Oleh: Wahjoe Sardono alias Dono Warkop (Artis Film
& Pelawak juga aktivis demokrasi)
Rada sulit menentukan kelas
menengah saat ini, dibanding dengan menentukan status sosial kelas bawah atau
atas. Kelas bawah, misalnya, karena tak ada pendidikan dan juga taraf hidup di
bawah pas-pasan, serta tinggal di rumah RSSSSSSSSS (rumah sungguh sangat
sederhana sehingga selonjor saja usah dan sangat sumuk) saja belum mampu, jelas
mereka itu berada pada stratifikasi sosial ekonomi kelas bawah.
Sebaliknya, mereka yang menempati
status sosial atas jelas ukurannya: berpendidikan baik, kaya-raya, dan menjadi
pemimpin masyarakat. Sebut saja konglomerat-lah, kelompok yang menentukan hajat
hidup orang lain.
Adapun untuk menentukan kelas
menengah, parameternya terlalu banyak, simpang siur, dan tumpang tindih. Jadi,
dimensi apa saja yang digunakan untuk menentukan kelas menengah? Barangkali
memang benar perkataan Max Weber tentang life chances, peluang untuk hidup,
dalam melihat kelompok ini: bagaimana sesorang bisa memanfaatkan setiap peluang
yang disodorkan, apalagi kini mobilitas sosial sangatlah terbuka. Ada
lembaga-lembaga atau perorangan yang bisa dijadikan gantolan untuk meningkatkan
status sosial itu. Achieved status ketika seseorang merekayasa dirinya untuk
mencapai kedudukan yang dianggap lebih tinggi daripada sebelumnya sangatlah
tepat untuk masa sekarang ini.
Namun, apakah benar demikian?
Katakanlah, dalam kuliah semester satu, dalam pelajaran dasar sosiologi, dulu
dikatakan bahwa mahasiswa adalah kelompok sosial menengah yang mampu menjadi
agen perubahan. Tapi, sekarang, telah begitu banyak universitas dengan berbagai
status, mulai dari yang “terdaftar” , “diakui” , “disamakan”, sampai yang
menjadi olok-olok, seperti universitas dengan status “terdengar”. Dengan
berbagai macam universitas dan jumlah
mahasiswa yang besar sekali, siapa saja bisa menjadi mahasiswa.
Pergeseran macam itu tak melulu
pada status mahasiswa saja, tapi juga pada status-status sosial menengah
lainnya, semacam guru, wartawan, dan pegawai negeri.
Realistis dan Materialistis
Dalam kurun 30 tahun, pembangunan
ekonomi Indonesia telah mengubah wajah dan orientasi orang per orang pada gaya
hidup. Orang kini lebih realistis melihat materi sebagai jawaban – lebih
materialistis – dan tumbuh menjadi kelas menengah baru. Karena mereka mampu
memanfaatkan adanya peluang untuk hidup.
Peluang itu adalah faktor ekonomi
yang ditentukan dan berada pada kekuasaan. Semua proyek yang mendatangkan uang
nyaris di tangan pemegang kekuasaan. Dengan demikian, orientasi pada hubungan
dengan kekuasaan menjamin adanya peningkatan kemampuan ekonomi. Pada gilirannya,
itu bisa untuk mendapatkan status sosial kelas menengah. Maka, ada
kecenderungan bahwa kelas menengah
ditentukan oleh kemampuan ekonominya.
Pembangunan ekonomi lebih banyak
memberikan peluang untuk kenikmatan hidup. Banyak previlage yang disodorkan
untuk dikunyah. Jika demikian indikator kelas menengah Indonesia saat ini,
secara sederhana bisa dirumuskan bahwa mereka adalah yang mempunyai
kemudahan-kemudahan, mempunyai kartu kredit, dan kartu keanggotaan segala
fasilitas kenikmatan yang ada. Jadi, mobil, pekerjaan, gaji, telepon genggam,
olahraga mahal, dan sebagainya bisa dianggap sebagai patokan.
Kelompok ini memang bekerja
keras, menduduki jabatan penting dalam perusahaan-perusahaan besar atau
perusahaannya sendiri yang permodalannya biasanya didukung keluarga, yang
dikayakan oleh fasilitas.
Kelas Menengah
Mereka biasanya mempunyai latar
pendidikan yang baik dan lancar berbahasa Inggris. Biasanya juga, punya akses
ke kekuasaan. Mereka menyadari benar bahwa suap, memberikan “bingkian
pancingan”, adalah soal biasa dan bukan sebagai suatu beban, baik dalam urusan bisnis
besar maupun mengurus surat-surat semacam KTP.
Juga dalam hal rekreasi. Banyak
dari mereka sering mengunjungi pub dan diskotek. Mereka bergoyang dengan
hostmusic setiap malam Sabtu atau malam Minggu, secara beramai-ramai dengan
diselingi minum screaming orgasm atau cukup banya di antara mereka yang sekali
menelan ectasy barang dua atau tiga butir sekaligus, hingga kepalanya bergoyang
kiri-kanan semalam suntuk.
Kelas Menengah yang Sedang Terkesima
Mereka adalah kelas menengah
Indonesia yang sedang terkesima, sibuk dengan pekerjaan dan rekreasi.
Katakanlah sibuk menikmati proses pembangunan yang kini tengah berlangsung dan
mereka menjadi sibuk dengan dirinya sendiri.
Kalaulah kita berharap bahwa kelas
menengah kembali sebagai agen perubahan, barangkali untuk sementara mereka baru
mampu menciptakan kelompok marginal. Banyak fasilitas, kemudahan, dan juga
prestise yang didapat kelas menengah macam itu akan memancing kelompok
masyarakat tertentu yang sebenarnya belum mampu benar untuk membayar harga
kenikmatan itu, tapi ikut pula menikmatinya.
Mereka juga mengunjungi pub dan
diskotek secara rutin. Mereka juga membeli pakaian yang cukup mahal serta punya kartu kredit dan juga
telepon genggam. Apalagi, makin banyak ditawarkan kemudahan menggiurkan,
misalnya, kini dengan uang Rp 600.000 sudah bisa membawa mobil ke rumah.
Jika demikian, barangkali kita
cuma bisa berharap dan menunggu, sampai
merasa mereka “jenuh” pada kenikmatan proses pembangunan itu. Baru kemudian
sempat mengatakan bahwa demokratisasi itu perlu, ketidakadilan itu harus
dihapus, kesenjangan sosial harus dibenahi, dan semacamnya, yang memang menjadi
jargon kelas menengah pada umumnya.
*Esai Wahjoe Sardono (DONO) yang
membahas tentang kelas menengah Indonesia, yang terbit di FORUM KEADILAN April
1996, dimuat ulang untuk tujuan edukasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar