Oleh
: M.Saddam SSD. Cahyo*
Beberapa ormas muslim
di Sidoarjo Jawa Timur melakukan rangkaian protes keras agar monumen Jayandaru
yang baru terbangun di alun-alun kota itu dibongkar. Monumen setinggi 25
meter ini bentuknya mewakili gambaran
khas kehidupan masyarakat setempat, yakni patung udang dan bandeng yang jadi
produk unggulan, ditambah 9 patung aktifitas manusia agraris. Penolakan
dilandasi pandangan bahwa daerah yang sudah lekat dengan citra kota santri itu tak
patut “dinodai berhala” berupa patung manusia sempurna yang menyerupai ciptaan
Tuhan dengan alasan apa pun (Metro TV, 21/2).
Sentimen
Simbolik
Tentu kabar seperti ini
bukan lagi hal baru buat masyarakat Indonesia, semisal di tahun 2010 lalu
patung Tiga Mojang seharga 2,5 Milyar milik perumahan elit di Bekasi juga roboh
diamuk massa lantaran dianggap mengumbar aurat dan mengandung unsur
Kristenisasi. Lalu di tahun 2011 beberapa patung Tokoh Pewayangan yang
meramaikan sudut-sudut kota Purwakarta juga mendapat nasib buruk dihancurkan
secara paksa karena dituding sebagai berhala yang melanggengkan kemusyrikan.
Patung Kaki Akar di
titik nol kilometer kota Yogyakarta juga akhirnya harus dirobohkan Pemkot di
tahun 2014 karena terus menimbulkan prasangka pornoaksi bagi kelompok massa tertentu.
Sedikit berbeda juga pernah dialami masyarakat Lampung di tahun 2012, yakni
dirobohkannya patung Z.A. Pagar Alam di Kalianda, latarnya bukan sentimen agama
melainkan politis seperti pemborosan anggaran, hingga ketidakjelasan alasan
pembangunan yang dirasa warga menyalahi sejarah dan bernuansa nepotis.
Fenomena seperti ini
dalam khasanah ilmu sosial biasa disebut Ikonoklasme, yakni tindakan memerangi hingga
menghancurkan ikon-ikon berupa gambar, patung, atau simbol lain, baik yang
bermakna religius mau pun politis karena motif tertentu dalam suatu kebudayaan
(Ioanes Rakhmat, 2011). Dalam konteks kekinian, hal ini sesungguhnya lebih
merujuk pada sikap intoleran berupa ketidakdewasaan masyarakat dalam menghargai
seni, budaya, sejarah, dan sensitifitasnya menjaga kohesifitas kehidupan sosial
yang majemuk.
Karenanya meski
alasan-alasan yang diungkapkan kelompok-kelompok masyarakat reaksioner yang
menuntut penghancuran patung itu dirasa cukup kuat, tetap saja tidak serta merta
harus selalu dimaklumi. Terlebih kasus sentimen berlebihan pada simbol-simbol seperti
ini tanpa disadari telah menjadi preseden buruk yang terus berulang dan seolah
menjadi kebiasaan yang lumrah. Padahal konsekuensi publiknya tidaklah sepele
karena menimbulkan keresahan yang menyuburkan konflik laten, atau malah berpotensi
meledakkan konflik horizontal yang destruktif.
Patung
Produk Budaya
Sebagai bangsa yang
beradab, sudah semestinya kita berusaha cerdas dan objektif dalam menyikapi
berbagai hal, termasuk perkara patung. Bangsa ini faktanya memiliki sejarah
peradaban adiluhung yang tak pernah
jauh dari pengembangan seni patung sebagai penanda zaman. Begitulah konteks
patung itu sendiri bagi kita, sepatutnya dimaknai secara estetis sebagai produk
kebudayaan. Bukan secara banal dimaknai sebagai ikon pemecah-belah yang mengumbar
dan memancing rasa permusuhan antar
sesama.
Apalagi konteks
tudingan miring keberhalaan dalam beberapa kasus terakhir aksi penghancuran
patung di Indonesia itu, jauh lebih dekat dengan sekedar prasangka berlebihan
ketimbang fakta yang terbuktikan. Karena patung-patung itu memang tidaklah
dijadikan sesembahan, melainkan sekedar penghias lingkungan. Patung jika dipandang
sebagai karya seni yang serius, dengan sendirinya akan menimbulkan rasa bangga
dan kepemilikan bersama dari semua golongan masyarakat di sekitarnya. Harapannya
ini dapat memutus lingkaran setan kebencian yang merusak tatanan sosial
bernegara.
Lebih dari itu, patung
memanglah karya seni yang luhur nilai keindahannya, karenanya wajar jika
nominal biaya yang dibutuhkan untuk setiap pembuatannya pun tak pernah terbilang
murah dan mencapai milyaran rupiah. Preseden buruk dirobohkannya patung semestinya
menjadi tamparan keras bagi seluruh spektrum penguasa negeri. Jangan sampai
terus-terusan kita membiarkan ditelannya anggaran publik yang besar tapi hanya berujung
pada kesia-siaan seperti ini. Padahal ada banyak sekali kebutuhan pembiayaan program
pembangunan lain yang urgensifitasnya lebih patut didahulukan.
Kunci utamanya memang pada
komitmen pemerintah selaku pihak yang paling berwenang, terutama agar tak lagi sembarang mendirikan
monumen tanpa pertimbangan dan kajian yang matang, serta melibatkan partisipasi
masyarakat lebih dulu. Sebab sebaik apa pun maksudnya jika tak disertai
komunikasi dan persuasi yang cukup, maka aksi sepihak menghancurkan patung
seperti ini akan terus menjadi kebiasaan buruk masyarakat Indonesia. Berdukalah
peradaban kita sekiranya sikap memusuhi seni patung begini malah dilestarikan. Tabik !
________
*) Peminat kajian
sosial-politik. Mantan Sekretaris LMND Ekswil Lampung 2012-2014.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar