ini muncul, reaksi yang timbul pun bisa sangat keras. Bagi masyarakat Indonesia, ini memang sebuah fenomena khusus. Jika mengacu data Kementerian Budaya dan Pariwisata di tahun 2003 saja, setidaknya tercatat ada 248 organisasi aliran kepercayaan dengan jumlah penganut sebesar 8.821.724 jiwa. Wajar saja, mengingat data BPS juga menyebut bangsa yang mendiami sekitar 13.466 pulau ini punya lebih dari 1.128 ragam etnis dengan sejarah spiritualnya yang panjang.

Namun, di usia 69 tahun kemerdekaan negara Indonesia, sebagian warganya–yakni para penghayat kepercayaan—masih saja berada di ambang ketidakpastian. Hak-hak nya sebagai warga negara belum bisa utuh dinikmati, pun kewajibannya tak bisa penuh ditunaikan. Ini berakar dari pengakuan negara yang masih tanggung, khususnya terkait agama atau kepercayaan dari tradisi nenek moyang Nusantara sejak berabad lalu. Semisal Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan, Buhun di Jawa Barat, Parmalim di Sumut, Kepribaden, Samin di Jawa. Belum lagi kepercayaan dari luar seperti Zoroaster, Yahudi, dan Sikh.

Terjadi banyak bias di ruang publik, karena kalangan yang punya otoritas kerap mendiskreditkan kepercayaan tradisional dalam kategori animisme yang terkesan kuno bahkan primitif. Hal ini membuat masyarakat penghayat kepercayaan harus menjalani hidup dengan perlakuan diskriminatif hingga stigma sesat yang tentu menimbulkan banyak kerugian. Dalam negara demokrasi modern, KTP memiliki peran vital bagi kehidupan setiap warganya. Segala macam hak sipil (ekonomi, sosial, budaya) dan hak politik yang semestinya diperoleh akan terhambat tanpa adanya kartu identitas.

Selama ini, masyarakat penghayat memang tersisihkan dari ruang-ruang legal. Mereka kesulitan mengakses dokumen-dokumen resmi kependudukan karena identitas spiritualnya yang dianggap anomali. Pernikahan mereka tak bisa masuk catatan sipil, dan anak hasil perkawinanya dicatat di bawah garis Ibu. Konsekuensinya cukup fatal, mulai dari akta kelahiran anak seakan hasil hubungan gelap, hak waris jadi tak jelas, hak  mendapat pelayanan negara seperti jaminan kesehatan dan pendidikan pun terbatas, termasuk hak untuk partisipasi saat pemilu. Tak jarang mereka harus menghadapai situasi “keterpaksaan” memilih agama tertentu hanya untuk mempermudah keperluannya.

Bangsa Pluralis Pancasila
Tapi bukan berarti nihil perhatian, meski lambat negara mulai mengakomodir hak konstitusional warga penghayat. Dasarnya jelas: falsafah Pancasila yang pertama menyebut asas Ketuhanan yang Maha Esa secara tersurat sebagai landasan hidup  masyarakat Indonesia yang plural, yang menjunjung tinggi toleransi. Begitulah Pancasila, pernah diterangkan oleh Gus Dur sebagai pluralisme sosial, dimana persoalan Ketuhanan harus senantiasa merdeka, tak sepatutnya saling dipertentangkan meski kebenarannya dianggap mutlak. Tugas kita adalah saling menegakkan nilai kemanusiaan dalam kehidupan berbangsa.

Diperkuat Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 bahwa negara menjamin setiap penduduk untuk memeluk dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Tapi ini tak boleh dirasa cukup begitu saja, sebab praktiknya masih banyak terjegal. Mulai dari peraturan yang tumpang tindih, subjektifitas dan ketidakpahaman oknum berwenang di lapangan, hingga sistem komputerisasi e-KTP yang tak bisa diinput data selain agama resmi. Padahal sebelumnya sudah mulai diperbolehkan menulis kepercayaan di KTP non elektronik.

Pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayan memanglah sesuai dengan UU Adminduk No.24/ 2013 khususnya Pasal 4 ayat 5, yang sebenarnya bermaksud baik yakni menghentikan praktik “pemaksaan agama” dan “hipokrisi publik”. Tapi meski dikosongkannya keterangan  agama (-) di KTP warga penghayat hanya sementara, tetap saja mengandung resiko yang kurang baik. Terlebih masyarakat kita umumnya memandang identitas agama sebagai salah satu prioritas dalam membangun relasi sosial, hingga ini masih sangat memungkinkan terjadinya kesalahpahaman yang tak dihendaki.

Bagaimana pun, polemik ini sesungguhnya bermanfaat, mengingatkan ternyata masih banyak PR besar untuk mewujudkan cita-cita kebhinekaan bangsa Indonesia. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian serius pemerintah dan para legislator di Senayan, terutama untuk membenahi dasar hukum bagi perlindungan hak beragama dan berkepercayaan warga negara. Setidaknya ada beberapa UU yang harus dirubah karena isinya yang secara sistematis sangat mengabaikan semangat kemerdekaan spiritual, yakni UU PNPS No.1/1965 Tentang Penodaan Agama, UU No.1/1974 Tentang Perkawinan, serta UU Adminduk No.23/2006 yang sudah dirubah menjadi UU No.24/2014.

Positifnya juga, Mendagri sempat berujar poinnya ada pada proses yang  masih berjalan dan terus diupayakan, sebab penegakkan hak-hak warga penghayat kepercayaan termasuk pengakuan resminya sebagai agama sudah sejak lama menjadi salah satu fokus PDI Perjuangan (partai asal dirinya dan Presiden Jokowi). Lagi pula, seperti ucapan Voltaire dalam karya klasiknya Traktat Toleransi, betapa bahaya jika fanatisme atas satu agama terus dibiarkan, padahal hakekat agama bukanlah pemaksaan, melainkan penyadaran. Karenanya sikap toleransi haruslah dijunjung dengan menerima segala perbedaan di atas prinsip kemanusiaan. Mari kita kawal !
____________
Saddam Cahyo, Sekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung.

Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, 19 November 2014 dengan judul LINDUNGI HAK BERAGAMA.

Minggu, 02 November 2014

Opini : Persatuan, Pantang Hilang Pasca Tahun Politik


Oleh : Saddam Cahyo
Sekretaris LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi) Ekswil Lampung 


USAI sudah rangkaian panjang prosesi tahun politik kali ini, seluruh anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang baru resmi terlantik, pun Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pasangan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014—2019 pada 20 Oktober. Pengalaman pemilu kali ini memang sungguh berbeda dari sebelumnya, patutlah diapresiasi sebagai torehan sejarah baru dalam kehidupan politik bangsa. Bagaimana tidak, ini kali pertama pemilu terbuka dengan hanya memilih dua pasang kandidat yang sama gigih membangun optimisme publik menuju zaman baru yang lebih baik. 

Menguatnya Nasionalisme
Sudah rahasia umum sejak reformasi 1998 belumlah terwujud perubahan substansial dalam kehidupan politik bangsa ini, selain terbukanya gerbang demokratisasi. Struktur sistem kekuasaan masih berpola sama bahkan meluas, kekuatan modal menentukan segalanya, sedangkan rakyat cuma mendapat celah partisipasi semu setiap momen pemungutan suara lalu diabaikan. Selama itu pula kita nyaris dibuat amnesia akan karakter kebangsaan, pesimisme dan apatisme pada seluruh spektrum pelaksana negara kian menguat, rasa percaya pada pemimpin pun seolah kian ilusif.


Namun, sepanjang tahun politik ini ada hawa segar yang membalut, ditunjukkan besarnya kerinduan akan nuansa politik aktif dan partisipatif hingga lontaran jargon-jargon ala revolusi ’45. Tampak pula dari menguatnya semangat nasionalisme sebagai wacana bersama. Sepertinya ini memang manifestasi kehendak seluruh rakyat yang mulai resah dan tidak tahan lagi meratapi kedaulatan negerinya diobrak-abrik. Tengok saja kuasa produk impor atas konsumsi harian masyarakat, kuasa investasi atas kekayaan alam yang jomplang dengan BUMN, sampai seluruh kebutuhan energi harus tunduk pada harga pasar dunia yang mencekik.


Interupsi utang luar negeri yang tiap tahun harus bertambah demi menutupi defisit APBN pun makin menghantui, sampai nyaris tidak ada lagi alternatif menyehatkan anggaran negara selain menghapus segala bentuk subsidi sosial (pendidikan, kesehatan, energi, dan lainnya). Beruntung di musim kampanye ini juga, seluruh persoalan bangsa dari hilir sampai ke hulu tanpa tabu lagi justru mulai terungkap dengan sendirinya. Semisal, betapa besar potensi pendapatan negara yang bocor akibat korupsi pajak, kontrak investasi yang tak adil, minimnya industrialisasi nasional, hingga lemahnya sektor pertanian dan maritim. 


Puncaknya, kedua pasangan capres saat itu sama-sama berani mengusung cita-cita kemerdekaan, yakni mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, berdaulat, adil, dan makmur. Terlepas dari siapa yang menang kemudian, ini saja sudah menjadi kemenangan bagi rakyat. Pasalnya, wacana progresif seperti ini sudah lama sekali ditenggelamkan, padahal siapa yang membantah kalau kita ini bangsa yang besar dari segi mana pun, wilayahnya, kekayaan alamnya, manusianya, atau sejarahnya. Namun, segala potensi kebangkitan itu telah dipasung hingga perlahan-lahan bangsa ini mengalami kemunduran dan pengerdilan sedemikian rupa.

Menguatkan Persatuan
Namun sayang, terdikotominya kekuatan politik nasionalis di ajang pilpres lalu sempat menimbulkan persinggungan yang kontra-produktif dengan visi-misi keduanya selama kampanye. Proses penyelesaian pemilu yang agak alot pun menambah pelik perdebatan antarpendukungnya. Situasi ini memaksa kita harus terlibat dalam jebakan konflik horizontal yang tak mendidik, dan malah membuat kita makin menjauhi persatuan, mengabaikan problem pokok bangsa, dan melupakan tugas sejarah menyongsong masa depan yang gilang gemilang. 


Tidak semestinya pula jika parlemen baru terus terbelah antarkubu Indonesia Hebat dengan Merah Putih. Mengingat hasil pemilu legislatif sesungguhnya begitu indah menggusur kekuatan politik pro neoliberal dan memenangkan parpol pengusung nasionalisme, semisal PDI Perjuangan, Gerindra, dan NasDem. Terlebih Prabowo Subianto dan Joko Widodo sudah menunjukkan sikap kesatria sebagai pemimpin yang siap bergotong royong membangun bangsa dengan saling mengawal.

Lima tahun ke depan, yang wajib diutamakan oleh semua pihak ialah sense of belonging, rasa kecintaan yang luhur pada Tanah Air ketimbang sekadar memuaskan kepentingan kelompoknya sendiri. Di tengah kepungan hukum pasar bebas yang sudah siap mengekang, inilah saatnya saling menguatkan persatuan sebagai bangsa yang utuh nan mumpuni bersaing di kancah global. Semangat seperti inilah yang tidak boleh ditanggalkan usai berlalunya tahun politik. 

Naiknya Jokowi yang low profile ke kursi presiden mestinya juga makin memecut kepedulian rakyat untuk turut andil menentukan masa depan. Inilah zaman baru itu, yang mendekatkan pada cita-cita kemerdekaan, yang memberi jalan bagi sistem demokrasi partisipatoris yang substansial. Semua bisa terwujud lewat persatuan nasional yang kokoh, bukan yang chauvinis apalagi xenophobic. Melainkan yang mampu mengawal jalannya roda pemerintahan agar konsisten mengayomi, bukan lagi bebal mengelabui. Jika tidak? Bangsa ini akan musnah dilahab raksasa globalisasi. 
___________
Terbit di harian cetak LAMPUNG POST, Kamis 23 Oktober 2014.
Sumber : http://lampost.co/berita/persatuan-pantang-hilang-pascatahun-politik 

Opini : Dibawah Kuasa Junkfood

Terbit di harian cetak SINAR MERDEKA, Rabu 22 Oktober 2014.

Kalau masih ada yang ingat persitiwa menggelikan beberapa waktu lalu: sepasang turis  asal Amerika Serikat (AS) menjadi tersangka pembunuhan Ibu kandungnya sendiri Denpasar, Bali, pada Agustus lalu.

Saat mereka ditahan, kedua tersangka itu melakukan protes karena disugugi ayam goreng dari KFC oleh polisi. Mereka menilai ayam goreng dari KFC itu disuguhkan lantaran mereka berkulit hitam. Mereka juga menganggap ayam goreng KFC adalah makanan untuk kalangan kelas bawah. Keduanya menganggap tindakan polisi itu rasis.

Padahal, polisi sebetulnya justru hendak memberlakukan mereka lebih istimewa ketimbang dengan narapidana lain. “Menurut kami fast food itu mahal, tapi mereka menganggapnya sebagai makanan murahan,” kata Kapolresta Denpasar, Kombes Pol Djoko Hariutomo. Uniknya lagi, kedua tersangka itu baru berhenti melakukan protes setelah makanan mereka diganti dengan Soto Ayam (Tribunnews.com, 19 Agustus 2014).

Fatalnya Gagal Faham
Memang nyata, di Indonesia, makanan cap luar negeri yang mulai marak sejak awal 90-an seperti itu selalu menjelma sebagai panganan mewah dan mahal miliknya kaum berduit saja. Tempatnya pun selalu elegan dan mendapat julukan “restoran cepat saji”, sampai-sampai membuat orang awam mana pun langsung menaksir kelasnya tinggi. Padahal, sesungguhnya di negeri asalnya sana panganan yang masuk kategori fast food seperti ini kerap diplesetkan dengan sebutan  junk food alias “makanan sampah”.

Seperti dikupas habis oleh Eric Schlosser dalam bukunya, Negeri Fast Food (2004). Sesungguhnya model usaha ini memang inovasi revolusioner dari bisnis kuliner, namun ia punya konsekuensi ironik yang buruk bagi masyarakat. Cita rasa nikmatnya yang begitu khas di lidah ternyata berkat rekayasa kimiawi yang diracik para flavorist. Makanan ini juga dianggap sebagai biang keladi melonjaknya masalah obesitas, penyakit kardiovaskular, dan kanker. Industri ini memang lebih berorientasi pada terpenuhinya target pelipatgandaan profit ketimbang menyajikan makanan yang baik. Bahkan perlakuan pada pekerjanya pun tidaklah seindah kemasan yang tampak. Lebih buruk. Bisnis ini juga menyumbang anjloknya kesejahteraan petani dan peternak kecil di desa.

Sungguh fenomena ini ibarat noda yang ikut mencoreng cita-cita kedaulatan pangan nasional. Masyarakat kita memang kian banyak terjangkit xenomaniac, terlampau mudah silau dengan produk luar negeri dan merendahkan apa pun yang berbau lokal. Kita gagal memahami globalisasi, sampai menimbulkan mental inlander, jeblok, alias minder. Tak heran jika akhirnya kita menemui kenyataan bahwa julukkan “Indonesia Negeri Agraris” itu kian menjadi mitos yang terkubur oleh segala macam panganan impor yang sudah menerobos masuk ke desa-desa.

Majukan Pangan Lokal
Data miris BPS menyebut dalam satu dekade terakhir, 5 juta petani beralih profesi menjadi tukang ojek dan buruh bangunan. Tak terhitung lagi anak petani yang berurbanisasi ke kotauntuk menjadi buruh pabrik atau sektor informal. Rerata petani Indonesia hanya menggarap lahan kurang dari setengah hektare, dengan status terbanyak cuma buruh tani demi  mencukupi kebutuhan subsisten. Terjadi juga penyusutan lahan pertanian produktif yang signifikan, dari 31,2 juta Ha menjadi 26 juta Ha saja. Situasi ini berdampak langsung pada konsumsi impor produk pertanian yang melambung empat kali lipat dari tahun 2003 sebesar US$ 3,34 miliar sampai tahun 2013 menjadi US$ 14,9 miliar (Nefosnews.com, 11/9).

Proyek raksasa MP3EI yang digadang-gadang sebagai terobosan pembangunan pemerintah pun ternyata malah mengandung ancaman semakin mengurangi lahan pertanian masyarakat. Apa daya, negeri ini memang kepalang jadi target pasar dunia yang begitu diidamkan karena populasi 250 juta jiwanya itu. Terlebih gaya hidup masyarakatnya pun terlalu mudah berkiblat pada barat. Sialnya, bukan kultur produktifnya yang digandrungi, melainkan hanyut dan mulai tenggelam dalam budaya konsumtif terhadap simbol-simbolnya saja.

Namun, tulisan ini bukan untuk mengajak kita anti atau malah sampai phobia pada hal-hal yang berbau asing begitu saja. Sebaliknya, agar sadar diri menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean 2015 yang tinggal menghitung hari. Satu-satunya jalan untuk bertahan menjadi negeri berdaulat yang rakyatnya sejahtera adalah dengan meningkatkan peran negara dalam melindungi hak-hak rakyatnya yang berjuang. Ya, Pemerintah wajib membantu perjuangan hidup rakyatnya, selama ini jutaan rakyat meniti perekonomian dari bawah tapi musnah dilibas pesaing besar dari negeri luar.

Sebab, sebagaimana kita ketahui bersama, proyek MEA 2015 yang mulai meniadakan sekat perekonomian regional benua Asia Tenggara merupakan prakondisi dari proyek raksasa globalisasi atau pasar bebas dunia. Proyek pasar bebas regional semacam ini terbukti sangatlah kejam, dan klaim bahwa ia akan menumbuhkan iklim persaingan sempurna yang sehat adalah ilusi yang melegitimasi kekuatan ekonomi raksasa global untuk melahab usaha-usaha kecil menengah, termasuk bagi negara-negara lemah dengan populasi manusia yang berlimpah tanpa diiringi produktifitas tinggi seperti Indonesia.

Begitu kaya sebenarnya ragam panganan khas daerah yang bisa diunggulkan, bahkan rendang, sate, dan nasi goreng saja masuk kategori ternikmat di dunia. Vandana Shiva, aktivis kemanusiaan India, bahkan menyebut Indonesia punya sumber pangan luar-biasa yang tak mungkin membuat rakyatnya alami krisis pangan. Hal ini dibenarkan oleh Badan ketahanan Pangan Kementan RI yang menyebut 77 jenis sumber karbohidrat, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, 40 jenis buah minuman, dan 110 jenis rempah (Greeners.co 19/8).

Ada terlalu banyak potensi yang bangsa ini miliki, tapi terlalu banyak pula persoalan yang menghambatnya berbuah menjadi kejayaan. Kebanggan pada potensi inilah yang semestinya mulai kita galakkan sebagai senjata produktif mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Kualitas produksi pangan lokal harus digenjot agar bermartabat setara di mata dunia. Inilah saatnya, memperkuat kesadaran membangun jaringan ekonomi rakyat yang bangga mengkonsumsi produk pangan lokal, bangga mengolah potensi sumber pangan lokal, mengemas beragam jenis makanan tradisional, dan memasarkannya sebaik mungkin.

Ayo bangkit dari tidur panjang, ada tantangan besar kemajuan bangsa berdaulat yang harus kita perjuangkan bersama sedari sekarang.***
_____________
Saddam CahyoSekretaris Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Eksekutif Wilayah Lampung dan Pegiat komunitas Bengkel Tulis Bintang Merah