Oleh : Drs.H. Wahyu Sardono, M.S. alias Dono Warkop DKI*
Sertu Jumadi adalah seorang
polisi lalu lintas. Dulu, ia tinggal di asrama polisi yang reyot, kumuh,
berdesak-desak, bising, dari berbau pesing. Tapi kini, ia tinggal di luar
asrama lantaran asramanya digusur untuk pusat pertokoan yang canggih.

Setiap kali Sertu Jumadi
berangkat dinas ke perempatan jalan, ia selalu mengendarai sepeda motor bebek
miliknya dengan pakaian lengkap. Semula, saya kira polisi ini sedang naik
barang bukti yang dititipkan di kantornya. Soalnya, dihitung-hitung dengan
matematika modern, dengan gajinya Sertu Jumadi agak susah mendapatkan sebuah
sepeda motor. Atau barangkali, pikir saya, sepeda motor itu dibeli dari hasil
pesangon gusuran asramanya.
Dengan naik sepeda motor bebek,
kegagahan polisi jelas berkurang. Saya sering berdecak kagum kalau melihat
polisi mengendarai sepeda motor besar, dengan helm, jaket kulit, dan sepatu
lars tinggi. Bila mengejar dan menyetop kendaraan yang melanggar lalu lintas,
mereka tampak berwibawa. Kalau polisi mengejar pengendara mobil atau sepeda
motor dengan sepeda motor “preman”, tampaknya mereka seakan-akan sedang mencari
tambahan penghasilan.
Menurut saya, polisi yang pergi
ke kantor lebih baik mengenakan baju biasa. Setelah itu, di kantor barulah
mengenakan pakaian dinasi. Kemudian, dengan kendaraan, mereka di-drop ke tempat
dinasnya di jalan-jalan raya. Selesai tugas, mereka dijemput dan kembali ke
kantor, memakai pakaian biasa, dan pulang.
Mengapa saya punya pikiran
seperti itu? Saya punya pengalaman menarik tentang hal ini. Beberapa tahun
lalu, ketika masih kuliah, saya naik bus kota yang sarat penumpang. Saat itu,
seorang penjahat menyerobot dompet seorang wanita. Wanita itu menjerit
histeris, sambal menunjuk seorang lelaki yang badannya seperti Mike Tyson. Tatapan
orang itu tajam, seperti burung elang mengawasi mangsanya, dan mengarah ke
setiap penumpang. Napasnya bak lokomotif yang mulai bergerak menarik puluhan
gerbong. Dan, yang lebih mengerikan lagi, tangan kiri lelaki besar itu
mencengkeram dompet si wanita, sedang tangan kanannya menghunus belati yang
mengkilap dan runcing.
Tak seorang pun penumpang bus,
yang kebanyakan lelaki, termasuk saya, berani bertindak menolong wanita yang
histeris itu. Terus terang saya takut belati
terhunus di tangan penjahat itu. Barangkali, penumpang lain juga begitu. Salah seorang
penumpang yang duduk di belakang adalah polisi. Semua mata tertuju kepadanya
dan berharap ia akan bertindak. Tapi, seperti penumpang lainnya, si polisi
hanya diam sampai penjahat meloncat ke luar bus.
Seperti dikomandokan, para
penumpang pun berteriak panjang, “uuuuu…,” sambal melirik Pak polisi. Saya
terenyuh melihatnya. Takut adalah hal yang manusiawi. Polisi yang badannya jauh
lebih kecil itu, pasti takut juga. Bila melawan, niscaya ia pun tak akan
menang. Saat polisi itu turun di sebuah halte, hampir seluruh penumpang
berkomentar. “Polisi kok takut!”,” Polisinya pasti sekongkol dengan penjahat
itu!”, “Suruh masuk Bhayangkari saja! Jangan ikut Bhayangkara!”, dan, “Iya,
hanti saja namanya menjadi Deborah atau Yayuk!” Dari kaca jendela, saya melihat
polisi itu berjalan menundukkan kepala. Barangkali, ia malu karena seragamnya.
Pada
waktu lain, saya bertanya kepada Sertu Jumadi, kenapa tidak ada rasa sungkan
polisi berpakaian dinas naik kendaraan umum dan tidak bayar. “Kalau setiap kali
saya harus bayar, gaji saya tak cukup untuk keperluan hidup sebulan.” Kata Sertu
Jumadi.
“Memangnya, berapa gaji seorang
Sertu?” saya bertanya lagi. Dengan sedikit senyuman ia berujar, “Gaji pokok Rp.
97.200, dan uang lauk pauk Rp. 49.600. Dengan ini, saya harus membayar iuran
Bhayangkari, Asuransi, TWP, Catur Sakti, Dana Sosial Kompi, Tabungan Koperasi,
sumbangan Amal Bhakti Pancasila, Amal Bhakti Bhayangkara, dan masih banyak yang
lain. Belum lagi kas bon.”
Tetapi, memakai pakaian dinas
naik kendaraan umum tetap saja disebut penyelewengan. “Terserah mau disebut
apa. Seandainya pun saya menjalankan semprit damai atau lempar korek api di
pinggir jalan, itu kan sekadar membuat asap dapur tetap ngebul, bukan untuk
menjadi kaya, “ujar Sertu Jumadi lagi.
Saya manggut-manggut memahami. Kemudian,
Sertu Jumadi mencolek saya, “Tapi, saya enggak pernah naik kendaraan umum
dengan seragam, lho. Soalnya, saya polisi lalu lintas, malu sama sopirnya!”.
Kembali saya manggut-manggut. Ini
memang manusiawi sekali.
--------------
*) Seorang Kartunis dan Komedian
Indonesia, Aktivis Pro Demokrasi, dan Sosiolog Universitas Indonesia.
ARTIKEL INI PERNAH DIMUAT DI MAJALAH
FORUM PADA TAHUN 1993. DIKETIK ULANG DAN DIPOSTING KEMBALI UNTUK TUJUAN
EDUKASI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar