Oleh : Saddam Cahyo*
Belakangan, masyarakat Indonesia
sempat diresahkan oleh kabar bahwa pemerintah melalui Kementerian Perdagangan
resmi mengeluarkan pelarangan bagi beredarnya dua jenis buah apel impor karena
diduga mengandung bakteri listeria
monocytogenes yang masuk kategori berbahaya. Kedua jenis apel yang
penampakannya sekilas mirip apel Malang itu adalah Granny Smith dan Gala asal
Bakersfield, California, Amerika Serikat yang dipasarkan dengan merk dagang
Granny’s Best dan Big B (Liputan 6, 27/1).
Mengejutkan ? tidak juga, sebab
meski belum ada catatan kasus gangguan kesehatan yang spesifik disebabkan oleh
buah impor, kita sudah “sama-sama tahu” bahwa buah-buahan impor yang membludak
sampai ke pinggiran jalan kota dan pelosok desa itu tentulah mengandung zat
kimia yang beresiko. Bagaimana tidak, tak diketahui persis sudah berapa lama
sejak buah itu dipanen di negeri jauh, hingga apa saja yang dilakukan demi
mempertahankan kualitasnya tetap tampak segar mengkilau. Tak jarang juga
ditemui kondisi isi buahnya yang tak sesuai dengan kesegaran tampilan luarnya.
Karenanya prosedur cuci dan kupas
sangat dianjurkan jadi siasat saat hendak mengkonsumsinya. Tapi tak juga boleh
menggeneralisir kalau semua buah impor tidak aman dikonsumsi, karena idealnya
ada banyak prosedur baku dan uji klinis yang jadi syarat bagi kelayakan pangan
impor. Hanya amat disayangkan memang, masih saja kecolongan tersebarnya buah
yang semestinya jadi asupan nutrisi manusia Indonesia justru malah meracuni
tubuh seperti kasus ini.
Hegemoni
Budaya Konsumen
Tapi ada problem mendasar yang bisa
dicermati secara kultural dalam konteks ini, tak lain dari gejala xenomaniac yang mewabah dalam banyak
aspek pola konsumsi masyarakat Indonesia. Kebanyakan dari kita mudah sekali silau
dan bangga jika mampu mengkonsumsi produk impor, ditambah berkembangnya citra
bahwa produk luar selalu lebih unggul ketimbang lokal. Pun dalam buah-buahan,
yang lokal tampilannya lebih kusam, kerdil, dan cepat busuk ketimbang impor
yang lebih menarik, ditambah perbandingan harganya yang bersaing.
Pandangan seperti ini kian mendapat
legitimasinya dalam benak publik bersamaan dengan maraknya produk-produk
budaya-massa lain di luar pangan. Alhasil, karena permintaan konsumen atas buah
impor terus bertambah, tak ada alasan bagi pedagang untuk tidak memasoknya
lebih banyak. Sedangkan posisi buah lokal kian tergusur mundur tak laku
dipasaran, dan tanpa disadari satu persatu petaninya berhenti menanam hingga
kebanyakan hanya tersisa petani mikro
yang luas lahan dan teknologi penanamannya terbatas.
Memang buah lokal tidaklah punah
dan masih juga membanjiri pasar, namun skalanya masih belum memuaskan. Secara
berangsur laju konsumsi buah impor di Indonesia terus meningkat signifikan, dalam
tahun 2014 lalu saja belanja impor hortikultura mencapai 23,8 triliun rupiah,
naik dari tahun sebelumnya sekitar 20,2 triliun rupiah, dan cukup jauh
ketimbang tahun 2011 yang masih di kisaran 17,6 triliun rupiah. Sungguh
fenomena gunung es yang tak patut diabaikan.
Mau tak mau kita mesti mengakui
adanya hegemoni buah impor yang menguasai pasar domestik. Seiring dengan itu
pula hasrat konsumsi manusia Indonesia kian menjadi-jadi dan melunturkan nalar
produktifnya hingga menciptakan situasi ketergantungan pada pasokan impor.
Situasi terburuknya adalah kesan bahwa putaran pasar dianggap menuntut begitu
banyak hingga terjadi kecerobohan sistemik dalam mengawasi jaminan kelayakan dari
produk yang di impor.
Membangun
Daulat Buah
Tantangan besar yang terdekat tak
lain dari diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang bisa juga disebut
pasar bebas regional beberapa bulan lagi. Jika masih saja bangsa ini tak eling meningkatkan daya saing
produksinya dan tak kunjung membenahi pola konsumsinya, maka tak urung negeri
yang besar dengan populasi raksasa ini pula hanya akan menjadi pasar rebutan
tetangga yang mengejar untung.
Tentu saja kita tak perlu menanam
kebencian pada buah impor sebab dalam batasan tertentu memang masyarakat pun
membutuhkannya, tapi penting untuk semakin jelas mengaturnya agar seimbang. Semisal
dengan terus membatasi dan mengurangi arus impor jenis buah tropis, dan diimbangi
dengan keseriusan mengembangkan pertaniannya di kota-kota yang potensial. Kita
harus berpacu dengan Thailand, Vietnam, Filipina yang kuota ekspor buah per
tahunnya mulai mengalir signifikan bahkan ke Indonesia, sementara kita punya ribuan
varietas yang bisa diunggulkan tapi masih diabaikan. Bukankah bangsa yang kuat
adalah bangsa dengan rakyatnya yang sehat ?
Hanya dengan SDM-nya yang sehat dan
terdidiklah bangsa itu mampu berkembang. Dan konsumsi buah-buahan diketahui menyumbang
banyak bagi terbangunnya tubuh manusia sehat. Kita tidak bisa cuma menunggu
jalannya implementasi janji kebijakan daulat pangan yang diprogramkan
pemerintahan baru ini. Belum lagi sangat diperlukan hadirnya gerakan yang
mendorong pemerintah daerah pun mampu bersinergi mensukseskannya. Terpenting
rakyat Indonesia juga harus makin sadar, utamakan konsumsi buah lokal dan berbanggalah
menanam buah local, ini penting agar cita-cita berdaulat tak lagi menguap jadi jargon
hampa belaka.
__________________
*) Bergiat di organisasi Liga Mahasiswa Nasional
untuk Demokrasi (LMND) Wilayah Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar