Akhirnya saudara Akil Mochtar mantan
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) resmi divonis hukuman penjara seumur hidup tanpa
satu pun karena terkait kasus suap sengketa pemilukada dan pencucian uang. Akil
ditangkap oleh KPK di rumah dinasnya pada malam 2 Oktober tahun lalu, ia
terbukti bersalah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tipikor No. 31 Tahun 1999 dan
KUHP, yakni menerima suap dari sengketa di Kab. Gunung Mas, Kab. Kalimantan
Tengah, Kab. Lebak, Kab. Empatlawang, dan Kota Palembang. Ia juga sudah
menerima janji suap bagi pemenangan sengketa di Kab. Buton, Kab. Pulau Morotai,
Kab. Tapanuli Tengah, dan Jawa Timur. Sementara keterlibatannya di sengketa Kab.
Lampung Selatan tidak terbukti. Total aset yang disita darinya oleh pengadilan bernilai
lebih dari 100 miliar rupiah, sungguh angka yang luar biasa besar (Lampost,
1/7).
Kasus Akil ini memang kasus kelas
kakap, mengingat betapa vital status dirinya sebagai ketua lembaga penegak
konstitusi dasar negara yang kerap dianggap sebagai benteng pertahanan terakhir
bagi pencari keadilan. Meski suara majelis hakim pengadilan tipikor kemarin
tidaklah bulat, putusan ini tetap patut diapresiasi karena mencapai durasi yang
sangat maksimal, mengingat hukuman mati masih sangat debatable di era sekarang ini. Jika vonis ini tidak berubah, maka akan
menjadi sebuah pencapaian sejarah gemilang dalam perjuangan panjang nan berliku
pemberantasan korupsi di negara ini. Kita tahu bahwa selama KPK dan Pengadilan
Tipikor dibentuk sekitar sepuluh tahun lalu, vonis hukuman kasus korupsi masih
terlalu ringan dan banyak potongan, ditambah proses pengusutannya pun kerap menguap
di tengah jalan.
Situasi seperti ini jelas telah memupuk
kesuburan budaya korupsi yang semakin nyata melebur dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Tumpulnya penegakan hukum juga selalu membuat kita pesimis dan kian
mengamini perilaku korupsi. Sekarang ini seolah “biaya pelicin di bawah meja”
adalah kewajiban bagi setiap orang yang ingin urusan pribadinya lekas terpenuhi,
tanpa perlu repot memikirkan dampak kerugiannya bagi keberlangsungan sistem
kenegaraan. Lembaga Transparency
International pada Desember 2012 yang merilis Indeks Persepsi Korupsi (CPI)
bahkan menyebut Indonesia menempati urutan ke 11 dari 176 negara. Konsepsi Clean and Good Government pada akhirnya
hanya sekedar menjadi ide besar yang nyaris mustahil.
Tapi ternyata pesimisme rakyat
pada komitmen lembaga-lembaga penegak hukum bisa terjawab, kita masih punya
harapan. Vonis Akil ibarat sebuah hajat besar yang patut kita rayakan bersama. Ia
memberi pesan moral pada khalayak publik bahwa keadilan masih bisa ditegakkan
di negeri ini. KPK, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan masih patut kita percaya
dan uji kredibilitasnya agar semakin membara semangat pemberantasan dan
pencegahan korupsi. Kalau pun selama ini masih tampak banyak keraguan dalam
penentuan vonis pengadilan atas tindak pidana berat semacam ini, maka
pengalaman Akil dapat menjadi suatu yurispudensi atau rujukan pengalaman hukum
yang mengikat terutama bagi para hakim yang punya tanggung jawab moral kepada masyarakat
dan peradaban.
Menjadi Martir
Namun bagaimana pun, sebagai
pribadi, Akil Mochtar tetaplah salah seorang putra terbaik yang bangsa ini
pernah miliki. Sesungguhnya ia
memiliki kompetensi yang sangat mumpuni di bidang hukum baik secara praktis mau
pun teoritis. Ia cukup lama menempa diri sebagai advokat pro bono, yang sukarela membela kaum
lemah yang terjerat kasus hukum sebagai bentuk pengabdian. Tak hanya itu, dua
periode sejak 1999 hingga 2009 ia menjadi anggota DPR RI di Komisi III bidang Hukum,
Perundang-undangan, HAM dan
Keamanan. Akil juga seorang peraih gelar akademik doktoral ilmu hukum yang
telah menerbitkan dua hasil penelitiannya sebagai buku. Kedua buku itu
bertemakan korupsi: pertama
berjudul "Memberantas Korupsi:
Efektivitas Sistem Pembalikan Beban Pembuktian dalam Gratifikasi"
(2006), kedua berjudul "Pembalikan
Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi" (2009).
Sebelum
resmi tertangkap tangan, Akil memang dikenal cukup lantang menentang
korupsi. Dalam berbagai kesempatan ia pernah lontarkan pernyataan keras, semisal
mengusulkan sebaiknya pelaku korupsi tak perlu dihukum mati, tapi dimiskinkan
dan dipotong salah satu jari tangannya guna memberi efek jera dan peringatan
bagi publik. Membicarakan korupsi memang sangat klise dan membosankan, tapi
kita semua tahu perbuatan ini salah, dan sudah terlalu menggurita karena
didiamkan. Kasus Akil semestinya juga memotivasi kita semua untuk turut aktif
berpartisipasi melawan korupsi. Saya punya keyakinan, sekeras apa pun penolakan
Akil atas derita yang dialaminya saat ini, kelak ia akan luluh dan ikhlas
menjalani hukuman layaknya seorang martir perubahan, ibarat satria yang secara
sadar mengakui kesalahan dan tetap rela bertanggung jawab menegakkan kebenaran
di penghujung nafas hidupnya. Ironis memang !
Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, Senin 27 Oktober 2014.
Terbit di harian cetak KORAN EDITOR, Senin 27 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar