Selamat membaca !

"Semoga bermanfaat, anda boleh mengutip sebagian artikel di blog ini, dengan syarat wajib mencantumkan akun ini dan penulisnya sebagai sumber rujukan, terima kasih.."

Senin, 13 Juli 2020

DOKUMENTASI : Kelas yang Sibuk dengan Sendirinya


Oleh: Wahjoe Sardono alias Dono Warkop (Artis Film & Pelawak juga aktivis demokrasi)

Rada sulit menentukan kelas menengah saat ini, dibanding dengan menentukan status sosial kelas bawah atau atas. Kelas bawah, misalnya, karena tak ada pendidikan dan juga taraf hidup di bawah pas-pasan, serta tinggal di rumah RSSSSSSSSS (rumah sungguh sangat sederhana sehingga selonjor saja usah dan sangat sumuk) saja belum mampu, jelas mereka itu berada pada stratifikasi sosial ekonomi kelas bawah.

Sebaliknya, mereka yang menempati status sosial atas jelas ukurannya: berpendidikan baik, kaya-raya, dan menjadi pemimpin masyarakat. Sebut saja konglomerat-lah, kelompok yang menentukan hajat hidup orang lain.

Adapun untuk menentukan kelas menengah, parameternya terlalu banyak, simpang siur, dan tumpang tindih. Jadi, dimensi apa saja yang digunakan untuk menentukan kelas menengah? Barangkali memang benar perkataan Max Weber tentang life chances, peluang untuk hidup, dalam melihat kelompok ini: bagaimana sesorang bisa memanfaatkan setiap peluang yang disodorkan, apalagi kini mobilitas sosial sangatlah terbuka. Ada lembaga-lembaga atau perorangan yang bisa dijadikan gantolan untuk meningkatkan status sosial itu. Achieved status ketika seseorang merekayasa dirinya untuk mencapai kedudukan yang dianggap lebih tinggi daripada sebelumnya sangatlah tepat untuk masa sekarang ini.

Namun, apakah benar demikian? Katakanlah, dalam kuliah semester satu, dalam pelajaran dasar sosiologi, dulu dikatakan bahwa mahasiswa adalah kelompok sosial menengah yang mampu menjadi agen perubahan. Tapi, sekarang, telah begitu banyak universitas dengan berbagai status, mulai dari yang “terdaftar” , “diakui” , “disamakan”, sampai yang menjadi olok-olok, seperti universitas dengan status “terdengar”. Dengan berbagai macam universitas  dan jumlah mahasiswa yang besar sekali, siapa saja bisa menjadi mahasiswa.

Pergeseran macam itu tak melulu pada status mahasiswa saja, tapi juga pada status-status sosial menengah lainnya, semacam guru, wartawan, dan pegawai negeri.

Realistis dan Materialistis

Dalam kurun 30 tahun, pembangunan ekonomi Indonesia telah mengubah wajah dan orientasi orang per orang pada gaya hidup. Orang kini lebih realistis melihat materi sebagai jawaban – lebih materialistis – dan tumbuh menjadi kelas menengah baru. Karena mereka mampu memanfaatkan adanya peluang untuk hidup.
Peluang itu adalah faktor ekonomi yang ditentukan dan berada pada kekuasaan. Semua proyek yang mendatangkan uang nyaris di tangan pemegang kekuasaan. Dengan demikian, orientasi pada hubungan dengan kekuasaan menjamin adanya peningkatan kemampuan ekonomi. Pada gilirannya, itu bisa untuk mendapatkan status sosial kelas menengah. Maka, ada kecenderungan bahwa kelas menengah  ditentukan oleh kemampuan ekonominya.

Pembangunan ekonomi lebih banyak memberikan peluang untuk kenikmatan hidup. Banyak previlage yang disodorkan untuk dikunyah. Jika demikian indikator kelas menengah Indonesia saat ini, secara sederhana bisa dirumuskan bahwa mereka adalah yang mempunyai kemudahan-kemudahan, mempunyai kartu kredit, dan kartu keanggotaan segala fasilitas kenikmatan yang ada. Jadi, mobil, pekerjaan, gaji, telepon genggam, olahraga mahal, dan sebagainya bisa dianggap sebagai patokan.

Kelompok ini memang bekerja keras, menduduki jabatan penting dalam perusahaan-perusahaan besar atau perusahaannya sendiri yang permodalannya biasanya didukung keluarga, yang dikayakan oleh fasilitas.

Kelas Menengah

Mereka biasanya mempunyai latar pendidikan yang baik dan lancar berbahasa Inggris. Biasanya juga, punya akses ke kekuasaan. Mereka menyadari benar bahwa suap, memberikan “bingkian pancingan”, adalah soal biasa dan bukan sebagai suatu beban, baik dalam urusan bisnis besar maupun mengurus surat-surat semacam KTP.

Juga dalam hal rekreasi. Banyak dari mereka sering mengunjungi pub dan diskotek. Mereka bergoyang dengan hostmusic setiap malam Sabtu atau malam Minggu, secara beramai-ramai dengan diselingi minum screaming orgasm atau cukup banya di antara mereka yang sekali menelan ectasy barang dua atau tiga butir sekaligus, hingga kepalanya bergoyang kiri-kanan semalam suntuk.

Kelas Menengah yang Sedang Terkesima

Mereka adalah kelas menengah Indonesia yang sedang terkesima, sibuk dengan pekerjaan dan rekreasi. Katakanlah sibuk menikmati proses pembangunan yang kini tengah berlangsung dan mereka menjadi sibuk dengan dirinya sendiri.

Kalaulah kita berharap bahwa kelas menengah kembali sebagai agen perubahan, barangkali untuk sementara mereka baru mampu menciptakan kelompok marginal. Banyak fasilitas, kemudahan, dan juga prestise yang didapat kelas menengah macam itu akan memancing kelompok masyarakat tertentu yang sebenarnya belum mampu benar untuk membayar harga kenikmatan itu, tapi ikut pula menikmatinya.

Mereka juga mengunjungi pub dan diskotek secara rutin. Mereka juga membeli pakaian yang cukup  mahal serta punya kartu kredit dan juga telepon genggam. Apalagi, makin banyak ditawarkan kemudahan menggiurkan, misalnya, kini dengan uang Rp 600.000 sudah bisa membawa mobil ke rumah.

Jika demikian, barangkali kita cuma bisa berharap  dan menunggu, sampai merasa mereka “jenuh” pada kenikmatan proses pembangunan itu. Baru kemudian sempat mengatakan bahwa demokratisasi itu perlu, ketidakadilan itu harus dihapus, kesenjangan sosial harus dibenahi, dan semacamnya, yang memang menjadi jargon kelas menengah pada umumnya.

*Esai Wahjoe Sardono (DONO) yang membahas tentang kelas menengah Indonesia, yang terbit di FORUM KEADILAN April 1996, dimuat ulang untuk tujuan edukasi.


DOKUMENTASI : Kisah Sertu Jumadi


Oleh : Drs.H. Wahyu Sardono, M.S. alias Dono Warkop DKI*

Sertu Jumadi adalah seorang polisi lalu lintas. Dulu, ia tinggal di asrama polisi yang reyot, kumuh, berdesak-desak, bising, dari berbau pesing. Tapi kini, ia tinggal di luar asrama lantaran asramanya digusur untuk pusat pertokoan yang canggih.

Dengan tinggal di perumahan biasa, yang terbuat dari papan, bersama istri dan dua anaknya, kondisinya sedikit lumayan. Entah mengapa, akhir-akhir ini Pak Jumadi ikut arus “berperut gendut”. Baju jatah dari kantor menjadi ketat menempel di badan, sehingga jalannya pun tampak lebih susah dari biasanya. Barangkali, ia ingin memenuhi standar stereotip polisi zaman sekarang.

Setiap kali Sertu Jumadi berangkat dinas ke perempatan jalan, ia selalu mengendarai sepeda motor bebek miliknya dengan pakaian lengkap. Semula, saya kira polisi ini sedang naik barang bukti yang dititipkan di kantornya. Soalnya, dihitung-hitung dengan matematika modern, dengan gajinya Sertu Jumadi agak susah mendapatkan sebuah sepeda motor. Atau barangkali, pikir saya, sepeda motor itu dibeli dari hasil pesangon gusuran asramanya.

Dengan naik sepeda motor bebek, kegagahan polisi jelas berkurang. Saya sering berdecak kagum kalau melihat polisi mengendarai sepeda motor besar, dengan helm, jaket kulit, dan sepatu lars tinggi. Bila mengejar dan menyetop kendaraan yang melanggar lalu lintas, mereka tampak berwibawa. Kalau polisi mengejar pengendara mobil atau sepeda motor dengan sepeda motor “preman”, tampaknya mereka seakan-akan sedang mencari tambahan penghasilan.

Menurut saya, polisi yang pergi ke kantor lebih baik mengenakan baju biasa. Setelah itu, di kantor barulah mengenakan pakaian dinasi. Kemudian, dengan kendaraan, mereka di-drop ke tempat dinasnya di jalan-jalan raya. Selesai tugas, mereka dijemput dan kembali ke kantor, memakai pakaian biasa, dan pulang.

Mengapa saya punya pikiran seperti itu? Saya punya pengalaman menarik tentang hal ini. Beberapa tahun lalu, ketika masih kuliah, saya naik bus kota yang sarat penumpang. Saat itu, seorang penjahat menyerobot dompet seorang wanita. Wanita itu menjerit histeris, sambal menunjuk seorang lelaki yang badannya seperti Mike Tyson. Tatapan orang itu tajam, seperti burung elang mengawasi mangsanya, dan mengarah ke setiap penumpang. Napasnya bak lokomotif yang mulai bergerak menarik puluhan gerbong. Dan, yang lebih mengerikan lagi, tangan kiri lelaki besar itu mencengkeram dompet si wanita, sedang tangan kanannya menghunus belati yang mengkilap dan runcing.

Tak seorang pun penumpang bus, yang kebanyakan lelaki, termasuk saya, berani bertindak menolong wanita yang histeris itu. Terus terang saya takut  belati terhunus di tangan penjahat itu. Barangkali, penumpang lain juga begitu. Salah seorang penumpang yang duduk di belakang adalah polisi. Semua mata tertuju kepadanya dan berharap ia akan bertindak. Tapi, seperti penumpang lainnya, si polisi hanya diam sampai penjahat meloncat ke luar bus.

Seperti dikomandokan, para penumpang pun berteriak panjang, “uuuuu…,” sambal melirik Pak polisi. Saya terenyuh melihatnya. Takut adalah hal yang manusiawi. Polisi yang badannya jauh lebih kecil itu, pasti takut juga. Bila melawan, niscaya ia pun tak akan menang. Saat polisi itu turun di sebuah halte, hampir seluruh penumpang berkomentar. “Polisi kok takut!”,” Polisinya pasti sekongkol dengan penjahat itu!”, “Suruh masuk Bhayangkari saja! Jangan ikut Bhayangkara!”, dan, “Iya, hanti saja namanya menjadi Deborah atau Yayuk!” Dari kaca jendela, saya melihat polisi itu berjalan menundukkan kepala. Barangkali, ia malu karena seragamnya. 

Pada waktu lain, saya bertanya kepada Sertu Jumadi, kenapa tidak ada rasa sungkan polisi berpakaian dinas naik kendaraan umum dan tidak bayar. “Kalau setiap kali saya harus bayar, gaji saya tak cukup untuk keperluan hidup sebulan.” Kata Sertu Jumadi.

“Memangnya, berapa gaji seorang Sertu?” saya bertanya lagi. Dengan sedikit senyuman ia berujar, “Gaji pokok Rp. 97.200, dan uang lauk pauk Rp. 49.600. Dengan ini, saya harus membayar iuran Bhayangkari, Asuransi, TWP, Catur Sakti, Dana Sosial Kompi, Tabungan Koperasi, sumbangan Amal Bhakti Pancasila, Amal Bhakti Bhayangkara, dan masih banyak yang lain. Belum lagi kas bon.”

Tetapi, memakai pakaian dinas naik kendaraan umum tetap saja disebut penyelewengan. “Terserah mau disebut apa. Seandainya pun saya menjalankan semprit damai atau lempar korek api di pinggir jalan, itu kan sekadar membuat asap dapur tetap ngebul, bukan untuk menjadi kaya, “ujar Sertu Jumadi lagi.

Saya manggut-manggut memahami. Kemudian, Sertu Jumadi mencolek saya, “Tapi, saya enggak pernah naik kendaraan umum dengan seragam, lho. Soalnya, saya polisi lalu lintas, malu sama sopirnya!”.

Kembali saya manggut-manggut. Ini memang manusiawi sekali.
--------------
*) Seorang Kartunis dan Komedian Indonesia, Aktivis Pro Demokrasi, dan Sosiolog Universitas Indonesia.


ARTIKEL INI PERNAH DIMUAT DI MAJALAH FORUM PADA TAHUN 1993. DIKETIK ULANG DAN DIPOSTING KEMBALI UNTUK TUJUAN EDUKASI.

Senin, 06 Juli 2020

Opini : Mewarisi Api Semangat Pancasila

Oleh : M. Saddam SSD. Cahyo*

Riuh rendah masih kerap terdengar sayup perdebatan di tengah masyarakat Indonesia tentang kapan sesungguhnya ideologi Pancasila dilahirkan. Di satu pihak, ada yang berkeras menghitungnya per tanggal 18 Agustus 1945. Persisnya usai sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan konstitusi negara yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945, yang di akhir alinea keempat dalam naskah Pembukaannya tercantum isi dari Pancasila sebagai dasar negara.

Pendapat lain menyatakan tanggal 22 Juni 1945 sebagai momen kelahiran Pancasila.  Melalui dokumen yang dikenal dengan sebutan Piagam Jakarta rampung disusun oleh Panitia Kecil yang berisi sembilan orang  pemegang amanat sidang pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) untuk merampungkan konsepsi dasar negara. Namun, dokumen yang diadopsi sebagai preambule ini harus mengalami perubahan dengan pertimbangan persatuan bangsa, yakni dihapusnya tujuh frasa dari sila pertama.

Sementara pendapat terakhir yang menjadi arus utama yaitu tanggal 1 Juni 1945, bertepatan dengan Pidato Bung Karno di hari ketiga sidang pertama BPUPK. Pidato yang di kemudian hari populer dengan judul “Lahirnja Pantjasila!” itu memang momen kali pertama istilah Pancasila disebut, sebagai jawaban bagi ketua sidang Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat tentang apa yang akan menjadi dasar berdirinya negara Indonesia kelak.

Autentisitas Pancasila

Polemik ini memang teramat klasik dalam narasi sejarah nasional bangsa Indonesia. Masing-masing pihak pendukungnya sama keras dan cenderung berdebat dengan dalilnya sendiri. Ibarat berkacamata kuda, semuanya tinggi mendongak merasa paling lurus dan tak mau saling terbuka. Padahal jika mau belajar merunduk dan meluaskan pandangan, ada benang merah yang saling terhubung dan bisa ditarik dari semua versi tersebut.

Penulis sering menyimak Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Hariyono yang juga sejarawan, di berbagai kesempatan selalu menerangkan bahwa sejarah kelahiran Pancasila yang autentik itu justru jika ketiga pendapat tadi dipandang sama sekali tak terpisah sebagai kesatuan utuh. Sebagai analogi rangkaian kelahiran manusia, Pancasila diibaratkan lahir pada 1 Juni, melepas tali pusar pada 22 Juni, dan diterbitkan akta lahir pada 18 Agustus Tahun 1945.

Pernyataan ini tak hanya menyejukkan, tapi juga memiliki landasan data riset sejarah yang valid dan objektif. Di masa hampir 25 tahun pemerintahan Presiden Soekarno, setiap tahunnya peringatan hari kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni selalu semarak dirayakan. Namun, di era pemerintahan Presiden Soeharto perayaan pun surut. Tahun 1970 sempat timbul polemik. Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) sempat melarang perayaan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila dalam bentuk apapun, dan lebih mengarahkan aktivitas peringatan lebih kepada Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober sesuai kebutuhan politik masa itu.

Sebagaimana diketahui bersama, itu adalah periode transisi politik nasional pasca peralihan kekuasaan usai tragedi Crack ’65. Terjadi perubahan paradigma besar-besaran dan suasana pun menjadi sangat sensitif. Ahli sejarah Prof. Nugroho Notosusanto melalui bukunya yang berjudul “Naskah Proklamasi jang Otentik dan Rumusan Pancasila jang Otentik” adalah tokoh yang pertama kali mempersoalkan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Namun, sayangnya riset itu hanya merujuk pada satu data primer yang juga masih debatable yaitu tulisan-tulisan Muhammad Yamin.

Awal tahun 1975, Presiden Soeharto pernah meminta para tokoh angkatan ’45 untuk menyusun tafsiran atau rumusan Pancasila yang baku agar dapat diresapi oleh seluruh rakyat Indonesia. Dibentuklah Panitia Lima yang diketuai oleh Dr. Mohammad Hatta dan beranggotakan Mr. Ahmad Soebardjo Djojodisoerjo, Prof. Mr. Sunario, Prof. Mr. Abdul Gafar Pringgodigdo, Drs. Pratignyo, dan A.A. Maramis. Setelah melakukan kajian sejarah dan rapat-rapat, Panitia Lima itu merampungkan naskah yang diberi judul “Uraian Pancasila” dan diterima oleh Presiden Soeharto pada tanggal 23 Juni 1975.

Naskah ini dijanjikan Presiden akan diteruskan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI untuk diturunkan dalam suatu kebijakan tentang pengamalan Pancasila oleh seluruh rakyat Indonesia. Perlu khalayak ketahui pula, naskah itu kemudian terbit sebagai buku dengan judul yang sama oleh Penerbit Mutiara di Jakarta pada tahun 1977. Jika anda tertarik memburunya di pasaran buku langka, mungkin anda bisa jadi satu dari sedikit orang yang beruntung untuk mendapatkannya.

Menariknya dalam kajian yang digawangi para pelaku sejarah itu justru menyangsikan akurasi kesaksian Pak Yamin dalam risalah utamanya yang berjudul “Naskah Persiapan UUD 1945”, dan mereka justru melegitimasi pidato Bung Karno di tanggal 1 Juni sebagai momen kelahiran Pancasila. Para tokoh ’45 itu bersepakat bahwa spirit dari kelima sila yang diuraikan Bung Karno sama sekali tidak berbeda dengan makna yang terkandung dalam redaksional terpilih sebagaimana teks Pancasila yang kini kita hapalkan.

Pertengahan tahun 1978, polemik pun mereda melalui Sidang Dewan Politik dan Keamanan yang dipimpin oleh Menko Polkam Jenderal M. Panggabean memutuskan bahwa sebagai negara demokrasi, Pemerintah Indonesia tidak melarang aktivitas peringatan hari lahir Pancasila di tanggal 1 Juni oleh sebagian elemen masyarakat. Namun, peringatan secara resmi tidak dilakukan oleh Pemerintah hingga beberapa dekade kemudian.

Namun, saat ini kedewasaan demokrasi Indonesia sudah cukup jauh berkembang. Patut diapresiasi, Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Isi dokumen itu dibunyikan dalam poin (e) pertimbangan: “bahwa rumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai Dasar Negara.”

Tanggal 1 Juni kemudian secara resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional untuk memperingati kelahiran Pancasila. Terlebih lagi kedewasaan demokrasi itu juga tercermin semisal dari dua momentum di tahun 2019 yang lalu. Presiden Jokowi tampak hadir sebagai Pembina Upacara di dua giat upacara kenegaraan yang berkaitan erat dengan sejarah ketatanegaraan seputar Pancasila, yaitu pada tanggal 1 Juni 2019 di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, dan 1 Oktober di Museum Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Api Gotong Royong

Begitu kiranya sedikit ulasan lika-liku perjalanan sejarah Pancasila, yang dari setiap prosesnya bisa dipetik pelajaran. Bila pembaca ingin lebih dalam mengkaji tema sejarah konstitusi ini, bisa merujuk pada buku berjudul “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945” terbitan tahun 2004, serta “Menggugat Arsip Nasional Tentang Arsip Otentik Badan Penyelidik dan PPKI” terbitan tahun 2017. Keduanya merupakan karya R.M. Ananda B. Kusuma, pakar hukum tata negara Universitas Indonesia yang sudah melewati masa riset dengan segala kerumitan dan penuh misteri selama lebih dari 20 tahun.

Pada prinsipnya, ketimbang sibuk bergerak mundur memperdebatkan semua hal ihwal riwayat Pancasila yang malah akan menjebak kita semua ke ranah kontra-produktif, akan lebih bermanfaat jika kita mengarahkan semua daya upaya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kerap kita kenang dalam bahasa Bung Karno sendiri sebagai penggali utamanya yakni, “Warisi Apinya, Jangan Abunya!.”

Mengutip Tan Swie Ling dalam bukunya yang berjudul “Masa Gelap Pancasila” (2014: 67), betapa sesungguhnya Pancasila itu laksana pahatan wajah nasionalisme Indonesia yang diukir dalam semangat serta cita-cita perjuangan pembebasan dan memerdekakan diri sebagai sebuah bangsa yang setara dengan bangsa lainnya di dunia.  Hal ini menegaskan watak utama dari Pancasila sebagai leitstar dinamis yang spiritnya dapat hidup sepanjang masa karena selalu menjumpai kontekstualitasnya di setiap zaman.

Dirujuk dari riwayatnya pula, bukanlah bangsa Indonesia itu yang lebih dulu ada baru kemudian Pancasila disusun. Sebaliknya, Bung Karno berkali-kali menegaskan jika nilai-nilai kebajikan universal dalam Pancasila itu ibarat mutiara yang digali dari nafas hidup seluruh suku bangsa yang ada di bumi Nusantara ini sejak lama, bahkan jauh sebelum ide tentang kebangsaan itu sendiri muncul. Itulah mengapa sepatutnya kita menerima Pancasila sebagai warisan yang niscaya untuktak hanya dilestarikan tetapi juga dilekatkan dengan kehidupan.

Kembali pada perkara api dan abu, patut ditegaskan bahwa yang dirujuk sebagai abu dalam sejarah Pancasila tak lain ialah ego sektoral antar golongan, yang menjadi bahan bakar bagi perpecahan bangsa. Oleh karenanya, meski perbedaan selalu diakui di negeri yang berbhinneka tunggal ika ini, persatuan adalah semangat yang harus diutamakan. Bersatu dalam membangun dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan, bukan bersatu untuk menyakiti ia yang dianggap berbeda golongan.

Sementara apinya ialah Gotong Royong sebagai nafas kehidupan bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, setiap perbedaan justru akan menjadi bahan bakar yang positif bagi tumbuhnya solidaritas organik dari setiap unsur dan golongan masyarakat Indonesia, dimana kehadiran yang satu adalah untuk melengkapi dan menguatkan yang lain

. Semangat gotong royong yang merupakan intisari dari kelima sila Pancasila ini nyatanya masih kerap diabaikan. Disitulah tugas utama kita sebagai pewaris peradaban bangsa,  yang harus diusung dengan penuh kesadaran.

Meski terlambat, seruan ini penulis kira masih relevan diucapkan kepada sidang pembaca setelah kita melewati masa peringatan lahirnya Pancasila Ke 75 Tahun! Ayo warisi api semangat para pendiri bangsa, untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Negara  Republik Indonesia tercinta, demi kemaslahatan hidup seluruh rakyat. Mari ramaikan perbincangan di negeri ini dengan jutaan narasi kebajikan dan persatuan, khususnya sebagai obat hati menyongsong New Normal Indonesia di tengah pandemi yang belum berakhir ini.

Salam Pancasila!
--------------
*) Bergiat di forum PERHIMPUNAN PANCASILA. 
    Alumni Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Lampung.  

Terbit Tangal 5 Juli 2020. di Portal PEDOMAN BENGKULU.COM dan MONOLOGIS.ID
6 Juli di Portal PodiumNews.Com
7 Juli di Portal DiksiMerdeka.Com

https://pedomanbengkulu.com/2020/07/mewarisi-api-semangat-pancasila/
http://monologis.id/kopilogis/mewarisi-api-semangat-pancasila
https://podiumnews.com/view/6266-Mewarisi-Api-Semangat-Pancasila.php
https://diksimerdeka.com/2020/07/07/mewarisi-api-semangat-pancasila/


Sabtu, 09 Mei 2020

Friksi : Kunjungan Gerimis 95 Tahun Pak Pram

Oleh : Saddam Cahyo


Di Karet Bivak ini jasadnya ditanam.
Sedang jiwanya terus tumbuh menjalar. dan gagasannya abadi bermekaran, mewarnai corak Bumi Manusia Indonesia..
Di hari Minggu dengan rintik hujan yang syahdu ini Pak Pram. Aku datang dalam basah, menjenguk pusara mu.
Hormat dan doaku untukmu..

...dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan orang lain.." Pramoedya Ananta Toer.


Minggu, 9 Februari 2020 yang lalu. Selepas waktu dzuhur kami berangkat berboncengan dari bilangan Jagakarsa ke pusat kota Jakarta. Sebenarnya langit sudah tampak muram saat itu, tapi siapa peduli? jikalau tekad sudah bulat. Motor Honda Vario itu pun ditancap gas meraung ditumpangi dua lelaki tambun mengaspal di ibu kota.

Hanya butuh waktu sekitar 30 menit lebih, kami sudah tiba di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Kala itu cuaca sudah sangat gelap. Hujan tak bisa lagi dibendung, bagaimanapun kami berdoa memohon pengertian kepada-Nya, tak bisa membantu terlalu banyak. Kami pasrah, tapi sama sekali tidak menyerah.

Bermodal petunjuk sekilas dari beberapa pemberitaan di media massa, sekenanya saja kami mengurai perkiraan posisi makam Sang Legenda Sastra Indonesia itu. Patokannya masih di komplek A dan tak jauh dari pintu gerbang, juga pinggir jalan raya. Tapi siapa sangka, TPU Karet Bivak ini tak kalah melegenda. Ratusan nama besar dari kalangan pahlawan bangsa, seniman, konglomerat, pejabat negara, dan alim ulama jasadnya terkubur di sini. Sebut saja Chairil Anwar Si "Binatang Jalang", Ibu Negara Fatmawati Soekarno, Bing Slamet, Mohammad Husni Thamrin, Achmad Bakrie, Benyamin Sueb, Ismail Marzuki, A Rafiq, Jeffry Al Buchori, dan terlalu banyak lagi nama yang bakal melelahkan jika kuketik di sini.


Luas lahannya saja mencapai 16 hektar lebih dengan jumlah makam yang terdata pun di atas 48.000 nisan. Alhasil, kami pun tersasar di tengah pemakaman dalam kondisi basah diguyur rintiknya hujan. Sambil mencari tempat berteduh, kami berpencar sambil masih menyusuri Komplek A itu. Celingak-celinguk mengeja nama di batu-batu nisan. Saat itu kami memang agak ragu untuk bertanya, ditambah suasana memang sedang sepi sekali. Tapi di tepi parkiran depan, kujumpai beberapa pedagang paket bunga bagi peziarah. Sambil membeli dua botol air mineral dan sekantung bunga, aku ajak mereka berbincang. 

Ternyata nama Pram tidak asing di telinga mereka, syukurlah. Secara spontan seorang yang sedang jongkok pun berdiri sambil menunjukan arah. "Oh itu Bang, nanti di makamnya ada tulisan SASTRAWAN, itu tuh lurus aja dikit deket tembok dan pagar kecil. Nah, itu patokannya pohon kamboja putih, tapi yang depannya ya." ucapnya bersemangat. Aku pun tak kalah semangat, kawan yang berteduh di sisi lain segera kutelepon dan memberi petunjuk. Saat hujan mereda tapi masih cukup basah merintik, kami sudah berada persis di hadapan makamnya. 

Ialah Pramoedya Ananta Toer. Seorang pelopor sastra pembebasan di Indonesia. Ia pula manusia Indonesia pertama yang namanya berhasil masuk sebagai calon penerima penghargaan bergengsi dunia NOBEL PRIZE AWARD di tahun 2004 untuk bidang sastra. Tapi sayangnya kesempatan emas itu harus pupus karena satu dan lain hal yang masih menjadi misteri. Pram tahu persis apa alasannya, tapi ia memang tak pernah berlebihan menaruh harap. Toh ada banyak penghargaan internasional lain yang diraihnya, seperti Ramon Magsaysay Award (1995), Hadiah Budaya Asia Fukuoka (2000) , Norwegian Authors Award (2004), dan masih banyak lagi. 

Ada pula yang menurut ku paling teristimewa. Yaitu penghargaan yang diperolehnya pada tahun 1949 dari Balai Pustaka atas karyanya yang berjudul "Perburuan". Mengapa? bukan hanya lantaran kejelian seorang H.B. Yasin dalam melihat potensi Pram yang masih muda kala itu, tapi ini adalah kali pertama dan terakhir baginya untuk bisa mendapatkan penghargaan resmi dari negara yang begitu dicintainya, Indonesia.

Pram lahir di Blora Jawa Tengah pada 6 Februari 1925. Kisah hidupnya sangatlah epik. Ia seorang genius yang mahir sekaligus otodidak sejati. Sebagai anak sulung dari seorang Ayah Mas Toer yang menekuni profesi pendidik dengan jalan yang terlampau idealis di tengah pergolakan zaman kolonial. Pendidikan formalnya hanya bisa dicapai setingkat sekolah kejuruan teknik radio di Surabaya, karena kehidupan menuntutnya untuk mencari hidup ke Jakarta.

Di sanalah perjalanan yang penuh jurang harus dilaluinya. Bermula jadi seorang juru ketik untuk surat kabar di masa pendudukan Jepang. Pram juga sempat terjun langsung menjadi serdadu pejuang kemerdekaan. Segala kesulitannya merangkak di garis bawah kehidupan ternyata menjadi pemantik bakatnya untuk mulai menulis sastra. Ia menjadi sangat produktif, karya-karya awalnya seputar refleksi kehidupan pribadi baik keluarga maupun pengalaman masa perang. Sebagai contoh sebut saja "Bukan Pasar Malam" dan "Di Tepi Kali Bekasi".

Namanya mulai dikenal sebagai pengarang realisme sosial. Sepanjang tahun 1950 Pram mendapat kesempatan  belajar lebih banyak dengan mengikuti program pertukaran budaya di Belanda. Sepulang ke Indonesia, ia memutuskan untuk bergabung dengan organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Karyanya semakin berkembang, perenungan terhadap situasi dan momentum krusial sejarah bangsa ini menjadi perhatian utamanya. Novel "Korupsi" yang ditulisnya tahun 1954 menjadi cerminan betapa kerasnya pandangan Pram. Tak hanya itu, ia juga mulai menerbitkan hasil riset non fiksinya secara serius seperti "Hoakiau di Indonesia" yang merekam diskriminasi atas kaum Tionghoa.


Hatiku bergetar saat berdiri dan membaca perlahan setiap huruf yang tertera di batu nisannya yang sederhana. Gerimis siang itu terasa begitu syahdu. Jauh dari ekspektasiku sebagai penggemar yang berlebihan, pusara makam Pramoedya Ananta Toer yang wafat pada 30 April 2006 itu tampak terlalu biasa saja. Di dalam liang yang sama, jasad istri tercintanya Maemunah Thamrin yang wafat pada Januari 2011 juga turut dikuburkan. Ia memang bukan cinta pertama bagi Pram, sebelumnya ia pernah menikah dan memiliki anak. Tapi rumah tangganya kandas karena perbedaan prinsip yang tak lagi bisa ditawar. Sementara gadis Maemunah adalah perempuan paling setia dalam hidup Pram. Diterpa badai sekencang apapun, teruji sudah Ibu Maemunah kukuh berdiri membesarkan anak-anak mereka dan mendampingi Pram hingga batas usia.


Setidaknya ada satu tulisan yang begitu mengesankanku di makam itu. Ialah perkataan terakhir PAT sebelum ajal sungguh-sungguh menjemput: "Pemuda Harus Melahirkan Pemimpin." begitu bunyinya. Sepenelusuranku, Pram memang sangat percaya bahwa golongan muda adalah motor penggerak perubahan bagi suatu bangsa.  Misalnya tercermin dari isi pidato yang pernah dibacakannya pada tanggal 21 Maret 1999. Pidato berjudul "Angkatan Muda Sekarang" itu disambut aplaus gempita oleh semua orang yang hadir di momen pelantikannya sebagai anggota luar biasa Partai Rakyat Demokratik (PRD), sebuah partai politik yang digawangi aktivis belia untuk memperjuangkan demokratisasi di Indonesia dan mendobrak belenggu kuasa rezim otoritarian Orde Baru.


Pram memang pribadi penuh ledakan. Ia tak pernah kehabisan bahan bakar untuk berkarya. Hingga usianya mencapai 80 tahun sekalipun, tak ada hari yang disia-siakan. Aktivitas membuat kliping menjadi rutinitas dalam ruang kerja di rumah tinggalnya di kawasan Bojong Gede yang sejuk. Setiap hari Pram juga harus membakar sampah apa saja di pekarangan, itu seperti terapi yang memberi efek tenteram baginya. Beberapa tahun sebelum wafat, ia tak lagi mampu menulis sebaik dulu. Daya tahan tubuhnya menurun jauh terutama pasca terkena serangan stroke di tahun 2000. Pendengaran dan penglihatannya pun terus menurun. Jemarinya sering kaku, dan ingatannya kerap terselip. 

Tapi hidupnya tak pernah sepi, jutaan orang muda terus membacai karyanya. Memetik makna dan mereproduksi semangatnya menjadi sebuah gerakan. Begitulah Pram, manusia yang lebih dari separuh masa hidupnya dihabiskan dalam kurungan penjara penguasa. Orang yang dipenjara dalam tiga zaman, 3 tahun oleh pemerintah kolonial Belanda yang kembali masuk ke tanah air pasca Jepang menyerah, 1 tahun oleh pemerintahan Soekarno yang diidolakannya, sampai 14 tahun oleh pemerintahan Soeharto yang paling dalam melukai jiwanya.

Penderitaan terbesar sebagai manusia merdeka di negeri yang ikut dimerdekakannya adalah kehilangan kemerdekaan itu sendiri. Kondisi itu harus diterimanya seperti kutukan yang sudah ditakdirkan. Setelah dimulainya episode guncangan politik nasional melalui peristiwa Gestapu atau Gestok '65, Pram ikut terciduk. Melalui program bersih lingkungan, bersama jutaan manusia Indonesia lainnya ia dihukum tanpa pernah diadili, harta benda maupun  karyanya dirampas musnah, dan seluruh keluarga harus sesak nafas terkena stigma seumur hidup mereka.

Lebih buruknya Pram ikut disertakan dengan ribuan tapol alias tahanan politik lainnya untuk mengalami masa pembuangan di Pulau Buru selama satu dekade. Namun, meski harus mengalami ketertindasan jiwa raga, kobar api semangatnya untuk berkarya justru semakin tak bisa dipadamkan. Tanpa alat tulis yang pantas, tanpa eferensi yang ideal, dan hanya mengandalkan ingatan juga instingnya saja, Pram membuktikan bahwa dirinya adalah seorang sastrawan sejati. Novel Tetralogi Pulau Burunya (Bumi Manusia, ANak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) serta Novel Arus Balik yang bergenre sejarah berhasil disusun dan menjadi mahakarya di kemudian hari.

Dari pengalaman pahit sebagai tapol Golongan B itu, ia juga merampungkan dua jilid catatan harian berjudul "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" yang memberi gambaran rinci betapa kejam dan eksploitatifnya penahanan manusia oleh militer di Pulau Buru. Sementara perjumpaan dengan perempuan-perempuan tua yang dikawini suku-suku asli di pedalaman Buru, menyingkap tabir penyintas korban eksploitasi seks tentara Jepang di era perang pasifik disusunnya dengan judul "Perempuan Remaja dalam Cengkeraman Militer". Semua karya itu nyatanya telah menjadi sumbangan besar bagi pencatatan sejarah bangsa Indonesia, negeri yang amat dicintainya sampai juga terluka karenanya.

Renungan dan panjatan doaku siang itu terhenti karena hujan kembali turun dengan derasnya. Mau tak mau, aku harus lekas berpamitan meski  jiwa Pak Pram sendiri mungkin tak akan pernah mendengarnya. Sambil berteduh di tenda besar yang sedang dipasang untuk acara haul konglomerat Achmad Bakrie, kukenali salah seorang pesepeda yang sedang terlamun. Ternyata sejarawan JJ Rizal dan kawannya yang merupakan putra bungsu mendiang Sitor Situmorang, legenda sastra Indonesia lainnya. Mereka sedang mempersiapkan rute sepeda susur sejarah di momen haul pahlawan nasional M.H. Thamrin yang juga paman mertua bagi Pramoedya Ananta Toer. 

Dalam keadaan basah terkena percikan air hujan, kami berempat mengobrol tentang banyak hal. Dari jalur kekerabatan keluarga Pak Thamrin, seputar hari-hari tua Pak Pram, momen seru pemakaman Pak Sitor yang wafat di Belanda dan dimakamkan di pingir Danau Toba, hingga jenakanya bocah-bocah Ibukota yang tampak begitu riangnya bermandi hujan dan merenangi genangan air di cekungan komplek pemakaman tua ini tanpa sedikitpun rasa takut. Hanya itu cara yang bisa kami lakukan untuk menghangatkan tubuh. Setelah dua jam terjebak oleh derasnya hujan, kami pun berpamitan, saling menyalami dan bersyukur untuk perjumpaan hari itu.
-------
Terbit di portal Monologis.Id pada Minggu, 10 Mei 2020.

Jumat, 08 Mei 2020

FRIKSI: PERJUMPAAN SANG PEMULA



Oleh : Saddam Cahyo

Siang terik, 7 Mei 2020.  Suasana TPU Blender di Kawasan Tanah Sereal Kota Bogor tampak sejuk dan bersahabat. Sekitar pukul tiga belas,  dua motor Vespa Excel yang kami tunggangi beriringan dari Jakarta pun menepi dengan senyum kemenangan. Tak ada kendala di perjalanan dan ternyata rutenya sangat mudah diakses. Tak ada nuansa angker sama sekali, karena lokasi ini meski di perbukitan tapi sudah rapat dengan pemukiman. Bahkan uniknya, cukup ramai  orang berlalu lalang dengan santainya karena banyak sekali jalan seukuran gang  beraspal membelah-belah kompleks makam yang seperti taman ini.

Tak butuh waktu lama, kami langsung menghampiri satu bangunan seperti sekretariat di tengah komplek pemakaman yang cukup luas ini. Menyapa dan bertanya, di mana letak posisi makam Sang Pemula. Awalnya mereka agak ragu menjawab. "Kalau pejuang kemerdekaan sih banyak di sini, tokoh juga ada, tapi kalau Pahlawan Nasional kayaknya cuma satu, itu di kompleknya makam Neng Gizca anak Dewi Yull.." kata Bapak yang sedang mengaso.

Cocok! aku baru ingat, memang  Si Penyanyi Lawas yang dulu sering berduet dengan Broery Marantika itu adalah cucu kandung RM Priatman, putra TAS. Tak lama berselang, dengan panduan arah tadi kami sudah langsung menjumpai komplek makam keluarga yang berpagar besi dan digembok. Ada sekitar 20an makam di dalamnya, dan dari luar batas aku harus mengeja satu-persatu nama yang tertera di batu nisan yang berbentuk relatif sama. Akhirnya ketemu! di sebuah makam di barisan tengah, yang sangat tidak mencolok, tertulis "R.M. Djokomono Tirto Adhi Soerjo."

Lalu seorang lelaki mengucap salam dan menghampiri. Kami berkenalan, namanya Abdul Rohman alias Toton, yang sejak tahun 2006 dipercaya merawat makam keluarga besar Bapak Pers Nasional Indonesia itu. Kang Toton dengan ramah membukakan gerbang, mengantar masuk, dan mempersilakan kami untuk sejenak berdoa.




Berdiri di hadapan makamnya, kakiku terasa agak lemas, mungkin karena kombinasi efek cuaca panas satu jam perjalanan bervespa dan tubuh yang berpuasa. Tapi mungkin juga karena aku sangat takzim pada sosok yang jasadnya terkubur di bawah tanah itu.

TAS alias Tirto Adhi Soerjo merupakan salah satu tokoh utama dan pelopor pergerakan nasional di Indonesia. Ia dan beberapa orang lagi di zamannya, adalah segelintir manusia Nusantara modern yang tak hanya sadar bahwa kolonialisme bangsa asing di negeri ini bukanlah suatu keniscayaan yang tak bisa ditolak. Lebih dari itu, ia juga sadar betul bahwa orang-orang Nusantara yang tersebar dalam bingkai keragaman dan perbedaan di setiap penjuru kepulauan ini sesungguhnya adalah satu bangsa yang sama.

Generasinya adalah peletak batu fondasi bagi terbentuknya sebuah bangsa bernama Indonesia, yang kelak dengan hebatnya bersatupadu memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Demi memperjuangkan gagasan  visioner yang melampaui zamannya itu, TAS harus terputus dari kenyamanan hidup keluarga bangsawan Jawa, bersabung nyawa di perantauan demi membela hak jelata dan menggebrak meja kekuasaan kolonial.

Ia berjuang terutama dengan memelopori berdirinya satu surat kabar otentik kaum bumiputra bernama "Medan Prijaji" pada tahun 1907 yang kerap membentuk pendapat umum untuk mengecam penjajahan. Ibarat bola salju, semangat perjuangannya terus bergulir membesar hingga membentuk Serikat Dagang Islam di tahun 1909. Organisasi ini adalah embrio dari Serikat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto si Raja Tak Bertahta, yang kelak ikut  menjadi rahim lahirnya para penggerak kemerdekaan Indonesia dari beragam spektrum ideologi politik.

Tapi semua kiprahnya yang teramat keras bagi penguasa saat itu harus dibayar mahal. Tahun 1909 itu pula TAS mengalami pembuangan ke Telukbetung Lampung atas Delik Pers Penghinaan Pejabat Kolonial Hindia Belanda. Tahun 1912 ia harus kembali dibuang ke Pulau Bacan di Halmahera. Hingga di tahun 1914 ia bisa kembali ke Jakarta, tapi nama besarnya sudah terlanjur dirusak. Melalui strategi licik desas-desus ia dianggap gila dan dijauhkan dari nafas pergerakan. Kondisi tubuhnya juga mengalami banyak gangguan kesehatan, hingga di tahun 1918 ia menghembuskan nafas yang terakhir dalam kesunyian.

Awalnya, TAS dimakamkan di kawasan Manggadua, namun tahun 1973 pihak keluarga memindahkan ke Bogor untuk dikumpulkan dengan makam kerabat yang lainnya. Kisah tentangnya nyaris terkubur dalam-dalam. Adalah Pramoedya Ananta Toer seorang legenda sastra Indonesia di separuh abad kemudian, yang berkeras membangkitkan kembali ingatan manusia Indonesia kepada Sang Perintis Kemerdekaan kelahiran Blora Tahun 1875 itu.

Pram memang begitu mengagumi TAS. Melalui tokoh fiksi Minke ia mengangkat sosoknya sebagai tokoh utama dari novel mahakarya yang disebut Tetralogi Pulau Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Riset serius Pram atas sepak terjang TAS juga bisa dijumpai melalui buku biografi sejarah berjudul Sang Pemula. Semua karya itu disusun Pram dengan tetesan darah dalam keadaan yang penuh ketertindasan sebagai manusia dengan predikat tapol oleh suatu rezim.

Begitulah sekilas tentang TAS, yang belakangan ini oleh generasi unyu-unyu Indonesia, mungkin akan lebih sering diasosiasikan secara samar dengan sosok fiksi Dilan karya Pidi Baiq. Lantaran naluri bisnis sutradara Hanung Bramantyo nekat memilih Iqbaal Ramadhan sebagai aktor pemeran Minke dalam film Bumi Manusia di layar lebar pertengahan tahun 2019 lalu.

Siang itu, mungkin sampai habis waktu dua jam lebih kami berada di komplek makamnya. Mengirim doa kepada Tuhan Semesta Alam untuk kedamaian hakiki bagi Sang Pahlawan Nasional, serta berbincang hangat dengan Kang Toton. Ia bahkan mengiringi kami keluar, sampai kedua Vespa pun kembali mengepulkan asap mesin dua tak sebagai tanda perpisahan. Sungguh hari yang membahagiakan di tengah kesuntukan suasana pandemi Covid-19.


Terbit di portal berita Monologis.Id pada Jumat, 8 Mei 2020.
http://monologis.id/kopilogis/perjumpaan-sang-pemula